Aku benar-benar belum terbiasa melihat Arkan yang ada di sampingku saat bangun tidur, masih kaget, tapi mampu menahan teriakan. Arkan ini unik sekali, di balik sikap jailnya dia adalah laki-laki yang mampu bersikap dewasa.
Arkan tau jika aku masih belum terbiasa dengan peran baru yang kutanggung. Dia tidak memaksa dan melakukan semuanya secara perlahan. kata Arkan penting kita sudah dalam ikatan yang jelas, secara agama dan negara. Untuk kedepannya hanya perlu dilakukan secara perlahan saja.
Tidak perlu buru-buru, waktu akan membuat semuanya semakin indah dan berkesan. Kalau saja dia seperti ini dari dulu, sudah pasti aku jatuh cinta.
Sayangnya dulu daripada mendekati aku secara baik-baik. Arkan malah selalu mencari-cari masalah denganku. Sehari saja dia tidak berdebat denganku. Rasanya pasti membuat badannya gatal-gatal. Sehingga dia terus membuat aku kesal.
Pertama kali kami kenal jangan tanya bagaimana mengesalkannya dia, dia langsung berdebat denganku setelah aku memperkenalkan diriku. Aku masuk ke dalam grup itu juga karena iseng, karena diterima dengan baik aku jadi betah.
Saat itu aku mendapat link grup dari media sosial. Aku iseng dan meng-klik linknya. Saat aku masuk kukira akan diabaikan. Ternyata aku salah, aku disambut hangat dan sangat ramah. Sehingga mudah untuk beradaptasi dan akupun betah berada disana.
"Sudah bangun?" tanya Arkan dengan suara serak.
Ini benar-benar seperti di novel-novel, melihat laki-laki tampan yang baru saja bangun dengan suara serak, dan muka bantal.
Arkan ini tampan sekali, alisnya sangat tebal dan bulu matanya lentik, bibir juga berwarna merah, pasti karena kulit Arkan putih dan dia tidak merokok.
Sebelum menerima lamaran dari Arkan, ayah mengintrogasi sangat ketat, semua hal di tanya oleh ayah.
Entan bagaimanapun caranya menyakinkan ayahku. Ayahku biasanya sangat galak pada laki-laki yang mencoba mendekati putrinya.
"Baru saja," balasku.
"Kalau begitu, gue mandi duluan. Mau ke masjid, kamu shalat di rumah saja," katanya lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
Nikmatnya punya suami yang shalatnya di masjid, walaupun dia menyebalkan dan jail aku sangat bersyukur pada Allah. Rahmat dan anugerahnya sangat tidak terkira padaku. Allah memberikan aku jodoh yang sangat baik.
Selesai mandi Arkan mengganti bajunya dengan Koko putih dan sarung, ketampanan jadi bertambah berkali-kali lipat. Aku juga membayangkan dia akan menggandeng anak laki-laki kami di kedua tangannya kelak, menuju masjid. Mereka berjalan beriringan dengan riang.
Aku langsung menutup wajahku dengan selimut karena malu, pikiranku sudah kemana-mana saat masih sepagi ini.
Arkan mendekat dan mencium keningku, membuat tubuhku semakin kaku saja, wajahku masih saja merah.
"Aku pergi dulu, assalamualaikum, istriku."
"Waalaikumsalam," balasku pelan.
Arkan tipe orang yang jahil tapi romantis, semalam dia memasak untukku. Bahkan sebelum tidur, Arkan menyisir rambutku. Dia tidak meledekku lagi soal ciuman, karena aku ingin menangis saat dia terus membahas itu. Aku benar-benar sangat malu jika menginginkan kejadian ciuman yang kami lakukan. Apalagi itu adalah ciuman pertamaku dan Arkan terus meledekku karena itu.
Arkan minta maaf, dan dia tidak membahas itu lagi. Aku dan Arkan masih memanggil 'Lo, Gue' untuk saat ini. Jika pembahasannya serius baru dia akan mengatakan 'Aku, Kamu' secara tidak sadar akupun mengikutinya.
Selesai shalat, aku memasak nasi goreng, Arkan tidak rewel soal masakan, selama itu masakan rumahan. Dia juga tidak ragu membantu pekerjaan rumah. Hanya saja dia sudah nampak posesif dari sekarang. Beberapa kali ada yang menggodaku di grup di langsung mengatakan berulang-ulang bahwa aku adalah istrinya, dulu mah dia bodo amat.
