Dengan suara lirih, ia berbisik meski tahu Elena tak mendengar, “Maafkan aku, Elena. Aku seharusnya lebih mengerti.” Tango yang sudah terbangun melompat ke sofa, duduk di samping Daniel. Seolah mengerti perasaan tuannya, kucing itu menyandarkan kepala di paha Daniel. Daniel tersenyum samar, mengusap bulu Tango. “Kamu saja lebih tenang dariku, Tang…” gumamnya pelan. Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, Daniel membaringkan diri di sofa. Tango ikut meringkuk di dekat kakinya. Tanpa sadar, kelelahan membuatnya terlelap di sana, menunggu esok pagi dengan harapan Elena akan membuka pintu hatinya sedikit saja. Daniel menggeliat di sofa, rambutnya sedikit berantakan. Aroma roti panggang membuatnya terbangun penuh penasaran. Begitu menoleh, ia melihat Elena sudah duduk di meja makan dengan rapi, menunggunya. Daniel bangkit sambil mengucek mata. “Bangun tidur langsung disuguhi sarapan, rasanya kayak mimpi,” ucapnya setengah bercanda. Elena hanya melirik sekilas. “Ayo, makan. Seb
“Kita harus cari cara menarik kepercayaan investor baru,” kata salah satu ketua produksi. “Tapi waktu kita sempit!” sahut ketua keuangan. Elena menggigit bibirnya, matanya masih terpaku pada layar. “Jika kita bisa perlihatkan progress teknis dalam dua minggu ke depan… mungkin masih ada peluang mempertahankan sebagian kontrak. Tapi masalahnya, kita butuh suntikan dana sementara untuk menahan biaya produksi.” Grant menatapnya lekat. “Apa kamu punya strategi jangka pendek, Elena?” Elena menutup matanya sebentar, lalu mengetik ulang perhitungan cepat. “Saya sedang mencoba, Pak. Tapi sejauh ini belum ada solusi yang pasti. Investor panik, harga saham terus jatuh. Kalau salah langkah, reputasi kita akan hancur.” Suasana ruangan makin berat. Elena merasa pundaknya ditekan beban yang luar biasa. Namun di sisi lain, tekad dalam dirinya menyala. Ia tahu jika proyek ini gagal, bukan hanya perusahaannya yang terancam, tapi juga kariernya sendiri. Jam sudah melewati pukul sembilan mala
Pagi itu Elena tampak sibuk seperti biasa. Rambutnya diikat rapi, matanya fokus menatap layar monitor. Sesekali ia menunduk, menulis catatan di buku kecilnya. Dari luar, ia terlihat tenang, profesional, tanpa perubahan. Namun Daniel, yang duduk tak jauh darinya, bisa menangkap hal-hal kecil yang berbeda. Setiap kali ia mendekat untuk menyerahkan dokumen atau membisikkan sesuatu terkait pekerjaan, Elena selalu tampak sedikit kaku—bahunya menegang, gerakannya lebih cepat dari biasanya, bahkan kadang menghindari tatapan langsung. Daniel menatapnya sekilas, lalu pura-pura kembali sibuk. Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya. “Kenapa Elena kayak menjauh semenjak kencan, ya? Apa aku terlalu jujur waktu bilang menyukainya?” Hari-hari di kantor makin padat. Proyek besar yang mereka kerjakan tinggal dua minggu menuju penyelesaian, dan Elena selalu tenggelam dalam rapat, presentasi, serta revisi laporan. Daniel berusaha membantu semampunya, memastikan semua berjalan lancar, tapi ia tetap
Daniel hanya tersenyum canggung, lalu berdiri lagi. “Nggak, lupain aja. Aku bikin teh, mau?” tanyanya cepat, seolah ingin menutup ucapannya barusan. Elena mengangguk pelan sambil menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai panas. Tango mengeong keras, seakan ikut menggoda suasana canggung itu. Elena mengangkat kucingnya tinggi-tinggi lalu menatap matanya. “Tang, jangan ikutan ribut ya. Majikanmu lagi aneh malam ini,” bisiknya, membuat dirinya sendiri tertawa kecil. Daniel yang sedang menuang air panas di dapur bisa mendengarnya, dan tanpa sadar ikut tersenyum. Daniel baru saja meletakkan dua cangkir teh di meja ruang tamu ketika Elena keluar dari kamar, sudah mengganti pakaian dengan blouse sederhana dan celana jeans. Rambutnya ia ikat asal, membuat penampilannya tampak santai namun tetap manis. Daniel menatap heran. “Kamu… mau keluar?” Elena melipat tangan di dada, menatapnya dengan wajah datar. “Katanya mau ngajak kencan, kan? Kita lakukan sekarang saja. Biar b
Elena menunduk cepat, pura-pura sibuk dengan makanannya. Jantungnya berdetak terlalu kencang untuk ukuran jam makan siang biasa. Salah satu anggota tim memberanikan diri bersuara, setengah berbisik, “Wah, berarti kami salah menilai, ya… selamat, Bu Elena, Pak Daniel.” Beberapa yang lain ikut mengangguk canggung. Suasana meja mendadak penuh dengan basa-basi. Grant menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis terukir di wajahnya. “Kalau begitu, semoga pesta pernikahannya nanti bisa jadi kabar baik untuk perusahaan juga. Tidak ada salahnya kebahagiaan pribadi sedikit menular ke suasana kerja, kan?” Elena hanya bisa mengangguk kecil, sementara tangannya menggenggam erat sendok di pangkuannya. Dalam hati, ia ingin segera menarik Daniel keluar dari situasi itu dan menuntut penjelasan mengapa ia berani bicara sejauh itu. Begitu mereka keluar dari kantin, Elena berjalan cepat menuju ruangannya. Daniel sempat terhenti sejenak, tapi segera mengikuti. Pintu ruangan ditutup agak keras,
Pagi hari, sinar matahari menembus tirai kamar. Elena masih berbaring dengan selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya. Di bawah, Daniel terbangun lebih dulu, namun memilih tetap berbaring sambil menatap langit-langit, mengingat lagi apa yang ia ucapkan semalam. Suara “meong~” tiba-tiba terdengar. Tango sudah bangun lebih dulu dan dengan lincah melompat ke atas tempat tidur. Ia menapak tepat di atas selimut yang menutupi Elena, lalu berjalan santai sampai berada di perut Elena. “Ugh…” Elena mengerang kecil, membuka mata karena merasa ada beban. Saat ia menarik selimut dari wajahnya, ia langsung berhadapan dengan wajah bulat kecil Tango yang menatapnya tanpa berkedip. “Meong~” Tango mengeong lagi, kali ini sambil menggesekkan kepala ke dagu Elena. Elena akhirnya terkekeh pelan. “Dasar kucing nakal… kamu bangunin aku, ya?” Di bawah, Daniel ikut mendengar suara Elena yang bercampur dengan suara Tango. Ia hanya tersenyum kecil. Tango kemudian melompat turun, berlari kecil ke ar