Share

Bab 4

Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.

“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.

Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;

‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ 

Batinnya berbicara.

‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’

Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.

“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.

Dia berjalan di depan, sementara Zia dan seorang supir mengikutinya dengan langkah pelan.

Lagi-lagi pandangan Zia tertarik untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Bangunan besar yang di dominasi oleh warna putih dan hitam, tiang-tiang menjulang tinggi, taman dilapisi rerumputan hijau dengan berbagai ukuran pohon bonsai yang sangat indah. Belum lagi lampu-lampu taman yang menyala di setiap titik, membuat suasananya sungguh sangat berbeda.

Lalu dia beralih saat kakinya menapak pada marmer hitam mengkilat di hadapannya, dimanap terdapat pintu yang sangat tinggi dan besar.

Dan pintu itu terbuka lebar ketika wanita di hadapannya mendorong perlahan-lahan.

“Mbak Zia?” Panggilnya.

“Silahkan, barang bawaannya nanti saya bawakan,” ucap supir yang menjemputnya tadi.

Dia menepi dan membiarkan Zia masuk, sementara pria dengan pakaian serba hitam itu kembali memutar tubuh dan pergi saat mereka sudah masuk ke dalam rumah.

Ruangan yang sangat-sangat luas, lampu besar menggantung di langit-langit dengan segala macam kemewahan yang baru pertama kali Zia lihat.

Suasana terasa sangat hening, sampai suara kaku saat mereka melangkah dapat didengar jelas.

Zia terus melangkahkan kaki, mengikuti wanita di hadapannya yang berjalan semakin ke dalam. Dan tibalah Zia di salah satu ruangan yang terletak berdampingan dengan dapur. 

Suasana rumah besar itu benar-benar sunyi, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya yang membuat Zia terheran-heran.

“Ini kamar saya, yang sebentar lagi akan menjadi kamar mbak Zia.” 

Zia menatap wanita itu, kemudian mengangguk.

“Mbak, Ratih. Maaf saya mau tanya, disini saya kerja sendiri?” 

“Ada satu orang lagi, mbak. Cuma sedang ada kepentingan keluarga. Namanya mbak Ida, dia mungkin akan kembali dua atau tiga hari lagi.”

Zia diam dengan pikirannya sendiri. Sudah dapat dia bayangkan bagaimana lelahnya mengurus rumah sebesar ini, tapi dirinya tak mempunyai pilihan lain.

‘Daripada jadi pengangguran!’ Pikir Zia.

Hidup sendiri setelah kepergian putrinya, di campakan mertua dan suami. Lalu apakah Zia harus tetap bersama Ayu? Sementara gadis itu juga hanya seorang karyawan toko dengan gaji pas-pasan.

Apakah dirinya tega jika harus berbagi beban hidup yang sangat berat ini kepada adiknya? Tentu saja tidak.

“Nanti tasnya pak Salman bawain kesini, mbak Zia istirahat saja. Kerjanya mulai besok!” Wanita bernama Ratih itu menjelaskan.

Zia mendudukan diri di tepi ranjang tidur, dia menatap sebuah tas yang sudah tertumpuk rapih, lalu kembali pada Ratih.

“Kenapa berhenti mbak?” Zia menatap Ratih lekat-lekat.

Ratih tersenyum.

“Saya sudah tua, sudah waktunya menghabiskan waktu bersama anak-anak.”

Zia mengangguk, kemudian keadaan hening untuk beberapa menit saat dua wanita berbeda usia itu saling diam.

“Cuma berdua, mbak?” Zia kembali bersuara.

“Awalnya banyak, cuma nggak pada betah.”

Mendengar itu Zia kembali berpikir, apa yang terjadi sehingga para art yang lain tak dapat bertahan lama.

“Kenapa mbak? Majikannya galak ya?” Katanya menerka-nerka.

Ratih menggelengkan kepala, tersenyum sambil mendudukan diri di samping Zia.

“Bukan galak sih, lebih ke apa ya saya bilangnya. Bapak cuma marah kalau kita bikin kesalahan! Yang agak jail itu anaknya, mbak. Asisten disini pada dikerjain terus, tapi mudah-mudahan sama mbak Zia nurut ya?”

“Umurnya berapa tahun, mbak Ratih? Sudah besar?” 

