Suasana berubah tegang. Semua tamu kini berdiri, sebagian mulai berbisik dengan nada tak nyaman. Beberapa bahkan mulai beranjak dari kursi karena merasa ini bukan lagi pernikahan, tapi pertunjukan menyakitkan. Di depan altar, Elena masih berdiri terpaku, tangan gemetar, bibirnya tak bisa membentuk satu kata pun. Adi terus menatapnya, mata merah, dada naik-turun menahan emosi. “Jawab, Elena.” “Kamu bohongi aku, kamu sembunyikan ini… selama ini.” Daniel yang masih berdiri di samping Elena, tak langsung bicara. Tapi sorot matanya berubah—bukan lagi bingung, melainkan lebih dingin. Luka pelan-pelan terbaca dari raut wajahnya. “Elena,” ujar Daniel pelan namun tegas. “Apa benar?” Suara Daniel lebih menyakitkan dari teriakan mana pun. Elena memejamkan matanya sejenak, lalu membuka mulut dengan suara yang lirih namun jelas: “Ya… ini semua… awalnya hanya kontrak.” Tamu-tamu mulai saling berpandangan. Suara mengejutkan terdengar dari Lily, “Apa maksudnya kontrak?” Elena men
Mentari baru saja muncul di balik perbukitan Maple Hollow saat rumah keluarga Harper mulai dipenuhi suara langkah, tawa, dan perintah. Pagi itu tidak seperti biasanya—hari ini adalah hari yang semua orang nanti-nantikan: hari pernikahan Daniel dan Elena.Karyawan dekorasi mulai berdatangan lebih dulu, mengatur meja, panggung kecil, bunga segar yang datang dari kebun, dan kursi-kursi tamu. Nenek Rose sudah duduk manis di teras, mengenakan syal halus berwarna lembut, matanya berbinar menatap keramaian.“Ini akan jadi hari yang indah,” gumamnya penuh harap.Di dalam rumah, Maura sibuk membagi tugas kepada staf katering, sementara Lily berlarian kecil sambil membawa berkas daftar tamu.Sementara itu, di dapur yang belum terlalu ramai, Daniel baru saja turun dengan kaos putih dan celana kain gelap. Rambutnya masih agak acak-acakan, matanya mengantuk. Ia mengambil teko air dan menuang teh hangat ke dalam gelas tinggi.Saat ia hendak memutar badan, Elena muncul dari arah belakang—mengenakan
Setelah perbincangan intens dengan Adi selesai, Elena hanya bisa menunduk saat pria itu berpamitan singkat dan pergi dengan langkah berat menuju jalan utama. Sore hari di Maple Hollow yang biasanya hangat… kini terasa dingin di kulitnya. Dengan napas berat, Elena melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Saat ia membuka pintu depan dan melepas sepatunya, suasana rumah sudah lebih tenang. Beberapa anggota keluarga ada di ruang makan, sebagian di ruang tengah, dan sebagian lain sudah naik ke kamar. Tapi ketika ia melewati ruang tamu menuju tangga, langkahnya terhenti. Daniel berdiri di sisi tangga, bersandar santai—namun jelas dari tatapan matanya bahwa ia sudah melihat… sesuatu. Elena mencoba tersenyum. “Kamu di sini?” Daniel mengangguk singkat. “Baru turun. Mau bantu Mama angkat dus kado. Tapi orangnya malah keluar semua.” Nada bicaranya terdengar biasa, tapi matanya tidak. Ada sorot datar yang tak biasa saat ia menatap Elena. “Adi datang jauh-jauh ke sini, ya?” tanyanya
Hari semakin mendekati sore saat Adi berjalan menyusuri jalanan berbatu di pusat Maple Hollow, masih mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Di tangannya tergenggam lembaran koran lokal yang tadi pagi ia beli dari kios kecil dekat penginapan. Di halaman depan koran itu, terpampang jelas foto Daniel dan Elena, berdiri berdampingan dengan senyum hangat dan tajuk berita besar: "Keluarga Harper Gelar Pesta Pernikahan untuk Pewaris Usaha Kebun Hias Mereka." Adi sempat mengira itu hanya salah cetak atau foto mirip. Tapi setelah menelusuri isi berita—dan mengenali gaun yang dikenakan Elena saat terakhir mereka bertemu—perasaan tak nyaman itu berubah jadi pukulan nyata. Ia sempat mencoba menelepon Elena berkali-kali. Nada sambung terdengar… tapi tak satu pun dijawab. Napaknya semakin berat saat ia menghampiri salah satu warga yang duduk di depan toko kecil. “Permisi, Pak. Maaf mengganggu… apa Anda tahu di mana rumah keluarga Harper?” Warga tua itu menatapnya dari balik kacam
Suasana kamar masih sunyi. Lampu kecil di meja samping tempat tidur memancarkan cahaya hangat yang temaram. Elena duduk bersandar di tepi ranjang, tatapannya belum lepas dari jendela yang sudah tertutup tirai. Suara langkah ringan terdengar mendekat dari arah luar kamar. Tok… tok… Elena menoleh cepat. “Masuk saja, pintunya tidak dikunci.” Pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Lily yang berdiri di ambang pintu tanpa laptop, tanpa buku, hanya mengenakan piyama tipis dan membawa segelas susu. “Kamu belum tidur?” tanya Lily sambil masuk ke dalam kamar. “Belum. Susah tidur malam ini,” jawab Elena singkat, menggeser posisi duduknya agar Lily bisa ikut duduk di sisi ranjang. Lily menyerahkan segelas susu itu pada Elena. “Ibu bilang, minum susu hangat bisa bantu tenangin pikiran.” Elena menerima gelas itu, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih. Kamu baik juga ternyata.” Lily tertawa pelan. “Aku bukan jahat. Cuma... waspada. Kamu tahu kan, kamu masuk ke keluarga in
Elena meliriknya cepat, namun tetap tenang. “Kami mewakili pemilik kebun di Maple Hollow. Kami sudah buat janji dengan Kepala Subbagian Legalitas.” Beberapa menit kemudian, mereka dipersilakan masuk ke sebuah ruangan formal dengan meja panjang dan tumpukan berkas di mana-mana. Di sana, seorang pria paruh baya menyambut mereka dengan sopan namun dingin. “Saya sudah pelajari dokumen awalnya. Tapi ada satu hal yang masih belum kuat... kalian harus bisa tunjukkan bahwa tanah itu memang dikelola terus menerus selama lima tahun terakhir. Ada buktinya?” Elena membuka map dan mulai menyampaikan satu per satu dokumen—rekap panen, jadwal pekerja, bukti distribusi, bahkan foto-foto yang mereka ambil kemarin. Daniel memperhatikan Elena berbicara penuh percaya diri, menjelaskan alur distribusi dan kondisi lahan seolah ia benar-benar bagian dari keluarga itu. Pria dari kantor itu tampak cukup terkesan. “Baik. Ini akan masuk dalam pertimbangan untuk memvalidasi klaim tanah. Tapi saya a