LOGINJantung Aria berdebar kencang.Ia selalu kewalahan menghadapi kejujuran Bobby yang terlalu terus terang.Pipi Aria memerah tipis. Ia mencondongkan tubuh ke depan dan merendahkan suaranya.“Kamu harus pesan kopi langsung di kasir. Di sini tidak ada pelayan yang menerima pesanan.”Bobby mengangkat alis, jelas ingin menggodanya. “Bukankah kamu juga pelayan?”Aria buru-buru menyodorkan menu ke arahnya. “Kamu pesan sendiri. Aku tidak bisa lama-lama.”“Kalau begitu, pesan saja untukku. Apa pun yang menurutmu enak.”Bobby mengeluarkan kartu emas dari dompetnya, lalu dengan santai menggenggam tangan Aria dan meletakkan kartu itu di telapak tangannya. “Tidak perlu PIN. Pakai saja.”Saat menyerahkan kartu itu, jarinya sengaja menyentuh punggung tangan Aria.Aria panik. Ia cepat-cepat menarik tangannya, wajahnya memerah dari pipi sampai ke telinga. Ia menggenggam kartu itu dan bergegas kembali ke kasir.Ia membuatkan Bobby latte kelapa, lalu menggesek kartu untuk membayar.Melihat pemandangan it
“Heh—jadi pada akhirnya yang kau inginkan hanya uang.”Ainsley mencibir dingin.Nada meremehkan itu seperti api yang menyambar wajah Eveline. Dadanya naik turun menahan amarah.“Aku… tidak!” Eveline tersentak, suaranya bergetar. “Kak Ainsley, aku… aku menginginkanmu. Aku menginginkan sebuah keluarga yang utuh…”Sesaat, rasa malu menyergapnya. Namun hanya sebentar.Ia segera mengangkat dagunya.“Kak Ainsley, bukankah sudah seharusnya aku memperjuangkan hak Leah? Aku mempertaruhkan nyawaku untuk melahirkan seorang putri bagi keluarga Addison. Keluarga Addison kalian didominasi laki-laki—bukankah kau seharusnya berterima kasih padaku? Leah masih kecil dan belum mengerti apa-apa. Sebagai ibunya, akulah yang harus memperjuangkan hak-haknya!”Ainsley menatapnya datar, dingin, tanpa sedikit pun empati.“Tidak,” ucapnya pelan. “Aku tidak berterima kasih. Aku malah merasa jijik.”“Kau—!” Eveline menggigil marah. Bibirnya digigit hingga terasa asin oleh darah.“Kak Ainsley, bagaimana kau bisa b
Luke menggeleng pelan. Ia memanggil kepala pelayan, menyuruhnya mengoleskan obat pada Brylee, lalu kembali ke kamarnya tanpa menoleh lagi.Brielee yang sejak tadi diam-diam menyaksikan semuanya, melirik Brylee sekilas. Suaranya tenang, tapi tajam."Brylee, kau salah. Kau dan Paman Ketiga memang tak bisa dibandingkan. Yang menyedihkan, kau bahkan belum sadar di mana letak kesalahanmu.”Setelah mengatakan itu, Brielee berbalik. Sorot matanya jelas menunjukkan kekecewaan saat ia melangkah naik ke lantai atas.______Lydia dan Fryle membantu Anatasya mengemasi pakaian seperlunya, lalu mengantarnya ke mobil Bima.“Hati-hati di jalan.”“Bima, mobilnya pelan-pelan saja,” pesan mereka berulang kali.Nyonya Addison sudah berganti pakaian bersih dan ikut mengantar. Melalui jendela mobil, tangannya yang keriput menggenggam tangan Anatasya erat.“Jangan terlalu banyak berpikir,” katanya lembut. “Jika memang terjadi sesuatu, kita akan menghadapinya bersama. Kau sedang hamil, istirahatlah yang cuku
Eveline membeku di tempat. Matanya membelalak lebar. Itu… Nyonya Addison! Tak! Lampu ruang kerja menyala. Dalam sekejap, ruangan itu menjadi terang benderang, dan wajah Eveline terlihat jelas. “Kau!” tatapan Nyonya Addison tajam dan penuh kewaspadaan. “Jangan bersuara!” bentak Eveline panik. Melihat Nyonya Addison hendak berbalik dan melarikan diri, Eveline refleks meraih vas antik di dekatnya, berniat menghantamkannya. “Ah—!” Nyonya Addison ketakutan. Ia mundur dua langkah, menutup bagian belakang kepalanya dengan satu tangan. Kakinya tersandung, tubuhnya limbung, lalu jatuh keras ke lantai. Bruk! Darah langsung mengalir dari belakang kepalanya. Genangan merah menyebar cepat, tampak mengerikan. Dalam kondisi normal, kehilangan darah sebanyak itu hampir mustahil diselamatkan. Nyonya Addison terbaring diam, mata terpejam. Eveline gemetar hebat, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan. Dengan tangan bergetar, ia menunduk dan meletakkan jarinya di bawah hidung w
“Ya, aku menemukan sebuah puisi yang sangat cocok. Isinya memuji keindahan berenang. Nona Aria tampak sangat senang mendengarnya, dan kesannya pada Tuan Keenam jelas makin baik.”Wajah Zack bersinar penuh kebanggaan.“Oh?” Bobby mengangkat alis. “Bacakan.”Bahkan Paman Kelima ikut menoleh, menatap Zack dengan penuh rasa ingin tahu.Zack menarik napas dalam-dalam, lalu membacakan puisi itu dengan wajah serius, “Ah~ bulu putih mengapung di air hijau, telapak tangan merah mengaduk ombak yang jernih!”Paman Kelima terdiam.Bobby juga terdiam.Detik berikutnya, Bobby perlahan melepaskan genggaman pada dua ikat uang tunai itu. Ia melambaikan tangan ke arah pengawal di sampingnya. “Bawa ke bank.”Sambil berkata demikian, pandangannya jatuh ke tangannya sendiri—‘telapak tangan merah’. Sudut bibirnya berkedut, lalu ia tertawa kecil dengan nada kesal.Orang ini lagi.Selalu saja orang ini!Ia berbalik dan pergi dengan langkah kesal.Paman Kelima segera menyusul di belakangnya.Zack mengejar Pam
Kolam renang pribadi itu sunyi. Hanya Bobby yang berbaring santai di kursi pantai, segelas minuman dingin di tangan, sementara Zack berdiri setia di sampingnya. Karena area itu memiliki titik buta, mereka berdua tidak menyadari keberadaan Aria yang berdiri di pintu masuk dengan jantung berdegup kencang.Ia menggenggam gaunnya, ragu untuk melangkah masuk.Baru beberapa detik kemudian, Bobby menoleh. Tubuh tinggi dan tegapnya langsung mencuri perhatian. Ia bangkit, mengibaskan handuk putih yang menggantung di bahunya. Handuk itu jatuh ke kursi, memperlihatkan otot–otot yang terbentuk jelas dan tato rumit di lengan kanannya.Ketika Bobby berjalan menuju tepi kolam, setiap langkahnya memamerkan garis otot yang bergerak halus di bawah kulit. Celana renang hitamnya sedikit melorot di pinggang, memperlihatkan tato huruf dan garis rambut tipis di bawah pusarnya—liar, seksi, dan mematikan.Air memercik tinggi saat ia melompat ke kolam. Gerakannya cepat, kuat, indah—seperti predator yang bermai







