Ini sih namanya Alara mengumpankan dirinya sendiri untuk dijadikan tumbal. Sudah tahu Bahtiar Gema sangat tidak tahu diri. Tetap saja hatinya berpihak ke sana untuk menggapai lelaki duda itu. Padahal tidak mungkin. Tidak akan pernah. Jangan ngarep!
Gaungan semacam itu juga tidak berguna. Tidak mempan bagi hatinya yang sudah bebal. Memang ya, sekali bodoh tetap bodoh. Dan ngomong sama orang bodoh, ya capek. Hanya di dengarkan tapi tidak di praktikkan.Begini penjelasan yang akan kita kupas di bab ini.Di luar sana, banyak wanita yang sanggup dan mampu menerima masa lalu prianya. Sedangkan pria menganggap mudah soal masa lalunya dan mengatakan seburuk apa pun mereka dulu, tidak akan ada pengurangan baginya. Sangat berbeda dengan wanita, kan?Mau protes kalau ini tidak adil juga rasanya percuma. Karena wanita … jika mahkotanya sudah jatuh, maka ia bukan ratu lagi. Wanita adalah insan yang sangat istimewa dan teramat indah dimata pria. Maka ketika ia ternoda, keindahannya sirna.Tidak heran jika banyak wanita tak bisa mengatakan seperti apa masa lalu dirinya. Karena banyak pria yang tak bisa menerima kondisinya. Terlepas dari apa pun masalah yang pernah menyapa relung hatinya hingga hal semacam ini terjadi.Bicara-bicara soal masa lalu dan luka, semua orang memiliki itu. Tiap-tiap orang punya bagian masing-masing lembaran kelam. Yang mereka robek, mereka cabik-cabik, dihilangkan atau bahkan dibuang. Tapi hidup terus berjalan, tak peduli seburuk apa pun orang dulu, terpenting adalah mereka sekarang.Ada juga nasihat yang beredar di masyarakat. Harusnya ini bisa bekerja secara imbang untuk para wanita dan pria. Banyak petuah mengatakan untuk wanita menjaga harga diri dan keperawanannya. Yang sebenarnya lebih berlaku untuk para pria alih-alih merusaknya.Persentasinya begini:- 55% pria akan memanfaatkan atau menyalahgunakannya- 30% pria langsung pergi meninggalkan- Hanya 15% pria yang menerima, melengkapi dan menyempurnakannya.Itu tiga kemungkinan yang akan terjadi jika kamu berbagi rahasia.Jadi, tidak ada jaminan yang bisa kamu jadikan patokan percaya kepada siapa kamu bergaul sampai harus membeberkan kebenaran tentang dirimu. Pahami gerak-geriknya, maksud dan tujuan orang yang bertanya. Kenali mereka tentang hidup sebelum kamu mengatakannya.Ada kalanya Alara ingin di diamkan tanpa di tanyai apa-apa. Tidak mau di ganggu oleh siapa pun. Bukan tidak ingi berbagi cerita. Tapi guru paling penting dalam kehidupan ini adalah pelajaran. Dan dari sana Alara tahu, tidak semua orang benar-benar bersedia memahami atau yang lebih menyakitkan, tidak semua orang benar-benar mau peduli.Diamnya Alara bukan artinya tidak punya masalah. Tapi cara tiap-tiap orang dalam mengekspresikan diri ketika menghadapi problemnya berbeda-beda. Dan diam menjadi pilihan Alara yang di jadikan pilihan untuk menghindari kekacauan yang berubah kerumitan. Riuh di kepalanya penuh sesak dan berjejalan. Menyambar pertahanan Alara dalam mengontrol kewarasannya. Jadi diam, bagi Alara sangatlah patut dirinya masukan daftar.Dan sampai di mana dirinya sadar bahwa Alara membutuhkan seseorang yang sepenuhnya bisa di percaya dalam segala hal, yang tidak bertanya ‘ada apa dan kenapa’ namun mampu menenangkan jiwanya. Semandiri apa pun dirinya, sekuat apa pun dirinya menopang beban