Dia yang paling sering menggoda dan menjahiliku. Bersatu untuk membuatku marah atau kesal. Sekarang dialah yang paling melindungi dan mendukungku.
Sekarang dia benar-benar tidak mau melihat aku diganggu. Banyak anak grup yang mengatakannya bucin akut, tapi dia dengan santai membalas mereka semua. Dia langsung mengatakan cinta mencintai istri itu kewajiban. Kalau mencintai wanita tanpa ikatan adalah dosa. Apalagi kalau mencintai sepihak. Hal itu membuat anak grup langsung mengatainya.
"Wah istri gue udah masak aja."
Arkan duduk dan mengamati aku yang baru saja menata makanan di atas meja makan. Dia tersenyum dan menepuk kursi di sebelahnya, agar aku duduk di sebelahnya.
"Gak lari lo?" tanyaku.
Biasanya jam segini pasti Arkan sedang lari, dan mengirim foto di grup. Aku tidak kuliah jadi keseharian ku adalah membantu ibu membuat kue dan tentunya aktif di berbagai grup yang ku anggap menarik.
"Udah jalan keliling sih tadi, ada istri di rumah, mau lari juga gak semangat. Libur dulu," katanya sambil mengambil piring.
Arkan mengeset piring ke arahku, dan menyendok nasi goreng di piringku, baru kemudian di piringnya. Hal yang terlihat sederhana tapi sangat berharga, artinya dia tidak hanya minta dilayani, tapi bisa melakukan hal serupa pula untuk istrinya.
Setelah masak Arkan mencuci piring. Aku tentu melarangnya, pekerjaan rumah tugas istri, harusnya aku yang mencuci piring.
"Lo udah masak, biar gue aja yang cuci piring," katanya lembut.
"Tapi kan itu tugas gue."
"Siapa bilang ini tugas lo, tugas lo itu nurut sama gue."
Aku hanya diam saja, tidak berani membantah. Aku melihat Arkan yang mencuci piring dengan telaten, dia seperti sudah biasa melakukannya.
Heran sekaligus kagum, Arkan anak tunggal dan dimanja, tapi bisa melakukan semua ini. Mama dan Papa juga termasuk orang yang berada, jadi tidak mungkin Arkan dibebankan pekerjaan rumah.
"Semakin bisa cuci piring dan masak. Lo bisa apa aja?"
"Banyak, lah. Gue multitalenta, bisa bersih-bersih, masak dan cari nafkah."
Kami sama-sama tertawa. Suamiku memang istimewa semoga aku bisa memahami semua kekurangan dan kelebihannya, begitu pula dia.
"Setelah ini. Ayo kita kerumah mama, kayaknya mama masih ngambek soal kemaren."
"Kita harus minta maaf sama mama."
"Mama marahnya gak lama, tar dikasih cake juga langsung seneng lagi."
"Tapi kata mama, lo kalau marah lama."
"Kalau sama istri gak lama kok."
Penyakit jantungku kumat lagi, detaknya bertambah kencang. Kenapa Arkan selalu bisa membuat tubuhku bereaksi sendiri.
Kalau begini terus aku bisa mati muda, belum punya anak padahal. Aku hampir saja terjungkal ke belakang saat wajah Arkan semakin mendekat, untung dia menahan pinggangku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menyentuh wajahku yang memerah.
Arkan meniup wajahku, aku langsung menutup mata. Arkan suka sekali meniup wajahku, entah kenapa?
"Merah terus, ditiup biar gak panas," katanya jail.
Aku langsung memukul pelan, tapi reaksi Arkan sangat berlebihan. Dia menjerit seakan sangat kesakitan.
"Jangan KDRT dong," katanya
"Masa gitu doang sakit?"
"Iya sakit banget, butuh obat nih."
"Obatnya apa?"
"Ini," kata Arkan lalu mencium pipiku, setelah itu dia langsung berlari ke kamar. Aku mengejarnya dengan kesal, dia terus mengerjaiku.
Melihat tante Wenda dengan wajah sembab saat meninggalkan makam papa. Membuat otakku berpikir sangat keras.Aku yakin hubungan mereka tidak ada yang istimewa. Namun saat aku melihat kejadian ini. Pemikiranku runtuh seketika.Tante Wenda tidak mungkin menangis hingga wajahnya sembab. Kalau hanya memiliki hubungan yang biasa dengan papa. Dia tidak perlu repot-repot terus menaruh bunga di makan papa tiap hari."Gua benar-benar gak tau kalau tante Wenda sering banget ke makam papa. Tante Wenda pasti sayang sekali pada papaku," kataku dengan nada sinis yang bahkan tidak bisa ku sembunyikan.Serafin mengelus rambutku dan tersenyum padaku. Matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi bibitnya tertutup sangat rapat.
