Bahtiar Gema bukan ingin bersikap kepo. Tahu batasannya dan sadar ada sekat yang selalu Alara Senja ciptakan. Entah apa itu, tapi menemukan sebuah buku catatan yang tersembunyi, jiwa Gema menggelora. Meronta ingin tahu dan tangannya bergerak cepat membolak-balikkan halaman per halaman.Di awali dengan:‘Sejak kamu pergi, aku hampir lupa caranya untuk membuka hati kembali. Tanpamu, aku merasa sepi. Mungkin ini terlihat kekanak-kanakan. Tapi begitulah adanya. Kamu yang dulunya menjadi tujuanku untuk menggapai sesuatu. Sekarang, kamu sudah tak ada lagi. Sekarang, aku hanya berkawan dengan luka-luka dan kesunyian.’Baik. Gema menghela napas perlahan. Tahu bahwa isi dalam coretan tangan itu banyak dirinya temukan berlalu lalang di dunia maya. Tapi seakan-akan memang sangat pas di kehidupan yang saat ini Alara jalani. Sebenarnya, tujuan macam apa yang sedang diraihnya sehingga kehilangan mampu membuatnya terpuruk?Pergi yang dimaksud juga ke manakah itu?Kenapa hal sesederhana ini tidak bis
Alara Senja tidak punya jalan putar balik. Di saat Bahtiar Gema kian hari kian gencar menggempurnya dengan teror pernikahan. Untungnya nih untungnya. Belum Alara beri jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Tidak ada penolakan atau pun penerimaan. Untungnya lagi, Alara suka membaca quotes untuk bisa merasuk ke dalam pikirannya dan bisa mengambil tindakan tepat.Seperti ini kira-kira:Jangan buru-buru jatuh cinta. Dalam hati saja Alara berkata begitu.Apa Alara bilang. Jangan buru-buru makanya jangan memberi kendor untuk Gema terus mengejarnya. Sekarang saja, ada cek-cok yang terjadi di dalam sana. Alara sampai urung untuk masuk padahal ada berkas klien yang harus segera dirinya kirimkan untuk di entry ke Pengadilan.“Tapi hasilnya positif! Siapa yang harus aku mintai tanggungjawab?” Lengkingan seorang wanita yang tidak Alara ketahui berapa umurnya atau siapa namanya karena itu tidak penting baginya. Tapi bikin merinding disko.“Aku mainnya aman.” Yang ini suara Gema. Terdengar santai tanpa urat. T
Gurat lelah jelas tercetak di wajah Bahtiar Gema. Matanya yang sayu cukup menjelaskan seberapa banyak beban yang di tanggungnya. Alara diam. Tidak meluncurkan tanya dan hanya membiarkan gesekan wajah Gema di dadanya. Akhir-akhir ini sikap manjanya kentara di perlihatkan. Atau memang Alara baru tahu jika Bahtiar Gema punya tabiat begini?“Abang, kan bungsu.” Ucapan Gema menjawab pikiran Alara. “Manja sudah jadi makanan abang di rumah. Sehari-hari di perlakukan kayak bayi.”“Memang iya, kan.”“Sembarangan!”Helaan napas Alara terdengar. Terkekeh sebentar dan menjawab, “Abang memang bayi. Kalau bukan, nggak mungkin ndusel-ndusel di dada aku nyari sumber kehidupan.”“Empuk, sih.” Dan berlanjut saja aktivitas yang semestinya memang terjadi. Ini terbilang cukup lama dari keduanya tinggal bersama. Selama ini yang berlangsung hanyalah sentuhan kulit biasa semacam ciuman dan cumbuan. Baik Alara maupun Gema, sama-sama menikmati.“Yang datang ke kantor siang tadi …” Gema menjeda dan memasukkan
Alara selalu dianggap mampu oleh kedua orangtuanya. Sudah dewasa dan mampu mengatasi segala urusannya sendiri. Tidak kekurangan karena mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Tidak butuh sandaran karena mampu bangkit berdiri untuk tetap bertahan sejauh apa pun pijakannya.Yang tidak pernah di ketahui oleh orangtuanya hanyalah betapa rapuhnya Alara oleh timpaan kehidupan. Seberapa sulitnya bertahan meski sudah di jatuhkan berkali-kali. Susahnya untuk bangkit meski hati tak berbentuk lagi.Mereka lupa bahwa Alara Senja tetaplah seorang anak yang memiliki kelemahan dan butuh perlindungan. Alara Senja tetaplah manusia lemah yang butuh perlindungan di saat masalah datang menyapa. Dan Alara Senja lebih dari butuh di dengarkan bersama dengan pelukan. Mereka lupa akan peran yang sesungguhnya hanya dengan melihat ‘semampu’ itu Alara Senja dalam menerima kehidupan. Bukan ingin negatif tapi pemikiran ‘di bedakan’ sudah sangat kentara terlihat walau selalu di sangkalnya. Entah mengapa Alara b
