"Kamu boleh ajak Salsa tinggal bersama kamu, Mam."
"Nggak, ah. Salsa mau tetap di sini. Sama Ibu sama Bapak." Salsa tiba-tiba datang lebih dulu menjawab. Suaminya yang baru membuka mulut hendak bicara tidak jadi. Mengatup kembali. "Bapak nanya sama Imam, bukan sama kamu." Salsa cemberut. Diliriknya Masitah ingin meminta bantuan."Ke sini dulu." Ibunya menyuruhnya duduk bergabung. Salsa pun menurut duduk di sampingnya. Tempat yang mereka duduki jadi sempit karena bertiga. Sementara Imam dibiarkan sendiri di sofa sebrang. Masitah menghela napas. Maksudnya Salsa duduk di dekat Imam. Bukan nyempil di tengah-tengah orang tuanya. "Duduknya di sana, Sa." Masitah pun mengulang memperjelas supaya putrinya mengerti. Gadis itu pun pindah dengan ogah-ogahan. Ma'ruf mendes-ah melihat tingkah putrinya. "Tempat tinggal kamu dekat dengan tempat kerja. Maksud Bapak biar gak kejauhan pulangnya, bolak-balik sini, kamu bisa bawa Salsa." "Cuma beda desa doang kok, Pak. Dua puluh menit juga nyampe pake motor dari tempat kerja Aa Mpi ke sini. Gak jauh. Kecuali beda kota." Salsa terus menyampaikan ungkapan keberatan. Kediaman orang tua Imam dekat dengan pasar tradisional. Lahan bengkel di tepi jalan yang menjadi tempat kerjanya milik orang tuanya. Imam tidak dibebani bayar sewa, selain fokus mengelola. Rumah mereka tidak jauh di belakangnya. "Bapak terserah kamu, Mam. Salsa sudah Bapak walikan ke kamu. Kamu berhak atas dirinya. Mau mengajak kemana pun." Salsa resah. Dia tidak mau pergi dari rumah ini. Tidak siap. Ujung jilbabnya diremas-remas. Namun, matanya mengarah pada Imam. Ingin sekali dimengerti laki-laki itu. Untuk jangan memaksa. "Senyamannya Salsa aja, Pak," jawab Imam.Salsa yang tampak tegang bernapas lega. Itu artinya terserah dirinya mau tinggal di mana. "Salsa nyaman tinggal di sini, A." Tersenyum manis Salsa mengatakanya sambil terus menatap Imam. Tentu saja itu memang maunya. "Salsa mau tetap tinggal di sini juga gak apa-apa." Imam menatap lurus Salsa. Sementara gadis itu sudah berpaling pada orang tuanya tersenyum lebih lebar hingga menampakkan giginya. Ma'ruf dan Masitah saling berpandangan kemudian menunduk. Dalam lubuk hati mereka sebenarnya berat melepas si putri bungsu. Namun mereka menyadari, setelah menikah hak atas Salsa sudah berpindah. Ma'ruf hanya memberitahukan bahwa dia sudah pasrah. Imam sangat boleh jika ingin memboyong istrinya pindah. "Oh, ya, Aa Mpi juga udah ijinin Salsa kuliah."Mereka sedikit terkejut mendengar ucapan putrinya. Keduanya lalu melirik sang menantu. Imam tersenyum tipis. "Salsa akan mendaftar di universitas yang ada temen Salsa di sana.""Kamu apa-apaan Sa. Baru nikah ngomongin kuliah." Ma'ruf berbicara tak suka. Putrinya baru tiga hari lalu menjalani resepsi, rasa tak pantas membahasnya. "Kenapa Bapak harus sewot? Orang A Mpi sendiri gak keberatan kok." "Bukan begitu, Sa. Kan bisa dibicarakannya nanti-nanti." "Salsa mau cepet masuk kuliah. Bapak harus nepatin janji