tubuhnya, tidak bisa Alara hindari jika Alara membutuhkan hadirnya seorang lelaki. Yang bisa memeluknya, menjaganya, yang bisa membuat dirinya merasa aman meski hanya dengan kata, ‘selama ada aku, kamu akan selalu terjaga dan baik-baik saja’. Itu tenang sekali.Lain halnya dengan Alara, lain cerita dengan Bahtiar Gema.Lelaki 33 tahun itu juga punya cerita kelamnya sendiri. Meski tak banyak yang tahu bagaimana kondisi hatinya pasca perceraian yang cukup mengguncang jiwanya. Nyatanya Gema mencoba bangkit. Banyak yang dirinya lakukan untuk sembuh dan terus waras.Gema enggan berkecopak dengan kesakitannya—kecewa lebih tepatnya. Karena mantan istrinya tak sesuai ekspektasi selama mereka menjalin hubungan dalam ikatan pacaran. Perempuan itu kasar dan arogan. Dan Gema mengetahui setelah perjalanan cintanya berubah dalam naungan rumah tangga.Nyatanya benar apa yang dikatakan orang-orang. Pacaran hanya menunjukkan sisi luar yang tertutup topeng dengan rapat. Sedang pernikahan menampakkan apa yang belum pernah terlihat di masa pacaran. Semuanya tertutup rapat dan apik.Selesai. Maka begitu Gema putuskan untuk menutup segala luka-lukanya. Gema alihkan pada kegiatan yang membuat hatinya nyaman namun tidak memberinya tuntutan berlebihan. Termasuk mencari kesenangan sendiri yang meskipun tidak baik di mata agama, Gema benarkan untuk hatinya.Selesai. Pun bukan artinya Gema lupakan keseluruhan semua kesakitannya. Ada masa di mana harus Gema ambil sebagai pelajaran untuk ke depannya. Hidup, tidak bisa tanpa pegangan. Hidup, tidak lepas dari jeratan untuk dijadikan sebuah patokan. Ke arah mana angin akan membawa, di situ ada pelabuhan yang siap dijadikan dermaga untuk singgah. Singgah yang sesungguhnya atau sekadar mampir dalam sekejap. Semuanya sudah Gema susun begitu Alara Senja hadir di hadapannya.Pada hari di kala Alara Senja menyambangi ruangannya, menawarkan sebuah perjanjian konyol terlebih membawa telapak tangan Gema untuk menikmati payudaranya yang sekal. Pikiran Gema berantakan. Semua yang di usahakan untuk penyembuhan hatinya terasa sia-sia. Alara menjungkirbalikkan semua pendiriannya. Membelokkan pikirannya yang terpatok bahwa sebuah hubungan tidaklah penting.Ini lucu. Boleh tidak, ya, Gema katai Alara sebagai bocah? Yang bermasalah sungguh hati Gema. Yang tidak sehat juga otaknya.“Abang nggak makan?”Suara Alara menyeret Gema. Dan perempuan muda itu dengan santai menyuap nasi gorengnya lebar-lebar. Matanya fokus menatap layar ponsel dengan bahasa asing.“Drama muluk!”“Sirik!”Baru Gema ketahui sifat dan sikap Alara yang kasar serta sarkas. Tapi entah kenapa Gema suka. Alara blak-blakan dan tidak neko-neko. Alara apa adanya dan tidak peduli pada sekitar. Acuh pada tiap gunjingan yang menyapa telinganya dan berlagak jikalau ‘inilah hidupnya. Miliknya dan menikmati’.Seperti cara demikian yang selama ini Gema cari. Dulu—jika Gema diizinkan membandingkan—mantan istrinya terlalu suka mendengarkan pendapat orang. Sehingga apa yang Gema katakan menjadi tidak berarti apa-apa. Itu juga yang menyulut sumbu perceraian terjadi karena Gema tidak dihargai posisinya sebagai suami.Pernah Gema dengar, setinggi apa pun seorang istri dalam berpendidikan dan memiliki posisi jabatan lebih dari suaminya, tetap harus patuh pada titah suami.Dan kini, itu Gema dapati ada dalam diri Alara Senja. Perempuan itu benar-benar menjadi dirinya sendiri di samping tergerus semua rasa percaya dirinya.