Usai makan siang, di hari Jumat, Gema izin untuk tidak kembali ke kantor. Meninggalkan Lara dengan pekerjaan yang sudah longgar dan membuat perempuan itu leyeh-leyeh. Merdeka sekali rasanya sampai Alara gegulingan di sofa yang biasa Gema gunakan untuk menerima tamunya.Oke, skip soal Alara Senja yang menikmati waktunya. Fokus ke Gema yang sedang berdegup kencang detak jantungnya. Dalam hitungan menit, Gema tarik napas dan di embuskan dengan sangat pelan. Terus begitu sampai berulang-ulang. Sesekali matanya akan melihat spion tengah guna meyakinkan penampilannya jika wajahnya tidak norak-norak amat atau pun kucel. Ini siang hari, harap maklum.“Perasaan dulu mau ngelamar mantan istri nggak gini amat sensasinya?” Gumam Gema yang di jawab suara AC dalam mobilnya. “Gusti.” Sekali lagi berteriak pelan dan mesin mobilnya Gema matikan. Sudah sampai di tempat tujuan.Rumah tujuan yang menjadi sasarannya. Sudah pernah Bahtiar Gema sambangi rumah sederhana ini. Ini ketiga kalinya dan rasanya ma
TikTokMessage:Bapak Negara: Abang hari ini pergi ke luar kota ya, Ra.Luv: Kut.Luv: Kut.Luv: Kut.Luv: Ikut.Luv: Ikut.Luv: Ikut.Adalah balasan Alara yang entah dari mana asalnya membuat Bahtiar Gema tercengang di tempatnya. Maksudnya, Alara tidak pernah bersikap demikian. Yang artinya lagi, itu bukan Alara Senja sekali. Bukan sama sekali. Maka untuk memastikan mesti waktu sudah kian mengejar, Gema sempatkan untuk membalas.Bapak Negara: Kamu kenapa, deh.Luv: Ikut pokoknya. Jemput sekarang aku sudah siap.Ini tidak biasanya. Sungguh luar biasa. Gema sampai menggaruk pelipisnya. Atau bahkan jika bisa ingin menggaruk otaknya yang mendadak gatal.Eh tapi, ada kah yang sadar dengan kontak nama milik Alara di ponsel Gema?Asli, bikin gemas sekali Bund. Abang dudanya sudah dalam mode bucin alias budak cinta akut plus parah. Sejak kapan coba?Aih, ternyata duda pun bisa ya di bikin klepek-klepek. Bapak Negara: Iya oke, Abang jemput sekarang.Sedang Alara di tempatnya sudah bergerak
Alara Senja berada di sisi Bahtiar Gema. Bersama klien yang menceritakan seluruh rangkaian kalimatnya hingga berujung pada proses perceraian. Sulit, Bund. Cuma jadi asistennya saja Alara sudah menemukan banyak kesusahan. Bagaimana dengan Gema yang selalu ekspresif menunjukkan wajah cerahnya padahal lelah maksimal?“Soal gono-gini kemarin, 'kan sudah clear bu. Sudah kita kirimkan lewat email ke Ibu dan tertuang dengan jelas berapa persen jumlahnya dan besarannya untuk di bagi ke anak-anak. Ini agak melanggar aturan sebenarnya. Karena intinya mau di kasih ke anak atau di kelola Ibunya sendiri nantinya memang ada aturannya sendiri. Jadi nggak masalah.”Nyonya Kumala Wijaya namanya. Yang posisinya berada di Bekasi dan mengharuskan Gema serta Lara untuk sampai di sini. Di Bekasi Square sekalian makan siang. Oke, tidak masalah. Toh Alara bisa santai sejenak dan cuci mata meskipun tangan dan otaknya terus bekerja. Mencatat hal-hal penting apa saja untuk di lingkari agar tidak terlewati sebag
Asli Bund, salah. Salah banget.Ngarepin keromantisan kok sama Bahtiar Gema. Di bucinin kagak di bikin dongkol sampai ubun-ubun iya.Ini loh konteks ajakannya kencan. K-E-N-C-A-N. Di bacanya wajib pelan dan di resapi supaya merasuk ke dalam sanubari. Eja satu per satu, Hyung. Biar lidahnya syahdu.Hilih kintil! Praktiknya nggak sama. Nggak sesuai ekspektasi Alara Senja yang kayak contohnya makan di restoran dengan suasana romantis. Diiringi pemain biola dan temaram lampu berhiaskan bunga-bunga mawar merah. Begitu baru benar. Atau yang lebih spesifik adalah satu restoran di booking cuma buat makan salad sayur dan wine merah dengan harga selangit. Ya, gitu tuh bayangan Lara. “Bang … gendong.” Rengek Alara yang sudah engap dengan track jalur menuju ke puncak. Ini bukan jalur pendaki yang sebenar-benarnya kalau mau naik gunung. Murni memang ingin sampai ke puncak dengan rute yang Gema buat memutar.Sayangnya nggak gitu, Beb. Enggak! Sudah mundur saja. Timbang gelinding kayak terenggiling