Share

Bab 3

Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.

Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.

“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.

Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.

“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.

Ayu mengulum senyum.

“Lebih repot ninggalin mbak sendirian di rumah itu,” tukas Ayu sambil tertawa pelan. “Apalagi itu rumah pemberian mertua mbak, bisa-bisa setelah ini ditagih uang sewa karena terus tinggal disana!” Katanya lagi.

Membuat Zia menganggukan kepala, kemudian bangkit berniat untuk mengantarkan Ayu hingga ambang pintu kamar kost seperti biasa yang selalu ia lakukan.

“Nanti kalau mas Robi jemput, … mungkin mbak pulang saja!” Zia masih berharap.

Ucapan perempuan itu sontak membuat Ayu memutar tubuh, dan menatapnya dengan ekspresi wajah tak suka.

“Sebulan mbak nggak di cari, nggak di peduliin. Masih berharap dijemput? Padahal tahu keadaan mbak lagi nggak baik!” Suara Ayu memekik pelan.

“Mbak sehat?” Ucapnya lagi sambil tersenyum miring dan menggelengkan kepala.

“Habisnya kalau disini terus mau sampai kapan? Lamaran sudah mbak kirim kemana-mana. Tapi belum ada panggilan juga, … apa karena mbak sudah menikah ya?” Zia putus asa.

Ayu duduk di salah satu kursi yang tersedia, kemudian mengenakan sepatu.

“Sabar, setidaknya mbak sudah usaha.”

“Tapi mbak nganggur. Lalu bagaimana mbak harus mempersiapkan diri kalau memang hubungan ini sudah benar-benar tak bisa dipertahankan, tidak mungkin mbak bergantung terus sama kamu,” ujar Zia.

“Ya ampun, sebulan masih belum bisa bikin mbak yakin ya? Suami macam apa selagi masa berkabung ninggalin istrinya sendirian. Dia udah nggak peduli mbak. Bisa-bisanya mbak ada pikiran buat balik sama mas Robi.”

Kata-kata itu membuat segumpal daging di dalam dadanya semakin berdenyut. Bohong jika Zia tidak berharap Robi akan menyusul dan memintanya untuk kembali, lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi semuanya terlihat semakin jelas bahwa hubungan mereka kini sudah sangat memburuk.

“Coba deh mbak gabung sama ibu-ibu yang suka nongkrong di kantin. Sambil nunggu panggilan kerja, gimana kalau terima job lain? Cuci gosok misalnya?” Ayu memberikan usul.

Zia mengangguk.

“Mbak coba tanya-tanya nanti.”

“Ayu berangkat ya, udah siang juga!” 

Ayu melangkah maju, merangkul Zia dan mencium pipi kanan dan kiri. Sebelum akhirnya gadis itu beranjak pergi.

Beberapa jam setelah itu.

Selesai membenahi kamar kost yang ditempati adiknya. Zia memutuskan untuk keluar, berjalan ke arah kantin dimana disana sudah terlihat beberapa wanita duduk di sebuah kursi kayu.

Obrolan dan suara tawa terus bersahutan tanpa henti, membuat kedua sudut bibirnya tertarik, Zia tersenyum kepada mereka yang mengarahkan pandangan ke arahnya.

“Anak baru, ya?” Salah satu dari mereka bertanya.

“Bukan. Ini kakaknya Ayu!” Sang pemilik kost keluar dari dalam kantin yang juga miliknya.

Zia mengangguk dan tersenyum.

“Bu, mau nasi telor ya seperti biasa. Makan disini aja!”

“Boleh, minumnya mau apa?” 

“Teh anget aja, Bu.”

Wanita yang sempat duduk itu bangkit kembali, dan masuk ke dalam untuk membuatkan pesanan Zia.

“Kirain saya anak baru, soalnya baru kelihatan.”

“Padahal saya disini sudah mau sebulan, Bu. Lagi nunggu panggilan kerja!” Jelas Zia.

Dia yang tak biasa bercakap-cakap terlihat sedikit gugup. Sehingga terus mengalihkan pandangan saat para ibu-ibu memperhatikan.

