Share

Bab 5

Ini sih namanya Alara mengumpankan dirinya sendiri untuk dijadikan tumbal. Sudah tahu Bahtiar Gema sangat tidak tahu diri. Tetap saja hatinya berpihak ke sana untuk menggapai lelaki duda itu. Padahal tidak mungkin. Tidak akan pernah. Jangan ngarep!

Gaungan semacam itu juga tidak berguna. Tidak mempan bagi hatinya yang sudah bebal. Memang ya, sekali bodoh tetap bodoh. Dan ngomong sama orang bodoh, ya capek. Hanya di dengarkan tapi tidak di praktikkan.

Begini penjelasan yang akan kita kupas di bab ini.

Di luar sana, banyak wanita yang sanggup dan mampu menerima masa lalu prianya. Sedangkan pria menganggap mudah soal masa lalunya dan mengatakan seburuk apa pun mereka dulu, tidak akan ada pengurangan baginya. Sangat berbeda dengan wanita, kan?

Mau protes kalau ini tidak adil juga rasanya percuma. Karena wanita … jika mahkotanya sudah jatuh, maka ia bukan ratu lagi. Wanita adalah insan yang sangat istimewa dan teramat indah dimata pria. Maka ketika ia ternoda, keindahannya sirna.

Tidak heran jika banyak wanita tak bisa mengatakan seperti apa masa lalu dirinya. Karena banyak pria yang tak bisa menerima kondisinya. Terlepas dari apa pun masalah yang pernah menyapa relung hatinya hingga hal semacam ini terjadi.

Bicara-bicara soal masa lalu dan luka, semua orang memiliki itu. Tiap-tiap orang punya bagian masing-masing lembaran kelam. Yang mereka robek, mereka cabik-cabik, dihilangkan atau bahkan dibuang. Tapi hidup terus berjalan, tak peduli seburuk apa pun orang dulu, terpenting adalah mereka sekarang.

Ada juga nasihat yang beredar di masyarakat. Harusnya ini bisa bekerja secara imbang untuk para wanita dan pria. Banyak petuah mengatakan untuk wanita menjaga harga diri dan keperawanannya. Yang sebenarnya lebih berlaku untuk para pria alih-alih merusaknya.

Persentasinya begini:

- 55% pria akan memanfaatkan atau menyalahgunakannya

- 30% pria langsung pergi meninggalkan

- Hanya 15% pria yang menerima, melengkapi dan menyempurnakannya.

Itu tiga kemungkinan yang akan terjadi jika kamu berbagi rahasia.

Jadi, tidak ada jaminan yang bisa kamu jadikan patokan percaya kepada siapa kamu bergaul sampai harus membeberkan kebenaran tentang dirimu. Pahami gerak-geriknya, maksud dan tujuan orang yang bertanya. Kenali mereka tentang hidup sebelum kamu mengatakannya.

Ada kalanya Alara ingin di diamkan tanpa di tanyai apa-apa. Tidak mau di ganggu oleh siapa pun. Bukan tidak ingi berbagi cerita. Tapi guru paling penting dalam kehidupan ini adalah pelajaran. Dan dari sana Alara tahu, tidak semua orang benar-benar bersedia memahami atau yang lebih menyakitkan, tidak semua orang benar-benar mau peduli.

Diamnya Alara bukan artinya tidak punya masalah. Tapi cara tiap-tiap orang dalam mengekspresikan diri ketika menghadapi problemnya berbeda-beda. Dan diam menjadi pilihan Alara yang di jadikan pilihan untuk menghindari kekacauan yang berubah kerumitan. Riuh di kepalanya penuh sesak dan berjejalan. Menyambar pertahanan Alara dalam mengontrol kewarasannya. Jadi diam, bagi Alara sangatlah patut dirinya masukan daftar.

Dan sampai di mana dirinya sadar bahwa Alara membutuhkan seseorang yang sepenuhnya bisa di percaya dalam segala hal, yang tidak bertanya ‘ada apa dan kenapa’ namun mampu menenangkan jiwanya. Semandiri apa pun dirinya, sekuat apa pun dirinya menopang beban tubuhnya, tidak bisa Alara hindari jika Alara membutuhkan hadirnya seorang lelaki. Yang bisa memeluknya, menjaganya, yang bisa membuat dirinya merasa aman meski hanya dengan kata, ‘selama ada aku, kamu akan selalu terjaga dan baik-baik saja’. Itu tenang sekali.

Lain halnya dengan Alara, lain cerita dengan Bahtiar Gema.

Lelaki 33 tahun itu juga punya cerita kelamnya sendiri. Meski tak banyak yang tahu bagaimana kondisi hatinya pasca perceraian yang cukup mengguncang jiwanya. Nyatanya Gema mencoba bangkit. Banyak yang dirinya lakukan untuk sembuh dan terus waras.

Gema enggan berkecopak dengan kesakitannya—kecewa lebih tepatnya. Karena mantan istrinya tak sesuai ekspektasi selama mereka menjalin hubungan dalam ikatan pacaran. Perempuan itu kasar dan arogan. Dan Gema mengetahui setelah perjalanan cintanya berubah dalam naungan rumah tangga.

Nyatanya benar apa yang dikatakan orang-orang. Pacaran hanya menunjukkan sisi luar yang tertutup topeng dengan rapat. Sedang pernikahan menampakkan apa yang belum pernah terlihat di masa pacaran. Semuanya tertutup rapat dan apik.