Bapak ke Salsa.""Janji?""Iya. Janji akan biayayain kuliah Salsa kalau Aa Mpi udah ijinin. Jangan pura-pura lupa deh."Ma'ruf tidak lupa. Dia hanya tidak menyangka Salsa akan secepatnya meminta. Rencana ingin kuliah ternyata begitu kuat di hatinya. Salsa sudah nekat. Dia bahkan berani mengatakannya di malam pertama pernikahan. Berkata jujur soal perasaannya, memohon pada Imam. "Bapak tidak lupa Salsa. Bapak juga bukan termasuk orang yang suka ingkar. Hanya-""Hanya apa?" Salsa memotong. "Bapak jangan banyak alasan!""Tunggulah dulu jangan langsung.""Lama! Salsa udah nungggu setahun masa harus nunggu lagi? Salsa gak mau kesal di rumah. Salsa pengen menimba ilmu secepatnya. Apa itu salah?""Tidak." Imam yang menjawab. Semua mata tertuju padanya. "Imam tidak keberatan Salsa kuliah. Insya'allah siap menanggung biaya." "Tidak, Mam. Biaya biar ditanggung Bapak. Ini sudah janji Bapak ke Salsa." "Salsa sudah menjadi tanggung jawab Imam. Biar janji Bapak Imam yang ambil alih." Ma'ruf seakan kehabisan kata-kata. Tak berkutik. Salsa juga terdiam. Kesalnya mereda dan menatap lembut suaminya. "Begini, bagaimana kalau biaya kuliah Salsa ditanggung bersama-sama. Jadi tidak seutuhnya dari kamu, Mam." Sungguh Masitah tak enak hati. Sudah banyak menantunya itu mengalah untuk Salsa. Tidak ingin menambah bebannya lebih banyak lagi. "Iya, A. Untuk biaya kuliah Salsa barengan sama Bapak. Biar ringanan." Salsa menyentuh lengan Imam. Tulus. Reaksi alamiah sudah menyaksikan kebaikan suaminya. Rasanya Imam ingin balas menyentuhnya, tapi sungkan. Karena dia tahu gadis itu hanya menghargai pertolongannya. Menganggap bentuk keakraban persaudaraan. Bukan sebagai sentuhan kasih sayang istri ke suami. "Yasudah, kalau begitu."Sudah deal. Salsa menjauh. "Makasi, A." Gadis itu berlalu setelah memastikan keinginannya terpenuhi, juga kenyamanannya di rumah ini bisa dipertahankan. Tiga orang yang masih di sana menatap kepergiannya dalam diam. ***"Aa Mpi!"Salsa berseru begitu turun dari motor. Mesin sudah dimatikan. Helemnya di buka dan mengambil kunci yang menggantung di depan. Orang yang dia panggil menoleh. "Eh, Salsa. Kirain siapa."Salsa tersenyum lantas berjalan ke arahnya. "Sibuk banget, yah?"Laki-laki itu sedang menyervis karburator motor gigi jadul yang ditinggal dulu pemiliknya. Dia menunda sejenak kegiatan tersebut beranjak berdiri. "Gak juga sih. Bisa dibantu kalau ada perlu." "Iya, mau ganti oli mesin.""Oh, bisa.""Merek yang biasa ya, A. Tau kan?" "Iya." Imam menjadikan standar dua motor matic Salsa. Lekas membongkar tempat penyimpanan oli dengan peralatannya. "Kirain ada di pondok, Sa.""Gak A, lagi di rumah. Udah dua minggu.""Oh ... kapan berangkat lagi?""Gak tau. Masih betah, hehee." Imam lalu berjalan ke etalase mencari merek oli yang biasa dipakai motor Salsa. Di sekitarnya terdapat jenis-jenis onderdil lain dan jumlahnya cukup banyak. Dia akan mengerjakan sendiri mengganti oli. Sementara satu pegawainya sedang sibuk