Share

Empat

Author: Chew vha
last update Huling Na-update: 2022-06-08 16:08:37

"Fitri khilaf, Bu."

Hanya itu yang bisa aku katakan. Sejujurnya sangat malu mengucapkannya. Kulirik Mas Brian yang tenang di sana. Semua gara-gara ulah dia kenapa harus aku yang ikutan malu dengan apa yang dilakukannya.

Aku tidak percaya kalau akan mengalami nasib ini. Seperti pembantu tidak tahu diri, hamil dengan majikan sendiri. Bagaimana kata orang, harga diri ini di pertaruhkan.

Ini di luar kesepakatan. Kenapa Mas Brian bilang aku sedang hamil? Dasar, mau untung sendiri tanpa memikirkan aku.

"Pak, cepat nikahkan mereka. Sebelum perut fitri besar. Haduh, lega, sih, lega. Tahu kalau Brian masih suka perempuan, tapi nggak gini juga," keluh Mama Mas Brian.

Nikah secepatnya? Astaga, kenapa jadi nikah beneran, karena hamil pula. Jadi, terkesan aku wanita tidak baik. Aku kembali menoleh ke atas si sumber masalah. Lagi-lagi pria itu seperti tak merasa bersalah.

Mas Brian harus tanggung jawab semuanya. Enak saja dia lepas dari perjodohan dan aku terbelenggu pernikahan dengannya. 

"Besok juga boleh." Pak Adi menimpali.

Wajah Mas Brian memerah seketika mendengar ucapan Pak Adi. Dia menoleh ke arahku, tapi secepat kilat aku membuang muka. Makanya jangan main api kalau susah memadamkannya. 

***

Mas Brian sejak tadi meminta maaf dan merayuku. Enak saja meminta maaf lalu aku begitu saja melupakan semua yang dilakukannya. 

"Jangan ngambek dong Fit, demi kebaikan bersama," ucap Mas Brian. Sedari tadi dia terus membujukku karena aku merajuk kesal. 

"Kebaikan bersama apanya? Kebaikan Mas Brian doang, kan?" Aku sengaja berteriak kesal padanya. Baru kali ini aku berhasil membentaknya. 

"Ng-anu ... iya sih," jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

"Namaku jadi jelek di depan Bapak dan Ibu. Belum lagi Bulek kecewa sama aku. Dalam kesepakatan, nggak ada, tuh drama aku hamil," ucapku jengkel. 

"Udah dong marahnya," ucapnya lagi merayuku.

Baru kali ini aku marah sama Mas Brian. Siapa yang tidak jengkel kalau dibilang hamil. Hamil di luar nikah pula. Apa kata dunia? Kata orang, tetangga dan murni? 

"Mas, sih, nggak ngerti posisi aku! Sampe-sampe Bulek bilang aku merayu Mas Brian. Boro-boro merayu, tiap hari juga aku kena omelan Mas Brian yang galak. Gimana bisa merayu sampe hamil." Aku mendekus kesal. 

"Kalau nggak bilang gitu, mereka nggak percaya," balasnya lagi. 

Rasanya inginku dorong Mas Brian ke dalam kolam ini. Bukan masalah tidak percaya, bagaimana bisa percaya kalau calon menantunya pembantu. Kan, Enggak masuk akal namanya. Cari sih yang lebih dari aku.

"Gara-gara itu kita harus nikah. Emang Mas Brian cinta sama aku? Apa bedanya nikah sama perempuan yang dijodohkan mereka dengan aku? Sama aja, kan Mas, sama-sama nggak cinta."

Mas Brian terdiam mendengar ucapanku. 

"Beda, Fit, kalau dia aku nggak kenal, tapi kalau kamu, kan sudah kenal aku. Jadi anggap aja seperti biasa, aku majikan kamu dan kamu --"

"Istri rasa pembantu?" Aku memotong ucapannya dengan emosi.

Mas Brian nyengir kuda. "Heheheh ... bukan aku yang bilang, loh." 

Aku bergegas meninggalkan Mas Brian. Lama-lama di sini, aku bisa sakit jiwa. Ku abaikan panggilannya yang terus memanggil.

Melangkah memasuki ruang tengah rasanya masih berasa pada posisi ketika aku menyaksikan Bulek menangis kecewa. 

Aku mengintip ke kamar Bulek, dia sedang duduk dan terlihat masih menangis. Ya Allah, kasihan Bulek, apa aku kasih tahu saja, ya, kalau aku hanya berpura-pura?

