Lisa diseret masuk ke kamar Yasmin, adik tirinya itu oleh sang Ibu dengan hentakan keras dan kasar. Lalu, mendorong tubuhnya hingga membuatnya jatuh tersungkur di lantai.
“Ah!” tanpa sadar Lisa menjerit. “Jangan sok-sok-an tersakiti kamu! Dasar memalukan sekali kamu! Bilang saja kalau kamu kebelet mau kawin, kan?!” ucapan itu terdengar sinis di telinga Lisa. Namun, Lisa yang sudah terbiasa diperlakukan buruk oleh ibunya ini, hanya bisa diam. “Itu!” tunjuknya ke arah pakaian yang ada di atas tempat tidur pada Lisa, “pinjam itu saja dari Yasmin untuk kamu pakai.” Yasmin sang adik tiri berjalan mendekati Lisa yang mencoba untuk berdiri. “Aku hanya bisa meminjamkan baju itu padamu, Mbak, karena badanmu yang kecil itu aku hanya punya baju itu yang layak.” Yasmin berkata dengan santai. Lisa masih diam, dia lalu mengambil pakaian itu, sebuah kebaya model lama berwarna krem, lalu kain batik tulis yang ‘bau lemari’ sangat menempel, baju ini memang cukup sederhana dan pas di badannya. “Ini alat make up-nya! Ingat pakainya yang benar! Kalau rusak, Mbak harus ganti!” sinis Yasmin sambil menyerahkan beberapa jenis make up padanya. Lisa masih mematung, dia masih saja tidak percaya kalau dirinya benar-benar harus menikah dengan pria itu. Pria yang akhirnya bisa menyebutkan namanya dan membuatnya penasaran. ‘Tunggu! Kalau pria itu tadi menyebutkan namanya, apa dia mengingat siapa dirinya?’ Batin Lisa bertanya-tanya. Lisa yang baru menyadari hal ini segera keluar dari kamar Yasmin. “Lisa! Mau kemana kamu?!” Ida berteriak pada Lisa yang buru-buru keluar kamar. Lisa langsung menghampiri kamar dimana Gandha berada. Namun, saat pintu terbuka terlihat ayahnya sedang menggantikan pakaian pria itu! “Lisa, Ayah sedang membantunya mengganti pakaian, kamu bisa keluar dulu.” Duha berkata pada anaknya. “Tapi, Yah, dia itu sudah ingat!” Lisa berkata pada ayahnya dengan antusias. Duha mengerutkan keningnya seraya berkata, “Lisa, ayah mohon kamu jangan membuat ulah lagi.” Setelah ayahnya mengatakan hal demikian Lisa harus menelan kekecewaan kembali. Apalagi, saat melihat pria asing itu kembali ke setelan awalnya. Tatapan kosong ke depan, wajah tanpa ekspresi dan datar, persis bayi besar yang tidak bisa melakukan kegiatan apapun selain di tempat tidur. *** Flash back. Satu bulan sebelumnya. Lisa dan ayahnya bertemu dengan pria asing yang terdampar di tepi laut saat mereka akan pulang ke rumah selepas bekerja di pabrik pengolahan garam milik Juragan Pardi, orang terkaya di kampung mereka saat ini. “Siapa dia?” Lisa bertanya pada ayahnya. “Ayah juga tidak tahu, Nak. Coba ayah lihat dulu, apa dia masih hidup?” Segera mereka menghampiri pria itu. Tubuhnya saat itu banyak terdapat luka dan wajahnya penuh dengan lebam. Keadaannya sangat mengenaskan. “Kita lapor kepala kampung dulu.” Duha secara tidak langsung memerintah Lisa, sementara dia memastikan pria ini masih hidup atau tidak. Lisa mengerti dengan perintah ayahnya ini, dia lalu gegas ke rumah Munir, kepala kampung untuk melaporkan hal ini pada beliau. Setelah menerima laporan Lisa ini, Munir segera menghampiri ke tempat yang dimaksud. Sesampainya di sana Lisa melihat kalau ayahnya sedang berusaha untuk menyadarkan pria itu. “Ayah, apa dia masih hidup?” Lisa bertanya. “Dia masih bernafas dan jantungnya juga berdetak, tetapi dia masih belum sadar.” Duha berkata dengan nada khawatir. “Pak Duha, kita bawa dia ke rumah Bapak saja, kan rumah Pak Duha dekat dari sini.” Munir berkata pada Duha dan langsung