mengoprek motor pelanggan. Pemuda itu melirik Salsa, kemudian salah tingkah saat Salsa memergokinya. Hingga membuatnya bergegas kembali ke pekerjaan. "Siapa si, Mam?" Laki-laki lain menghampiri Imam. "Sepupu gue.""Pantesan akrab. Kenalin dong. Minta nopenya deh.""Minta aja sendiri sama orangnya.""Yaela, gak elok, Bro. Masa baru ketemu tiba-tiba minta nope." Imam tidak menanggapi lagi temannya sekaligus pelanggan yang sedang menunggu ganti kampas rem. Dia memilih mendekati Salsa membawa oli pilihannya. "Duduk dulu, Sa." Imam memberinya bangku plastik. "Oh, iya, A. Makasih." Gadis itu pun duduk dan melanjutkan mengotak-atik ponselnya. Imam mencoba menyelesaikan pekerjaan, menunduk mengeluarkan oli bekas menampung pada wadah. Temannya yang tadi meminta nomor ponsel Salsa pergi ke tepi aspal menyalakan rokok. Kendaran ramai berlalu-lalang. "Ibu, Bapak, sehat?" Salsa menoleh pada Imam. "Alhamdulillah, mereka baik-baik aja.""Syukur deh, kalau sekeluarga sehat." "Iya. Aa Mpi mampir deh. Jarang-jarang ke sana. Mumpung Salsa ada di rumah.""Memangnya mau dikasih apa kalo mampir?""Air putih aja. Hahaa." Imam mengoleskan oli bekas ke kaki Salsa yang di bawahnya."Ish, Aa mah. Kan jadi kotor." Gadis itu menggerutu, tapi tidak benar-benar marah, lalu mengusap-usap punggung kakinya. "Sedikit, kok." Imam tersenyum lebar dan kembali menyelesaikan pekerjaan. "Males mampir ah, kalo dikasih air minum doang." "Maunya apa emang?""Kopi dong.""Gampang. Tinggal bikin sendiri." "Ya bikinin.""Gak mau." "Dasar!" Tawa kecil terurai lagi dari bibir Salsa saat Imam berdecak dan mengucapkan satu kalimat itu. ***Laki-laki itu mengerjap sudah teringat momen bersama Salsa sebelum pernikahan. Dari langit-langit kamar pandangannya lalu dialihkan ke samping. Pada Salsa yang lelap. Dia gadis supel. Tidak sungkan menyapa dan mengobrol bersamanya saat mampir di bengkel. Begitu pun dia sendiri menanggapi ramah layaknya saudara dekat. Bercanda dan bertingkah sedikit konyol hal biasa. Imam kemudian duduk. Berniat ke luar kamar mengusir sepi. Selimut yang dia singkirkan tidak sengaja menampakkan betis Salsa dan bagian atasnya. Roknya tersingkap. Dia tidur tidak memakai celana panjang. Imam terdiam untuk beberapa saat. Kemudian menarik perlahan rok itu. "Aa mau apa?!" Laki-laki itu terkejut dan hampir terjungkal Salsa bangun menyentaknya. "Cuma mau benerin. Itu ... kelihatan." Imam sudah turun dari ranjang. Menunjuk paha Salsa dengan pandangan matanya. Salsa menutupi kakinya begitu sadar juga menyelimuti. "Aa mau ke mana?""Diem di luar.""Kenapa gak tidur?""Gak bisa tidur."Salsa diam, Imam tidak menggubrisnya pergi dari kamar begitu saja. Malam ke tiga bersama Salsa. Namun, sejak malam pertama dia kesulitan tidur. Selain kerena belum terbiasa bukan kamarnya, juga karena ... keterpaksaan gadis itu yang dia ketahui. Tidak ada malam indah sebagai pengantin baru.Perut rata Salsa sudah terlihat besar di usia kandungannya yang ke enam