“Nggak bagus juga makan sama mainin hp tuh.”“Cerewet!”Tangan Gema terulur mengusap kepala Alara yang membuat perempuan cantik itu menegang di tempatnya. Dan memekik setelahnya.“Enak nggak nasi gorengnya?”“Edan! Sakit anjir.” Misuh Alara. Hendak membalas namun kalah gesit dari pergerakan Gema.Lelaki itu sungguh sesuatu sekali. Membuat Alara dugun-dugun dalam sekejap dan detik berikutnya kesal maksimal. Memang nggak punya akhlak makanya damagenya nggak kaleng-kaleng.“Mulut kamu aslinya enak buat di kecup-kecup. Makin kamu mengumpat, makin pengen Abang kecupi.”Horor sekali Gema ini. Wajah Alara berubah panas dalam hitungan detik. Di jamin, kepiting rebus di pipinya sudah merah tidak terkira.“Apaan, sih!” Sentaknya melepas cekalan tangan Gema.Tangannya mengaduk-aduk sisa nasi goreng di atas piringnya. Dengan otak traveling ke mana-mana. Wah, sudah berapa kali, ya, mereka berciuman? Sekali? Dua kali? Ah, entahlah. Alara malu dengan estetik.“Langsung praktik saja yuk. Kamu kalau ngebayangin kayak gitu mukanya bikin nggak nahan pengen Abang kekepin.” Gila! Ini namanya ngegas langsung. “Lagian Ra …” Gema telan nasinya bulat-bulat. “Abang lihat banyak yang naksir kamu. Kenapa nggak di terima? Terus yang bikin abang heran, kamu kenapa milih abang—bukan deh, ge-er banget kedengarannya—”“Cakep!” Seloroh Alara menjawab diikuti jempolnya yang teracung ke wajah Gema.“Kamu minta abang buat tinggal bareng kayak suami istri? Kamu ada masalah sama keluarga atau ada kendala lainnya di luar kampus dan kerjaan?”Mati! Alara mau pingsan detik itu juga. Matanya mengerjap tidak percaya pada pertanyaan yang Bahtiar Gema ajukan.“Gimana, ya, bang.” Diam saja bukan solusi. Baiknya Alara jawab sebisa dirinya. “Aku suka duda.”Bahtiar Gema kembali ke keluarganya di hari sabtu dan minggu. Itu hari khusus untuk dirinya menikmati quality time. Yang tidak mau diganggu gugat apa lagi di riwehkan oleh tetek bengek pekerjaan. Maka seluruh aktivitas dan komunikasi yang bersangkutan dengan masalah para klien, akan langsung menghubungi asistennya—Alara Senja.Dan ngomong-ngomong perihal Alara, perempuan itu sangat eksotis di mata dan merasuk dalam pikiran Gema. Gila, sih. Gema bahkan tidak percaya sama sekali. Perempuan seperti Alara—“Om.” Panggilan dari arah sampingnya menyeret Gema dari lamunnya. “Di panggil nenek.”Kepala Gema terangguk dan lekas beranjak setelah mengelus puncak kepala sang ponakan. Langkah kakinya sedikit berat. Berurusan dengan mamanya bukan hal yang pelik—sebenarnya—jika bukan pertanyaan semacam: cucu mama mana?Aduh! Minta cucu seperti beli gula-gula di pasar malam sebelah lapangan komplek rumahnya sana. Tinggal bilang dan menagih. “Ma.” Gema mendekat. Duduk di samping sang mama. Gazebo bela