disetujui begitu saja. Akhirnya pria ini dibawa ke rumah Duha. Awalnya Ida protes karena suaminya membawa orang asing ke rumahnya, terlebih lagi dia masih dalam keadaan tidak sadar. Kebetulan, sekali Yasmin, anak mereka yang baru pulang ke kampung mengambil cuti kerja, dia adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit besar di kota. “Yasmin, tolong bantu Ayah lihat dulu keadaannya,” pinta Duha pada anaknya ini. Sebagai anak yang baik di mata ayahnya, Yasmin terpaksa memeriksanya, dia mengatakan kalau pria ini masih pingsan dan dalam keadaan yang kurang baik. Berikan waktu istirahat dan gantikan pakaiannya. Duha melakukan apa yang dikatakan oleh Yasmin, dia menggantikan pakaian pria itu, dan Duha juga melihat beberapa bekas luka dan juga lebam di sekujur tubuhnya. Setelah bersih, Yasmin datang kembali dan mengobati luka pria itu dengan setengah hati. Tidak lama berselang pria itu bangun, dia terlihat kebingungan dan melihat orang lain dengan mata yang ketakutan. Pak Duha berusaha untuk bertanya tentang dirinya, namun sayangnya pria itu hanya diam dan membisu. Yasmin mengatakan mungkin saja pria ini sedang hilang ingatan, lantaran syok berat karena sesuatu yang mungkin terjadi padanya. “Pak, lebih baik kita serahkan saja dia sama pihak yang berwenang, mana tahu ada orang yang mencarinya.” Ida istrinya berkata dengan sedikit ketus. Namun, saat akan dibawa keluar pria itu selalu menjerit dan berkata dengan suara lirih, “Tolong … tolong aku … aku akan melakukan apa saja, asal kalian jangan membunuhnya, tolong aku ….” Kalimat ini bagai sebuah rekaman yang selalu berulang. Kalimat yang sama dengan cara penyampaian yang terdengar pilu. Hingga akhirnya, Duha memutuskan agar tetap merawat pria asing ini sampai dia bisa mengingat siapa dirinya. Setelah sadar, pria ini hanya bisa berteriak seperti tadi, lalu pandangannya juga terlihat kosong dan dia persis seperti seorang yang lumpuh, melakukan semuanya di atas tempat tidur. Pun buang hajat, dia merasa seolah tidak terjadi apapun. Duha yang selalu membersihkannya, menggantikan pakaiannya dan juga mengelap badannya. Ida benar-benar marah dengan kelakuan suaminya ini. Dia tidak habis pikir kenapa suaminya sampai dengan sangat bodoh mau merawat orang yang tidak dikenal seperti ini. Awalnya, Duha meminta istrinya untuk menyuapinya makan, tentu saja Ida menolak dengan tegas permintaan ini. “Enak saja! Suruh saja Lisa melakukannya! Kalian yang menemukannya kemarin dan membawanya ke sini. Jadi, lebih baik kalian saja yang bertanggung jawab dengan orang asing itu!” Kalimat Ida terdengar sangat tegas dan tidak bisa dibantah. Lisa akhirnya mengatakan pada sang ayah kalau dia bersedia membantu pria itu untuk mengurus makannya, tetapi untuk urusan menggantikan pakaian dan celananya tetap menjadi urusan Duha. Begitulah kejadian ini terjadi, rutinitas mereka bertambah sejak kehadiran pria ini. Pria ini seperti orang linglung, tiba-tiba suka menjerit hal yang mereka tidak mengerti, entah bahasa asing apa yang digunakannya. Sampai akhirnya selepas Lisa memberikan makan malam pada pria itu, hujan turun lebat, dan terjadilah kehebohan yang berujung pada dirinya harus menikah dengan pria yang dia ketahui namanya adalah Gandha. *** “Mbak Lisa!” Terdengar suara lengkingan tertangkap di telinga Lisa. “Udah selesai belum?” Yasmin masuk ke kamar untuk memastikan kalau Lisa sudah selesai. “Nah, lumayanlah, sekarang mending Mbak Lisa keluar, calon suami Mbak yang gila itu udah nungguin