Tidak hanya merayakan kebahagiaan atas ‘jadian’ bersama orang yang kita idam-idamkan. Patah hati pun wajib di rayakan bagi para perempuan barangkali—sebenarnya—hari sedang merasakan kehilangan. Teruntuk hari ini saja. Usai itu, kita harus bangkit menuju perubahan yang lebih baik dan nyata.
Coba pahami sejenak.Mungkin kamu hanya kehilangan dia yang kamu sayangi. Tetapi dia kehilangan kamu seseorang yang mencintai dengan ketulusan. Dan cintamu terlalu baik untuk tidak dihargai. Jadi tidak apa-apa jika mengambil langkah ini dan mengklaim patah hati karena itu memang perlu. Seseorang sebelum menuju puncaknya, akan melakukan segala cara guna bisa mencapai tujuannya.Patah hati ini akan mengajarkan kamu bahwa jangan sampai kamu dan harga dirimu tidak dihargai hanya karena dia meninggalkanmu begitu saja. Terlebih sisa luka yang masih melekat. Memberikan bekas yang tak kunjung luntur meski waktu terus melaju. Tidak apa-apa—sekali lagi kuatkan hatimu. Semuanya akan baik-baik saja dan percayalah tidak akan ada hal-hal buruk yang akan mengkhianati setiap perjuanganmu.Cara cinta bekerja juga demikian. Selama kamu mencintai dengan hati yang baik dan benar maka akan ada pelukan yang baik pula untuk cintamu. Hadiah terbaik kadang kala di dapatkan dari sesuatu yang penuh dengan tangis. Jadi, menangislah untuk sejenak. Anggap bahwa itu mampu melegakan rongga dadamu yang sempat menyempit. Sebab di dunia ini, tidak ada satu orang pun yang benar-benar siap untuk sebuah kehilangan.Tetapi, berjanji pada diri sendiri untuk kembali menjadi kamu, diri sendiri. Kamu yang berbahagia. Kamu yang baik. Kamu yang tulus. Janji Tuhan adalah, usai badai berlalu akan hadir kebahagiaan yang memelukmu seperti yang kamu inginkan.Dan Alara mulai bimbang dengan keputusan yang telah di buatnya. Sampai di jalan ini keinginan untuk berbalik dan meninggalkan langkahnya yang sudah sepadan dengan Bahtiar Gema. Tapi lelaki itu sangat egois di mata Alara. Atau hanya Alara yang menganggap perjanjian ini dengan serius?Pertama, Alara salah menilai Gema. Yang dalam bayangannya adalah bagaimana kelamnya kehidupan lelaki itu di masa dulu sehingga memiliki status yang ganjil seperti ini. Berubah menjadi ketidaknyamanan. Tidak tahu di mulai dari mana. Pastinya, Alara enggan berurusan dengan Gema. Sayangnya tidak bisa. Saat semua barang-barangnya telah keluar dari kamar kostnya dan tubuh tegap Gema menghadang pintu. Alara hanya pasrah.Kedua, bukan hanya Gema yang bermasa lalu buruk. Alara … jauh lebih memiliki itu sehingga ketakutan dalam dirinya menjalin hubungan penuh komitmen menjadi momok tak berujung. Setelah topik pandangan perawan dan tidaknya seorang perempuan di mata Gema dan lelaki itu menjawab demikian, hasrat Alara kocar-kacir. Tidak ada lagi gairah baginya meneruskan perjanjian ini. Namun lagi-lagi, mulutnya bungkam seribu bahasa.Dan terakhir, Alara butuh tidur. Di saat Gema menampakkan sisi lain di dirinya yang selama ini sangat tenang dan dingin tak tersentuh. Faktanya, lelaki itu cerewet dan doyan mencari bahasan. Sedang Alara hanya menanggapi dengan dehaman dan mata yang berpencar menghitung lalu lalang kendaraan di luar sana.Kini, Alara pahami. Satu hal yang selalu orang-orang katakan bahwa katanya, terkadang, apa yang kita kejar justru kerap menghindar. Yang