Semalam Arkan masih bisa tidur dengan nyenyak di sebelahku tanpa terganggu sama sekali. Sedangkan aku benar-benar gugup sampai sulit tidur. Dia bahkan sempat membalas ledekan anak grup, yang kalau bercanda suka aneh-aneh.
Ledekan demi ledekan mereka lontarkan di sana, aku bahkan terus di panggil, tapi tidak berani muncul. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ledekan anak-anak grup. Hanya Arkan yang menanggapi ledekan mereka.
Mereka banyak yang syok, tiba-tiba saja kami menikah dalam waktu yang bisa di bilang singkat. Acara akad nikah kami, hanya mengundang keluarga dekat saja, dan rencananya resepsi baru mengundang teman dan kolega.
Resepsi Pun akan dilakukan dua bulan kedepan, akad dilakukan dalam waktu yang singkat dari acara lamaran. Pantas saja banyak yang syok mendengar kami sudah menikah.
Kami ini perusuh di grup, kami sering sekali berdebat dan bertentangan. Entah mengapa, Arkan yang bijaksana, selalu beradu argumen denganku. Dia yang bisa berpikir dari berbagai sisi, selalu mencari ribut denganku.
Tau-tau ya sekali baik langsung melamar dan meminta akad dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. Aku bingung sekali beginikah sifat laki-laki. Aku yang diajak berdebat malah dilamar. Banyak anak grup yang memberi perhatian, dan kode lebih padanya malah di abaikan.
"Kita selalu bisa membuat grup tidak sepi," kata Arkan memperlihatkan handphonenya yang penuh notifikasi dari grup, yang di tinggal tidur semalam.
"Lihat sana mereka sedang heboh karena kita. Kita benar-benar memberikan kejutan luar biasa untuk mereka. Bahkan ada yang tidak percaya kalau kita benar-benar menikah mereka mengira kita sedang memprank mereka," kata Arkan menjelaskan panjang lebar.
Aku pura-pura mengelus-elus selimut, mengurangi kegugupan melihat wajah bangun tidurnya yang entah mengapa membuatku berdebar. Ini pasti karena grogi, aku baru kali ini melihat ada orang di sampingku saat bangun tidur.
Sebelumnya aku tidak pernah dekat dan berpacaran dengan siapapun. Sekarang tau-tau aku sudah menikah dan laki-laki itu berada satu kamar denganku. Bagaimana kau tidak grogi?
"Ayo ambil wudhu dan kita shalat."
Arkan mengelus rambutku, membuat badanku semakin kaku. Aku punya penyakit kah? Setiap kelakuan Arkan membuat tubuhku kaku, tapi jantungku berdebar semakin kencang. Suhu tubuhku juga terasa lebih panas dari sebelumnya. Padahal AC di kamarku tetap pada temperatur yang sama. Ya Allah sebenarnya aku kenapa?
"Cowok itu shalatnya di masjid. Bukan di dalam kamar," kataku sewot.
"Masa shalat sunah yang dua rakaat ke masjid sih. Shalat sunah yang ini tentu harus dilakukan di dalam kamar," ledeknya padaku.
Aku langsung terdiam, ya Allah apa lagi ini. Aku langsung menutup seluruh tubuhku dengan selimut, bersembunyi dari Arkan, yang pasti tidak akan aman.
Aku menatapnya dengan penuh curiga. Masa iya dia mau melakukan sekarang. Inikan sudah pagi.
"Gue becanda doang, wudhu sana! Lo belum shalat subuh."
Arkan menarik selimutku dan langsung ku lepaskan membuat Arkan terjungkal ke belakang. Dia meringis menggosok bokongnya, aku langsung mengambil kesempatan untuk berlari ke kamar mandi.
Aku memakai mukenaku dan melihat Arkan yang masih memainkan handphone, dia menatapku lalu tersenyum.
"Gak shalat?" tanyaku padanya. Aku belum melihatnya shalat.
"Udah tadi di masjid sama ayah."
Mendengar itu aku tersenyum, suamiku orang yang shalat subuhnya di masjid ternyata. Selesai shalat aku melipat mukena dan menggantungnya di belakang pintu. Duduk di ranjang sebelah Arkan.
Banyak hal yang tidak ku tau tentang laki-laki ini. Pergerakannya cepat dan langkahnya tepat sasaran, tanpa terkesan buru-buru. Banyak pertanyaan di otakku tentangnya.
"Kenali aku pelan-pelan saja, kamu akan tau semua tentangku nanti," kata Arkan lembut, seakan tau apa yang ada di otakku.
"Gue kenal lo kok," kataku malu.
"Kalau gak kenal gak mungkin, kan, lamaran gue diterima." Arkan malah tertawa, membuat wajahku memerah.
