Mas Brian mengajak aku pulang setelah dari taman. Di halaman rumah terlihat mobil ibu dan bapak mas Brian.
Keduanya datang secara tiba-tiba. Aku menghampiri dan mencium punggung tangan mereka. Sudah terbiasa saat mereka datang, pelan-pelan belajar menjadi menantu yang baik.
Aroma parfum Ibu Arumi sangat harum. Calon Ibu mertuaku terlihat masih cantik di usia yang terbilang tidak muda lagi. Pantas saja Bapak semakin mencintai sang istri.
Mas Brian duduk bersama kedua orang tuanya. duduk di ruang tamu. Hari ini mereka tiba-tiba saja datang, kulihat Mas Brian terlihat santai dengan wejangan dari Ibunya. Sesekali dia melirik ke arah aku berdiri.
"Papa mau mengenalkan kamu sama anak temen Papa."
"Aku sudah punya calon sendiri," ucapnya tegas. Aku mendengar saat aku menyajikan minuman.
"Apa benar, yang kamu bilang?" tanya Bapak Mas Brian.
"Jangan bercanda kamu. Umur kamu sudah kepala tiga, Mama nggak mau kamu jadi perjaka tua."
Aku terkekeh mendengar Ibu Arum bicara. Bukan takut lagi, tapi udah kali jadi perjaka tua.
Aku menguping, yah memang aku tengah mendengarkan mereka berbincang. Aku heran dengan Mas Brian, kenapa tidak terima saja perjodohannya. Dengan wanita yang sudah pasti cantik dan sekelas dengan mereka.
"Tenang saja, Ma, aku nggak akan jadi bujang lapuk. Mama juga bakal dapet bonus menantu dan cucu." Mas Brian berbicara dengan santai, tapi tegas.
"Menantu dan cucu?" Kompak kedua orang tuanya bertanya.
Menantu dan cucu? Maksudnya apa? Bukannya semalam dia meminta aku pura-pura jadi kekasihnya? Lantas, apa dia punya calon lain yang sudah mempunyai anak?
"Fit, sini." Mas Brian memanggilku.
Aku berjalan cepat menghampiri mereka. "Iya, Mas, " ucapku.
"Ma, Pa, aku dan Fitri akan menikah."
Sambil menggenggam tanganku, kemudian kami saling berpandangan seolah memperkuat drama. Akan tetapi, aku takut, Mas.
"Apa?" Keduanya terkesiap dan saling pandang.
"Fitri mau menikah dengan siapa?" tanya Bulek saat mendengar ucapan Mas Brian.
"Saya akan menikahi Fitri," ujar Mas Brian.
"Fitri, kamu Bulek ajak kerja bukan buat ganjen sama Mas Brian." Bulek sepertinya marah padaku, aku tidak tahu kalau Bulek bisa semarah itu.
"Ibu, Bapak, maafkan Fitri, ya, mungkin Mas Brian hanya bercanda."
Bulek menarik lenganku hingga berada di sampingnya. Aku hanya menunduk merasa tidak enak hati.
"Mbok Darmi, kami juga heran. Mungkin ini akal-akalan Brian saja untuk menolak perjodohan dari kami," ucap Bapak Adi, ayahnya Mas Brian.
"Mas, Mas Brian lagi nge-prank kita kan?" Bulek kembali bertanya karena memang dia hobi nonton video nge-prank para artis. Apalagi prank Baim Wong.
Mas Brian mengusap wajah dengan kasar. Aku tahu dia sedang berpikir untuk melancarkan kebohongannya. Bagaimana ini?
"Aku serius, apa aku terlihat ada bakat buat nge-prank kalian?" Mas Brian mencoba tenang dan tidak gugup.
"Fit, benar apa yang Brian ucapkan?" Ibu Arum bertanya padaku.
Bu Arum menatap penuh selidik. Aku hanya tertunduk malu, apa yang harus aku jawab. Ya Tuhan, gimana ini? Kebohongan Mas Brian membawa pada kesulitan.
"Fit, jawab pertanyaan Ibu Arum tadi?" Bulek menggoyang-goyangkan tubuh ini. Dia sangat marah padaku.
Aku bergeming, mencoba tenang. Perlahan aku mengatur napas, sebisa mungkin aku harus tenang menjawab pertanyaan mereka.
"I ... iya, Bu. Kami mau menikah."
"Fitri! sudah berulang kali Bulek bilang jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kamu dan Mas Brian bagaikan langit dan bumi. Kita tidak sebanding dengan derajat Mas Brian, harusnya kamu sadar diri Fit." Bulek memukul-mukul aku sembari menangis tergugu.
Ya Allah, aku tak tahan melihat Bulek seperti ini. Aku seperti melempar kotoran ke wajah Bulek. Kasihan dia, harus menahan malu.
"Bulek, maafkan Fitri. Fitri cuma--"
Belum selesai aku bicara Mas Brian sudah memotong pembicaraan.
"Ini bukan salah Fitri Mbok, tapi aku yang mulai. Fitri nggak salah."
Menyebalkan, janjinya hanya berpura-pura. Kenapa berasa sesak dada ini. Melihat Bulek menangis tergugu.
"Kalau kami tidak setuju bagaimana?" Pak Adi bertanya dengan tegas. "Kamu tahu siapa Fitri?"
"Kalian harus setuju, karena Fitri mengandung darah dagingku!"
Aku menutup mulut dengan tangan. Tak percaya Mas Brian tega berbicara seperti itu.
