“Mbak bajuku apa sudah disetrika?” Yasmin menghampiri Lisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga ini.
Lisa tersenyum dan mengangguk. “Sudah, tunggu sebentar, ya.” Dia lalu mengambilkan baju yang dimaksud oleh Yasmin dan menyerahkannya. Yasmin mengamati hasil seterika dari Lisa dan kembali berkomentar, “Mbak, ini kenapa masih sedikit kusut? Kalo dipake, bagian ini keliatan banget gak rapinya.” Lisa hanya menghela napas sejenak mendengar celotehan itu. “Mbak rapiin lagi ini, nanti kalo sudah anterin ke kamar, aku mau beres-beres barang.” Yasmin meninggalkan Lisa dan melemparkan bajunya ke wajah Lisa. Paham, Lisa sangat tahu persis kalau ini pasti akan terjadi. Kembali diperhatikannya baju itu, tidak nampak seperti yang dikatakan oleh Yasmin. Adik tirinya itu memang sengaja ingin membuatnya tersiksa saja, karena itu dia berbuat demikian. Sebenarnya beberapa kali Lisa mencoba untuk berontak, tetapi saat mencoba melakukan hal itu, dia kembali berpikir bahwa percuma saja, karena sang ayah akan menasehatinya untuk bersabar. Lisa tidak menyetrikanya lagi, hanya membawanya ke belakang lalu dia kembali sibuk dengan urusannya di dapur yang masih tanggung, yaitu menghidangkan sarapan mereka. Setelahnya, Lisa kembali memberikan pakaian itu kepada Yasmin. “Yasmin, ini pakaiannya.” Lisa memberikan itu pada Yasmin yang masih sibuk dengan ponselnya di atas tempat tidur. “Oh, iya, letak di sana saja. Mbak sekalian, masukin itu baju ke dalam tas, ya!” perintah Yasmin lagi tanpa melihat ke arah Lisa. Mendadak Lisa menghentikan langkahnya untuk keluar kamar, dia benar-benar ingin berontak, hingga akhirnya untuk kali pertama dia mengabaikan adik tirinya itu. Belum sempat dia benar-benar melangkah keluar, Yasmin membentak dan membuatnya sangat terkejut, “Mbak Lisa! Mbak Lisa telinganya tuli?!” Lisa mengepalkan erat tangannya, tetapi dia tidak ingin melihat ke arah adiknya itu. “Hei Mbak Lisa! Berhenti di sana!” Bentak Yasmil lagi pada Lisa yang masih mematung di tempat tanpa menoleh ke belakang. Terdengar langkah Yasmin menghampirinya dan benar saja, Yasmin manarik kuat tangan Lisa membuatnya jatuh terjerembab di lantai. “Mbak Lisa mulai mau melawan, ya?” Kali ini Yasmin menjepit wajah Lisa dengan tangannya dan membuat wajah Lisa mendongak ke arahnya. “Dengar ya Mbak, telingamu jangan ditulikan! Kamu mau melawan?! Menurutmu kamu bisa?” Yasmin berkata dengan nada sinis pada Lisa. Dan kali pertama Lisa menepis kuat tangan Yasmin, membuat wanita itu tersentak karena terkejut. Hingga sang adik pun terdorong ke belakang dan terduduk di lantai. Mendapati hal tersebut Lisa langsung berdiri dengan cepat. Lisa kemudian melihat ke arah Yasmin yang berada di bawahnya dengan tatapan datar, sementara Yasmin, dia matanya menatap dengan nyalang ke arah Lisa, baru saja Yasmin ingin membuka mulut untuk meluapkan emosinya, terdengar suara Duha dari arah luar. “Lisa, Lisa,” panggil sang ayah tidak jauh dari kamar Yasmin. “Aku akan melepaskanmu kali ini,” ucap Yasmin dengan nada penuh penekanan, sementara Lisa tidak menghiraukannya, dia berjalan dengan santai ke arah luar. “Ya, ada apa, Ayah?” tanya Lisa dengan tersenyum. “Ayah sudah pulang dari masjid, ya?” Dia mendekati ayahnya dan mencium punggung tangan pria itu. “Suami kamu … apa kamu sudah membantunya untuk bersih-bersih?” tanya Duha lagi. Mendengar pertanyaan itu Lisa diam