Share

Bab 6

Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan.

Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti.

Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya.

“Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai.

Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu.

“Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya.

“Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut.

“Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.”

Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu menganggukan kepala.

“Baik, pak.”

“Sudah, ayo masuk. Nanti keburu gerbangnya ditutup!”

Zia membuka pintu di sampingnya, dan segera meraih tangan Cira untuk dia genggam seperti yang selalu dia lakukan kepada mendiang putrinya. Namun, Cira jelas menolak hingga menarik tangannya sendiri dengan kasar, kemudian berlari mendahului.

Perempuan itu mengulum senyumnya, menarik dan menghembuskan nafas, lalu menyusul dengan langkah pelan.

‘Sabar Zia, sabar. Yang terpenting sekarang kamu sudah mempunyai pekerjaan, mungkin sekarang Cira belum terbiasa.’

***

Area taman yang cukup luas menjadi tempat pilihan Zia untuk menunggu. Tidak ada satu murid pun yang memiliki pendamping seperti Cira, dan Zia diizinkan tetap di area sekolah karena gadis itu yang harus benar-benar diperhatikan.

Kerap kali dia mengalami alergi yang sangat parah karena kurang teliti dalam memilih makan hingga sekujur tubuhnya memerah, bahkan sampai mengalami gangguan saluran pernafasan.

Meskipun pihak sekolah sudah diberi tahu bagaimana keadaan Cira. Namun, tidak tahu kenapa mereka selalu kecolongan hingga beberapa orang menganggap apa yang terjadi memang disengaja gadis kecil itu hanya untuk mencari perhatian dari sang ayah.

“Mama jadi kangen Vio,” gumam Zia sambil memandang langit.

Hatinya terasa sesak, kekosongan yang terasa terkadang membuat Zia ingin menyerah saja dengan kerasnya hidup yang dia jalani.

Tumbuh besar tanpa kasih sayang ayah dan ibu, berjuang bersama sang adik agar mendapatkan hidup yang lebih baik. Bahkan indahnya berkeluarga tak menjamin kebahagiaan itu datang, apalagi saat Zia menikah dengan pria dimana keluarnya tidak merestui hubungan mereka.

Mungkin karena latar belakangnya, sehingga keluarga Robi menilai Sazia dengan sebelah mata.

Dan, ya. Kini Robi memilih keluarganya sampai membiarkan Zia sendirian menghadapi ujian hidup yang terasa sangat berat.

“Mbak?”

“Mbak?”

“Eh, i-iya bu?” Zia langsung bangkit dari duduknya.

“Jam istirahat Cira sudah tiba, tolong diperhatikan. Takutnya nanti pihak sekolah lagi yang salah,” ujar wanita itu.

Zia menganggukan kepalanya.

“Mbak kan baru, … boleh di tanya dulu sama petugas di kantin yah biar nggak salah. Soalnya makanan di kantin sekolah kami ada beberapa olahan yang memakai udang dan daging kepiting.”

“Baik, Bu.”

Setelah berjalan dari area taman yang cukup berjarak, akhirnya Zia sampai di depan kelas Cira. Anak perempuan itu cemberut, sambil menatapnya dengan ekspresi marah.

“Cira mau ke kantin?” Zia berjongkok, lalu tersenyum.

“Nggak jadi.” 

“Kenapa? Waktunya masih ada. Ayo mbak antar!” Zia hendak meraih tangan Cira.

Namun, gadis itu mundur dua langkah ke belakang untuk menghindari pengasuh barunya.

Zia masih memperlihatkan senyum.

“Oke, oke. Mbak Zia salah karena membuat Cira menunggu, maaf ya?”

Cira tidak menjawab, dia hanya terlihat mendelikkan mata.

“Mbak Zia tidak bawa bekal, … tadi kata mbak Ratih Cira cuma suka jajan di kantin kalau sekolah. Jadi, kalau Cira tidak mau bagaimana kalau lapar pas pelajaran kembali dimulai?”

Gadis itu tampak berpikir.

“Mbak Zia minta maaf, oke? Janji besok menunggunya tidak terlalu jauh,” dia mengacungkan jari kelingkingnya sambil terus memperlihatkan senyum.

Namun, Cira justru membuang muka.

“Bodo amat!” Katanya.

Lalu gadis itu berjalan melewati Zia sampai tubuh mereka sedikit bertabrakan. Cira berlari ke arah dimana kantin berada, meninggalkan Zia begitu saja.