Ratih tidak langsung menjawab, saat melihat Salman masuk dan membawakan sebuah tas berukuran sedang milik Zia, yang pria itu segera letakan di samping pintu.

“Ini tasnya ya mbak, selamat beristirahat.”

“Terima kasih pak Salman,” ucap Ratih.

“Iya mbak, sama-sama.”

“Makasih ya pak!” Zia sambil tersenyum.

“Iya, mbak. Saya pergi yah!”

Wanita-wanita itu menatap kepergian Salman, kemudian saling menoleh dan menatap satu sama lain.

“Cira baru masuk Sd. Ya mungkin art yang lain mikir kelakuannya tidak bisa di tolerir. Tapi menurut saya, apa yang Cira lakukan hanya sebagai bentuk untuk mencari perhatian lebih dari orang lain, maklum mbak. Maminya meninggal sejak Cira masih bayi!” Ratin menjelaskan.

Degg!!

Tiba-tiba Zia teringat kepada mendiang Putri semata wayangnya. Senyuman gadis kecil itu masih terlihat jelas di dalam ingatan, panggilan manja dari Vio juga masih dapat Zia dengar dengan jelas. 

Lalu apakah Zia juga akan merasa kesepian setelah ini? Dia ditinggalkan anak dan dicampakkan oleh suaminya sendiri. Bahkan pergi pun Robi tak pernah datang mencarinya.

“Mbak usia berapa?” Tanya Ratih.

“Saya baru dua lima, mbak!”

“Oalah, masih sangat muda ternyata. Sudah menikah?”

Zia bungkam, menatap Ratih dengan bola mata bergerak-gerak.

“Tidak apa-apa mbak, kalau sudah jodoh nanti datang sendiri. Sekarang nikmati masa muda saja dulu, menikah tidak segampang yang di pikirkan, apalagi kalau urusan ekonomi.”

“Saya sudah menikah mbak Ratih. Dulu saya kira nikah muda itu gampang, ternyata sangat sulit apalagi kalau ujiannya soal uang.”

Wanita itu sontak mengatupkan mulut, raut wajah tak percaya jelas terlihat, lalu suara tawanya terdengar.

“Astaga, saya kira masih lajang.”

Zia menggelengkan kepala.

“Sebulan lalu anak saya meninggal, … sementara hubungan saya dan ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi kita juga memburuk, saya terlilit hutang!”

Mendengar itu Ratih tak bereaksi apapun. Namun, sorot matanya menunjukan keterkejutan.

“Ya ampun, turut berduka cita. Kuat ya mbak, kita harus tetap bertahan apapun masalahnya.”

Zia menundukan pandangan, kemudian mengusap sudut mata.

“Ah tidak seharusnya saya berbicara seperti ini, rasanya aneh sekali,” Zia terkekeh.

Namun, perempuan itu mengusap pelupuk matanya lagi dan lagi.

“Saya pernah ada di posisi mbak, … saya tahu rasanya bagaimana. Sakit, kecewa dan hancur sudah pasti! Akan tetapi kita harus tetap bertahan. Sebaiknya kita istirahat sekarang, besok pagi kita harus bekerja!”

“Mbak Ratih nggak pulang?”

“Saya baru diizinkan pulang setelah mbak Zia tahu apa yang harus mbak Zia kerjakan. Itu sudah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah apalagi di ganggu gugat,” ujar Ratih.

Zia mengangguk, dia mulai naik ke atas tempat tidur dan membaringkan dirinya disana. 

Seperti biasa, saat malam menyapa kerinduannya terhadap Viona semakin membuncah. Bohong jika Zia tak ingin menangis, tapi perempuan itu jelas sudah memutuskan. Jika hidup tak berhenti hanya karena Viona pergi, justru dia harus kuat agar putrinya dapat tenang di alam sana.

Sejumlah uang berobat yang dihitung menjadi hutang, jelas akan memberatkan Viona. Dan itu cukup, sehingga Zia harus fokus mengumpulkan rupiah agar dapat segera melunasinya dengan segera.

‘Mama pasti melunasi uang yang kita pakai, … secepatnya. Mama janji!’ Zia membatin, dengan kelopak mata yang perlahan terpejam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status