"Istri gue pasti lagi mikir yang iya-iya mukanya merah mulu dari kemarin. Diajak makan aja, malah bilang gak siap." Arkan terus meledek.
Mukaku bertambah merah pastinya, Arkan memang jail dan aku tau pasti Sola yang ini.
"Ih .... nyebelin."
Aku mengambil bantal dan memukulnya berkali-kali, Arkan pura-pura kesakitan. Badannya yang berotot tidak mungkin merasa sakit hanya karena dipukul bantal empuk.
"Au .... KDRT nih, istri gue."
Arkan menangkap tanganku dan membuat tubuhku oleng sehingga menimpa tubuhnya. Dia tetap menahan tubuhku berada di atas tubuhnya.
Dapat ku rasakan nafasnya di wajahku, ternyata dia meniup wajahku, membuat mataku berkedip.
"Astaghfirullah ...."
Pintu kamar terbuka, ibu kembali menutup pintu kamarku dengan cepat, aku pun cepat-cepat bangkit dari badan Arkan.
Ya Allah berapa banyak lagi hal memalukan yang akan ku dapat, selama menikah dengan Arkan. Suami ku yang jahil.
Arakan hanya tersenyum dan bangkit, aku menahan tangannya agar tidak keluar kamar.
"Gak boleh di kamar trus nanti, ayah dan ibu minta cucu yang cepat," katanya membuat aku ingin melemparnya dengan vas bunga. Arkan malah keluar kamar dengan tertawa.
Baru sebentar saja bersama Arkan. Aku sudah mendapatkan momen yang memalukan berulang kali. Dia benar-benar sangat mengganggu ketenanganku.
"Lo keluar dulu gue mau ganti baju," kataku pada Arkan yang masih duduk di atas kasurku.
"Gak mau. Gue mau lihat lo ganti baju. Lo kan istri gue sekarang. Jadi gak dosa lagi. Lagian kalau lihat sekarang jadi pahala," katanya jail melipat kedua tangannya di dada.
Aku melongo mendengar ucapan Arkan. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Dia malah memikirkan hal seperti itu.
"Keluar sekarang gue pingin ganti baju," kataku mendorong tubuh Arkan agar keluar dari kamarku.
Aku ingin ganti baju dengan leluasa tanpa takut diperhatikan olehnya. Membayangkan saja, aku sedang ganti baju dan diperhatikan oleh Arkan langsung membuatku merinding. Apalagi hal itu benar-benar terjadi.
Saat aku mendorong Arkan keluar dari kamarku. Ayah malah melihat kami. Arkan tersenyum jahil padaku. Aku mau mati saja, tadi ibu dan sekarang ayah.
"Ada apa Zahra?" tanya ayah bingung. Aku hanya menggeleng saja. Tidak mungkin mengatakan pada ayah. Jika aku ingin mengusir Arkan dari kamarku. Karena berniat memperhatikan aku saat ganti baju.
"Gak ada apa-apa ayah," kataku tersenyum canggung. Ayah hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kami berdua.
Kami berdua kembali ke dalam kamar. Aku buru-buru mengambil bajuku dari dalam lemari dan memilih untuk mengganti baju di dalam kamar mandi saja.
"Zahra ganti baju disini aja. Nanti kau tutup mata palingan ngintip dikit kok," kata Arkan sambil ketawa. Aku benar-benar kesal dibuatnya.
Kalau saja dia bukan suamiku. Aku pasti akan memukul kepala dengan vas bunga, tapi keren dia adalah suamiku. Aku takut menjadi istri durhaka.
Sekarang aku harus benar-benar menyediakan stok sabar untuk menghadapi Arkan. Ya Allah kenapa aku punya suami yang sangat jail.
Melihat tante Wenda dengan wajah sembab saat meninggalkan makam papa. Membuat otakku berpikir sangat keras.Aku yakin hubungan mereka tidak ada yang istimewa. Namun saat aku melihat kejadian ini. Pemikiranku runtuh seketika.Tante Wenda tidak mungkin menangis hingga wajahnya sembab. Kalau hanya memiliki hubungan yang biasa dengan papa. Dia tidak perlu repot-repot terus menaruh bunga di makan papa tiap hari."Gua benar-benar gak tau kalau tante Wenda sering banget ke makam papa. Tante Wenda pasti sayang sekali pada papaku," kataku dengan nada sinis yang bahkan tidak bisa ku sembunyikan.Serafin mengelus rambutku dan tersenyum padaku. Matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi bibitnya tertutup sangat rapat.
