Share

Pokoknya Mau Kuliah!

"Kamu boleh ajak Salsa tinggal bersama kamu, Mam."

"Nggak, ah. Salsa mau tetap di sini. Sama Ibu sama Bapak." 

Salsa tiba-tiba datang lebih dulu menjawab. Suaminya yang baru membuka mulut hendak bicara tidak jadi. Mengatup kembali.  

"Bapak nanya sama Imam, bukan sama kamu." 

Salsa cemberut. Diliriknya Masitah ingin meminta bantuan.

"Ke sini dulu." Ibunya menyuruhnya duduk bergabung. Salsa pun menurut duduk di sampingnya. Tempat yang mereka duduki jadi sempit karena bertiga. Sementara Imam dibiarkan sendiri di sofa sebrang. Masitah menghela napas. Maksudnya Salsa duduk di dekat Imam. Bukan nyempil di tengah-tengah orang tuanya. 

"Duduknya di sana, Sa." Masitah pun mengulang memperjelas supaya putrinya mengerti. 

Gadis itu pun pindah dengan ogah-ogahan. Ma'ruf mendes-ah melihat tingkah putrinya. 

"Tempat tinggal kamu dekat dengan tempat kerja. Maksud Bapak biar gak kejauhan pulangnya, bolak-balik sini, kamu bisa bawa Salsa." 

"Cuma beda desa doang kok, Pak. Dua puluh menit juga nyampe pake motor dari tempat kerja Aa Mpi ke sini. Gak jauh. Kecuali beda kota." Salsa terus menyampaikan ungkapan keberatan. 

Kediaman orang tua Imam dekat dengan pasar tradisional. Lahan bengkel di tepi jalan yang menjadi tempat kerjanya milik orang tuanya. Imam tidak dibebani bayar sewa, selain fokus mengelola. Rumah mereka tidak jauh di belakangnya. 

"Bapak terserah kamu, Mam. Salsa sudah Bapak walikan ke kamu. Kamu berhak atas dirinya. Mau mengajak kemana pun." 

Salsa resah. Dia tidak mau pergi dari rumah ini. Tidak siap. Ujung jilbabnya diremas-remas. Namun, matanya mengarah pada Imam. Ingin sekali dimengerti laki-laki itu. Untuk jangan memaksa. 

"Senyamannya Salsa aja, Pak," jawab Imam.

Salsa yang tampak tegang bernapas lega. Itu artinya terserah dirinya mau tinggal di mana. 

"Salsa nyaman tinggal di sini, A." Tersenyum manis Salsa mengatakanya sambil terus menatap Imam. Tentu saja itu memang maunya. 

"Salsa mau tetap tinggal di sini juga gak apa-apa." Imam menatap lurus Salsa. Sementara gadis itu sudah berpaling pada orang tuanya tersenyum lebih lebar hingga menampakkan giginya. 

Ma'ruf dan Masitah saling berpandangan kemudian menunduk. Dalam lubuk hati mereka sebenarnya berat melepas si putri bungsu. Namun mereka menyadari, setelah menikah hak atas Salsa sudah berpindah. Ma'ruf hanya memberitahukan bahwa dia sudah pasrah. Imam sangat boleh jika ingin memboyong istrinya pindah. 

"Oh, ya, Aa Mpi juga udah ijinin Salsa kuliah."

Mereka sedikit terkejut mendengar ucapan putrinya. Keduanya lalu melirik sang menantu. Imam tersenyum tipis. 

"Salsa akan mendaftar di universitas yang ada temen Salsa di sana."

"Kamu apa-apaan Sa. Baru nikah ngomongin kuliah." Ma'ruf berbicara tak suka. Putrinya baru tiga hari lalu menjalani resepsi, rasa tak pantas membahasnya. 

"Kenapa Bapak harus sewot? Orang A Mpi sendiri gak keberatan kok." 

"Bukan begitu, Sa. Kan bisa dibicarakannya nanti-nanti." 

"Salsa mau cepet masuk kuliah. Bapak harus nepatin janji Bapak ke Salsa."

