Share

Bab 7

“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.

Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.

“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”

“Cira!” Sergah Eza.

“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”

“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.

Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.

“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”

“Cira stop!!” Bentak Eza.

Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.

Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memerah juga bibir bergetar seperti hendak menangis.

“Tidak ada yang bisa membuat Zia berhenti, atau pun menahan mbak Ratih untuk pulang. Ini aturan papi, mbak Ratih harus pulang dan sudah ada penggantinya yaitu, Zia. Jangan membuat semuanya menjadi sangat rumit Cira Natasha Mulya, … papi tegaskan sekali lagi suka tidak suka, mau tidak mau Zia akan tetap bertugas menggantikan mbak Ratih!” Eza menegaskan.

Wajah Cira semakin merah, kemudian air matanya menetes begitu saja terjatuh membasahi pipi. Namun, tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari gadis kecil itu.

Melihatnya tentu saja membuat Eza merasa sangat menyesal. Dia memejamkan mata, kemudian mengatur nafasnya beberapa kali.

“Jangan terus berulah, Cira! Papi ini lelah kerja, jangan buat masalah terus. Mencari orang yang mau kerja itu sulit,” kini Eza berbicara pelan.

“I’m sorry papi!” Katanya sambil mengusap kedua pipinya yang basah.

“Lagi pula mbak Ratih sudah papi izinkan pulang. Sekarang cobalah untuk menerima orang baru, jangan terus berulah sampai para pekerja tidak betah,” Eza berbicara dengan suara lembut, menatap putrinya dengan penuh permohonan.

Cira mengangguk.

“Sudah berapa kali mbak Ratih gagal pulang hanya karena ulahmu? Apa tidak kasihan? Mbak Ratih juga rindu keluarganya,” Eza menjelaskan lebih dalam lagi, dengan harapan Cira akan semakin paham.

“Cira minta maaf, papi.”

“Baik, kemarilah!” 

Eza membuka kedua tangannya selebar mungkin saat Cira beringsut mendekat, lalu mereka berdua saling berpelukan.

“Maafkan papa ya?”

Cira mengangguk lagi.

“Mulai besok mulailah menurut kepada Zia, sebagaimana kamu menuruti apa kata papi dan mbak Ratih.”

“Oke papi.”

“Jangan pernah membuat para pekerja tidak betah, kalau mereka tidak mau bekerja lagi di rumah kita, memangnya siapa yang mau menjaga Cira? Papi kan sangat sibuk.”

Eza mengusap-usap bagian belakang kepala Cira.

“Nanti juga akan datang asisten baru, jangan Cira kerjain yah? Papi bosan gonta-ganti asisten terus.”

Gadis yang saat ini ada di dalam pelukannya pun mengangguk pelan.

Sementara di balik pintu kamar, Zia hanya mendengarkan. Dia yang sudah membawa pisang panggang keju permintaan gadis kecil itu pun memilih untuk diam dan membiarkannya lebih dulu.

Zia menatap piring tersebut, ke arah pintu kamar lalu pada tangga. 

‘Turun aja dulu, nanti kalau pak Eza sudah keluar balik lagi.’

‘Ih jangan, bolak-balik naik tangga capek tau!’

‘Terus disini mau ngapain? Gimana kalau pak Eza nyangka aku dengerin obrolan mereka.’

Suara di dalam kepalanya terus berdebar, dan ketika Zia berbalik arah untuk pergi. Pintu yang tadinya sedikit tertutup mulai terbuka, dan berdirilah Eza disana.

“Zia?”

‘Nah kan, ketahuan!’

Zia yang tadinya hendak pergi segera memutar tubuh, kemudian tersenyum saat pandangan keduanya bertemu.

“Ini pak, tadi Cira minta pisang panggang,” katanya sambil menunjukan sesuatu di piring yang Zia bawa.

Eza langsung mengangguk.

“Masuklah!” 

Setelah mengatakan itu Eza berlalu pergi, berjalan cepat menuruni tangga seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Tok tok!!

“Cira? Zia boleh masuk?” Dia sambil mendorong pintu itu hingga terbuka lebar.