Selesai. Maka begitu Gema putuskan untuk menutup segala luka-lukanya. Gema alihkan pada kegiatan yang membuat hatinya nyaman namun tidak memberinya tuntutan berlebihan. Termasuk mencari kesenangan sendiri yang meskipun tidak baik di mata agama, Gema benarkan untuk hatinya.

Selesai. Pun bukan artinya Gema lupakan keseluruhan semua kesakitannya. Ada masa di mana harus Gema ambil sebagai pelajaran untuk ke depannya. Hidup, tidak bisa tanpa pegangan. Hidup, tidak lepas dari jeratan untuk dijadikan sebuah patokan. Ke arah mana angin akan membawa, di situ ada pelabuhan yang siap dijadikan dermaga untuk singgah. Singgah yang sesungguhnya atau sekadar mampir dalam sekejap. Semuanya sudah Gema susun begitu Alara Senja hadir di hadapannya.

Pada hari di kala Alara Senja menyambangi ruangannya, menawarkan sebuah perjanjian konyol terlebih membawa telapak tangan Gema untuk menikmati payudaranya yang sekal. Pikiran Gema berantakan. Semua yang di usahakan untuk penyembuhan hatinya terasa sia-sia. Alara menjungkirbalikkan semua pendiriannya. Membelokkan pikirannya yang terpatok bahwa sebuah hubungan tidaklah penting.

Ini lucu. Boleh tidak, ya, Gema katai Alara sebagai bocah? Yang bermasalah sungguh hati Gema. Yang tidak sehat juga otaknya.

“Abang nggak makan?”

Suara Alara menyeret Gema. Dan perempuan muda itu dengan santai menyuap nasi gorengnya lebar-lebar. Matanya fokus menatap layar ponsel dengan bahasa asing.

“Drama muluk!”

“Sirik!”

Baru Gema ketahui sifat dan sikap Alara yang kasar serta sarkas. Tapi entah kenapa Gema suka. Alara blak-blakan dan tidak neko-neko. Alara apa adanya dan tidak peduli pada sekitar. Acuh pada tiap gunjingan yang menyapa telinganya dan berlagak jikalau ‘inilah hidupnya. Miliknya dan menikmati’.

Seperti cara demikian yang selama ini Gema cari. Dulu—jika Gema diizinkan membandingkan—mantan istrinya terlalu suka mendengarkan pendapat orang. Sehingga apa yang Gema katakan menjadi tidak berarti apa-apa. Itu juga yang menyulut sumbu perceraian terjadi karena Gema tidak dihargai posisinya sebagai suami.

Pernah Gema dengar, setinggi apa pun seorang istri dalam berpendidikan dan memiliki posisi jabatan lebih dari suaminya, tetap harus patuh pada titah suami.

Dan kini, itu Gema dapati ada dalam diri Alara Senja. Perempuan itu benar-benar menjadi dirinya sendiri di samping tergerus semua rasa percaya dirinya.

“Nggak bagus juga makan sama mainin hp tuh.”

“Cerewet!”

Tangan Gema terulur mengusap kepala Alara yang membuat perempuan cantik itu menegang di tempatnya. Dan memekik setelahnya.

“Enak nggak nasi gorengnya?”

“Edan! Sakit anjir.” Misuh Alara. Hendak membalas namun kalah gesit dari pergerakan Gema.

Lelaki itu sungguh sesuatu sekali. Membuat Alara dugun-dugun dalam sekejap dan detik berikutnya kesal maksimal. Memang nggak punya akhlak makanya damagenya nggak kaleng-kaleng.

“Mulut kamu aslinya enak buat di kecup-kecup. Makin kamu mengumpat, makin pengen Abang kecupi.”

Horor sekali Gema ini. Wajah Alara berubah panas dalam hitungan detik. Di jamin, kepiting rebus di pipinya sudah merah tidak terkira.

“Apaan, sih!” Sentaknya melepas cekalan tangan Gema.

Tangannya mengaduk-aduk sisa nasi goreng di atas piringnya. Dengan otak traveling ke mana-mana. Wah, sudah berapa kali, ya, mereka berciuman? Sekali? Dua kali? Ah, entahlah. Alara malu dengan estetik.

“Langsung praktik saja yuk. Kamu kalau ngebayangin kayak gitu mukanya bikin nggak nahan pengen Abang kekepin.” Gila! Ini namanya ngegas langsung. “Lagian Ra …” Gema telan nasinya bulat-bulat. “Abang lihat banyak yang naksir kamu. Kenapa nggak di terima? Terus yang bikin abang heran, kamu kenapa milih abang—bukan deh, ge-er banget kedengarannya—”

“Cakep!” Seloroh Alara menjawab diikuti jempolnya yang teracung ke wajah Gema.

“Kamu minta abang buat tinggal bareng kayak suami istri? Kamu ada masalah sama keluarga atau ada kendala lainnya di luar kampus dan kerjaan?”

Mati! Alara mau pingsan detik itu juga. Matanya mengerjap tidak percaya pada pertanyaan yang Bahtiar Gema ajukan.

“Gimana, ya, bang.” Diam saja bukan solusi. Baiknya Alara jawab sebisa dirinya. “Aku suka duda.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status