Share

Bab 4

Tidak hanya merayakan kebahagiaan atas ‘jadian’ bersama orang yang kita idam-idamkan. Patah hati pun wajib di rayakan bagi para perempuan barangkali—sebenarnya—hari sedang merasakan kehilangan. Teruntuk hari ini saja. Usai itu, kita harus bangkit menuju perubahan yang lebih baik dan nyata.

Coba pahami sejenak.

Mungkin kamu hanya kehilangan dia yang kamu sayangi. Tetapi dia kehilangan kamu seseorang yang mencintai dengan ketulusan. Dan cintamu terlalu baik untuk tidak dihargai. Jadi tidak apa-apa jika mengambil langkah ini dan mengklaim patah hati karena itu memang perlu. Seseorang sebelum menuju puncaknya, akan melakukan segala cara guna bisa mencapai tujuannya.

Patah hati ini akan mengajarkan kamu bahwa jangan sampai kamu dan harga dirimu tidak dihargai hanya karena dia meninggalkanmu begitu saja. Terlebih sisa luka yang masih melekat. Memberikan bekas yang tak kunjung luntur meski waktu terus melaju. Tidak apa-apa—sekali lagi kuatkan hatimu. Semuanya akan baik-baik saja dan percayalah tidak akan ada hal-hal buruk yang akan mengkhianati setiap perjuanganmu.

Cara cinta bekerja juga demikian. Selama kamu mencintai dengan hati yang baik dan benar maka akan ada pelukan yang baik pula untuk cintamu. Hadiah terbaik kadang kala di dapatkan dari sesuatu yang penuh dengan tangis. Jadi, menangislah untuk sejenak. Anggap bahwa itu mampu melegakan rongga dadamu yang sempat menyempit. Sebab di dunia ini, tidak ada satu orang pun yang benar-benar siap untuk sebuah kehilangan.

Tetapi, berjanji pada diri sendiri untuk kembali menjadi kamu, diri sendiri. Kamu yang berbahagia. Kamu yang baik. Kamu yang tulus. Janji Tuhan adalah, usai badai berlalu akan hadir kebahagiaan yang memelukmu seperti yang kamu inginkan.

Dan Alara mulai bimbang dengan keputusan yang telah di buatnya. Sampai di jalan ini keinginan untuk berbalik dan meninggalkan langkahnya yang sudah sepadan dengan Bahtiar Gema. Tapi lelaki itu sangat egois di mata Alara. Atau hanya Alara yang menganggap perjanjian ini dengan serius?

Pertama, Alara salah menilai Gema. Yang dalam bayangannya adalah bagaimana kelamnya kehidupan lelaki itu di masa dulu sehingga memiliki status yang ganjil seperti ini. Berubah menjadi ketidaknyamanan. Tidak tahu di mulai dari mana. Pastinya, Alara enggan berurusan dengan Gema. Sayangnya tidak bisa. Saat semua barang-barangnya telah keluar dari kamar kostnya dan tubuh tegap Gema menghadang pintu. Alara hanya pasrah.

Kedua, bukan hanya Gema yang bermasa lalu buruk. Alara … jauh lebih memiliki itu sehingga ketakutan dalam dirinya menjalin hubungan penuh komitmen menjadi momok tak berujung. Setelah topik pandangan perawan dan tidaknya seorang perempuan di mata Gema dan lelaki itu menjawab demikian, hasrat Alara kocar-kacir. Tidak ada lagi gairah baginya meneruskan perjanjian ini. Namun lagi-lagi, mulutnya bungkam seribu bahasa.

Dan terakhir, Alara butuh tidur. Di saat Gema menampakkan sisi lain di dirinya yang selama ini sangat tenang dan dingin tak tersentuh. Faktanya, lelaki itu cerewet dan doyan mencari bahasan. Sedang Alara hanya menanggapi dengan dehaman dan mata yang berpencar menghitung lalu lalang kendaraan di luar sana.

Kini, Alara pahami. Satu hal yang selalu orang-orang katakan bahwa katanya, terkadang, apa yang kita kejar justru kerap menghindar. Yang di usahakan mati-matian sering mengecewakan. Yang sudah tidak dicari malah datang kembali—untuk ini belum sepenuhnya Alara temukan artinya. Tapi cara kerja dunia yang seringnya bercanda, memang mengetuk kewarasannya.

Dulu, pertama kali melihat Gema. Mata Alara benar-benar tersihir oleh pesona lelaki duda itu. Kepalanya terisi penuh oleh wajah Gema yang menawan. Detak jantungnya tidak karuan. Wajahnya memanas tanpa alasan yang jelas hanya karena melihat Gema. Hanya dengan mamandang saja, ada sesuatu yang lainnya yang berpusat di dirinya untuk meminta lebih. Aneh, kan?

Tidak aneh juga. Mungkin karena Alara sudah ikhlas sepenuhnya untuk masa lalunya yang buruk. Dan seakan paham dengan apa yang Gema lalui, Alara datang sebagai pahlawan kesiangan. Yang punya tujuan menutupi lukanya. Sayang, malah kebimbangan yang Lara dapatkan.

