"Jaga bicaramu!" Salsa lalu diam. "Suami pulang bukannya disambut baik-baik." Ma'ruf menatap tajam. Geram melihat tingkah putrinya barusan. Dia sendiri tidak senang mendengarnya apalagi Imam. Ucapan Salsa sangat tidak pantas. Tidak segan menegur keras. Baru tadi pagi bersikap baik pada suaminya, sekarang tidak lagi. "Iya, Sa. Jangan gitu." Ibunya pun sama tidak senang. Tidak menyangka Salsa akan bicara begitu pada Imam yang baru pulang bekerja. Gadis itu menggigit bibir kuat-kuat. Tidak berani melirik Imam karna sudah melontarkan kalimat menyakitkan. Tiba-tiba saja ucapan itu keluar tanpa bisa ditahan. "Jangan dengerin Salsa, Mam." Ma'ruf malu dan merasa bersalah atas sikap putrinya. Imam mengangguk kecil lalu beranjak dari tempat duduk. "Imam mau mandi dulu." Lelaki itu pergi. Diikuti pandangan Masitah dan Ma'ruf yang iba padanya. Salsa juga sama meliriknya, melihat punggung itu yang menjauh. Lalu menunduk saat ditatap tajam lagi oleh Ma'ruf. "Apa aku jelek?" Dalam hati Imam
"Loh. Mam. Tumben pulang dari bengkel ke sini?" Rasidah heran melihat putranya datang ketika larut sore. "Imam mau numpang mandi." Lelaki itu bergegas ke kamar miliknya. Mengambil handuk di lemari. Sejenak Imam memperhatikan tempat tidur yang rapi. Dia rindu bermalam di sini. Kemudian ke luar lagi. Ibunya masih mematung, menatapnya berlalu ke kamar mandi. Imam membersihkan diri, seluruh tubuhnya disabuni. Sampai sela ketiak pun diperhatikan baik-baik. Seakan takut kotoran tertinggal. Setelah merasa cukup membersihkan tubuh dan menggosok gigi. Dia lalu mencuci muka memakai fasial wash husus laki-laki, memijat-mijat wajah lama. "Ada siapa di dalam kamar mandi, Bu?" Kholid bertanya pada istrinya yang menata makanan di meja makan."Si Imam, Pak.""Oh, tumben kemari. Biasa langsung pulang ke rumah Mertuaya.""Entah. Udah, Bapak makan aja." Rasidah memberikan seporsi makan pada suaminya. "Ibu udah makan?""Tadi makan jam dua, sekarang belum laper. Bapak aja makan duluan.""Yasudah."
"Aa gak mau liat kamu sama dia lagi. Aa gak suka, Salsa!" Gadis itu mendongak. Kilat marah di sepasang mata Imam menghujaminya. "Dia cuma temen, A ...."Imam berpaling. Lelaki itu cemburu sekaligus kecewa. "Kenapa orang itu ada pas kamu keluar asrama? Sengaja ditunggu, iya?""Salsa gak tau ada dia. Kebetulan aja.""Harusnya kamu nolak, dan tunggu Aa ke sana." "Tadinya Salsa mau nelpon Aa, tapi takut Aa capek. Tadinya Salsa mau naik ojek." "Terus, kenapa Aa telpon gak diangkat?""Lagi di jalan A. Hape Salsa ada di tas, mode getar, gak tau." Salsa heran kenapa Imam harus semarah itu? Apa bedanya jika dia pulang dengan ojek? Sama-sama diantar lawan jenis. Imam membelakangi Salsa kembali. Wajahnya masih masam. Masih ada unek-unek yang ingin dikeluarkan. "Harusnya, kamu jangan pulang malam, Sa. Usahakan sebelum magrib atau sore sudah ada di rumah." Inginnya Imam, Salsa ada di rumah ketika pulang bekerja. Dia sudah mencoba berpenampilan baik hari ini. Mengikuti kemauan gadis itu. Salsa
"Sa, maafin aku, ya, kalo kamu kurang berkenan sama kejadian pagi." Alifa membuka suara disela-sela menikmati makan. "Aku juga, Sa." Rahma menyahut. Mereka merasa tidak enak setelah membongkar status pernikahan Salsa pada orang yang menyukainya. "Gak apa-apa. Kalian bener kok." Salsa menjawab tidak semangat. "Tapi, kok, kamu kaya keliatan sedih. Apa sebenarnya kamu suka sama Kak Albyan?" Salsa terdiam sejenak, lalu menatap Alifa yang sudah menanyakan itu. "Bukan begitu." "Lalu?" Istri Imam kini menatap Rahma dan gantian melihat pada Alifa kembali. "Apa boleh aku curhat sama kalian?" Salsa berkata sedikit parau suaranya. Merasakan pilu kembali. Ada hal yang sebenarnya ingin dibagi pada dua sahabatnya. "Boleh, Sa. Biasanya juga kita saling berbagi. Gak perlu nanya-nanya. Kamu mau curhat apa?" Ya, Salsa tahu itu. Mereka sering berbagi dan menceritakan apa saja. Tapi, curahan hatinya kali ini lain. "Gak mau di sini." "Yaudah kita cari tempat lain. Tapi, sebelumnya habiskan dulu