sejenak, dia berpikir sejenak tentang kenyataan bahwa Gandha bisa bertindak normal saat ini. “Itu ….” Kata-kata itu terhenti. “Kalau kamu belum melakukannya ayah akan membantumu untuk membersihkan suamimu.” Duha berkata dengan lembut. “Apa?! Apa yang ingin ayah lakukan?!” Terdengar suara Ida membuat keduanya menoleh. Lisa menarik napas dalam. “Ayah, pria gila itu sudah punya istri!” Ida berkata pada Duha dengan suara melengking sambil berjalan mendekati mereka. “Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab istrinya untuk membantunya membersihkan diri dan mengurus semuanya!” Ida berkata dengan melihat sinis ke arah Lisa. “Kamu Lisa, mulai saat ini, jangan menyuruh ayahmu lagi mengurus suami gilamu itu! Ayah, semalam adalah terakhir ayah membantu Lisa, mulai hari ini, dia harus terbiasa dengan tugasnya itu.” Pernyataan Ida barusan menjawab pertanyaan Lisa yang sempat menggantung semalam tentang siapa yang mengganti pakaian suaminya itu. Duha menghela napas dalam, melihat ke arah Lisa lalu berkata pada istrinya, “Bu, Lisa juga perlu waktu lagipula kemarin malam itu–” “Jangan membelanya terus! Semalam sudah terlihat jelas apa yang terjadi, jadi jangan pura-pura lugu, toh dia juga sudah melakukannya, kan?” Ida berkata sambil melihat Lisa dan menatapnya dengan pandangan merendahkan. “Bu, semalam Ibu juga tahu kalau itu hanya kesalahpahaman saja, semalam Lisa hanya membantu Mas Gandha makan seperti biasa lalu, tiba-tiba dia berteriak ketakutan, kita semua tahu, dia selalu menjerit-jerit kalau hari hujan apalagi ditambah dengan kilat dan petir..” Lisa meluapkan apa yang dia rasakan, tetapi dia masih bisa mengendalikannya hingga rasa marah itu masih tetap tertahan. “Oh, ya? Tapi sepertinya semalam kamu cukup menikmatinya.” Ida berkata dengan menyunggingkan sebelah bibirnya. Lisa hanya mendesah pelan dengan tangan yang terkepal erat di samping tubuhnya. “Bu, jangan bicara seperti itu! Kamu sudah kelewatan!” bentak Duha, hal ini cukup mengejutkan Lisa, pasalnya ini pertama kalinya Duha membentak istrinya di depan dirinya. Ida tercengang mendengar nada tinggi dari suaminya itu. “Oh, demi anakmu yang sudah mencoreng nama keluarga kita bahkan kamu sudah berani membentakku, ya?!” Ida berkata dengan suara berang. Tidak ingin ada keributan akhirnya, Lisa kembali mengalah. “Bu, Ayah, maafkan Lisa, Lisa sudah membuat keributan pagi ini.” “Tidak ada yang perlu dimaafkan karena kamu tidak salah.” Ini juga kali pertama sang ayah membela dirinya di depan Ibu tirinya itu. “Dengar ya, Bu, sekali lagi ayah ingatkan, jangan bicara yang tidak baik pada Lisa, karena ayah tahu ini hanya kesalahpahaman saja.” “Ayah apa-apaan sih?!” Ida berkata dengan menunjukkan kekesalannya dia merasa sangat tidak terima dengan masalah ini. Duha kembali melihat ke arah Lisa menatapnya dengan pandangan yang rumit kemudian memerintahkan Lisa, “Lisa lebih baik kamu masuk ke kamarmu sekarang, tunggulah sebentar lagi, ayah akan membantumu membersihkan Gandha.” Tanpa banyak tanya dan membantah lagi, Lisa mengangguk dan segera masuk ke kamarnya. *** Namun, saat tiba di kamarnya, Lisa sangat terkejut. Pasalnya saat ini, Gandha yang sudah lebih rapi. Pria itu juga sepertinya sudah mandi sendiri, tidak seperti hari-hari sebelumnya. “Mas Gandha kamu ….” Lisa menggantung kalimatnya, dia mulai menebak-nebak, tetapi tidak mampu satu kalimat pun keluar dari bibirnya