"Janji?"

"Iya. Janji akan biayayain kuliah Salsa kalau Aa Mpi udah ijinin. Jangan pura-pura lupa deh."

Ma'ruf tidak lupa. Dia hanya tidak menyangka Salsa akan secepatnya meminta. Rencana ingin kuliah ternyata begitu kuat di hatinya. Salsa sudah nekat. Dia bahkan berani mengatakannya di malam pertama pernikahan. Berkata jujur soal perasaannya, memohon pada Imam. 

"Bapak tidak lupa Salsa. Bapak juga bukan termasuk orang yang suka ingkar. Hanya-"

"Hanya apa?" Salsa memotong. "Bapak jangan banyak alasan!"

"Tunggulah dulu jangan langsung."

"Lama! Salsa udah nungggu setahun masa harus nunggu lagi? Salsa gak mau kesal di rumah. Salsa pengen menimba ilmu secepatnya. Apa itu salah?"

"Tidak." Imam yang menjawab. Semua mata tertuju padanya. "Imam tidak keberatan Salsa kuliah. Insya'allah siap menanggung biaya." 

"Tidak, Mam. Biaya biar ditanggung Bapak. Ini sudah janji Bapak ke Salsa." 

"Salsa sudah menjadi tanggung jawab Imam. Biar janji Bapak Imam yang ambil alih." 

Ma'ruf seakan kehabisan kata-kata. Tak berkutik. Salsa juga terdiam. Kesalnya mereda dan menatap lembut suaminya. 

"Begini, bagaimana kalau biaya kuliah Salsa ditanggung bersama-sama. Jadi tidak seutuhnya dari kamu, Mam." Sungguh Masitah tak enak hati. Sudah banyak menantunya itu mengalah untuk Salsa. Tidak ingin menambah bebannya lebih banyak lagi. 

"Iya, A. Untuk biaya kuliah Salsa barengan sama Bapak. Biar ringanan." Salsa menyentuh lengan Imam. Tulus. Reaksi alamiah sudah menyaksikan kebaikan suaminya. 

Rasanya Imam ingin balas menyentuhnya, tapi sungkan. Karena dia tahu gadis itu hanya menghargai pertolongannya. Menganggap bentuk keakraban persaudaraan. Bukan sebagai sentuhan kasih sayang istri ke suami. 

"Yasudah, kalau begitu."

Sudah deal. Salsa menjauh. "Makasi, A." 

Gadis itu berlalu setelah memastikan keinginannya terpenuhi, juga kenyamanannya di rumah ini bisa dipertahankan. Tiga orang yang masih di sana menatap kepergiannya dalam diam. 

***

"Aa Mpi!"

Salsa berseru begitu turun dari motor. Mesin sudah dimatikan. Helemnya di buka dan mengambil kunci yang menggantung di depan. 

Orang yang dia panggil menoleh. "Eh, Salsa. Kirain siapa."

Salsa tersenyum lantas berjalan ke arahnya. "Sibuk banget, yah?"

Laki-laki itu sedang menyervis karburator motor gigi jadul yang ditinggal dulu pemiliknya. Dia menunda sejenak kegiatan tersebut beranjak berdiri. "Gak juga sih. Bisa dibantu kalau ada perlu." 

"Iya, mau ganti oli mesin."

"Oh, bisa."

"Merek yang biasa ya, A. Tau kan?" 

"Iya." 

Imam menjadikan standar dua motor matic Salsa. Lekas membongkar tempat penyimpanan oli dengan peralatannya. "Kirain ada di pondok, Sa."

"Gak A, lagi di rumah. Udah dua minggu."

"Oh ... kapan berangkat lagi?"

"Gak tau. Masih betah, hehee." 

Imam lalu berjalan ke etalase mencari merek oli yang biasa dipakai motor Salsa. Di sekitarnya terdapat jenis-jenis onderdil lain dan jumlahnya cukup banyak. 