di usahakan mati-matian sering mengecewakan. Yang sudah tidak dicari malah datang kembali—untuk ini belum sepenuhnya Alara temukan artinya. Tapi cara kerja dunia yang seringnya bercanda, memang mengetuk kewarasannya.Dulu, pertama kali melihat Gema. Mata Alara benar-benar tersihir oleh pesona lelaki duda itu. Kepalanya terisi penuh oleh wajah Gema yang menawan. Detak jantungnya tidak karuan. Wajahnya memanas tanpa alasan yang jelas hanya karena melihat Gema. Hanya dengan mamandang saja, ada sesuatu yang lainnya yang berpusat di dirinya untuk meminta lebih. Aneh, kan?Tidak aneh juga. Mungkin karena Alara sudah ikhlas sepenuhnya untuk masa lalunya yang buruk. Dan seakan paham dengan apa yang Gema lalui, Alara datang sebagai pahlawan kesiangan. Yang punya tujuan menutupi lukanya. Sayang, malah kebimbangan yang Lara dapatkan.Sekarang, tahu bagaimana Gema, Alara menyesal. Paham seperti apa cara pikirnya, Alara merasa ini bukan pilihan tepat yang inginnya mundur pun percuma. Tidak ada pilihan, itu yang rungsing di hati Lara. Mundur, sudah pasti artinya menerima apa yang orangtuanya sodorkan. Lalu melihat kemesraan adiknya dengan sang suami—mantan Alara sendiri—diam-diam hati Lara tersiksa. Patah hati berkepanjangan yang pernah menaungi hidupnya mencuat.Uhh, nggak mau patah hati lagi. Lara kapok sekali.“Wanita ribet banget!” Misuh Alara dengan bisikan. Yang di tangkap jelas oleh rungu Gema. “Nyusahin diri sendiri,” sambungnya.Gema melirik. Yang terlihat hanyalah kedua mata Alara yang terpejam dengan bibir mengerucut ke depan. Sejak awal pun Gema terheran-heran. Apa yang salah dengan perempuan ini sebenarnya. Sampai menghampiri dirinya dan menawarkan perjanjian setan seperti ini. Gema tidak munafik. Dirinya lelaki normal berstatus lajang. Terlebih status duda yang tidak bisa terelakkan. Kadang kala, ada secuil impian untuk Gema merasakan indahnya rumah tangga kembali. Tapi sikapnya yang berengsek mendepak mundur semua keinginannya.“Yang bikin ribet itu diri kamu sendiri.”“Memang.”“Kalau sudah tahu kenapa misuh-misuh?”“Nggak ada urusannya sama bapak.”“Ada.”Kelopak mata Alara terbuka. Embusan napasnya kasar. Mendengus tidak suka dengan tatapan tajam yang… kosong. Ada apa, sih? Gema tidak paham dengan isi otak perempuan selain nikmat untuk dirasai.“Bapak cerewet.”“Kamu mau mundur?” Telak. Tepat sasaran. Alara menegang dan itu terekam jelas di mata Gema. Oke, jadi ini masalahnya. Menepikan mobilnya, napas Gema gusar kala meraup udara. “Kita bisa batalin itu. Nggak ada konsekuensi yang merugikan—”“Enggak! Jangan.” Gimana, sih mulutnya ini? Tadi pengen berhenti, giliran kesempatan datang, Alara malah menolaknya. Sialan memang. “Saya cuma capek.”“Kamu mulai lagi.” Gema lanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Lelaki itu tidak suka membuang-buang waktu. Baginya, tiap detiknya sangat berharga. “Kita nggak lagi di lingkungan kantor dan sekali pun iya, panggilan bapak sudah nggak berlaku lagi.”Sebenarnya Gema bukan tipe orang yang mudah melepaskan. Tidak tahu kenapa semakin hari perasaannya terhadap Alara samakin membumbung tinggi. Yang awalnya dengan songong Gema serukan ‘tidak mungkin’ dan ‘jangan pernah’. Kini berbalik menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Serius, eksistensi Lara tidak bisa dikatakan sepele. Perempuan itu sudah memengaruhi lubuk jiwanya.