Zia menghela nafasnya.

“Pantas saja tidak ada yang betah. Karakternya sulit dimengerti,” ucap Zia setengah berbisik.

Setelah itu dia bangkit, kemudian berjalan mengikuti Cira yang sudah berada di area kantin yang terbuka.

Anak-anak berlarian kesana dan kemari, mereka berteriak meminta petugas yang berjaga memenuhi keinginannya. Sementara Cira tampak berdiri di hadapan etalase, dimana terdapat cromboloni berbagai varian rasa.

“Uncle, Cira mau satu rasa pistachio ya.”

Pria yang ada di balik etalase itu mengangguk, kemudian membawa wadah dan meletakan satu pesanan Cira disana.

“Mas, itu nggak ada olahan seafoodnya, kan?” 

“Tidak ada, kak.”

Cira menoleh, kemudian mengangkat pandangan.

“Ya nggak lah. Masa begini aja tidak tahu! Ini itu makanan manis, masa ada udangnya,” Cira mendelik.

“Kampungan!” Ucap gadis itu pelan dan hampir tidak terdengar.

Namun, karena jaraknya dengan Zia cukup dekat. Jelas perempuan itu mampu mendengarnya cukup jelas. Tidak ada yang bisa Zia lakukan selain terus tersenyum.

‘Sepertinya menghadapi Cira butuh kesabaran,’ Zia membatin.

“Aku mau jus strawberry,” Cita menunjuk chiller.

“Ada lagi?” Tanya pria tadi setelah membawakan pesanan Cira.

Jus strawberry yang di tempatkan di dalam sebuah botol.

“Sudah,” jawab Cira singkat.

“Kasih catatan dulu ya mas, saya lupa minta bekal sama bos saya tadi.”

“Oh, iya mbak.”

Zia tersenyum sambil mengangguk.

“Terima kasih.”

“Ish, … Zia ceepeetan baaawaaa!” Cira merengek kesal.

“Iya iya.”

Zia membawa nampan yang diberikan petugas kantin tadi, seraya berjalan membuntuti Cira.

“Mau dimana? Kursinya masih banyak yang kosong ini.”

“Aku sukanya duduk di sudut, Zia. Nggak mau di tengah-tengah seperti itu, terlalu ramai gamau. Gitu aja kenapa tidak mengerti sih?!”

Zia menghentikan langkahnya sebentar, menatap gadis cantik berambut panjang itu dengan perasaan campur aduk. Hari pertama menjaganya saja sudah membuat Zia habis kesabaran.

“Ziaaaaa!”

“Ya ampun,” Zia menggelengkan kepalanya.

Perempuan itu menghirup dan menghembuskan nafasnya perlahan sampai beberapa kali. Kemudian dia kembali melangkah untuk menyambangi tempat dimana Cira berada saat ini.

“Nah, makanlah sebelum jam istirahat Cira habis.” 

Zia meletakan nampan itu di atas meja, lalu menggesernya sampai berada tepat di hadapan anak asuhnya.

“Ambilin air putih!” 

“Kan sudah ada jus.”

“Ambilin air putih, Zia!”

Dia langsung menuruti kemauan Cira, membawa sebotol air putih kemasan dan membawanya ke hadapan gadis itu.

“Bukain.”

Zia membawanya kembali, dan membuka segel juga penutup botolnya.

“Minumnya hati-hati, jangan sampai tersedak.”

Gadis itu hanya terus minum tanpa mau peduli apa kata pengasuh barunya.

Cira menggigit cromboloni pesanannya perlahan-lahan, sambil menatap Zia. 

“Ah, nafsu makan aku jadi hilang. Habiskan saja Zia, aku mau ke kelas lagi, … main sama temen-temen!”

Cira berdiri, kemudian berlari menjauh meninggalkan Zia begitu saja.

“Astaga!” Zia memejamkan mata, juga mengusap wajahnya sambil menghembuskan nafas pelan.

“Apa aku akan sanggup kalau seperti ini terus? Ini baru sehari. Tapi wataknya tidak sama dengan Viona yang …” tiba-tiba Zia berhenti berbicara.

‘Dia Cira, Zia. Bukan Viona putrimu! Jelas mereka berdua sangat berbeda!’ hatinya berbicara.

Aurin99

Hay cuyung 😘

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status