Arkan terus memamerkan hasil usg bayi kami pada mama dan papa. Kami sekarang berada di rumah mama dan papa."Kenapa harus Zahra yang datang kesini. Harusnya mama dan papa aja yang datang ke apartemen kalian. Zahra harus banyak-banyak istirahat gak boleh sampai kelelahan," kata mama meletakan segelas teh di depanku.Aku benar-benar tidak enak pada mama. Aku ini menantunya tapi mama yang malam melayani aku. Harusnya aku yang melayani mama, bukan sebaliknya."Gak apa-apa ma, Zahra gak lelah sama sekali. Zahra juga senang bisa berkunjung ke rumah mama lagi. Selama ini Zahra kan udah lama tidak berkunjung," kataku sambil mengambil minuman yang baru diletakkan oleh mama."Tetap saja mama tidak mau kamu lelehan. Kalau nanti ada apa-apa dengan kamu dan kandunga
Hari ini aku dan Arkan berencana untuk ke dokter. Untuk memeriksa kehamilanku. Kami berdua sekarang sangat benar-benar bersemangat.Kehamilanku membuat hubungan kami semakin harmonis.Walaupun ada halangan, kami sebisa mungkin menyelesaikan. Sinta juga semakin hari semakin keterlaluan. Dia tidak segan-segan datang ke kantor Arkan dan menemui suamiku.Sinta terus diusir oleh Arkan. Namun wanita itu tidak pernah jera. Dia selalu memanfaatkan situasi yang ada. Benar-benar wanita yang membuang harga diri karena cinta."Arkan tolong dong. Tarikin resleting baju aku, tangan aku soalnya gak nyampek," kataku padanya yang sedang memilih baju di dalam lemari.Arkan dengan gesit menuju ke arahku. Dia kemudian menyentuh pundakku. Aku langsung membalikan badan padanya."Sini," katanya lembut, tapi bukanya menarik resleting ku ke atas. Dia malah menurunkan resletingku. Arkan kemudian mencium bahuku lembut. Dia memeluk tubuhku dan menghir
Aku benar-benar emosi saat melihat wajah Dinia. Dia dengan seenaknya mengatai aku dan memaki-makiku. Padahal aku sama sekali tidak bersalah. Mungkin juga karena aku sedang hamil sehingga emosiku mudah sekali tersulut."Jaga mulutmu. Aku tidak pernah mengganggu dan merugikan kamu, tapi kamu selalu menggangguku," kataku geram. Dinia selalu saja mengusik hidupku. Dia menganggap aku tidak pantas menjadi istri Arkan dan Sinta, kakaknyalah yang pantas.Padahal mereka berpisah jauh sebelum kehadiranku. Aku menikah dengan Arkan, saat hubungan Arkan dan Sinta sudah benar-benar berakhir."Kalau bukan karena lo. Kakak gue gak mungkin mencoba bunuh diri. Dasar pelakor," kata Dinia marah. Dia menunjuk-nunjuk wajahnya dengan tangan kirinya.Aku langsung menepis tanga
Aku menjelaskan kalau bang Sakti adalah saudara sepersusuanku. Mama bang Sakti saat itu sakit parah dan ibu yang merawat bang Sakti. Kebetulan usia bang Sakti dan bang Bintang tidak jauh berbeda. Sehingga dengan persetujuan tante, ibu menyusui bang Sakti. Karena itu bang Sakti sangat dekat denganku dan bang Bintang. Kami seperti saudara kandung. Tidak ada batasan di antara kami. Bang Sakti sering menggendong, mencium dan memelukku. Karena hal itu tidak berdosa. Bang Sakti bahkan lebih sering berada di rumah daripada di rumah tanteku. Bang Sakti yang dirawat seperti anak sendiri oleh ibu membuatnya merasa nyaman berada dilingkungan keluarga kami. Apalagi umur bang Sakti dan Bang Bintang tidak terpaut jauh. "Sekarang kamu boleh telponan sama abangmu itu," kata Arkan padaku. Dia lalu mengelus rambu
Arkan bilang jangan banyak berpikir tentang Sinta. Aku hanya harus fokus pada kesehatanku dan janin yang sedang tumbuh di perutku. Walaupun begitu, pikiranku tetap masih tertuju pada Sinta. Membuat aku kadang jadi bad mood sendiri. Wanita itu benar-benar sudah kelewatan. Bahkan sekarang secara terang-terangan ingin merebut Arkan dariku. Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akulah istri sah Arkan, jadi bukan aku yang pengganggu tapi dia. Aku juga tau dia juga sering ke kantor Arkan padahal Arkan sudah sebisa mungkin menghindar. Sinta juga punya kesempatan karena ada kerja sama antara dua perusahaan itu. Sebenarnya Arkan ingin mundur dari kerja sama itu. Mengalihkan kerajaannya pada orang lain. Lalu ada masalah, hanya Arkan yang bisa mengatasi. Mau tidak mau, harus Arkan yang mengerjakannya.