Mata Alara mengerjap. Ini sudah lewat dari beberapa hari usai ciuman itu terajut. Sayangnya, semua yang terjadi di hari itu masih sangat membekas di memori Alara. Terlebih ucapan Gema yang tak Alara pahami maksudnya. Sama sekali Alara bodoh. Mirip keledai dungu yang di cucuk induknya. “Baju Abang mana?”Tersentak kaget dari lamunannya. Segera Alara mendekat ke pintu kamar mandi di mana kepala Gema menyembul. Dapat di pastikan, di balik pintu putih itu, tubuh Gema polos total. Dan entah mengapa, otak Alara traveling ke berbagai tempat di neraka.“Aku sudah masakin pesanan abang.”“Oke. Bentar lagi turun. Sama sambalnya juga, kan?” Kepala Alara mengangguk dan bergegas lari. Matanya melihat sesuatu yang yahud. Yang sebenarnya sah-sah saja karena mereka punya perjanjian untuk ‘memegang satu sama lain’. Yang artinya, Alara milik Gema dan Gema milik Alara. Itu mutlak dan paten tak terbantahkan.Mendadak Alara ingin mengumpati dirinya sendiri. Bisa-bisanya punya perasaan lebih atas apa yan
Gema pelajari materi yang di kirimkan Alara lewat emailnya. Sesekali kedua matanya melirik ke arah sudut ruangan di mana eksistensi Alara sangat fokus membolak-balikkan kertas berkas yang bertumpuk. Segaris senyum Gema tunjukkan—samar. Belum pernah Gema rasakan bahagia sedamai hatinya saat ini. Jika harus meraba, ada titik perbedaan antara jatuh cintanya yang dulu atau yang sekarang dengan banyak wanita di luaran sana.Keluarganya begitu gigih mengharapkan Gema menikah lagi. Dengan alasan untuk jangan sendirian karena itu menyakitkan. Tapi sekeras kepala itu Gema menolak berdalih trauma yang terus mengitari. Hingga Gema manfaatkan banyak waktu untuk bersenang-senang sebagai alasan. Siapa yang ingin menyangka jika kehadiran Alara cukup menyita waktunya?Bahkan hatinya sudah tidak bisa Gema tanyakan kabarnya. Semuanya terasa benar dan memang ini yang harus Gema lalui. Tapi melihat Alara yang begitu gigih dengan perjanjian yang diajukan, Gema penasaran. Ada kisah apa di balik mata canti
Bahtiar Gema bukan ingin bersikap kepo. Tahu batasannya dan sadar ada sekat yang selalu Alara Senja ciptakan. Entah apa itu, tapi menemukan sebuah buku catatan yang tersembunyi, jiwa Gema menggelora. Meronta ingin tahu dan tangannya bergerak cepat membolak-balikkan halaman per halaman.Di awali dengan:‘Sejak kamu pergi, aku hampir lupa caranya untuk membuka hati kembali. Tanpamu, aku merasa sepi. Mungkin ini terlihat kekanak-kanakan. Tapi begitulah adanya. Kamu yang dulunya menjadi tujuanku untuk menggapai sesuatu. Sekarang, kamu sudah tak ada lagi. Sekarang, aku hanya berkawan dengan luka-luka dan kesunyian.’Baik. Gema menghela napas perlahan. Tahu bahwa isi dalam coretan tangan itu banyak dirinya temukan berlalu lalang di dunia maya. Tapi seakan-akan memang sangat pas di kehidupan yang saat ini Alara jalani. Sebenarnya, tujuan macam apa yang sedang diraihnya sehingga kehilangan mampu membuatnya terpuruk?Pergi yang dimaksud juga ke manakah itu?Kenapa hal sesederhana ini tidak bis
Alara Senja tidak punya jalan putar balik. Di saat Bahtiar Gema kian hari kian gencar menggempurnya dengan teror pernikahan. Untungnya nih untungnya. Belum Alara beri jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Tidak ada penolakan atau pun penerimaan. Untungnya lagi, Alara suka membaca quotes untuk bisa merasuk ke dalam pikirannya dan bisa mengambil tindakan tepat.Seperti ini kira-kira:Jangan buru-buru jatuh cinta. Dalam hati saja Alara berkata begitu.Apa Alara bilang. Jangan buru-buru makanya jangan memberi kendor untuk Gema terus mengejarnya. Sekarang saja, ada cek-cok yang terjadi di dalam sana. Alara sampai urung untuk masuk padahal ada berkas klien yang harus segera dirinya kirimkan untuk di entry ke Pengadilan.“Tapi hasilnya positif! Siapa yang harus aku mintai tanggungjawab?” Lengkingan seorang wanita yang tidak Alara ketahui berapa umurnya atau siapa namanya karena itu tidak penting baginya. Tapi bikin merinding disko.“Aku mainnya aman.” Yang ini suara Gema. Terdengar santai tanpa urat. T