"Pindah?" Salsa mengangguk. "Pindah ke mana?"Salsa menjauh. Menghela napas menatap Imam yang terheran-heran mendengar ucapannya. "Ibu Aa kan punya kontrakan, kita isi salah satu petakan itu. Bagaimana?" "Memangnya kamu mau tinggal di tempat sempit?" "Kita coba aja." "Kamu serius?""Iya, Aa."Imam terdiam masih menyangsikan keinginan Salsa. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?""Emang kenapa, gak boleh? Biar lebih deket ke tempat kerja Aa juga kan?"Imam kemudian tersenyum. "Gimana, ada yang kosong gak?" Suami Salsa mendekat mengecup pipinya gemas. "Aa ish, ditanya malah ngesun aku." Lelaki itu bersorak dalam hatinya karna girang. Dia kini memeluknya. Erat. "Aa ...." "Sstt, diem, Sa. Aa lagi seneng."Salsa pun membiarkan dulu. Dia pergi dari sini dan tinggal dekat dengan Ibu Imam, tentu menjadikan lelaki itu senang. Padahal, sebenarnya dia hanya ingin menghindari Ma'ruf. "Ada kan A kontrakan kosong?" "Gampang, Sayang. Tinggal bilang ke Ibu." "Berapa sewa perbulannya?" Imam
Salsa sedang mengemasi pakaian dan barang-barang yang mau dibawa ke tempat baru. Satu tas besar sudah penuh dengan baju. Satu tas lain diisi buku-buku dan perlengkapan kuliahnya seperti laptop. Di hari libur gadis itu bisa leluasa mempersiapkan keperluan yang akan dibawa.Masitah masuk ke kamar gadis itu, duduk di tepi tempat tidur. "Gak usah dibawa semua dulu, Sa. Nanti bisa diambil lagi kemari." Salsa menutup resleting tas. "Ini juga dipilih yang penting-penting banget dibawa duluan." "Takutnya kamu gak betah, terus mau balik lagi kan repot." Gadis itu lalu duduk dekat ibunya. Salsa sebenarnya tidak begitu yakin bisa betah atau tidak. Tapi, tetap tinggal di rumah ini pun sekarang dia tidak nyaman karna bapaknya. "Iya, Bu." "Kamu gak mau tinggal di rumah orang tua Imam?"Salsa menggeleng. Sama saja dia tidak bebas jika serumah dengan mertuanya. Akan banyak malu dan terpaksa melakukan hal yang tidak disukai. Harus gesit, harus perfack, dan tidak bisa melakukan apapun sesuka hati.
"Semoga kamu betah ya, Sa, di sini." Kholid berbicara pada menantunya. "Ya, Pak." Salsa sedang menikmati makan bersama keluarga Imam. Hanya berempat. Dia, suaminya dan mertua. Robby tidak ada. "Kalo butuh sesuatu ke Ibu aja." "Ya, Bu." Salsa menunduk lagi setelah melihat sekilas Rasidah. Dia terus-terusan tersenyum, Salsa merasa ibu mertua terus ingat kejadian yang sudah memergokinya berada di atas Imam. Gadis itu malu sepanjang acara makan. Sementara Imam cuek saja. Fokus menikmati makan. Dia bahkan selesai duluan. Beranjak bangun setelah meneguk minum. Salsa melihat kepergiannya. Apa Imam tidak tahu dia malu setengah mati di sini? Ingin menyusul tapi tidak mungkin, makanannya belum habis dan lagi rasanya tidak pantas. Salsa merasa nanti harus bantu beres-beres. Menyebalkan Imam sudah meninggalkannya. Meski hal itu wajar, tapi bagi Salsa lain. Kholid sama sudah menyelesaikan makan. Dia pergi begitu saja sama seperti Imam. Bedanya bapak mertua mengucap hamdalah terlebih dulu.
"Ish, Aa apaan?" Salsa buru-buru duduk. "Katanya mau dikerokin, ya, dibuka bajunya.""Tapi, gak mau sama Aa." Salsa malu jika yang melakukan itu Imam. Dia belum mau mempertunjukkan tubuh tersembunyi padanya. Juga ... takut sentuhannya merambat. "Terus, sama siapa?" Salsa diam bingung. "Kamu itu sebenarnya sakit apa?""Aku ... datang bulan A." Imam menarik napas dalam. Dia kira istrinya sakit perut biasa atau masuk angin. Wajahnya lesu mendengar itu. Entah kapan dia bisa menunda menstruasi Salsa lalu membuahinya?Salsa kembali meringis memegangi perut. Pandangan Imam teralih lagi padanya dan kasihan. Rasa kecewanya ditepis dulu. "Emang setiap datang bulan kamu begini, Sa?" Imam menyentuh lengan Salsa. Dia tahu saat-saat istrinya halangan sejak beberapa bulan menikah, tapi baik-baik saja selama ini. "Biasanya gak sakit banget kaya gini ...." "Jadi mau dikerokin apa beli obat?""Dua-duanya." "Yaudah A kerokin dulu kalo gitu.""Gak mau sama Aa." Kini Imam yang terdiam bingung. S