Share

Empat

"Fitri khilaf, Bu."

Hanya itu yang bisa aku katakan. Sejujurnya sangat malu mengucapkannya. Kulirik Mas Brian yang tenang di sana. Semua gara-gara ulah dia kenapa harus aku yang ikutan malu dengan apa yang dilakukannya.

Aku tidak percaya kalau akan mengalami nasib ini. Seperti pembantu tidak tahu diri, hamil dengan majikan sendiri. Bagaimana kata orang, harga diri ini di pertaruhkan.

Ini di luar kesepakatan. Kenapa Mas Brian bilang aku sedang hamil? Dasar, mau untung sendiri tanpa memikirkan aku.

"Pak, cepat nikahkan mereka. Sebelum perut fitri besar. Haduh, lega, sih, lega. Tahu kalau Brian masih suka perempuan, tapi nggak gini juga," keluh Mama Mas Brian.

Nikah secepatnya? Astaga, kenapa jadi nikah beneran, karena hamil pula. Jadi, terkesan aku wanita tidak baik. Aku kembali menoleh ke atas si sumber masalah. Lagi-lagi pria itu seperti tak merasa bersalah.

Mas Brian harus tanggung jawab semuanya. Enak saja dia lepas dari perjodohan dan aku terbelenggu pernikahan dengannya. 

"Besok juga boleh." Pak Adi menimpali.

Wajah Mas Brian memerah seketika mendengar ucapan Pak Adi. Dia menoleh ke arahku, tapi secepat kilat aku membuang muka. Makanya jangan main api kalau susah memadamkannya. 

***

Mas Brian sejak tadi meminta maaf dan merayuku. Enak saja meminta maaf lalu aku begitu saja melupakan semua yang dilakukannya. 

"Jangan ngambek dong Fit, demi kebaikan bersama," ucap Mas Brian. Sedari tadi dia terus membujukku karena aku merajuk kesal. 

"Kebaikan bersama apanya? Kebaikan Mas Brian doang, kan?" Aku sengaja berteriak kesal padanya. Baru kali ini aku berhasil membentaknya. 

"Ng-anu ... iya sih," jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

"Namaku jadi jelek di depan Bapak dan Ibu. Belum lagi Bulek kecewa sama aku. Dalam kesepakatan, nggak ada, tuh drama aku hamil," ucapku jengkel. 

"Udah dong marahnya," ucapnya lagi merayuku.

Baru kali ini aku marah sama Mas Brian. Siapa yang tidak jengkel kalau dibilang hamil. Hamil di luar nikah pula. Apa kata dunia? Kata orang, tetangga dan murni? 

"Mas, sih, nggak ngerti posisi aku! Sampe-sampe Bulek bilang aku merayu Mas Brian. Boro-boro merayu, tiap hari juga aku kena omelan Mas Brian yang galak. Gimana bisa merayu sampe hamil." Aku mendekus kesal. 

"Kalau nggak bilang gitu, mereka nggak percaya," balasnya lagi. 

Rasanya inginku dorong Mas Brian ke dalam kolam ini. Bukan masalah tidak percaya, bagaimana bisa percaya kalau calon menantunya pembantu. Kan, Enggak masuk akal namanya. Cari sih yang lebih dari aku.

"Gara-gara itu kita harus nikah. Emang Mas Brian cinta sama aku? Apa bedanya nikah sama perempuan yang dijodohkan mereka dengan aku? Sama aja, kan Mas, sama-sama nggak cinta."

Mas Brian terdiam mendengar ucapanku. 

"Beda, Fit, kalau dia aku nggak kenal, tapi kalau kamu, kan sudah kenal aku. Jadi anggap aja seperti biasa, aku majikan kamu dan kamu --"

"Istri rasa pembantu?" Aku memotong ucapannya dengan emosi.

Mas Brian nyengir kuda. "Heheheh ... bukan aku yang bilang, loh." 

Aku bergegas meninggalkan Mas Brian. Lama-lama di sini, aku bisa sakit jiwa. Ku abaikan panggilannya yang terus memanggil.

Melangkah memasuki ruang tengah rasanya masih berasa pada posisi ketika aku menyaksikan Bulek menangis kecewa. 