di depan, tuh!” Ucapan Yasmin jelas terdengar mengejek. Lisa berusaha mengatur napasnya, dia benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau akhirnya dia akan menikah di usianya yang ke 25 tahun, dimana usia ini malah sudah dianggap perawan tua oleh orang-orang di kampung mereka. Sampai di ruang tamu, Lisa sudah mendapati beberapa orang yang sudah datang, tatapan mereka kepada Lisa jelas menunjukkan rasa penghakiman. Kemudian, dia melihat ke arah calon suaminya itu. Wajahnya yang menyedihkan, tatapan kosongnya, serta wajahnya yang masih terdapat beberapa bekas luka membuatnya terlihat menyedihkan, wajarlah orang-orang saat ini sedang membicarakannya. Menyadari hal ini, Dalam hati Lisa ragu, apa mungkin calon suaminya bisa berkata lantang untuk mengucapkan ijab kabul pernikahan? Namun, prasangkanya segera dia tepis. ‘Tadi dengan suara jelas, pria ini menyebutkan siapa namanya. Apa mungkin dia …?’Lisa membelalak. Nama itu sudah sering ia dengar. Nama yang selalu disebut Gandha saat tidur tak sadarkan diri di masa-masa awal pernikahan mereka. “Itu… Elvan?” bisiknya.“Iya. Dan yang di sebelahnya…,” tanya Lisa.Gandha mengerutkan keningnya sejenak. “Entah siapa ... Mungkin pacarnya. Atau bahkan istrinya?”Gandha tak bisa menahan senyum tipis. Hatinya terasa lega melihat keponakan yang dulu dianggapnya seperti adik kandung sendiri, kini berdiri tegap dan terlihat lebih dewasa.Namun suasana mendadak berubah saat Gandha menyadari sesuatu.“Nico …,” gumamnya sambil meraih ponsel dan menekan nomor seseorang.Lisa memperhatikannya heran. “Kenapa, Mas?”“Aku harus cari tahu siapa wanita itu dan apa saja yang terjadi selama aku pergi.”Lisa hanya diam memperhatikan suaminya ini.“Sudah lima tahun berlalu, yang aku pantau hanya perusahaan dan siapa saja yang mengendalikannya, tapi aku … tidak sedikit pun menyelidiki kehidupan pribadi keponakanku.” Gandha berkata dengan jujur.Lalu terlih
Rumah sakit itu begitu sunyi, hanya suara langkah kaki para perawat yang sesekali terdengar menggema di lorong-lorong panjang. Gandha berjalan mondar-mandir di depan ruang perawatan dengan wajah cemas. Tangannya terkepal, matanya terus mengarah ke pintu ruangan di mana istrinya, Lisa, tengah dirawat. Bayangan wajah Lisa yang pucat ketika tiba-tiba pingsan di rumah tadi masih terbayang jelas di benaknya.“Ya Tuhan, jangan sampai ada apa-apa,” gumamnya pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.Tak lama, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita keluar sambil membuka masker. Wajahnya tampak ramah, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Gandha penasaran. Pria itu segera menghampiri.“Bagaimana istri saya, Dok?” tanyanya buru-buru.Dokter itu tersenyum, mencoba menenangkan Gandha. “Tenang, Pak. Kondisi istri Bapak sekarang sudah sadar dan cukup stabil. Kami tadi sudah melakukan pemeriksaan awal.”Gandha mengangguk cepat. “Syukurlah. Saya boleh masuk?”“Boleh, tapi sebent
Di tahun Ketiga pernikahan mereka, Lisa mulai berpikir tentang cara lain untuk membantu warga kampung. Dia ingin anak-anak dari keluarga di kampung ini mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ia pun mengutarakan ide untuk mendirikan sebuah yayasan amal. Dengan yayasan ini, anak-anak berbakat dari desa dapat bersekolah di kota dengan layak.Tentu saja, apapun yang ingin dilakukan Lisa, selalu mendapatkan dukungan penuh dari Gandha. Dia sangat setuju dengan usul Lisa. Semua seperti biasanya berjalan lancar.Namun, di balik semua kebahagiaan dan kesuksesan yang mereka capai, Lisa mulai merasa gelisah. Hingga tahun keempat pernikahan mereka, ia dan Gandha belum juga dikaruniai anak. Gandha sendiri tidak pernah mempermasalahkannya, tetapi Lisa merasa ada yang kurang. Ia sering merenung dan bertanya-tanya apakah ini adalah takdir mereka.Dua bulan lagi, mereka akan masuk tahun kelima pernikahan mereka, Lisa akhirnya mengutarakan sesuatu yang selama ini dipendamnya. Malam itu, saat mereka du
