Aku sengaja tidak bercerita tentang Adisty pada Mas Brian. Menyebalkan, mana ada wanita baik-baik datang hanya untuk meminta suami orang. Kurasa tidak waras dia dan sudah gila menurut aku.Ponselku bergetar saat hendak berberes rumah. Ternyata dari Mas Brian.[Fit, ke kantorku, ya. Kita makan malam. Sebagai permintaan maaf yang kemarin][Oke, Mas]Segera aku merapikan apartemen. Lalu, melipat beberapa baju terlebih dahulu sebelum pergi ke kantor Mas Brian.Ah, makan malam romantis pastinya. Mas Brian tahu aja kalau aku ngambek kemarin. Aku, kan, tidak tahu jalan. Apa aku minta antar Coky saja untuk ke kantor Mas Brian? Pasti dia tidak akan menolak. Segera aku menghubunginya, benar, dia mau mengantarku.Tak lama Coky menelepon dan sudah ada di basemen. Segera aku bergegas turun ke bawah.Aku mencari-cari di mana Coky, netraku menemukan dia di dalam mobil. Tangannya melambai ke arahku."Mobil siapa?" tanyaku heran.Bukan aku merendahkan, setahu aku Coky hanya penyanyi kafe. Eh, tapi dia
Wajah Mas Brian masam saat aku menyebut nama Coky."Mas nggak marah kalau kamu izin.""Iya, darurat, Mas.""Sedarurat apa pun, kamu harus izin suami. Apalagi jalan sama pria lain. Kamu aja Mas sama Adisty marah," ujar Mas Brian.Jadi, dia cemburu pada Coky? Kenapa aku tidak sadar hal ini? Aduh, merasa bersalah banget aku sama Mas Brian.Pria bermata cokelat itu menatap kesal padaku. Aku tahu kesalahan ini memang tidak aku sengaja. Tidak enak kalau diintimidasi seperti ini."Mas, maafin Fitri. Janji nggak akan mengulanginya,” ujarku.Kupeluk ia dari belakang. Hanya cara ini yang bisa aku lakukan untuk meluluhkan hati pria ini. Tuh, dia beneran marah, sampai tidak membalas pelukanku."Mas, udah marahnya."Tiba-tiba dia melepas tanganku dari pinggangnya, lalu berbalik. Mengecup perlahan, hingga membuatku larut dalam permainan bibirnya.Setengah tersengal-sengal aku menarik diri."Makanya jangan nakal, hukuman buat kamu.""Mas, ngambil kesempatan dalam kesempitan.""Biarin, sama istri sen
“Mas, dompet kamu ada di sini?”Dengan getir aku memberikan dompet yang menjadi alasannya pergi. Begitu naif memang, kemarin bicara sudah tidak ingin berhubungan, tetapi aku melihat kembali mereka bersama.“Fitri.” Mas Brian terkejut melihatku datang. Dia mencoba menenangkanku, tapi aku sudah tak ingin mendengar semua ucapannya.“Fit, ini enggak seperti yang kamu bayangin, “ bela Adisty.“Ck! Kalian berdua memang nggak punya malu. Kamu punya istri, Mas. Apa yang kamu pikirkan saat ini dengan memeluk wanita lain. Kamu enggak memikirkan aku, hah?” Napasku terasa berat saat emosi ini begitu memuncak.Mas Brian terus saja meminta aku tenang dan berusaha menjelaskan. Tapi, apa arti semua penjelasan itu jika dia masih bersama dengan wanita itu. Berpelukan di depan aku, bagaimana jika di belakangku. Apa yang mereka lakukan.“Aku hanya ingin menyelesaikan masalah dengan Adisty. Hanya itu, kan, Dis?” Mas Brian terlihat meminta Adisty membelanya.“Iya, harusnya kamu bersyukur memiliki Brian.”M
Ini bukan masalah tidak setia, tapi aku selalu merasa Mas Brian itu seolah-olah mempermainkan aku. Hari ini dia minta maaf, esok kembali melakukan hal yang sama.Aku lelah selalu memaafkan dan tersakiti. Namun, ada benarnya juga perkataan Coky jika aku mengalah dan bercerai, hal itu pun akan membuat aku sakit hati.Aku tersadar dari lamunan saat Coky menjentikkan jari di depan wajahku.“Fix mau cerai?” tanya Coky.“Aku masih bingung.”“Segala sesuatu tidak bisa di putuskan secara terburu-buru. Contohnya perceraian, memang kalian sebelum menikah tidak saling cinta? Pikirkan saja masa-masa bahagia kalian.”Saling cinta? Lucu sekali aku mendengarnya. Coky tidak tahu pernikahan kami berawal dari kepura-puraan. Aku terkekeh sendiri jika mengingat kebodohan yang selama ini aku lakukan.“Makan nasinya, sebentar lagi film mulai.”“Iya.”Makanan di hadapanku pun tak menggugah selera, apalagi mengingat masalah malam tadi. Rasanya muak dan benci dengan Mas Brian.Namun, aku tidak enak jika tak m