Pipiku terasa panas saat tangan Bulek menamparku keras. Bulek masih histeris memukuliku. Demi drama yang kami lakukan, Mas Brian menarik dan memeluk erat tubuh ini.
"Sudah Bulek, yang harus di salahkan aku. Bukan Fitri," ujar Mas Brian.
Aku hanya bisa menangis, hatiku perih melihat Bulek menangis histeris. Ingin rasanya aku bicara kami hanya berpura-pura.
"Mbok, sabar , Bulek. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Adi.
"Saya malu, Pak, keluarga Bapak baik sama saya. Akan tetapi, Fitri membuat malu, Pak." Bulek sesenggukan bicara.
"Bulek, Fitri ---" tanganku di genggam keras Mas Brian. Netranya menatapku tajam seperti mengancam.
"Kita duduk, bicarakan sekarang," ajak Pak adi.
Kedua orang tua Mas Brian duduk bersebelahan. Ibu terlihat agak sedih mungkin dia syok, tapi Bapak masih terlihat sabar dengan masalah ini.
Aku tidak berani menatap mereka, keduanya orang baik. Kenapa aku tega ikut mempermainkan kedua majikanku? Terutama Bulek yang aku hormati.
"Kamu tahu, perbuatan kalian salah. Zina sangat berdosa. Papa nggak bisa ngomong apa-apa. Mau menyalahkan siapa juga, kalian berdua salah," kata Pak Adi.
"Brian tahu, Pa, Brian akan tanggung jawab," timpal Mas Brian lagi.
"Mama nggak bisa berkata apa-apa, mau marah, tapi Mama lega. Mama kira kamu penyuka sesama jenis sampai sekarang nggak nikah-nikah. Perbuatan kamu salah juga," ucapnya.
"Brian normal, Mah."
"Mbok, saya atas nama keluarga memohon maaf atas kelakuan Brian. Kalian di mata kami sama, bukan derajat yang membedakan. Hanya iman dan takwa yang membedakan kita. Mbok, saya juga orang tua sama seperti si mbok, kecewa pasti. Namun, semua sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa."
Terbuat dari apa, sih hati kedua majikanku ini? Kenapa mereka tidak marah dan mengusir kami?
"Bu, Pa, Fitri minta maaf," ucapku dengan isak tangis.
Bagaimana tidak menangis, gara-gara Mas Brian aku jadi merasa tak enak. Selama dua tahun ini mereka sangat baik sama aku dan Bulek. Akan tetapi, diri ini seperti orang yang tidak tahu terima-kasih. Secara tidak langsung aku mencoreng nama baik mereka.
"Ya, sudah. Kamu kenapa bisa hamil sama Brian?" Ibu Arum menatapku tajam dan apa yang harus aku lakukan dan jawab.
Pertanyaan Bu Arum membuat aku terkesiap. Pertanyaan macam apa itu? Semua ini gara-gara Mas Brian. Masa ia aku harus menjawab karena Mas Brian meniduriku.
Di cium saja belum, ini malah sudah hamil. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
***
“Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me
Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s
Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B
Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b
Kurebahkan tubuhku di kasur, kubalik badan hingga membelakangi Mas Brian. Hati ini masih sakit, dia ternyata masih mencintai Adisty. Mungkin Coky sudah mengirimi alamat Ronald, tapi aku tidak yakin dia akan kesana. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Mas Brian malam ini sangat dingin. Tak ada ucapan kata maaf dari dia, bahkan pelukan atau kecupan kecil dari dirinya. Sebegitu marahkan dia kepadaku? Aku hanya ingin melihat dia tidak merasa bersalah. Aku tahu dia selalu merasa bersalah terhadap Adisty. Saat kemarin aku memergokinya memandangi nomer ponsel Adisty, seakan dia akan menelfon dan meminta maaf. Aku mau, dia tahu yang sebenarnya. Aku mau dia tahu Adisty tak selugu yang dia bayangkan. Namun, mungkin caraku salah, hingga dia marah besar seperti itu. Sampai pagi datang dia masih diam seribu bahasa. Hanya menjawab sekenanya setiap aku bertanya. Saat makan, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Setelah itu menjelang sore Mas Brian habiskan menatap laptop.
Setelah tahu aku hamil, Mas Brian semakin perhatian padaku. Hari ini dia mengajakku jalan pagi, dan bilang akan mengajak belanja kebutuhan selama hamil. Begitu juga baju sampai keperluan pakaian hamilku. "Segerkan Fit," tanyanya sambil melompat-lompat, dan menggerakkan kedua tangannya. "Iya Mas, udah lama aku nggak ke taman ini. Jadi inget lagi pacaran, Eh ... salah deh, waktu masih jadi pembantu kamu," ungkapku dengan senyum."Fit, sekarang manggil aku jangan Mas dong. Kan, kita mau punya anak, Jadi manggil aku Dady ya. Biar anak kita nanti manggilnya juga Dady." Senyum lebar tersirat dari bibirnya. "Dady?" tanyaku seakan tak percaya."Yes, Mommy.""What? Mommy?" tanyaku sambil terkekeh "Iya, Momy and Dady," tambahnya. Ya Tuhan lucu sekali suamiku ini. Mungkin dia cocok dipanggil dengan sebutan Dady. Lah aku? Mommy? Biasanya makan ubi dan Singkong mau gaya-gayaan manggil mommy. "Mom? ""Yes, Dad. Heheheeh .... " jawabku sambil terkekeh."Kok ketawa? Ada yang lucu?""Ngga