Aku mengintip ke kamar Bulek, dia sedang duduk dan terlihat masih menangis. Ya Allah, kasihan Bulek, apa aku kasih tahu saja, ya, kalau aku hanya berpura-pura?

"Bulek, Fitri boleh masuk nggak?"

Tak ada jawaban, aku memberanikan diri masuk ke kamar Bulek. Aku duduk di samping ranjang Bulek memperhatikan wajah tuanya.

"Bulek, maafin Fitri ya."

Bulek memandangku, tapi pandangannya tak sedingin tadi. Bulek kembali seperti bulekku yang penyabar. 

"Fit, Bulek tidak marah tapi Bulek kecewa sama kamu. Kalau kamu suka sama Mas Brian jangan sampai begini. Kalau kalian saling suka, ya, menikahlah, tapi jangan karena sudah hamil duluan, itu dosa."

"Bulek, sebenernya--"

"Fitri, Mbok, kita ke ruang tengah, Bapak mau bicara," ucap Bu Arum memanggil kami. 

"Iyah Bu," jawab Bulek.

Bulek langsung beranjak ke ruang tengah. Padahal baru saja aku mau cerita, tapi malah gagal.

Di ruang tengah mereka sudah duduk menunggu kami. Sepertinya Bapak mau bicara sesuatu. 

"Fit, Mbok, duduk silahkan."

Kami duduk bersebelahan, entah apa yang akan di bicarakan. Apa mereka akan mengusir aku dan Bulek? Perasaanku malah jadi tak karuan.

"Kamu dan Brian akan melangsungkan akad nikah seminggu lagi. Resepsi akan dilakukan sebulan setelah acara akad."

Mas Brian yang tadi santai menjadi tegang. Dia merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Sama seperti aku dia kaget mendengar ucapan Bapak.

"Satu minggu lagi, Pah?" tanya Mas Brian. 

"Ya, karena Papa takut perut Fitri semakin besar." 

Lutut ini melemas, apa yang harus diperbuat. Tak terbayangkan, seminggu lagi aku menjadi istri Mas Brian. Seperti yang selalu di impikan, menikah dengan laki-laki yang seperti Mas Brian. Namun, tidak dengan cara seperti ini. 

Kulihat Mas Brian ikut cemas, jemarinya meremas kemeja yang dia pakai. Tampak sekilas menatapku, entah tatapan apa yang dia pancarkan.

"Setelah menikah lebih baik kalian tinggal di apartemen Papa. Demi menghindari bisik tetangga komplek. Si mbok biar tinggal bersama Papa dan Mama di rumah ini."

Wajah kami pucat, aku menatap Mas Brian sekiranya dia mengeluarkan penolakan. Namun, dia hanya diam seakan meng-iyakan.

Bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mas Brian? Tanpa ada Bulek.

***

"Mas, bagaimana ini?"

"Bagaimana apanya?"

"Mas, jangan diam aja, dong. Mas lolos dari perjodohan, tapi Mas malah menikah sama aku. Mas pikir pernikahan itu bisa main-main?"

Aku terus saja mengoceh kesal. Namun, seperti tidak merasa bersalah Mas Brian terus saja bungkam.

"Mas, jawab, dong."

"Apa yang harus aku jawab?"

Astaga, ini semua nyata. Pernikahan, pangeran tampan dan harta kekayaan. Lalu, upik abu jadi Cinderella. Ya Tuhan, apa Mas Brian akan diam saja?

Ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku bingung harus bagaimana.

"Mas, bilang saja, aku tidak hamil. Gimana?"

"Nggak usah. Biar saja kita nikah, kamu nggak mau nikah sama aku?"

Dadaku bergemuruh hebat. Siapa yang tidak mau menikah dengan pria tampan seperti Mas Brian, tapi dia menyebalkan. 

"Bilang aja kamu seneng nikah sama aku. Malu-malu meong segala. Udah sih, jalanin aja. Nanti kita pikirin gimana ke depannya."

Mas Brian bangkit meninggalkan aku. Perbincangan ini belum selesai, tapi dia sudah pergi begitu saja. Siapa yang tidak kesal.

Mas Brian kembali menemui aku. Senyum dari bibirnya membuat aku geram. 

"Fit, kalau sudah nikah sama aku, siap-siap hamil beneran, ya."

" Argh ... Mas Brian!"

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status