“Kok gitu?” Protes Alara. Ia hanya ingin profesional dan bisa menempatkan di mana posisinya berada.“Kamu mengalihkan pembicaraan. Ada masalah, ngomong. Jangan kamu lempar sesuka hati. Aku nggak pintar nebak pikiran cewek.”Simpel saja. Katakan apa yang memang ingin di katakan. Agar tidak terjadi perselisihan bernama salah paham. Namun sering kali perempuan juga tidak mau berpikiran terbuka. Seolah mulut mereka tercipta untuk fungsi yang lainnya.“Bapak bukan master yang harus baca pikiran orang.”“Itu kamu tahu. Jadi, Lara … rubah panggilannya atau aku lucuti kamu di sini, sekarang, detik ini juga.”“Bapak—ya?! Kok mesum, sih?”Baru tahu, ya? Begitu kekehan Gema dalam hati. Yang sedetik langsung berganti dengan bahu yang mengedik tak peduli.“Kamu lebih dari itu. Menawarkan diri untuk aku tiduri, apa namanya jika bukan—”“OKE. SKIP!”Sialan sekali memang. Perempuan suka membuat sesuatu yang mudah menjadi rumit. Itu tuh musuhnya diri sendiri. Damage ujian untuk perempuan memang nggak kaleng-kaleng. Datangnya dari diri sendiri yang sulit untuk di kendalikan. Kerapnya berubah-ubah menjadi prasangka-prasangka yang buruk diikuti ketakutan-ketakutan yang tidak pasti. Heran tidak heran jika perempuan banyak yang merasakan depresi sebab memang musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri.Alara juga merasakan hal yang demikian. Sedetik yang lalu perasaannya amburadul. Mendengar ucapan Gema perihal kondisi keperawanan seorang perempuan. Sedang Alara memiliki penilaian yang lebih jeli mengenai hal tersebut. Tapi tantangan Gema soal ‘berhenti’ mendadak sangat menakutkan di rungunya. Hatinya teremas, pikirannya buyar. Seperti ingin melepas namun enggan kehilangan. Hati … kenapa kamu berdrama. Alara meratap. Jika sudah begitu ya sudahlah.Bagaimana?Ini sih namanya Alara mengumpankan dirinya sendiri untuk dijadikan tumbal. Sudah tahu Bahtiar Gema sangat tidak tahu diri. Tetap saja hatinya berpihak ke sana untuk menggapai lelaki duda itu. Padahal tidak mungkin. Tidak akan pernah. Jangan ngarep!Gaungan semacam itu juga tidak berguna. Tidak mempan bagi hatinya yang sudah bebal. Memang ya, sekali bodoh tetap bodoh. Dan ngomong sama orang bodoh, ya capek. Hanya di dengarkan tapi tidak di praktikkan.Begini penjelasan yang akan kita kupas di bab ini.Di luar sana, banyak wanita yang sanggup dan mampu menerima masa lalu prianya. Sedangkan pria menganggap mudah soal masa lalunya dan mengatakan seburuk apa pun mereka dulu, tidak akan ada pengurangan baginya. Sangat berbeda dengan wanita, kan? Mau protes kalau ini tidak adil juga rasanya percuma. Karena wanita … jika mahkotanya sudah jatuh, maka ia bukan ratu lagi. Wanita adalah insan yang sangat istimewa dan teramat indah dimata pria. Maka ketika ia ternoda, keindahannya sirna.Tidak he