untuk bertanya. Gandha hanya tersenyum sekilas pada Lisa. Rumah Duha memang salah satu rumah yang cukup besar di kampung ini, mengingat mereka dulu adalah orang yang sangat kaya raya di kampung sebelum kejatuhannya bermula. Di setiap kamar rumah ini ada kamar mandi di dalam hingga penghuninya tidak perlu repot untuk berebut kamar mandi. Gandha menarik napas dalam dan melihat tajam ke arah Lisa. “Maaf, aku sudah membuat kekacauan di pagi hari ini.” Mata Lisa berkedip beberapa kali mendengar ucapan Gandha yang benar-benar seperti orang normal. Hingga akhirnya dia tidak tahan untuk segera bertanya, “Mas apa kamu melakukan ini sendiri?” Belum sempat Gandha menjawab terdengar ketukan kuat dari arah pintunya. “Mbak Lisa! Mbak Lisa!” “Kamu dipanggil saudaramu,” ujar Gandha pada Lisa. Namun, Lisa tidak terlalu peduli akan hal itu. “Mas apa kamu benar-benar bisa bicara dengan baik? Apa kamu ingat siapa dirimu? Darimana asalmu?” Lisa bertanya dengan bertubi-tubi, dia berjalan mendekati Gandha dan memegang lengan pria itu. Tatapan mata mereka bertemu, untuk kali ini Lisa bisa melihat jelas wajah suaminya ini. Mata hitam yang tajam, bulu mata lebat, pangkal hidung yang cukup tinggi, alis tebal dan rapi, walaupun wajahnya tertutup cambang yang mulai tumbuh tak beraturan, tetapi kalau dilihat dari jarak yang cukup dekat seperti ini, pria ini memancarkan aura yang luar biasa. BRAKK!!! Suara pintu terdengar dibuka dengan kasar, membuat Lisa dan juga Gandha melihat ke arah pintu, di sana sudah ada Yasmin dengan wajah bertekuk masam, tangannya terlipat di depan dada memandang penuh amarah pada Lisa. Ada apa lagi ini ...?Saat menaiki Yacht itu tetap saja perasaan Lisa sedikit gelisah, walaupun berbagai cara dilakukan oleh Gandha untuk menenangkan istrinya itu, Lisa teruse menerus terpikir apa yang akan terjadi nantinya.Yacth ini terasa berjalan sangat lambat, beberapa kali Gandha memberikan kehangatan pada istrinya itu.“Lebih baik kamu mendengarkan ini saja,” ucap Gandha lalu menempelkan air bud ke telinga Lisa. Sebuah musik yang cukup menenangkan terdengar jelas di sana.Lisa membiarkan wajahny diterpa angin dan memejamkan matanya, benar … ini cukup membuatnya tenang. Gandha memang sangat mengerti bagaimana cara membuat merasa bahagia.Tidak lama berselang, akhirnya yacht ini pun bersandar. Dengan hati-hati Gandha menuntun istrinya untuk turun dari sana, menjaganya dengan penuh perhatian.Beberapa orang terkejut melihat Gandha, hal ini dirasakan jelas oleh Lisa. Namun, hal itu tidak lama terjadi.“Tuan Gandha, ayo ikut saya.” Satria yang sudah ada lebih dulu di sana menghampiri keduanya. Bersama de
Lisa terdiam. Ada desir hangat yang menyelusup di dadanya. Ucapan Gandha mungkin sederhana, tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih kuat.Lisa menghela napas, jemarinya mengusap keningnya yang terasa panas. "Iya, Mas... tapi …."Gandha tersenyum singkat, lalu menatap Lisa dengan penuh kelembutan. "Kamu nggak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Sepertinya ini efek hormon kehamilan."Lisa mengerutkan dahi. "Maksudnya?"Gandha tersenyum kecil, lalu meraih tangan Lisa dan menggenggamnya erat. "Kamu tahu nggak? Aku belakangan ini baca-baca soal kehamilan," katanya sambil menatap mata Lisa lekat-lekat. "Katanya, ibu hamil itu bakal jauh lebih sensitif, gampang cemas, terus kadang suka overthinking hal-hal kecil."