"Bulek, Fitri boleh masuk nggak?"

Tak ada jawaban, aku memberanikan diri masuk ke kamar Bulek. Aku duduk di samping ranjang Bulek memperhatikan wajah tuanya.

"Bulek, maafin Fitri ya."

Bulek memandangku, tapi pandangannya tak sedingin tadi. Bulek kembali seperti bulekku yang penyabar. 

"Fit, Bulek tidak marah tapi Bulek kecewa sama kamu. Kalau kamu suka sama Mas Brian jangan sampai begini. Kalau kalian saling suka, ya, menikahlah, tapi jangan karena sudah hamil duluan, itu dosa."

"Bulek, sebenernya--"

"Fitri, Mbok, kita ke ruang tengah, Bapak mau bicara," ucap Bu Arum memanggil kami. 

"Iyah Bu," jawab Bulek.

Bulek langsung beranjak ke ruang tengah. Padahal baru saja aku mau cerita, tapi malah gagal.

Di ruang tengah mereka sudah duduk menunggu kami. Sepertinya Bapak mau bicara sesuatu. 

"Fit, Mbok, duduk silahkan."

Kami duduk bersebelahan, entah apa yang akan di bicarakan. Apa mereka akan mengusir aku dan Bulek? Perasaanku malah jadi tak karuan.

"Kamu dan Brian akan melangsungkan akad nikah seminggu lagi. Resepsi akan dilakukan sebulan setelah acara akad."

Mas Brian yang tadi santai menjadi tegang. Dia merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Sama seperti aku dia kaget mendengar ucapan Bapak.

"Satu minggu lagi, Pah?" tanya Mas Brian. 

"Ya, karena Papa takut perut Fitri semakin besar." 

Lutut ini melemas, apa yang harus diperbuat. Tak terbayangkan, seminggu lagi aku menjadi istri Mas Brian. Seperti yang selalu di impikan, menikah dengan laki-laki yang seperti Mas Brian. Namun, tidak dengan cara seperti ini. 

Kulihat Mas Brian ikut cemas, jemarinya meremas kemeja yang dia pakai. Tampak sekilas menatapku, entah tatapan apa yang dia pancarkan.

"Setelah menikah lebih baik kalian tinggal di apartemen Papa. Demi menghindari bisik tetangga komplek. Si mbok biar tinggal bersama Papa dan Mama di rumah ini."

Wajah kami pucat, aku menatap Mas Brian sekiranya dia mengeluarkan penolakan. Namun, dia hanya diam seakan meng-iyakan.

Bagaimana rasanya hanya tinggal berdua dengan Mas Brian? Tanpa ada Bulek.

***

"Mas, bagaimana ini?"

"Bagaimana apanya?"

"Mas, jangan diam aja, dong. Mas lolos dari perjodohan, tapi Mas malah menikah sama aku. Mas pikir pernikahan itu bisa main-main?"

Aku terus saja mengoceh kesal. Namun, seperti tidak merasa bersalah Mas Brian terus saja bungkam.

"Mas, jawab, dong."

"Apa yang harus aku jawab?"

Astaga, ini semua nyata. Pernikahan, pangeran tampan dan harta kekayaan. Lalu, upik abu jadi Cinderella. Ya Tuhan, apa Mas Brian akan diam saja?

Ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku bingung harus bagaimana.

"Mas, bilang saja, aku tidak hamil. Gimana?"

"Nggak usah. Biar saja kita nikah, kamu nggak mau nikah sama aku?"

Dadaku bergemuruh hebat. Siapa yang tidak mau menikah dengan pria tampan seperti Mas Brian, tapi dia menyebalkan. 

"Bilang aja kamu seneng nikah sama aku. Malu-malu meong segala. Udah sih, jalanin aja. Nanti kita pikirin gimana ke depannya."

Mas Brian bangkit meninggalkan aku. Perbincangan ini belum selesai, tapi dia sudah pergi begitu saja. Siapa yang tidak kesal.

Mas Brian kembali menemui aku. Senyum dari bibirnya membuat aku geram. 

"Fit, kalau sudah nikah sama aku, siap-siap hamil beneran, ya."

" Argh ... Mas Brian!"

****

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Tujuh

    “Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Enam

    Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Lima

    Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Empat

    Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Tiga

    Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.

  • Menikah Dengan Majikan   Dua Puluh Dua

    Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status