Sekarang, tahu bagaimana Gema, Alara menyesal. Paham seperti apa cara pikirnya, Alara merasa ini bukan pilihan tepat yang inginnya mundur pun percuma. Tidak ada pilihan, itu yang rungsing di hati Lara. Mundur, sudah pasti artinya menerima apa yang orangtuanya sodorkan. Lalu melihat kemesraan adiknya dengan sang suami—mantan Alara sendiri—diam-diam hati Lara tersiksa. Patah hati berkepanjangan yang pernah menaungi hidupnya mencuat.

Uhh, nggak mau patah hati lagi. Lara kapok sekali.

“Wanita ribet banget!” Misuh Alara dengan bisikan. Yang di tangkap jelas oleh rungu Gema. “Nyusahin diri sendiri,” sambungnya.

Gema melirik. Yang terlihat hanyalah kedua mata Alara yang terpejam dengan bibir mengerucut ke depan. Sejak awal pun Gema terheran-heran. Apa yang salah dengan perempuan ini sebenarnya. Sampai menghampiri dirinya dan menawarkan perjanjian setan seperti ini. Gema tidak munafik. Dirinya lelaki normal berstatus lajang. Terlebih status duda yang tidak bisa terelakkan. Kadang kala, ada secuil impian untuk Gema merasakan indahnya rumah tangga kembali. Tapi sikapnya yang berengsek mendepak mundur semua keinginannya.

“Yang bikin ribet itu diri kamu sendiri.”

“Memang.”

“Kalau sudah tahu kenapa misuh-misuh?”

“Nggak ada urusannya sama bapak.”

“Ada.”

Kelopak mata Alara terbuka. Embusan napasnya kasar. Mendengus tidak suka dengan tatapan tajam yang… kosong. Ada apa, sih? Gema tidak paham dengan isi otak perempuan selain nikmat untuk dirasai.

“Bapak cerewet.”

“Kamu mau mundur?” Telak. Tepat sasaran. Alara menegang dan itu terekam jelas di mata Gema. Oke, jadi ini masalahnya. Menepikan mobilnya, napas Gema gusar kala meraup udara. “Kita bisa batalin itu. Nggak ada konsekuensi yang merugikan—”

“Enggak! Jangan.” Gimana, sih mulutnya ini? Tadi pengen berhenti, giliran kesempatan datang, Alara malah menolaknya. Sialan memang. “Saya cuma capek.”

“Kamu mulai lagi.” Gema lanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Lelaki itu tidak suka membuang-buang waktu. Baginya, tiap detiknya sangat berharga. “Kita nggak lagi di lingkungan kantor dan sekali pun iya, panggilan bapak sudah nggak berlaku lagi.”

Sebenarnya Gema bukan tipe orang yang mudah melepaskan. Tidak tahu kenapa semakin hari perasaannya terhadap Alara samakin membumbung tinggi. Yang awalnya dengan songong Gema serukan ‘tidak mungkin’ dan ‘jangan pernah’. Kini berbalik menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Serius, eksistensi Lara tidak bisa dikatakan sepele. Perempuan itu sudah memengaruhi lubuk jiwanya.

“Kok gitu?” Protes Alara. Ia hanya ingin profesional dan bisa menempatkan di mana posisinya berada.

“Kamu mengalihkan pembicaraan. Ada masalah, ngomong. Jangan kamu lempar sesuka hati. Aku nggak pintar nebak pikiran cewek.”

Simpel saja. Katakan apa yang memang ingin di katakan. Agar tidak terjadi perselisihan bernama salah paham. Namun sering kali perempuan juga tidak mau berpikiran terbuka. Seolah mulut mereka tercipta untuk fungsi yang lainnya.

“Bapak bukan master yang harus baca pikiran orang.”

“Itu kamu tahu. Jadi, Lara … rubah panggilannya atau aku lucuti kamu di sini, sekarang, detik ini juga.”

“Bapak—ya?! Kok mesum, sih?”

Baru tahu, ya? Begitu kekehan Gema dalam hati. Yang sedetik langsung berganti dengan bahu yang mengedik tak peduli.

“Kamu lebih dari itu. Menawarkan diri untuk aku tiduri, apa namanya jika bukan—”

“OKE. SKIP!”

Sialan sekali memang. Perempuan suka membuat sesuatu yang mudah menjadi rumit. Itu tuh musuhnya diri sendiri. Damage ujian untuk perempuan memang nggak kaleng-kaleng. Datangnya dari diri sendiri yang sulit untuk di kendalikan. Kerapnya berubah-ubah menjadi prasangka-prasangka yang buruk diikuti ketakutan-ketakutan yang tidak pasti. Heran tidak heran jika perempuan banyak yang merasakan depresi sebab memang musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri.

Alara juga merasakan hal yang demikian. Sedetik yang lalu perasaannya amburadul. Mendengar ucapan Gema perihal kondisi keperawanan seorang perempuan. Sedang Alara memiliki penilaian yang lebih jeli mengenai hal tersebut. Tapi tantangan Gema soal ‘berhenti’ mendadak sangat menakutkan di rungunya. Hatinya teremas, pikirannya buyar. Seperti ingin melepas namun enggan kehilangan. Hati … kenapa kamu berdrama. Alara meratap. Jika sudah begitu ya sudahlah.

Bagaimana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status