Lisa berdiri di depan cermin tinggi berbingkai ukiran emas, jemarinya saling meremas, seolah itu satu-satunya cara menenangkan kegelisahan yang terus menghantui. Pantulan dirinya tampak anggun dalam balutan gaun satin berwarna nude lembut, lehernya dihiasi kalung tipis berbandul mungil yang gemerlap saat terkena cahaya lampu gantung. Tapi, seanggun apa pun penampilannya, rasa canggung itu tak bisa diusir.Kamar itu terlalu mewah untuk disebut sekadar ruang ganti. Dindingnya berlapis panel kayu mahoni, dengan jendela besar yang tirainya setengah terbuka, membiarkan cahaya sore yang mulai meredup masuk ke dalam ruangan. Di sudut, sebuah kursi malas berbahan beludru krem tampak belum tersentuh, sementara aroma lembut bunga lili dari vas kristal di atas meja kecil menciptakan suasana yang justru membuat Lisa makin sadar — dia bukan bagian dari dunia ini.Baga
Hal ini tentu membuat Diva terkejut, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya saat ini. Dan menurut Gandha hal itu sangat wajar sekali.Diva kembali menatap Gandha lekat-lekat, seolah berusaha membaca setiap gerak-geriknya. Sejak tadi, berbagai pertanyaan berseliweran di kepalanya, dan kali ini dia tak mau lagi menahan diri. Rasa penasaran yang sudah lama dipendam akhirnya mencapai puncaknya.Diva menarik napas, lalu bersandar sedikit ke depan, menatap Gandha tanpa berkedip."Oke, begini saja …," ucap Diva membuka suara, nadanya tegas tapi tetap terdengar santai.Tanpa menunggu respons, Diva langsung melanjutkan, matanya tetap mengunci ke arah pria itu. "Sekarang kamu tinggal di mana?" tanyanya cepat.Gandha se
Sesaat udara sekitar mereka memang menjadi kaku lalu detik berikutnya, Gandha tak bisa menahan tawanya.“Pantas saja Elvan menyukaimu! Sangat menarik sekali ternyata.” Gandha berkata terus terang, karena dia sudah tahu persis Elvan itu orang yang seperti apa. Tidak mudah untuk menaklukan hati keponakannya itu.Wanita itu masih terlihat kebingungan.“Kamu Diva, kan?” Kembali Gandha bicara padanya.Diva hanya mengangguk cepat, terlihat dia masih berpikir sesuatu di dalam kepalanya.“Kamu … apa kamu benar-benar Gandha? Pamannya Elvan?” tanyanya lagi dengan nada tidak percaya.Gandha lalu mengeluarkan ponselnya menunjukkan pada wanita itu gambar dirinya dan Elvan, beberapa kali wanita
Lisa membelalak. Nama itu sudah sering ia dengar. Nama yang selalu disebut Gandha saat tidur tak sadarkan diri di masa-masa awal pernikahan mereka. “Itu… Elvan?” bisiknya.“Iya. Dan yang di sebelahnya…,” tanya Lisa.Gandha mengerutkan keningnya sejenak. “Entah siapa ... Mungkin pacarnya. Atau bahkan istrinya?”Gandha tak bisa menahan senyum tipis. Hatinya terasa lega melihat keponakan yang dulu dianggapnya seperti adik kandung sendiri, kini berdiri tegap dan terlihat lebih dewasa.Namun suasana mendadak berubah saat Gandha menyadari sesuatu.“Nico …,” gumamnya sambil meraih ponsel dan menekan nomor seseorang.Lisa memperhatikannya heran. “Kenapa, Mas?”“Aku harus cari tahu siapa wanita itu dan apa saja yang terjadi selama aku pergi.”Lisa hanya diam memperhatikan suaminya ini.“Sudah lima tahun berlalu, yang aku pantau hanya perusahaan dan siapa saja yang mengendalikannya, tapi aku … tidak sedikit pun menyelidiki kehidupan pribadi keponakanku.” Gandha berkata dengan jujur.Lalu terlih