Semenjak aku dinyatakan hamil. Aku mengalami serangan muntah dan mual yang hebat. Padahal sebelumnya biasa-biasa aja. Arkan bilang anak kami ingin perhatian lebih. Anak kami sangat menyayangi kami, jadi selalu mencari perhatian.Jujur saja pikiranku sejak hamil juga semakin berat. Apalagi Sinta semakin sering mengunjungi Arkan. Bahkan dia juga sering mengunjungi Arkan ke kantornya.Arkan beberapa kali memblokir nomor Sinta, tapi dia malah berganti-ganti nomor untuk terus menghubungi Arkan."Sinta lagi?" tanyaku. Saat arkan memeriksa ponselnya, dan meletakanya dengan kesal. Gadis itu terus berusaha mengungkit masa lalu diantara mereka dan membangkitkan benih cinta yang pernah tumbuh."Jangan dipikirkan," kata Arkan mengusap kepalaku lembut. Walaupun aku mengangguk tapi pikiran masih ada di gadis itu.Sebesar itukah cintanya pada Arkan? Sehingga menganggu Arkan yang sudah jelas-jelas memiliki istri dan menolaknya."Apa Sinta sangat
Semua keluarga sangat senang mendengar kabar kehamilanku. Walaupun kami hanya memberitahu keluarga dekat saja. Untuk yang lainnya biarlah mereka tau saat tubuhku sudah berubah saja.Arkan juga semakin posesif saja. Sedikit-sedikit dia menelpon dan menanyakan kabarku. Dia selalu mengingatkan aku untuk makan dan hati-hati. Selama dia tidak dirumah.Sekarang Arkan juga melarangku memakan, makanan yang tidak sehat. Dia sangat ektra hati-hati. Aku tidak keberatan sama sekali. Dengan sikap Arkan ini. Walaupun sedikit menyebabkan, itu karena dia sangat sayang padaku dan anak dalam kandunganku."Vitamin dan susunya jangan lupa diminum, yang," kata arkan mengingatkan. Dia baru aja mandi dan menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk.Sebalum bekerja tidak lupa Arkan memberikan banyak pesan padaku. Nanti saat dia bekerjapun. Dia akan menelpon dan mengulangi pesannya sebelum bekerja."Iya, nanti aku minum. Kamu tenag aja aku pasti minum vita
Saat aku bangun, yang pertama kali kulihat adalah wajah sumringah Arkan. Dia menggenggam tanganku, saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang Arkan.Mama juga tampak tersenyum dan papa sibuk menelpon. Walaupun begitu aura diruang ini terlihat sangat bahagia. Orang yang tidak bahagia hanyalah Dinia dan Sinta."Apa yang sakit sayang?" tanya Arkan sambil mengecup pipiku."Masih pusing sedikit," aku menggenggam lembut tangan Arkan.Dia mengelus rambutku. Menciumi seluruh wajahku berkali-kali."Aku mau ke kekamar mandi." Dengan sigap Arkan membopong ke kamar mandi. Mama bahkan ikut membantu. Mama menyerahkan bungkusan sembelum kami masuk ke dalam kamar mandi."Coba di tes dulu. Dokter curiga kalau kamu sedang hamil." Arkan sangat senang sekali. Aku mengingat-ingat kapan terakhir aku haid. Jawabnya adalah sebelum menikah dengan Arkan.Ternyata saat aku pingsan. Ada dokter yang datang untuk memeriksaku. Dokter itu curiga jika kau