Gurat lelah jelas tercetak di wajah Bahtiar Gema. Matanya yang sayu cukup menjelaskan seberapa banyak beban yang di tanggungnya. Alara diam. Tidak meluncurkan tanya dan hanya membiarkan gesekan wajah Gema di dadanya. Akhir-akhir ini sikap manjanya kentara di perlihatkan. Atau memang Alara baru tahu jika Bahtiar Gema punya tabiat begini?“Abang, kan bungsu.” Ucapan Gema menjawab pikiran Alara. “Manja sudah jadi makanan abang di rumah. Sehari-hari di perlakukan kayak bayi.”“Memang iya, kan.”“Sembarangan!”Helaan napas Alara terdengar. Terkekeh sebentar dan menjawab, “Abang memang bayi. Kalau bukan, nggak mungkin ndusel-ndusel di dada aku nyari sumber kehidupan.”“Empuk, sih.” Dan berlanjut saja aktivitas yang semestinya memang terjadi. Ini terbilang cukup lama dari keduanya tinggal bersama. Selama ini yang berlangsung hanyalah sentuhan kulit biasa semacam ciuman dan cumbuan. Baik Alara maupun Gema, sama-sama menikmati.“Yang datang ke kantor siang tadi …” Gema menjeda dan memasukkan
Alara selalu dianggap mampu oleh kedua orangtuanya. Sudah dewasa dan mampu mengatasi segala urusannya sendiri. Tidak kekurangan karena mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Tidak butuh sandaran karena mampu bangkit berdiri untuk tetap bertahan sejauh apa pun pijakannya.Yang tidak pernah di ketahui oleh orangtuanya hanyalah betapa rapuhnya Alara oleh timpaan kehidupan. Seberapa sulitnya bertahan meski sudah di jatuhkan berkali-kali. Susahnya untuk bangkit meski hati tak berbentuk lagi.Mereka lupa bahwa Alara Senja tetaplah seorang anak yang memiliki kelemahan dan butuh perlindungan. Alara Senja tetaplah manusia lemah yang butuh perlindungan di saat masalah datang menyapa. Dan Alara Senja lebih dari butuh di dengarkan bersama dengan pelukan. Mereka lupa akan peran yang sesungguhnya hanya dengan melihat ‘semampu’ itu Alara Senja dalam menerima kehidupan. Bukan ingin negatif tapi pemikiran ‘di bedakan’ sudah sangat kentara terlihat walau selalu di sangkalnya. Entah mengapa Alara b
Usai makan siang, di hari Jumat, Gema izin untuk tidak kembali ke kantor. Meninggalkan Lara dengan pekerjaan yang sudah longgar dan membuat perempuan itu leyeh-leyeh. Merdeka sekali rasanya sampai Alara gegulingan di sofa yang biasa Gema gunakan untuk menerima tamunya.Oke, skip soal Alara Senja yang menikmati waktunya. Fokus ke Gema yang sedang berdegup kencang detak jantungnya. Dalam hitungan menit, Gema tarik napas dan di embuskan dengan sangat pelan. Terus begitu sampai berulang-ulang. Sesekali matanya akan melihat spion tengah guna meyakinkan penampilannya jika wajahnya tidak norak-norak amat atau pun kucel. Ini siang hari, harap maklum.“Perasaan dulu mau ngelamar mantan istri nggak gini amat sensasinya?” Gumam Gema yang di jawab suara AC dalam mobilnya. “Gusti.” Sekali lagi berteriak pelan dan mesin mobilnya Gema matikan. Sudah sampai di tempat tujuan.Rumah tujuan yang menjadi sasarannya. Sudah pernah Bahtiar Gema sambangi rumah sederhana ini. Ini ketiga kalinya dan rasanya ma