Bahtiar Gema kembali ke keluarganya di hari sabtu dan minggu. Itu hari khusus untuk dirinya menikmati quality time. Yang tidak mau diganggu gugat apa lagi di riwehkan oleh tetek bengek pekerjaan. Maka seluruh aktivitas dan komunikasi yang bersangkutan dengan masalah para klien, akan langsung menghubungi asistennya—Alara Senja.Dan ngomong-ngomong perihal Alara, perempuan itu sangat eksotis di mata dan merasuk dalam pikiran Gema. Gila, sih. Gema bahkan tidak percaya sama sekali. Perempuan seperti Alara—“Om.” Panggilan dari arah sampingnya menyeret Gema dari lamunnya. “Di panggil nenek.”Kepala Gema terangguk dan lekas beranjak setelah mengelus puncak kepala sang ponakan. Langkah kakinya sedikit berat. Berurusan dengan mamanya bukan hal yang pelik—sebenarnya—jika bukan pertanyaan semacam: cucu mama mana?Aduh! Minta cucu seperti beli gula-gula di pasar malam sebelah lapangan komplek rumahnya sana. Tinggal bilang dan menagih. “Ma.” Gema mendekat. Duduk di samping sang mama. Gazebo bela
Mata Alara mengerjap. Ini sudah lewat dari beberapa hari usai ciuman itu terajut. Sayangnya, semua yang terjadi di hari itu masih sangat membekas di memori Alara. Terlebih ucapan Gema yang tak Alara pahami maksudnya. Sama sekali Alara bodoh. Mirip keledai dungu yang di cucuk induknya. “Baju Abang mana?”Tersentak kaget dari lamunannya. Segera Alara mendekat ke pintu kamar mandi di mana kepala Gema menyembul. Dapat di pastikan, di balik pintu putih itu, tubuh Gema polos total. Dan entah mengapa, otak Alara traveling ke berbagai tempat di neraka.“Aku sudah masakin pesanan abang.”“Oke. Bentar lagi turun. Sama sambalnya juga, kan?” Kepala Alara mengangguk dan bergegas lari. Matanya melihat sesuatu yang yahud. Yang sebenarnya sah-sah saja karena mereka punya perjanjian untuk ‘memegang satu sama lain’. Yang artinya, Alara milik Gema dan Gema milik Alara. Itu mutlak dan paten tak terbantahkan.Mendadak Alara ingin mengumpati dirinya sendiri. Bisa-bisanya punya perasaan lebih atas apa yan
Gema pelajari materi yang di kirimkan Alara lewat emailnya. Sesekali kedua matanya melirik ke arah sudut ruangan di mana eksistensi Alara sangat fokus membolak-balikkan kertas berkas yang bertumpuk. Segaris senyum Gema tunjukkan—samar. Belum pernah Gema rasakan bahagia sedamai hatinya saat ini. Jika harus meraba, ada titik perbedaan antara jatuh cintanya yang dulu atau yang sekarang dengan banyak wanita di luaran sana.Keluarganya begitu gigih mengharapkan Gema menikah lagi. Dengan alasan untuk jangan sendirian karena itu menyakitkan. Tapi sekeras kepala itu Gema menolak berdalih trauma yang terus mengitari. Hingga Gema manfaatkan banyak waktu untuk bersenang-senang sebagai alasan. Siapa yang ingin menyangka jika kehadiran Alara cukup menyita waktunya?Bahkan hatinya sudah tidak bisa Gema tanyakan kabarnya. Semuanya terasa benar dan memang ini yang harus Gema lalui. Tapi melihat Alara yang begitu gigih dengan perjanjian yang diajukan, Gema penasaran. Ada kisah apa di balik mata canti
Bahtiar Gema bukan ingin bersikap kepo. Tahu batasannya dan sadar ada sekat yang selalu Alara Senja ciptakan. Entah apa itu, tapi menemukan sebuah buku catatan yang tersembunyi, jiwa Gema menggelora. Meronta ingin tahu dan tangannya bergerak cepat membolak-balikkan halaman per halaman.Di awali dengan:‘Sejak kamu pergi, aku hampir lupa caranya untuk membuka hati kembali. Tanpamu, aku merasa sepi. Mungkin ini terlihat kekanak-kanakan. Tapi begitulah adanya. Kamu yang dulunya menjadi tujuanku untuk menggapai sesuatu. Sekarang, kamu sudah tak ada lagi. Sekarang, aku hanya berkawan dengan luka-luka dan kesunyian.’Baik. Gema menghela napas perlahan. Tahu bahwa isi dalam coretan tangan itu banyak dirinya temukan berlalu lalang di dunia maya. Tapi seakan-akan memang sangat pas di kehidupan yang saat ini Alara jalani. Sebenarnya, tujuan macam apa yang sedang diraihnya sehingga kehilangan mampu membuatnya terpuruk?Pergi yang dimaksud juga ke manakah itu?Kenapa hal sesederhana ini tidak bis