Sudah lebih dari setahun sejak kasus Duha berakhir. Segalanya berangsur-angsur kembali tenang, meskipun bayang-bayang dari kejadian itu masih menghantui beberapa orang. Munir, kepala desa yang selama ini dihormati, ternyata terlibat dalam skenario gelap yang dijalankan oleh Ida. Semua yang terlibat kini menerima balasan atas perbuatan mereka. Namun, ada satu yang tak bisa dilupakan oleh Lisa—Yasmin. Saudari tirinya itu, yang tak hanya harus menanggung hukuman atas perbuatannya terhadap Lisa, juga harus menghadapi tuntutan di tempat kerjanya.Yasmin, yang tak hanya dihukum oleh hukum, kini dihantui oleh beban mental yang semakin berat. Tekanan itu membuatnya tak bisa bertahan lagi, dan akhirnya ia harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit jiwa.Pagi itu, di meja makan yang sunyi, Gandha menatap Lisa dengan mata yang penuh perhatian. Sambil menyantap sarapannya, dia memutuskan untuk memecah keheningan.“Sayang,” ucapnya lembut, “besok kamu ikut ke kampung, kan?”Lisa menganggu
Langkah kaki Lisa terasa berat ketika ia mengikuti Gandha turun dari mobil. Di pelataran Pengadilan Agama itu, udara siang yang sedikit panas justru terasa dingin di kulitnya. Ada sesuatu yang menggantung di dadanya, entah itu rasa gugup, takut, atau justru haru. Rasanya semuanya bercampur jadi satu, memenuhi ruang dadanya tanpa bisa dikendalikan.Di depan pintu masuk, Nico sudah berdiri menunggu, lengkap dengan jas rapi dan map di tangannya. Saat melihat kedatangan mereka, pria itu langsung menyunggingkan senyum lebar.“Wah, akhirnya datang juga nih pasangan pengantin baru,” sapa Nico santai, seakan-akan peristiwa ini bukanlah hal yang besar.Gandha hanya mengangguk, sementara Lisa berusaha memaksakan senyuman kecil meski jantungnya berdetak tak karuan.“Semua sudah siap, Bro?” tanya Gandha.“Siap, Bos,” jawab Nico sambil mengangkat map-nya. “Berkas lengkap, saksi lengkap, tinggal sidang istbat sebentar lagi. Hakimnya juga kebetulan orang yang saya kenal baik, insya Allah semua berjal
Lisa menarik napas dalam sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil, meninggalkan Andrian yang terlihat penuh penyesalan di belakangnya.Sejak pagi, pikirannya sudah begitu penuh dengan berbagai hal. Masalah demi masalah seperti tidak mau berhenti datang kepadanya, dan meski satu per satu mulai terselesaikan, tetap saja ada rasa berat yang menumpuk di dadanya. Hari itu, Lisa tahu, akan menjadi hari yang panjang dan berat. Tapi, setidaknya, dia bersyukur karena masih ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya. Salah satunya Gandha.“Sedikit lagi selesai,” gumam Lisa pelan, seolah ingin menenangkan dirinya sendiri.Saat dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, Lisa terkejut. Di dalam mobil itu, sudah ada Gandha yang duduk tenang di kursi penumpang belakang. Lisa sontak memandang ke sekeliling, mencari keberadaan Iyam dan supir lainnya yang tadi menjemputnya, tapi yang ditemukannya hanya senyuman Gandha.“Mas… sejak kapan Mas Gandha ada di sini? Terus, Iyam dan—”“Mereka ku