Tidak ada jawaban, gadis itu tampak duduk di tepi ranjang sambil mengarahkan pandangan pada dirinya. 

Seperti biasa, Cira diam dengan raut wajah tidak suka.

Zia berjalan mendekat sambil tersenyum, meletakan piring berisikan pisang panggang itu, kemudian menarik kursi kehadapan Cira dan duduk.

“Mau di suapin atau makan sendiri?” 

Cira menatapnya, lelu mendelik.

“Ya sudah, Zia suapin yah mumpung masih hanget.”

Zia meraih piring itu kembali, dan ketika hendak memotong pisang panggang dengan sendok, Cira langsung merebutnya dengan kasar.

“Aku udah gede!”

Zia mengulum senyum.

“Iya, Cira lebih besar dari anaknya Zia. Cira sudah masuk sekolah dasar, … kalau Viona baru masuk TK. Seharusnya tahun ini lulus,” Zia bercerita sambil memperhatikan Cira yang mulai melahap pisang panggangan yang ditaburi keju.

“Terus kenapa tidak naik kelas? Pasti malas belajar, kan?”

Zira tersenyum mendengar itu.

“Makanya jangan malas, kaya aku dong. Dari sekolah TK langsung naik kelas satu SD,” Cira terlihat bangga.

“Iya, makanya Cira jangan sulit makan. Jangan makan sembarangan juga agar selalu sehat. Besok biar lebih aman Zia buatkan bekal ya?”

Cira tidak menanggapi, dia kini hanya fokus menyantap makanan miliknya sampai benar-benar habis tanpa tersisa.

“Nih!” Dia memberikan piring yang sudah kosong itu kepada Zia.

Lalu Cira menoleh ke arah nakas, dan kembali menatap Zia.

“Minumnya mana?” Tanya Cira dengan ketus.

Sazia tersenyum.

“Zia ambil dulu,” perempuan itu segera bangkit.

“Tuh kan! Apa-apa lupa … apa-apa tidak tahu … ih ngeselin deh,” Cira bersungut-sungut.

Zia beralih keluar dari kamar, kemudian menuruni tangga rumah itu dengan tergesa-gesa.

“Ada apa mbak?” 

Ida yang sudah kembali pun langsung bertanya saat melihat Zia membawa gelas di dalam laci dengan terburu-buru.

“Saya lupa bawa minum,” tutur Zia seraya menekan salah satu tombol dispenser sampai benda itu dapat mengalirkan air.

“Mbak butuh bantuan apa?” 

Asisten baru yang dibawa Ida segera mendekat.

“Tidak perlu mbak Julpa, … Cira hanya mau minum dan tadi saya lupa membawanya!”

“Pasti ngomel ya?” Tebat Ida, yang langsung Zia jawab dengan anggukan.

“Ish harusnya dimasukin asrama anak kaya gitu, susah banget di didik!” Ida tampak kesal.

Tanpa banyak bicara Zia kembali berlalu dari area dapur, meninggalkan Julpa dan Ida yang terdiam menatap kerusuhannya.

“Memangnya non Cira suka ngomel, teh?” Julpa menatap kakak sepupunya.

Ida menatap Julpa tanpa menjawab apapun.

“Bapak galak nggak?” 

“Bapak baik, cuma tegas aja. Kalau non Ciraaa … kamu nilai sendiri deh nanti kelakuannya kaya gimana!” Ujar Ida.

Ida kembali berdiri di hadapan meja kompor, menatap air yang hampir mendidih di dalam panci berukuran kecil.

“Kamu yang antar yah keruangan bapak!” 

Wanita itu mematikan kompor, kemudian menuangkan air mendidih di dalam panci tadi pada cangkir, dimana di dalamnya sudah terisi serbu kopi hitam tanpa gula.

Satu nampan Ida keluarkan, kemudian meletakan cangkir kopinya di sana. Tak lupa dengan piring kecil, sendok dan juga gula jagung kemasan sachet.

“Cepetan, bapak sudah nungguin kopinya!”

Julpa mengangguk, kemudian meraih nampan itu dan membawanya pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status