Arkan terus memamerkan hasil usg bayi kami pada mama dan papa. Kami sekarang berada di rumah mama dan papa."Kenapa harus Zahra yang datang kesini. Harusnya mama dan papa aja yang datang ke apartemen kalian. Zahra harus banyak-banyak istirahat gak boleh sampai kelelahan," kata mama meletakan segelas teh di depanku.Aku benar-benar tidak enak pada mama. Aku ini menantunya tapi mama yang malam melayani aku. Harusnya aku yang melayani mama, bukan sebaliknya."Gak apa-apa ma, Zahra gak lelah sama sekali. Zahra juga senang bisa berkunjung ke rumah mama lagi. Selama ini Zahra kan udah lama tidak berkunjung," kataku sambil mengambil minuman yang baru diletakkan oleh mama."Tetap saja mama tidak mau kamu lelehan. Kalau nanti ada apa-apa dengan kamu dan kandunga
Hari ini aku dan Arkan berencana untuk ke dokter. Untuk memeriksa kehamilanku. Kami berdua sekarang sangat benar-benar bersemangat.Kehamilanku membuat hubungan kami semakin harmonis.Walaupun ada halangan, kami sebisa mungkin menyelesaikan. Sinta juga semakin hari semakin keterlaluan. Dia tidak segan-segan datang ke kantor Arkan dan menemui suamiku.Sinta terus diusir oleh Arkan. Namun wanita itu tidak pernah jera. Dia selalu memanfaatkan situasi yang ada. Benar-benar wanita yang membuang harga diri karena cinta."Arkan tolong dong. Tarikin resleting baju aku, tangan aku soalnya gak nyampek," kataku padanya yang sedang memilih baju di dalam lemari.Arkan dengan gesit menuju ke arahku. Dia kemudian menyentuh pundakku. Aku langsung membalikan badan padanya."Sini," katanya lembut, tapi bukanya menarik resleting ku ke atas. Dia malah menurunkan resletingku. Arkan kemudian mencium bahuku lembut. Dia memeluk tubuhku dan menghir
Aku benar-benar emosi saat melihat wajah Dinia. Dia dengan seenaknya mengatai aku dan memaki-makiku. Padahal aku sama sekali tidak bersalah. Mungkin juga karena aku sedang hamil sehingga emosiku mudah sekali tersulut."Jaga mulutmu. Aku tidak pernah mengganggu dan merugikan kamu, tapi kamu selalu menggangguku," kataku geram. Dinia selalu saja mengusik hidupku. Dia menganggap aku tidak pantas menjadi istri Arkan dan Sinta, kakaknyalah yang pantas.Padahal mereka berpisah jauh sebelum kehadiranku. Aku menikah dengan Arkan, saat hubungan Arkan dan Sinta sudah benar-benar berakhir."Kalau bukan karena lo. Kakak gue gak mungkin mencoba bunuh diri. Dasar pelakor," kata Dinia marah. Dia menunjuk-nunjuk wajahnya dengan tangan kirinya.Aku langsung menepis tanga
Aku menjelaskan kalau bang Sakti adalah saudara sepersusuanku. Mama bang Sakti saat itu sakit parah dan ibu yang merawat bang Sakti. Kebetulan usia bang Sakti dan bang Bintang tidak jauh berbeda. Sehingga dengan persetujuan tante, ibu menyusui bang Sakti. Karena itu bang Sakti sangat dekat denganku dan bang Bintang. Kami seperti saudara kandung. Tidak ada batasan di antara kami. Bang Sakti sering menggendong, mencium dan memelukku. Karena hal itu tidak berdosa. Bang Sakti bahkan lebih sering berada di rumah daripada di rumah tanteku. Bang Sakti yang dirawat seperti anak sendiri oleh ibu membuatnya merasa nyaman berada dilingkungan keluarga kami. Apalagi umur bang Sakti dan Bang Bintang tidak terpaut jauh. "Sekarang kamu boleh telponan sama abangmu itu," kata Arkan padaku. Dia lalu mengelus rambu
Arkan bilang jangan banyak berpikir tentang Sinta. Aku hanya harus fokus pada kesehatanku dan janin yang sedang tumbuh di perutku. Walaupun begitu, pikiranku tetap masih tertuju pada Sinta. Membuat aku kadang jadi bad mood sendiri. Wanita itu benar-benar sudah kelewatan. Bahkan sekarang secara terang-terangan ingin merebut Arkan dariku. Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akulah istri sah Arkan, jadi bukan aku yang pengganggu tapi dia. Aku juga tau dia juga sering ke kantor Arkan padahal Arkan sudah sebisa mungkin menghindar. Sinta juga punya kesempatan karena ada kerja sama antara dua perusahaan itu. Sebenarnya Arkan ingin mundur dari kerja sama itu. Mengalihkan kerajaannya pada orang lain. Lalu ada masalah, hanya Arkan yang bisa mengatasi. Mau tidak mau, harus Arkan yang mengerjakannya.