bulan. Mual, pusing, tidak terasa lagi. Kini, dia lahap makan apapun. Tidak melulu harus bubur atau sayur sup lagi. Membuat tubuhnya semakin berisi. "Widih, bumil kerjanya makan mulu sekarang." Faisal memasuki rumah mendapati Salsa tengah menyantap mie ayam. "Biarin." Salsa menimpali ketus dan hanya melihatnya sekilas. Terus melanjutkan makan. "Udah nggak cengeng lagi, ya." Ucapan Faisal tidak ditanggapi lagi. Lelaki itu melirik Imam di belakangnya. "Mam, siap-siap aja disuruh beli ini itu." Imam tersenyum. Memang benar, mie ayam itu pun dia yang belikan. Saat ingin sesuatu Salsa selalu meminta kepadanya. "Rese banget sih, Aa Isal. Nggak usah ngeledek aku." "Siapa yang ngeledek?" "Nggak usah ember itu mulutnya. Orang Aa Mpi sendiri nggak keberatan kok, ngebeliin sesuatu untuk aku. Iya, kan A?" Imam mengangguk. "Abisin mie ayamnya.""Iya, Aa, aku pasti abisin kok." Salsa menjawab tersenyum manis. Faisal p
"Aa perut aku nggak enak." Salsa merengek manja pagi-pagi buta. Imam baru selesai solat subuh melipat sarung. Menghampiri istrinya yang meringis merasakan mual sambil mengusap-usap perut sendiri. "Hoek!" Imam baru akan menyentuh tidak jadi, Salsa menepi dari ranjang mengeluarkan isi perutnya pada wadah ember kecil di bawah. Imam menyediakan itu biar tidak bolak-balik kamar mandi. Tengkuk Salsa dipijatnya pelan. Memberikan selembar tisu ketika berhenti muntah. Salsa mengelapi mulutnya sendiri diliputi kesal. "Nggak enak, Aa ...." "Ya ... gimana, Sa. Emang begitu kan hamil muda?" Imam sendiri bingung menanggapinya dan kasihan. Dia memang tidak merasakan apa yang Salsa alami. Semenderita apa tidak tahu, tapi dia mencoba terus memberikan perhatian terbaik untuknya. "Aa ambilin air anget, ya? Tunggu sebentar." Imam ke luar kamar.Di dapur dia menuangkan air panas dari termos, mencampurkan sedikit air dingin. Lalu membawa gelas minum tersebut untuk Salsa. Istrinya itu sudah kembali mer
Menghirup aroma masakan tiba-tiba Salsa mual, dalam perutnya mendorong rasa ingin keluar. Dia yang baru ke dapur buru-buru masuk kamar mandi. Muntah. Masitah menghentikkan gerakakkan tangan membolak-balik ayam kecap di wajan. Cepat menoleh ke arah kamar mandi dan mendengarkan suara Salsa. "Salsa kenapa, Bu?" Imam juga mendengar dan langsung ke dapur. "Ibu kurang tau, Mam. Tiba-tiba Salsa pergi ke kamar mandi dan muntah-muntah. Apa mungkin Salsa ... hamil?" "Hamil?" "Iya. Apa dia telat datang bulan?"Imam mengingat-ingat. Sudah satu bulan lebih Salsa tidak datang menstruasi. Hingga dia leluasa menggauli. Tanpa libur. "Benarkan, Salsa nggak dapat mens?" Imam mengangguk. "Mam, kalo begitu kamu bawa periksa Salsa ke bidan, ya?" Masitah mematikan kompor, berkata semringah. "Iya, Bu." Terdengar Salsa masih muntah, Imam lekas menghampiri. Mengetuk pelan pintu kamar mandi. Perasaannya campur aduk. Antara ingin tersenyum juga panik. "Sa? Buka pintunya." Terdengar guyuran air, tidak
