“Silakan ceritakan bagaimana kisah cinta kalian. Kami ingin mendengarnya,” ujar Nenek Rose, mengambil alih semua percakapan di ruangan itu. Tentu saja, semua orang yang hadir menyetujui apa pun yang dikatakan oleh wanita lanjut usia tersebut.
“Anu... itu...” Elena tampak bimbang. Ia tidak tahu kisah seperti apa yang harus ia karang agar semua mata yang saat ini menatapnya percaya. Terlebih lagi, Daniel belum juga menampakkan diri. Habis sudah Elena! “Ayolah, kami sungguh ingin mendengarnya,” tambah Ms. Callahan. Ia tampak ingin melihat bagaimana Elena akan terjebak dengan kebohongan yang ia ciptakan sendiri. Situasi semakin tidak terkendali. Akhirnya, Elena memutuskan untuk berbicara. “Daniel adalah asistenku. Dia cukup mahir dalam pekerjaannya, bahkan saat membuatkan kopi untukku... meski sedikit pahit, hehe.” Tom Harper—ayah Daniel—yang baru saja tiba tak sengaja mendengarnya. Ia menyipitkan mata dan melangkah sedikit lebih dekat untuk mendengarkan dengan seksama. “Karena itu aku menyukainya. Apalagi kami memiliki selera film yang sama,” tambah Elena, sembari membayangkan sendiri seperti apa seharusnya keromantisan antara sepasang kekasih, meski sebenarnya ia tidak tahu apa-apa tentang kehidupan asistennya itu. “Aku tak pernah tahu kalau Daniel suka nonton film. Bukan begitu, Daniel?” Akhirnya Daniel terlihat. Sang ayah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dikatakan Elena terdengar mencurigakan, karena tidak sesuai dengan kebiasaan Daniel sehari-hari. “Dari mana saja kau?” bisik Elena pelan. Daniel tidak menjawab. Ia hanya mencoba mengikuti cerita yang dikarang oleh Elena. Semua mata tertuju padanya, terutama Tom yang masih belum yakin bahwa cerita mereka benar. “Bagaimana dengan cincin pernikahan kalian?” Pertanyaan itu membuat mereka berdua sontak terkejut. Benar juga! Kenapa mereka tak pernah memikirkan dari awal bahwa inti dari penyamaran ini adalah benda itu? “Ah, itu...” Elena menyenggol bahu Daniel, berharap pria itu akan membantunya menjawab. Namun Daniel tampak bingung, hanya tersenyum kaku ke arah neneknya yang mengernyitkan dahi. Ms. Callahan, memanfaatkan momen tersebut, dengan cepat menuliskan beberapa hal mencurigakan dalam buku kecil yang ia pegang. Gerak-gerik Elena yang gugup dan tidak mampu menjawab pertanyaan tentang cincin semakin memperkuat kecurigaannya. “Saat kami mau berangkat ke Tenebris, cincin pesanan kami belum selesai karena ada kendala. Jadi, mungkin pengirimannya akan memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Daniel, mencoba terdengar meyakinkan. Melihat semua orang masih diam mendengarkan, Daniel tiba-tiba melakukan sesuatu yang tidak terduga oleh Elena. “K-kau?!” Spontan Elena terkejut. Tiba-tiba saja pria itu mengecup pipinya di hadapan seluruh keluarga, yang jumlahnya hampir setara dengan separuh warga Maple Hollow. Ia lalu meraih tangan Elena dan mengangkatnya ke atas. “Aku perkenalkan: Elena Santoso, calon istri sekaligus keluarga baru kita. Apa kami perlu membukt—” Malam itu, di meja makan dengan pesta kecil yang diselenggarakan, Elena yang baru saja hampir lolos dari kecurigaan keluarga Harper malah mendapat panggilan telepon dari Adi—tunangannya. Elena langsung panik setengah mati. Gerak tubuhnya jelas menunjukkan kecemasan. Ia segera meninggalkan meja makan, bahkan sebelum Daniel sempat menyelesaikan ucapannya. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba menelepon?” tanya Elena tergesa. “Aku mengirimmu pesan. Kau belum membalasnya, jadi aku menelepon karena khawatir ada sesuatu yang terjadi.” “Tidak ada apa-apa. Baterai ponselku tadi habis, jadi aku matikan sebentar. Percayalah.” Adi di seberang telepon tampak percaya. Namun saat Elena masih berbicara dalam bahasa Cakrawana, tiba-tiba Ms. Callahan lewat di dekatnya. Spontan saja Elena mematikan ponselnya. “Sepertinya ada yang lebih penting dari pesta pernikahanmu hari ini,” sindir Ms. Callahan. “Ah, itu... keluargaku dari Cakrawana menelepon, hanya menanyakan kabar saja.” Ms. Callahan tampak tidak mudah percaya. Ia mendekatkan wajahnya, mencoba membaca ekspresi Elena yang berusaha terlihat