Share

Menikah Dengannya
Menikah Dengannya
Penulis: Biru Langit

Part : 1.

Ya Allah badanku sampek gemetar, berada satu kamar dengannya. Seumur hidupku belum pernah aku bersama dengan laki-laki hanya berduaan dalam satu ruangan. 

Jari tanganku bahkan sudah pucat, karena terus ku remas. Aku gugup, dan takut dalam satu waktu yang sama. Detak jantungku jangan ditanya lagi bagaimana, sudah seperti generang yang ditabuh saat perang.

Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Apalagi saat melihat senyum menyeringainya, ya Allah aku rasanya ingin mati saja, tapi malaikat maut enggan menjemputku. Tentu saja enggan, karena mungkin belum waktunya

Ya Allah bagaimana ini? Dia malah mendekatkan tubuhnya padaku, aroma parfumnya langsung mendominasi Indra penciumanku. Aku takut sekali wajahnya juga tampak tenang aja, tapi bukankah air yang tenang belum tentu aman. Bisa saja lebih bahaya dari yang terlihat bukan

"Doamu terkabul tu," katanya di telingaku, membuat bulu kudukku berdiri ngeri.

Andai aku tau pasti aku tidak akan berdoa saat itu, walaupun aku tidak bermaksud untuk serius. Allah maha baik memang, doa itu terkabul sekarang. 

Aku ingin sekali menangis sekarang, menyesal pernah berdoa seperti itu. Waktu tidak dapat di ulang lagi, aku pun sudah resmi menjadi istri dari laki-laki yang selalu berdebat denganku, bertengkar dan saling mencaci-maki.

Walaupun kami tau, kami tidak bermaksud untuk saling menyakiti hati satu sama lain. Kami hanya kesal dan sedikit mengeluarkan uneg-uneg, tapi apa boleh buat, Allah malah menakdirkan kami berjodoh, dan bertemu di pelaminan. 

"Gak nyangka gue bisa jadi suami lo?" 

"Bisa lah, lo ngelamar gue," kataku ketus. 

"Abis lo nantangin gue, malah doa semoga gue dapat jodoh lo, kan. Salah apa gue? Gue cuman ngabulin aja."

Arkan merebahkan dirinya di atas kasur, di sebelahku. Aku yang duduk di sebelahnya menjadi tambah gugup. 

Rasanya aku ingin menangis saja, saat mendengar alasannya. Memang saat itu aku sedang berdebat dan hanya dan mengatakan 'semoga jodoh lo, gue' dan langsung dimainkan olehnya dan semua anak grup yang berjumlah tujuh puluh enam orang. 

Tidak lama dari situ dia dan keluarganya datang melamar. Aku syok hingga diam saja, dan di artikan setuju oleh kedua orang tuaku. 

Lagi pula tidak baik, menolak lamaran laki-laki baik kata ayah. Keluargaku lumayan tau kelakuan Arkan dan keluarganya. Hari itu diputuskan kapan kami akan menikah. Aku tidak punya kesempatan menolak, dan tidak tega melihat wajah kecewa kedua orang tuaku jika aku membatalkan pernikahan. 

Mereka sudah sangat senang, akan memiliki menantu seperti arkan. Laki-laki tampan, baik hati, dan juga sangat ramah.

"Arkan lo bikin gue kesel aja."

Aku mengambil bantal dan memukuli tubuh arkan dengan beringas, dia malah tertawa-tawa. Membuat amarah dalam dada ini meledak dan menambah kekuatan pukulan. 

Arkan lalu bangkit dan menangkap tanganku yang siap menghantam tubuhnya dengan bantal. Kami saling bertatapan, pandangan kami saling beradu. Aku mulai gugup dan badanku menjadi kaku, bantal yang ku genggam kuat terlepas dengan sendirinya. 

Arkan tersenyum lembut padaku, senyum ini jarang sekali di perlihatkan. Dia lebih sering tersenyum jenaka, tapi tidak terkesan genit dan buaya darat. 

"Lo mau ngapain?" Tanyaku gugup. 

Seumur hidupku baru kali ini aku mengalami kejadian tatap-tatapan dengan lawan jenis secara intens. Aku ini jomblo abadi, sekalinya ada cowok langsung melamar dan menikah. Aku hebat karena tidak punya mantan. 

"Aku mau makan, kamu ...,"

"aku belum siap," kataku memotong. 