Alara Senja tidak punya jalan putar balik. Di saat Bahtiar Gema kian hari kian gencar menggempurnya dengan teror pernikahan. Untungnya nih untungnya. Belum Alara beri jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Tidak ada penolakan atau pun penerimaan. Untungnya lagi, Alara suka membaca quotes untuk bisa merasuk ke dalam pikirannya dan bisa mengambil tindakan tepat.Seperti ini kira-kira:Jangan buru-buru jatuh cinta. Dalam hati saja Alara berkata begitu.Apa Alara bilang. Jangan buru-buru makanya jangan memberi kendor untuk Gema terus mengejarnya. Sekarang saja, ada cek-cok yang terjadi di dalam sana. Alara sampai urung untuk masuk padahal ada berkas klien yang harus segera dirinya kirimkan untuk di entry ke Pengadilan.“Tapi hasilnya positif! Siapa yang harus aku mintai tanggungjawab?” Lengkingan seorang wanita yang tidak Alara ketahui berapa umurnya atau siapa namanya karena itu tidak penting baginya. Tapi bikin merinding disko.“Aku mainnya aman.” Yang ini suara Gema. Terdengar santai tanpa urat. T
Gurat lelah jelas tercetak di wajah Bahtiar Gema. Matanya yang sayu cukup menjelaskan seberapa banyak beban yang di tanggungnya. Alara diam. Tidak meluncurkan tanya dan hanya membiarkan gesekan wajah Gema di dadanya. Akhir-akhir ini sikap manjanya kentara di perlihatkan. Atau memang Alara baru tahu jika Bahtiar Gema punya tabiat begini?“Abang, kan bungsu.” Ucapan Gema menjawab pikiran Alara. “Manja sudah jadi makanan abang di rumah. Sehari-hari di perlakukan kayak bayi.”“Memang iya, kan.”“Sembarangan!”Helaan napas Alara terdengar. Terkekeh sebentar dan menjawab, “Abang memang bayi. Kalau bukan, nggak mungkin ndusel-ndusel di dada aku nyari sumber kehidupan.”“Empuk, sih.” Dan berlanjut saja aktivitas yang semestinya memang terjadi. Ini terbilang cukup lama dari keduanya tinggal bersama. Selama ini yang berlangsung hanyalah sentuhan kulit biasa semacam ciuman dan cumbuan. Baik Alara maupun Gema, sama-sama menikmati.“Yang datang ke kantor siang tadi …” Gema menjeda dan memasukkan
Alara selalu dianggap mampu oleh kedua orangtuanya. Sudah dewasa dan mampu mengatasi segala urusannya sendiri. Tidak kekurangan karena mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Tidak butuh sandaran karena mampu bangkit berdiri untuk tetap bertahan sejauh apa pun pijakannya.Yang tidak pernah di ketahui oleh orangtuanya hanyalah betapa rapuhnya Alara oleh timpaan kehidupan. Seberapa sulitnya bertahan meski sudah di jatuhkan berkali-kali. Susahnya untuk bangkit meski hati tak berbentuk lagi.Mereka lupa bahwa Alara Senja tetaplah seorang anak yang memiliki kelemahan dan butuh perlindungan. Alara Senja tetaplah manusia lemah yang butuh perlindungan di saat masalah datang menyapa. Dan Alara Senja lebih dari butuh di dengarkan bersama dengan pelukan. Mereka lupa akan peran yang sesungguhnya hanya dengan melihat ‘semampu’ itu Alara Senja dalam menerima kehidupan. Bukan ingin negatif tapi pemikiran ‘di bedakan’ sudah sangat kentara terlihat walau selalu di sangkalnya. Entah mengapa Alara b