Mata Elena bengkak setelah malam penuh tangis. Ia duduk di tepi ranjang sambil menatap ponselnya yang kini menampilkan satu e-mail penting dari perusahaan tempat ia bekerja. Subject: Surat Peringatan Resmi Kepada Elena Ardhani, Sehubungan dengan pemberitaan publik yang melibatkan nama Anda dan telah mencemari reputasi perusahaan, kami memanggil Anda untuk menghadap langsung pada tanggal 21 bulan ini. Kehadiran Anda wajib dan bersifat mendesak. Elena menggenggam ponselnya erat, lalu menunduk. Nafasnya berat. Semua sedang sarapan dalam diam. Elena turun membawa koper kecil. Nenek Rose menyambut dengan lembut, sementara Lily dan Maura hanya melirik sekilas. “Aku harus ke Molgrad. Kantor memanggilku.” Ujarnya pelan, tanpa banyak penjelasan. Daniel meletakkan gelas susunya. “Aku ikut. Aku juga masih punya hak bicara di perusahaan itu.” Elena menggeleng cepat. “Jangan, aku harus hadapi ini sendiri.” Daniel menatapnya dalam. “Tapi kamu nggak harus sendirian.” “Tolong, cukup.”
“Lalu... sekarang kamu merasa bersalah karena semua ini ketahuan?” Elena mengangguk, pelan. “Bukan karena aku jatuh cinta, bukan karena ingin meninggalkanmu. Tapi karena semua sudah berjalan terlalu jauh, dan aku tidak sempat menarik remnya. Aku tahu ini salah, dan aku siap menanggung akibatnya.” Sebelum Adi bisa berkata apa-apa lagi, pintu rumah terbuka keras. Daniel berdiri di ambang pintu bersama Tom dan Maura. “Elena,kamu harus masuk sekarang.” “Ms. Callahan sedang dalam perjalanan ke sini. Dia sudah tahu soal pernikahan kalian.” Adi menoleh, matanya menyipit. “Ms. Callahan? Siapa dia?” Daniel menjawab singkat: “Petugas imigrasi.”Ms. Callahan duduk tegak di depan meja dengan ekspresi tanpa kompromi. Di hadapannya, Elena duduk dengan tangan di pangkuan, mencoba tenang. Daniel berdiri bersandar di dinding, diam tapi penuh tekanan.Ms. Callahan membuka mapnya, menatap Elena lurus.“Nona Elena Santoso ,Anda saat ini tercatat sebagai pemegang visa kerja sementara yang akan b
Suasana berubah tegang. Semua tamu kini berdiri, sebagian mulai berbisik dengan nada tak nyaman. Beberapa bahkan mulai beranjak dari kursi karena merasa ini bukan lagi pernikahan, tapi pertunjukan menyakitkan. Di depan altar, Elena masih berdiri terpaku, tangan gemetar, bibirnya tak bisa membentuk satu kata pun. Adi terus menatapnya, mata merah, dada naik-turun menahan emosi. “Jawab, Elena.” “Kamu bohongi aku, kamu sembunyikan ini… selama ini.” Daniel yang masih berdiri di samping Elena, tak langsung bicara. Tapi sorot matanya berubah—bukan lagi bingung, melainkan lebih dingin. Luka pelan-pelan terbaca dari raut wajahnya. “Elena,” ujar Daniel pelan namun tegas. “Apa benar?” Suara Daniel lebih menyakitkan dari teriakan mana pun. Elena memejamkan matanya sejenak, lalu membuka mulut dengan suara yang lirih namun jelas: “Ya… ini semua… awalnya hanya kontrak.” Tamu-tamu mulai saling berpandangan. Suara mengejutkan terdengar dari Lily, “Apa maksudnya kontrak?” Elena men
Mentari baru saja muncul di balik perbukitan Maple Hollow saat rumah keluarga Harper mulai dipenuhi suara langkah, tawa, dan perintah. Pagi itu tidak seperti biasanya—hari ini adalah hari yang semua orang nanti-nantikan: hari pernikahan Daniel dan Elena.Karyawan dekorasi mulai berdatangan lebih dulu, mengatur meja, panggung kecil, bunga segar yang datang dari kebun, dan kursi-kursi tamu. Nenek Rose sudah duduk manis di teras, mengenakan syal halus berwarna lembut, matanya berbinar menatap keramaian.“Ini akan jadi hari yang indah,” gumamnya penuh harap.Di dalam rumah, Maura sibuk membagi tugas kepada staf katering, sementara Lily berlarian kecil sambil membawa berkas daftar tamu.Sementara itu, di dapur yang belum terlalu ramai, Daniel baru saja turun dengan kaos putih dan celana kain gelap. Rambutnya masih agak acak-acakan, matanya mengantuk. Ia mengambil teko air dan menuang teh hangat ke dalam gelas tinggi.Saat ia hendak memutar badan, Elena muncul dari arah belakang—mengenakan
Setelah perbincangan intens dengan Adi selesai, Elena hanya bisa menunduk saat pria itu berpamitan singkat dan pergi dengan langkah berat menuju jalan utama. Sore hari di Maple Hollow yang biasanya hangat… kini terasa dingin di kulitnya. Dengan napas berat, Elena melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Saat ia membuka pintu depan dan melepas sepatunya, suasana rumah sudah lebih tenang. Beberapa anggota keluarga ada di ruang makan, sebagian di ruang tengah, dan sebagian lain sudah naik ke kamar. Tapi ketika ia melewati ruang tamu menuju tangga, langkahnya terhenti. Daniel berdiri di sisi tangga, bersandar santai—namun jelas dari tatapan matanya bahwa ia sudah melihat… sesuatu. Elena mencoba tersenyum. “Kamu di sini?” Daniel mengangguk singkat. “Baru turun. Mau bantu Mama angkat dus kado. Tapi orangnya malah keluar semua.” Nada bicaranya terdengar biasa, tapi matanya tidak. Ada sorot datar yang tak biasa saat ia menatap Elena. “Adi datang jauh-jauh ke sini, ya?” tanyanya
Hari semakin mendekati sore saat Adi berjalan menyusuri jalanan berbatu di pusat Maple Hollow, masih mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Di tangannya tergenggam lembaran koran lokal yang tadi pagi ia beli dari kios kecil dekat penginapan. Di halaman depan koran itu, terpampang jelas foto Daniel dan Elena, berdiri berdampingan dengan senyum hangat dan tajuk berita besar: "Keluarga Harper Gelar Pesta Pernikahan untuk Pewaris Usaha Kebun Hias Mereka." Adi sempat mengira itu hanya salah cetak atau foto mirip. Tapi setelah menelusuri isi berita—dan mengenali gaun yang dikenakan Elena saat terakhir mereka bertemu—perasaan tak nyaman itu berubah jadi pukulan nyata. Ia sempat mencoba menelepon Elena berkali-kali. Nada sambung terdengar… tapi tak satu pun dijawab. Napaknya semakin berat saat ia menghampiri salah satu warga yang duduk di depan toko kecil. “Permisi, Pak. Maaf mengganggu… apa Anda tahu di mana rumah keluarga Harper?” Warga tua itu menatapnya dari balik kacam