Dia malah mendekat dan dan berbisik di telingaku. Aku langsung membeku tidak menyangka, Arkan membaca doa. Ya Allah aku ingin tenggelam di dasar bumi paling dalam saat ini. 

Arkan membaca doa makan, dan mengambil makanan yang sudah disediakan. Aku merebahkan diriku di kasur dengan wajah merah, ya Allah aku malu sekali. 

Ku pikir dia mau itu,  ya Allah tolong aku. Tolonglah hambamu ini yang baru saja mendapatkan suami jail minta ampun. 

'Ya Zahra Humairah, kenapa membuat malu seumur hidupmu?'

Aku berusaha terlihat sesantai mungkin dan memaksa diri untuk menatap. walaupun harus kuakui tubuhku sudah bergetar takut dan malu. 

aku benar-benar tidak pernah membayangkan kalau Arkan akan benar-benar menjadi suamiku. Bahkan dalam mimpiku sekalipun hal itu tidak pernah terbesit sedikitpun. 

"Lo makan juga, biar punya tenaga buat berfikir jernih," kata Arkan menyuapkan aku sesendok makan. Aku dengan terpaksa memakannya. 

Aku menatapnya dengan cemberut. Laki-laki yang selalu galak padaku. Sekarang sudah berstatus sebagai suamiku. Rasanya sangat canggung. Apalagi kami sama sekali tidak pernah berpacaran. 

Interaksi kami juga selama ini adalah interaksi dua manusia yang selalu berdebat. Tidak menyangka Allah menjodohkan aku dengannya. 

"Jangan malu gitu. Mana Zahra yang galak dan gak kehabisan kata-kata buat berdebat sama gue," katanya mengejek kegugupanku dan sifatku yang mendadak diam saja. 

Sekarang mana bisa aku berdebat dengannya. Arkan berada di depanku sekarang. Dia juga berstatus suamiku. Berdebat dengannya sekarang akan membuatku berdosa. 

"Gue tau kalau gue tampan tapi jangan memandang gue kayak gitu juga," katanya dengan pedenya. Aku benar-benar kehilangan kata-kata mendengar ucapannya. 

"Gue cuman lapar makanya diam," kataku beralasan, tapi dapat diketahui jika nada suaraku sangat gugup. 

"Kalau lapar, ya udah makan. Makanan sudah siapin kok, atau lo mau melakukan hal yang lain," katanya masih tidak berhenti untuk menggodaku. 

Wajahku langsung bersemu merah. Otakku langsung berpikiran ke hal lain. Aku juga sangat takut kalau harus melaksanakan hal itu. Aku benar-benar belum siap. Walaupun aku tau itu adalah hak Arkan sekarang. 

Dia sudah menjadi suamiku. Jadi dia berhak atas diriku, tapi aku benar-benar takut dan tidak siap kalau harus melakukannya sekarang.

"Apaan sih. Gue benar-benar lapar dan kepingin makan aja kok," kataku buru-buru mengambil makanan yang sudah disediakan diatas meja. 

Aku dengan terpaksa menelan makanan itu. Walaupun rasanya benar-benar susah untuk kutelan. Apalagi Arkan memperhatikan aku sambil tersenyum. Aku beribu kali lebih gugup sekarang.

"Iya makan yang banyak biar otak lo tetap sehat dan berpikir jernih. Gue gak mau karena lapar otakku malah berpikir yang aneh-aneh," katanya sambil cekikikan. Aku sampai berhenti mengunyah karena Akan terus menggodaku. 

"Otak gue selalu benar kok. Otak lo aja yang gak bener," kataku membantahnya. Dia malah mengangkat alisnya sebelah dan mendekat dan mendekat padaku. 

Aku langsung membeku mendadak tidak tidak bisa bergerak. Apalagi saat wajah Arkan hanya tinggal beberapa senti dari wajah. Aku secara perlahan menahan nafas. Aku juga menutup mataku. 

"Kenapa lo menutup mata? pasti lo mikir yang iya-iya," katanya sambil terbahak-bahak. 

"Enggak kok. Gue ngantuk aja," kataku mencari alasan. 

"Oh gitu. Makanya lo makan lengkuas juga," katanya melirik sedokku yang berisikan lengkuas. 

Ya Allah saking gugupnya aku tidak sadar jika memakan lengkuas. Ya Allah aku benar-benar malu kali ini. Rasanya mau tenggelam ke dasar bumi saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status