“Cari kerja sekarang susah, dek. Terlalu banyak syaratnya!” Salah satu dari mereka menuturkan.

Zia mengangguk pelan.

“Eee, … siapa tau ada yang butuh art. Boleh kasih tahu saya aja, Bu.” Kata Zia.

“Bukannya lagi nunggu panggilan kerja? Takutnya kalau mau ambil kerjaan lain nanti tiba-tiba ada panggilan.”

“Sudah sebulan ini belum ada panggilan Bu, padahal saya melamar tidak satu tempat saja,” tutur Zia.

“Mbak sudah menikah?”

Zia menimpali pertanyaan itu dengan anggukan kepala pelan.

“Oh pantes, kebanyakan syarat kerja sekarang kan masih lajang sama berpenampilan menarik, … di kira orang jelek nggak butuh makan kali ya! Tapi mbaknya cantik, kendalanya mungkin hanya status saja!”

Zia mengangguk lagi.

“Oh, kemarin mbak Ranti nanyain yang mau kerja. Dia mau berhenti tapi di suruh nyari gantinya dulu!” Ucap pemilik kost sambil memberikan piring berisikan nasi dengan lauk telur dadar kepada Zia, tak lupa meletakan segelas teh hangat di sampingnya.

Zia menatap wanita di hadapannya lekat-lekat. Tiba-tiba dirinya berharap jika pekerjaan itu masih ada sampai dirinya tak lagi terlunta-lunta dan membuat Ayu kerepotan.

“Boleh di infoin ya, Bu. Siapa tahu masih ada, saya butuh kerjaan!”

“Boleh, … nanti deh saya telepon. Kalau ada kabar ibu kasih tahu lagi!” Katanya kepada Zia.

Zia tersenyum, dan dia memulai acara makannya. Menikmati sepiring nasi putih, bersama telur dadar kecap yang sudah menjadi pesanan tetap perempuan itu.

***

Tok tok tok!!

Ketukan di balik pintu terdengar beberapa kali, membuat Zia segera beranjak mendekat dan membuka pintu kamar kost yang tertutup rapat.

Dan disanalah seorang wanita yang Zia ketahui sebagai pemilik kost. Berdiri tepat di hadapan pintu sambil memegangi handphone.

“Bu?”

“Mbak, gimana? Jadi nggak?” Wanita itu langsung bertanya.

“Kerjaan yang tadi ya? Jadi Bu, jadi.”

Perempuan itu tampak sangat antusias, wajahnya sumringah dengan bibir yang terus memperlihatkan senyum. 

Semangat hidup yang sempat hilang seolah kembali, menghadirkan rasa bahagia yang tak bisa Zia jelaskan dengan kata-kata. Lama sudah tak pernah memperoleh hasil sendiri, akhirnya suatu pekerjaan sudah ada di depan mata.

“Tapi jadi art. Yakin nggak apa-apa?” Wanita itu meyakinkan, karena biasanya pekerjaan itu cukup di hindari banyak orang karena alasan gengsi.

Apalagi untuk perempuan muda seperti Zia. Jarang sekali ada yang menerima profesi tersebut.

“Yakin Bu, yang penting saya punya gaji!” Katanya dengan penuh semangat.

Kesedihannya sedikit terobati, tidak tahu kenapa. Tiba-tiba hatinya terasa sangat lapang, sesuatu yang menghimpit di dalam dada terasa lepas dari dalam dirinya.

“Siap-siap aja dulu, nanti katanya di jemput kalau beneran deal mau kerja.”

Zia mengangguk.

“Tempatnya jauh ya, Bu?” Tanya Zia.

“Masih di kota ini, mbak. Cuma ya kalau di bilang Deket nggak juga, … dari sini harus naik transportasi umum. Kalau jalan kaki kejauhan.”

“Harus bawa lamaran kerja juga nggak Bu?”

Wanita di hadapannya tertawa.

“Tidak usah, … hanya menjadi asisten rumah saja mbak!”

“Oh kalau begitu saya siap-siap dulu,” seru Zia yang langsung mendapat anggukan dari wanita yang tak pernah Zia ketahui namanya.

Karena orang-orang selalu memanggil dengan sebutan, ibu kost.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status