Dia akan mengerjakan sendiri mengganti oli. Sementara satu pegawainya sedang sibuk mengoprek motor pelanggan. Pemuda itu melirik Salsa, kemudian salah tingkah saat Salsa memergokinya. Hingga membuatnya bergegas kembali ke pekerjaan. 

"Siapa si, Mam?" Laki-laki lain menghampiri Imam. 

"Sepupu gue."

"Pantesan akrab. Kenalin dong. Minta nopenya deh."

"Minta aja sendiri sama orangnya."

"Yaela, gak elok, Bro. Masa baru ketemu tiba-tiba minta nope." 

Imam tidak menanggapi lagi temannya  sekaligus pelanggan yang sedang menunggu ganti kampas rem. Dia memilih mendekati Salsa membawa oli pilihannya. 

"Duduk dulu, Sa." Imam memberinya bangku plastik. 

"Oh, iya, A. Makasih." Gadis itu pun duduk dan melanjutkan mengotak-atik ponselnya. 

Imam mencoba menyelesaikan pekerjaan, menunduk mengeluarkan oli bekas menampung pada wadah. Temannya yang tadi meminta nomor ponsel Salsa pergi ke tepi aspal menyalakan rokok. Kendaran ramai berlalu-lalang. 

"Ibu, Bapak, sehat?" 

Salsa menoleh pada Imam. "Alhamdulillah, mereka baik-baik aja."

"Syukur deh, kalau sekeluarga sehat." 

"Iya. Aa Mpi mampir deh. Jarang-jarang ke sana. Mumpung Salsa ada di rumah."

"Memangnya mau dikasih apa kalo mampir?"

"Air putih aja. Hahaa." 

Imam mengoleskan oli bekas ke kaki Salsa yang di bawahnya.

"Ish, Aa mah. Kan jadi kotor." Gadis itu menggerutu, tapi tidak benar-benar marah, lalu mengusap-usap punggung kakinya. 

"Sedikit, kok." Imam tersenyum lebar dan kembali menyelesaikan pekerjaan. "Males mampir ah, kalo dikasih air minum doang." 

"Maunya apa emang?"

"Kopi dong."

"Gampang. Tinggal bikin sendiri." 

"Ya bikinin."

"Gak mau." 

"Dasar!" 

Tawa kecil terurai lagi dari bibir Salsa saat Imam berdecak dan mengucapkan satu kalimat itu. 

***

Laki-laki itu mengerjap sudah teringat momen bersama Salsa sebelum pernikahan. Dari langit-langit kamar pandangannya lalu dialihkan ke samping. Pada Salsa yang lelap. 

Dia gadis supel. Tidak sungkan menyapa dan mengobrol bersamanya saat mampir di bengkel. Begitu pun dia sendiri menanggapi ramah layaknya saudara dekat. Bercanda dan bertingkah sedikit konyol hal biasa. 

Imam kemudian duduk. Berniat ke luar kamar mengusir sepi. Selimut yang dia singkirkan tidak sengaja menampakkan betis Salsa dan bagian atasnya. Roknya tersingkap. Dia tidur tidak memakai celana panjang. Imam terdiam untuk beberapa saat. Kemudian menarik perlahan rok itu. 

"Aa mau apa?!" 

Laki-laki itu terkejut dan hampir terjungkal Salsa bangun menyentaknya. 

"Cuma mau benerin. Itu ... kelihatan." Imam sudah turun dari ranjang. Menunjuk paha Salsa dengan pandangan matanya. 

Salsa menutupi kakinya begitu sadar juga menyelimuti. "Aa mau ke mana?"

"Diem di luar."

"Kenapa gak tidur?"

"Gak bisa tidur."

Salsa diam, Imam tidak menggubrisnya pergi dari kamar begitu saja. 

Malam ke tiga bersama Salsa. Namun, sejak malam pertama dia kesulitan tidur. Selain kerena belum terbiasa bukan kamarnya, juga karena ... keterpaksaan gadis itu yang dia ketahui. Tidak ada malam indah sebagai pengantin baru.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mba Tini
padah dy tau agama apa dy ga tau membantah suami itu dosa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status