Mobil milik martuaku memasuki halaman rumah, terlihat mama turun dari mobil. Sementara, sudah beberapa jam lalu mas Brian meninggal rumah Mama."Loh ,ada Fitri.""Kok mama pulang?" "Oh, iya. Enggak jadi Papa ada urusan.""Fit, kamu nyidam apa hari ini? Mama beliin mangga muda, nih." Mama menatapku lekat, yang dia tahu aku sedang mengandung."Hmm ... Aku lagi pengen ngejambak rambut Masih Brian, Mah. Terus aku pengen nimpukin dia pake batu kerikil kolam ikan Mama," jawabku sekenanya. Karena hanya Itu yang aku pengen.Mama tertawa renyah mendengar ocehanku. Dia mengelus rambutku."Ih, kok sama deh sama Mama dulu pas hamil Brian. Bawaannya kesel mulu sama Papanya. Kayanya enek gitu, kalau deket-deket dia." Tawa renyahnya kembali terdengar. Sesekali dia menggulum senyum yang memperlihatkan wajah cantiknya.Mama mertuaku masih terlihat cantik meski umur tak lagi muda. Kerut wajahnya pun tak terlihat, beda dengan ibu-ibu komplek sini yang sudah banyak berkerut dan hobby bergosip."Fit, ik
"Bri, kapan kalian periksa kehamilan lagi?" pertanyaan Papa tiba-tiba menjadi sangat horor saat kami dengar."Hmm ... Masih lama Pah. Mungkin sebulan lagi." Mas Brian menjawab dengan setenang mungkin."Masih lama dong lahirnya?" Tanya Papa lagi membuat tingkat ketakutan aku dan Mas Brian meningkat."Iya Pa, sabar aja." Mas Brian tersenyum kecut sekecut-kecutnya.Nah kan, senjata makan tuan ya Mas. Aku melirik dengan sedikit menyunggingkan bibir. Mas Brian mulai berkeringat, mungkin mencari cara agar topik pembicaraan beralih ketopik yang lain. “Temen Papa kemarin cucunya baru lahir. Makanya Papa mau buru-buru lihat cucu Papa,” ucapnya dengan bersemangat. “Ih, Papa nggak sabar banget sih.”goda Mama. Mas Brian terlihat salah tingkah mendengar ucapan Papa dan Mama. Bahkan keringat dingin mengucur. Makannya pun jadi gelisah."Pap, aku mau beli rumah kayanya. Tinggal di apartment sempit," Tukasnya."Hmm ... Bagus itu Bri. Pemikiran calon Ayah yang hebat, sebentar lagi mau punya anak jad
Mas Brian berlalu meninggalkan kamarku. Tidak nampak apa yang mereka bicarakan.Kenapa ada dokter di rumah ini? Ada apa sebenarnya?Astaga, aku menutup kedua wajahku. Kayanya akan terbongkar kebohongannya kita. Semoga mereka tidak marah kalau tahu aku tidak hamil. Aku dan Mas Brian sama-sama merasa cemas. Apalagi Mas Brian, di bolak-balik seperti gosokan.Tak lama dokter teman Mama datang untuk memeriksa aku. Mas Brian berdiri tegang disampingku."Siang cantik," sapa dokter cantik itu yang datang bersama Mama. Bulek dan Papa Ikut mengekor Mama di belakangnya."Siang Dokter." Aku tersenyum membalas senyumannya. Banyak alat yang di bawanya. Sepeti alat USG untuk kehamilan. Ya, tamat kah cerita ini? Maksudnya cerita kehamilan bohonganku.Dokter itu memulai mengoleskan gel ke atas perutku. Diputarnya alat USG mengitari bagian perutku. Ish, jangan tanya sakitnya.Dia tersenyum menatapku, apa dia sudah tau kalau tidak ada apa-apa di perutku?"Hmm ... Ibu Fitri abis olah raga pagi sama suam
Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga