Share

Tiga

Mas Brian mengajak aku pulang setelah dari taman. Di halaman rumah terlihat mobil ibu dan bapak mas Brian.

Keduanya datang secara tiba-tiba. Aku menghampiri dan mencium punggung tangan mereka. Sudah terbiasa saat mereka datang, pelan-pelan belajar menjadi menantu yang baik. 

Aroma parfum Ibu Arumi sangat harum. Calon Ibu mertuaku terlihat masih cantik di usia yang terbilang tidak muda lagi. Pantas saja Bapak semakin mencintai sang istri. 

Mas Brian duduk bersama kedua orang tuanya. duduk di ruang tamu. Hari ini mereka tiba-tiba saja datang, kulihat Mas Brian terlihat santai dengan wejangan dari Ibunya. Sesekali dia melirik ke arah aku berdiri. 

"Papa mau mengenalkan kamu sama anak temen Papa." 

"Aku sudah punya calon sendiri," ucapnya tegas. Aku mendengar saat aku menyajikan minuman. 

"Apa benar, yang kamu bilang?" tanya Bapak Mas Brian. 

"Jangan bercanda kamu. Umur kamu sudah kepala tiga, Mama nggak mau kamu jadi perjaka tua." 

Aku terkekeh mendengar Ibu Arum bicara. Bukan takut lagi, tapi udah kali jadi perjaka tua. 

Aku menguping, yah memang aku tengah mendengarkan mereka berbincang. Aku heran dengan Mas Brian, kenapa tidak terima saja perjodohannya. Dengan wanita yang sudah pasti cantik dan sekelas dengan mereka.

"Tenang saja, Ma, aku nggak akan jadi bujang lapuk. Mama juga bakal dapet bonus menantu dan cucu." Mas Brian berbicara dengan santai, tapi tegas. 

"Menantu dan cucu?" Kompak kedua orang tuanya bertanya.

Menantu dan cucu? Maksudnya apa? Bukannya semalam dia meminta aku pura-pura jadi kekasihnya? Lantas, apa dia punya calon lain yang sudah mempunyai anak?

"Fit, sini." Mas Brian memanggilku. 

Aku berjalan cepat menghampiri mereka. "Iya, Mas, " ucapku. 

"Ma, Pa, aku dan Fitri akan menikah." 

Sambil menggenggam tanganku, kemudian kami saling berpandangan seolah memperkuat drama. Akan tetapi, aku takut, Mas. 

"Apa?" Keduanya terkesiap dan saling pandang.

"Fitri mau menikah dengan siapa?" tanya Bulek saat mendengar ucapan Mas Brian.

"Saya akan menikahi Fitri," ujar Mas Brian.

"Fitri, kamu Bulek ajak kerja bukan buat ganjen sama Mas Brian." Bulek sepertinya marah padaku, aku tidak tahu kalau Bulek bisa semarah itu.

"Ibu, Bapak, maafkan Fitri, ya, mungkin Mas Brian hanya bercanda."

Bulek menarik lenganku hingga berada di sampingnya. Aku hanya menunduk merasa tidak enak hati. 

"Mbok Darmi, kami juga heran. Mungkin ini akal-akalan Brian saja untuk menolak perjodohan dari kami," ucap Bapak Adi, ayahnya Mas Brian. 

"Mas, Mas Brian lagi nge-prank kita kan?" Bulek kembali bertanya karena memang dia hobi nonton video nge-prank para artis. Apalagi prank Baim Wong. 

Mas Brian mengusap wajah dengan kasar. Aku tahu dia sedang berpikir untuk melancarkan kebohongannya. Bagaimana ini?

"Aku serius, apa aku terlihat ada bakat buat nge-prank kalian?" Mas Brian mencoba tenang dan tidak gugup. 

"Fit, benar apa yang Brian ucapkan?" Ibu Arum bertanya padaku. 

Bu Arum menatap penuh selidik. Aku hanya tertunduk malu, apa yang harus aku jawab. Ya Tuhan, gimana ini? Kebohongan Mas Brian membawa pada kesulitan.

"Fit, jawab pertanyaan Ibu Arum tadi?" Bulek menggoyang-goyangkan tubuh ini. Dia sangat marah padaku.

Aku bergeming, mencoba tenang. Perlahan aku mengatur napas, sebisa mungkin aku harus tenang menjawab pertanyaan mereka.