"Bibir kamu manis, habis makan apa?" Imam menyudahi kegitan mencium Salsa yang belum lama disentuh bibirnya. "Habis makan buah manggis." Salsa menunjukkan satu buah manggis utuh di hadapan wajah suaminya. Diambil dari bawah sofa. "Pantes." "Hehe. Kenapa A?" "Cuma penasaran aja itu rasa apa." "Aa mau? Aku suapin." "Boleh, tapi suapinnya pake bibir kamu." Imam mengerling. "Aa mah ... nanti ketahuan Ibu. Barusan Aa main nyosor aja." "Ibunya juga lagi di luar." "Kalo Ibu tiba-tiba masuk gimana? Udah, Aa pergi lagi ke bengkel. Jangan kelamaan istirahatnya. Dari sini ke bengkel Aa kan lumayan jauh.""Cukup lima belas menit kalo bawa motornya cepet." "Aa jangan ngebut bawa motornya." "Iya, Sayang." Imam menjawil pipi Salsa gemas. Perempuan itu meringis kesakitan. "Aa tuh kebiasaan. Suka nyubit pipi aku." Bibir Salsa manyun sebal atas tindakkan suaminya. "Jangan dimanyunin gitu dong bibirnya. Nanti Aa nggak bisa jauh-jauh. Nanti Aa nyosor lagi." Salsa melemparkan bantal sofa pa
"Kamu beneran nggak mau nginep di sini, Sa?" "Nanti aja. Aku baru ninggalin Ibu lama.""Yaudah, kita pamit dulu sama Ibu Aa." "Aa ...." Imam menoleh, Salsa menahan ujung kaosnya yang hendak keluar kamar. "Kenapa?" "Aku malu sama Ibu Aa." Lelaki itu terdiam. Bukan hanya istrinya, dia sendiri pun merasakan itu. Dipergoki sedang berhubungan dalam keadaan setengah telanjang. Hampir hasratnya padam karna gangguan itu. Dia ceroboh tidak mengunci pintu dulu. Lupa saat istirahat siang ibunya selalu menyapa jika ada di kontrakan. Salsa tadinya ingin menyudahi. Tapi, Imam tahan dan mencoba cuek. Dikecup bibirnya, dimanjakan lagi Salsa demi membuatnya nyaman. Hingga keduanya bisa mereguk manisnya puncak bercinta. Itu adalah kegiatan pertama mereka berhubungan suami istri di rumah kontrakan. Imam tidak ingin menyia-nyiakan keberadaan Salsa di sana. Mengajak bermesraan meski siang-siang. Habis itu barulah mereka makan. Imam langsung ke bengkel tanpa ke rumah Rasidah dan Salsa kembali mengur
"Assalamualaikum!" Salsa mengetuk pintu rumah. Masitah memutar kunci dan menarik hendel. "Waalaikumsalam. Salsa, udah pulang?""Ya, Bu." Dia memeluk ibunya sekilas. "Masuk, Sa. Ajak suamimu ke dalam." Imam menyalaminya. Lalu masuk mengikuti dua perempuan itu. Salsa duduk bersandar di sofa. Menikmati lelah sehabis perjalanan. Imam menunda tas besar dan satu jinjingan berisi buah tangan di bawah. Lelaki itu duduk di samping istrinya. Menghela napas tenang sudah selamat sampai tujuan. "Kalian pasti lelah, Ibu ambilin minum, ya." Masitah bergegas ke dapur. Salsa sudah duduk tegap ingin menolak, tapi ibunya keburu pergi. Perempuan itu pun bersandar kembali di sofa. Menoleh saat merasakan sentuhan di pipi. Imam sedang ke arahnya. "Padahal, kita masih ada jatah dua hari, tapi kamu malah mau pulang." "Aku nggak enak Aa libur kelamaan dan ngabisin banyak duit Aa. Lima hari di luar aku udah cukup kok." Mereka hanya dua hari menginap di pantai dan tiga hari di villa. Pukul sembilan malam m