tenang. Elena segera kembali ke meja makan untuk melanjutkan makan malamnya yang tertunda. Baru saja tiba di Tenebris, namun ia sudah merasa lelah setengah mati. Baru duduk, Lily—adik perempuan Daniel—tiba-tiba melipat tangan di dada dan menatap Elena dengan tajam. Ia berdiri tegak, sementara yang lain tetap duduk dan tidak berusaha menegurnya. “Bukankah tidak sopan meninggalkan meja makan saat semua orang sedang berbicara? Apa tidak ada yang mengajarimu sopan santun?” “Lily, jaga bicaramu,” tegur Nenek Rose. “Nenek, aku hanya tidak mau Kak Daniel sembarangan memilih wanita. Apalagi kita tidak tahu asal-usul wanita ini!” Elena tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi gadis remaja ini. Ingin rasanya menarik rambutnya dan mengajarinya cara berbicara sopan kepada orang yang lebih tua. “Ayo, Elena. Sepertinya kau sudah lelah,” ucap Daniel, akhirnya angkat suara dan mengajak Elena beristirahat ke kamar yang telah disiapkan orangtuanya. Elena memilih ikut Daniel daripada harus bertahan lebih lama di ruangan penuh tekanan itu. Saat berjalan, ia sempat melirik ke arah Ms. Callahan yang tampak kecewa karena tidak ada perlawanan dari Elena. “Sebentar. Sebelum kalian beristirahat, aku ingin bicara dengan kalian,” kata Tom, ayah Daniel, menahan langkah mereka. Ia mengajak keduanya ke teras depan rumah. Tak ada yang berbicara selama beberapa menit. Lalu... “Ayah ingin kau tinggal di sini, Daniel, setelah upacara pernikahanmu.” “Bukankah Ayah sudah janji—” “Aku sengaja mengajak Elena agar dia mendengar langsung bahwa kalian harus tinggal di sini usai upacara. Kita perlu melanjutkan usaha keluarga.” Elena yang mendengarnya tentu saja terkejut. Langkahnya mundur sedikit, mencoba mengatur napas yang seolah habis dihisap udara dingin malam itu. “T-tinggal di sini?!” Elena spontan meninggikan suaranya tanpa sadar. Matanya membulat karena keputusan tiba-tiba Tom—ayah Daniel—yang membuat Elena hilang keseimbangannya saat berdiri. “Apa ada masalah Elena?” Tom bertanya saat melihat wajah menantunya yang terlihat pucat, apalagi Daniel yang juga ikut bingung. Masalahnya adalah Elena terlalu memperlihatkan sisi berontaknya yang tidak setuju keputusan Tom, Elena menjelaskan bahwa ada banyak pekerjaan yang menanti mereka di Molgrad. “Bukankah kau menikah dengan anakku karena bersiap hidup dan tinggal bersamanya?” “Itu benar, tapi ayah tak bisa ambil keputusan seperti ini apalagi kita sudah membicarakannya. Ayah tau Elena punya pekerjaan penting di Molgrad?” Tom Harper terdiam sesaat, kepalanya masih berfikir bagaimana cara agar Daniel dan Elena setuju dengan keputusannya. Elena meminta waktu sedikit untuk memikirkan ini dan pergi ke kamarnya, diikuti Daniel yang ingin menyelesaikan permasalahan ini dengan wanita itu. “Apa yang terjadi?” Tiba-tiba saja Ms. Callahan memperlihatkan sisi curiganya saat melihat Elena yang berjalan memasuki kamar usai berbicara dengan Tom Harper, dia mendekati kepala keluarga itu. “Hanya masalah keluarga” Jawab Tom singkat, dia tidak perduli siapa yang baru saja datang namun yang terpenting adalah keputusan ini harus segera ada jawabannya.Usai pembicaraan semalam dengan ayah Daniel, Elena langsung mengajak Daniel ke kamar untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja, dia tidak setuju dengan keputusan ayah Daniel yang ingin mereka berdua tinggal di kota ini—apalagi jika itu berarti harus meninggalkan pekerjaan impian Elena. “Kau tahu kenapa aku melakukan ini, kan?!” “Tentu saja, tapi—” “Tidak bisa, Daniel. Aku tidak mau tinggal di sini.” “Aku tahu, tapi saat kau menunjukkan penolakan secara terang-terangan, itu bisa memancing kecurigaan dari ayahku.” Elena tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia mengambil ponselnya, melihat jangka waktu yang sudah ia tandai agar tidak lupa tujuan awal melakukan semua ini. Malam semakin larut. Lebih baik ia beristirahat untuk menjernihkan pikirannya yang masih pusing memikirkan keputusan ayah Daniel. “Tiga hari lagi ada kompetisi desain taman. Mungkin saja itu bisa menghiburmu,” ujar Daniel. Elena pura-pura tidak mendengar. Tubuhnya sudah tertutup selimut.