"I ... iya, Bu. Kami mau menikah."

"Fitri! sudah berulang kali Bulek bilang jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kamu dan Mas Brian bagaikan langit dan bumi. Kita tidak sebanding dengan derajat Mas Brian, harusnya kamu sadar diri Fit." Bulek memukul-mukul aku sembari menangis tergugu.

Ya Allah, aku tak tahan melihat Bulek seperti ini. Aku seperti melempar kotoran ke wajah Bulek. Kasihan dia, harus menahan malu.

"Bulek, maafkan Fitri. Fitri cuma--" 

Belum selesai aku bicara Mas Brian sudah memotong pembicaraan. 

"Ini bukan salah Fitri Mbok, tapi aku yang mulai. Fitri nggak salah." 

Menyebalkan, janjinya hanya berpura-pura. Kenapa berasa sesak dada ini. Melihat Bulek menangis tergugu.

"Kalau kami tidak setuju bagaimana?" Pak Adi bertanya dengan tegas. "Kamu tahu siapa Fitri?" 

"Kalian harus setuju, karena Fitri mengandung darah dagingku!" 

Aku menutup mulut dengan tangan. Tak percaya Mas Brian tega berbicara seperti itu. 

Pipiku terasa panas saat tangan Bulek menamparku keras. Bulek masih histeris memukuliku. Demi drama yang kami lakukan, Mas Brian menarik dan memeluk erat tubuh ini.

"Sudah Bulek, yang harus di salahkan aku. Bukan Fitri," ujar Mas Brian.

Aku hanya bisa menangis, hatiku perih melihat Bulek menangis histeris. Ingin rasanya aku bicara kami hanya berpura-pura.

"Mbok, sabar , Bulek. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Adi. 

"Saya malu, Pak, keluarga Bapak baik sama saya. Akan tetapi, Fitri membuat malu, Pak." Bulek sesenggukan bicara. 

"Bulek, Fitri ---" tanganku di genggam keras Mas Brian. Netranya menatapku tajam seperti mengancam. 

"Kita duduk, bicarakan sekarang," ajak Pak adi. 

Kedua orang tua Mas Brian duduk bersebelahan. Ibu terlihat agak sedih mungkin dia syok, tapi Bapak masih terlihat sabar dengan masalah ini. 

Aku tidak berani menatap mereka, keduanya orang baik. Kenapa aku tega ikut mempermainkan kedua majikanku? Terutama Bulek yang aku hormati. 

"Kamu tahu, perbuatan kalian salah. Zina sangat berdosa. Papa nggak bisa ngomong apa-apa. Mau menyalahkan siapa juga, kalian berdua salah," kata Pak Adi. 

"Brian tahu, Pa, Brian akan tanggung jawab," timpal Mas Brian lagi. 

"Mama nggak bisa berkata apa-apa, mau marah, tapi Mama lega. Mama kira kamu penyuka sesama jenis sampai sekarang nggak nikah-nikah. Perbuatan kamu salah juga," ucapnya.

"Brian normal, Mah." 

"Mbok, saya atas nama keluarga memohon maaf atas kelakuan Brian. Kalian di mata kami sama, bukan derajat yang membedakan. Hanya iman dan takwa yang membedakan kita. Mbok, saya juga orang tua sama seperti si mbok, kecewa pasti. Namun, semua sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa." 

Terbuat dari apa, sih hati kedua majikanku ini? Kenapa mereka tidak marah dan mengusir kami?

"Bu, Pa, Fitri minta maaf," ucapku dengan isak tangis. 

Bagaimana tidak menangis, gara-gara Mas Brian aku jadi merasa tak enak. Selama dua tahun ini mereka sangat baik sama aku dan Bulek. Akan tetapi, diri ini seperti orang yang tidak tahu terima-kasih. Secara tidak langsung aku mencoreng nama baik mereka. 

"Ya, sudah. Kamu kenapa bisa hamil sama Brian?" Ibu Arum menatapku tajam dan apa yang harus aku lakukan dan jawab. 

Pertanyaan Bu Arum membuat aku terkesiap. Pertanyaan macam apa itu? Semua ini gara-gara Mas Brian. Masa ia aku harus menjawab karena Mas Brian meniduriku. 

Di cium saja belum, ini malah sudah hamil. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status