"Apaan sih, Aa. Aku mau solat?!" Salsa berusaha bangun. Imam menahan bahunya. Tubuh Salsa yang setengah terbangun dibaringkan lagi. Lelaki itu mengamati wajah terus turun ke bawah. "Seksii. Kamu sangat menggoda, Sa." "Aku baru abis mandi, Aa Mpi jangan apa-apain aku deh." "Kalo Aa pengen gimana?""Katanya capek, katanya nyuruh aku solat, malah ganggu sekarang." Salsa ingin menutupi tubuh polosnya. Tangannya meraih handuk, namun direbut Imam. "Aa!" Lelaki itu tersenyum menyeringai. Menyentuh dada Salsa menatapnya penuh damba. "Betah Aa liatnya." Dia cepat menunduk menikmatinya. "Aa stop." Salsa menarik rambut Imam menjauhkan. Rasanya memang selalu enak setiap diperlakukan begitu. Tapi, Salsa ingin beribadah solat tidak mau mandi lagi. "Masa Aa mimi sama kamu nggak boleh?""Aku mau solat Aa. Kan tadi Aa sendiri yang nyuruh. Aa tuh suka pura-pura, yah. Pura-pura tidur tadi, sekarang pura-pura lupa suruh aku solat." "Aa nggak lupa kok. Aa pengen aja seneng-seneng dulu sama kamu."
Pada uwaknya, Imam menyerahkan kunci villa sekaligus pamitan. Dia sengaja mendatangi kediamannya. Mengobrol sebentar di dalam rumah, lalu keluar hendak pergi lagi. "Padahal, bermalam saja dulu di sini, Mam. Salsa kan belum pernah menginap di rumah Uwak ini." Uwak perempuan menawarkan mereka untuk lebih lama lagi di kediamannya. "Iya, Mam. Kirain nggak bakal mau pergi cepet-cepet," timpal uwak laki-laki. "Nanti lain kali ke sini lagi. Terimakasih sebelumnya dan maaf kalo merepotkan. Villa masih agak berantakan." "Nggak apa-apa, Mam. Tamu emang nggak harus rapiin. Nanti sama Uwak dibersihin lagi." Uwak perempuan menjawabnya. "Kalo begitu, Imam pamit dulu." Imam cium tangan pada kedua uwaknya. Salsa juga menyalami mereka. "Nanti, ke sini lagi, ya, Sa." Uwak perempuan menyapa Salsa untuk terakhir kali sebelum pergi."Insya'allah, Uwak." "Ayo, Sa." "Iya, A." Kedua pasutri muda itu lekas ke motor yang terparkir di halaman. Masing-masing memakai helem dan membenarkan jaket, kemudian
"Besok kita pulang aja, A." "Loh, kenapa? Baru tiga hari." "Takut kelamaan libur dan ganggu usaha Aa." "Jatah libur kita paling sedikit seminggu. Ibu Aa dulu juga bilang begitu. Soalnya ini kan liburan pertama kita, Sa."Mereka tengah menikmati sarapan bubur ayam. Bubur di mangkuk Salsa masih banyak sedangkan punya Imam sudah tinggal sedikit. Lelaki itu memakan lebih cepat, tidak peduli meski masih agak panas. Istrinya menyendok satu suap saja mesti ditiup-tiup lama, baru dimasukkan mulut. Itu pun masih dikunyah pelan sebelum ditelan. "Nggak ganggu usaha Aa kok, Sa. Bengkel buka dijaga Wawan. Meski nggak full bisa ngerjain semua. Sebisanya dia." "Aku takut ngabisin uang Aa." "Aa punya tabungan. Aa udah bilang sebelumnya kan? Lagian, kita liburannya juga bukan ke luar negri atau luar pulau. Nggak ngabisin budget mahal." Imam sudah menandaskan bubur dan meneguk air minum di gelas. Mendorong mangkuk kosong bekas makan ke hadapannya sendiri. "Malah, Aa ditambahin juga sama Ibu Aa, Sa