“Silakan ceritakan bagaimana kisah cinta kalian. Kami ingin mendengarnya,” ujar Nenek Rose, mengambil alih semua percakapan di ruangan itu. Tentu saja, semua orang yang hadir menyetujui apa pun yang dikatakan oleh wanita lanjut usia tersebut. “Anu... itu...” Elena tampak bimbang. Ia tidak tahu kisah seperti apa yang harus ia karang agar semua mata yang saat ini menatapnya percaya. Terlebih lagi, Daniel belum juga menampakkan diri. Habis sudah Elena! “Ayolah, kami sungguh ingin mendengarnya,” tambah Ms. Callahan. Ia tampak ingin melihat bagaimana Elena akan terjebak dengan kebohongan yang ia ciptakan sendiri. Situasi semakin tidak terkendali. Akhirnya, Elena memutuskan untuk berbicara. “Daniel adalah asistenku. Dia cukup mahir dalam pekerjaannya, bahkan saat membuatkan kopi untukku... meski sedikit pahit, hehe.” Tom Harper—ayah Daniel—yang baru saja tiba tak sengaja mendengarnya. Ia menyipitkan mata dan melangkah sedikit lebih dekat untuk mendengarkan dengan seksama.
“Kenapa tidak bilang saja pesta pernikahannya di sini?” “Tidak bisa, Ms. Callahan tidak mau hanya ucapan saja. Kau tidak lihat dia juga ikut untuk membuktikan apa yang kita katakan? Dia bilang foto bisa diedit,” di akhir ucapannya, Daniel sedikit menekankan bahwa ide ini adalah yang paling tepat dibandingkan ide Elena. “Kenapa kau lebih semangat daripada aku?” Saat memasuki pintu pesawat, Elena menyipitkan mata sambil sedikit kaget. Padahal seharusnya Elena yang lebih antusias karena ini menyangkut visa dan pekerjaannya. Tapi Elena tak ambil pusing, karena dia juga diuntungkan di sini. “Kursi bisnis di negara ini memang bagus, tidak membuatku sesak.” “Apa di negaramu sama?” Elena tentu saja mengangguk, tapi ia menjelaskan bahwa warga di Cakrawana tidak semua sering menaiki pesawat seperti dirinya. Namun, Cakrawana memiliki bandara dan pesawat dengan kualitas bagus serta menjaga kenyamanan penumpang. Elena percaya diri. “Aku sudah menghubungi keluargaku lebih awal.
Pagi sudah berlalu. Elena membatalkan keberangkatannya pagi ini karena harus menunggu Daniel yang tiba-tiba pingsan di samping mobilnya tadi malam. Untung saja ada seseorang di sekitar itu yang membantu Elena memapah Daniel ke rumahnya, dan akhirnya mau tak mau Elena terpaksa menginap di rumah pria itu. “Kau sudah bangun?” Elena menyadari gerak Daniel yang tampak terkejut saat melihatnya duduk dengan kedua tangan dilipat di atas dada. Untung saja ada kursi di sana. “K-Kenapa kau bisa ada di rumahku? Bukankah tadi malam—” “Kau mau aku jelaskan bagian kau pingsan atau bagian saat kau memuntahkan isi perutmu di depan pintu?” Daniel mencoba mengingat dengan cermat apa yang dikatakan bosnya. Meski masih pusing, dia mencoba duduk untuk mendengar alasan Elena membantunya tadi malam. “Kita buat kontraknya sekarang. Aku tidak punya waktu menunggumu sampai sadar.” “K-Kontrak apa?” Spontan, ingatan Daniel berputar tentang kejadian tadi malam. “Apa kau mau bertunangan denganku?
Elena berdiri menatap lantai ruang kerja atasannya, menunduk sambil sesekali memainkan ujung pakaiannya karena gelisah mendengar perkataan pria yang duduk di meja besar di depannya. “Aku memanggilmu ke sini untuk menyampaikan surat dari kantor Imigrasi.” Pria itu mendorong sebuah amplop dengan kop resmi ke arahnya, lalu mengetukkan jari telunjuknya di atas meja beberapa kali. “Tap—” Belum sempat Elena membuka suara, pria itu kembali berbicara. “Aku sudah memperingatkanmu dari beberapa bulan lalu untuk melepaskan proyek ini dan mengambil cuti untuk memperpanjang visa. Sekarang percuma, aku sama sekali tidak bisa membantumu. Kau bisa kapan pun dideportasi atau ditahan pihak Imigrasi.” “Maafkan aku. Kukira proyek ini akan siap minggu ini, dan aku bisa kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa.” Elena kembali menunduk, seakan ingin menjelaskan bahwa ia menyesal. “Aku sarankan kau segera memesan tiket kembali sebelum visamu kedaluwarsa.” Pria itu menghela napas,