Daniel beberapa kali melirik ke arah Elena, mencuri-curi pandang pada ekspresi wajahnya setiap kali Grant berbicara. Ia sempat merasa khawatir—tapi ternyata tidak ada tatapan kagum berlebihan di mata Elena. Wajahnya biasa saja, tetap profesional. Bahkan, sesekali ia justru melirik Daniel seperti ingin menertawakan sesuatu.Daniel diam-diam mengembuskan napas lega.Saat makanan mereka datang, Daniel mencoba mengalihkan topik ke hal-hal ringan. “Pak, kalau boleh tahu, Bapak suka masakan hotel seperti ini?”Grant tersenyum samar. “Kalau sedang di luar kota, saya coba menyesuaikan. Tapi, jujur saja... saya lebih suka masakan rumah.”Elena menimpali, “Masakan rumah memang punya rasa beda, ya.”“Betul.” Grant mengangguk, lalu menatap Elena lebih lama dari yang perlu. “Apalagi kalau yang masak... orang yang kita percaya.”Daniel berdehem pelan sambil menyesap air putihnya. Oke, cukup itu, Pak. Jangan terlalu puitis di hadapan bosnya...Meski tidak mengucapkan sepatah kata pun, tatapan Daniel
Elena berjalan santai menyusuri jalur taman, membiarkan angin sore menyapa lembut wajahnya. Saat melewati deretan bunga mawar yang mulai mekar, ia melihat seseorang sedang jongkok di dekat semak bunga. Ternyata itu CEO-nya—Tadeus Grant.“Pak Grant?” panggil Elena, agak ragu.Tadeus menoleh, lalu tersenyum. “Oh, Elena. Sendirian?”“Iya. Cuma jalan sebentar. Bapak juga?”“Ngasih makan tamu kecil,” katanya sambil menunjuk seekor anak kucing yang sedang mengunyah remah roti.Elena tersenyum. “Lucu juga. Kelihatannya dia senang dapat makanan.”Tadeus berdiri, menepuk-nepuk celananya. “Mau jalan sedikit lagi? Angin sore di Eldoria sayang dilewatkan.”Elena sempat bingung sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh.”Mereka berjalan beriringan menyusuri jalur taman. Obrolan di antara mereka sederhana—tentang kota Eldoria, restoran yang enak di dekat hotel, dan kucing liar yang kadang muncul di taman.“Biasanya saya nggak terlalu banyak ngobrol sama staf,” kata Grant, sambil menatap lurus ke de
Ruang Rapat Hotel – 08.30 PagiRuang rapat di lantai dua hotel telah disiapkan sempurna. Meja panjang oval dengan deretan kursi kulit elegan, tablet presentasi tersedia di tiap sisi. Di luar, kota Eldoria mulai sibuk, tapi di dalam ruangan ini, ketegangan justru meningkat.Elena dan Daniel masuk bersamaan. Elena tampak menahan rasa tidak nyaman, tapi wajahnya tetap tenang. Jasnya rapi, rambutnya diikat anggun, dan tablet presentasi di tangannya.Daniel berjalan sedikit di belakang, membawa berkas cetak dan remote presentasi. Ia mengambil posisi di samping kiri Elena—cukup dekat untuk membantu, cukup sopan untuk tidak mencolok.Mr. Grant, sang CEO, sudah tiba lebih dulu dan menyambut para investor satu per satu dengan senyum ramah. Tapi saat melihat Elena, ekspresinya berubah—bukan sekadar profesionalisme biasa. Tatapannya... terlalu dalam.“Miss Santoso,” sapanya dengan suara lebih pelan dari biasanya. “Saya senang Anda tetap hadir meski tadi malam terlihat kurang sehat. Dedikasi And
Lampu gantung kamar menyala terang namun hangat. Dinding bernuansa cokelat krem memberi kesan tenang, dengan dua koper kecil tergeletak di sisi lemari. Elena baru saja selesai membersihkan wajahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil menghela napas panjang. Tubuhnya terasa lelah setelah presentasi panjang dan makan malam bersama para investor asing.Daniel sedang membuka laptopnya di meja kerja kecil. Dia mengenakan kaos tipis dan celana training hotel. Beberapa dokumen masih dia tinjau, meski matanya sesekali melirik ke arah Elena.“Capek banget, ya?” tanya Daniel, tanpa menoleh.“Hm, lumayan,” jawab Elena sambil memijat pelipisnya. “Kepala agak berat… dan… perutku...”Daniel menoleh cepat. “Kenapa? Jangan bilang kamu keracunan dari daging panggang tadi?”Elena menatapnya malas. “Nggak, Daniel. Aku..... haid.”“Oh.” Daniel terdiam sejenak. “…Ohh.”Elena mendesah dan pelan-pelan berbaring miring sambil memeluk bantal kecil. Tapi dari ekspresinya, rasa sakit itu tidak main-main. Wa
Langit Eldoria terlihat cerah dari balik jendela kaca besar kafe hotel. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Musik instrumental jazz mengalun pelan, menambah suasana santai sebelum hari sibuk dimulai. Daniel datang lebih dulu, duduk di dekat jendela, dengan kemeja putih rapi yang lengannya belum digulung seperti biasa. Ia sedang membaca beberapa catatan di tablet, namun pandangannya sesekali melirik ke arah pintu. Tak lama, Elena muncul—dengan blouse putih dan blazer tipis abu muda, rambutnya dikuncir setengah. Wajahnya masih segar walau sorot matanya sudah siap tempur. “Kamu bangun duluan?” tanya Elena, mengambil tempat duduk di seberang Daniel. “Jelas. Aku yang terakhir mandi semalam, jadi harus duluan bangun biar nggak rebutan,” sahut Daniel ringan. Elena menatapnya datar. “Aku nggak rebutan, kamu yang lama di kamar mandi.” Daniel terkekeh. “Aku meditasi sambil cuci muka.” Pelayan datang dan mereka memesan sarapan—croissant isi, omelet sayur, dan kopi hitam untuk Ele
Lampu-lampu gantung kristal menyala temaram, memantulkan kilau cahaya hangat ke meja-meja bundar dengan taplak putih. Musik lembut mengalun di latar belakang. Para investor duduk dengan elegan, sebagian besar mengenakan jas dan gaun malam formal. Elena tiba lebih dulu dengan mengenakan blazer biru navy dan rok pensil hitam yang mempertegas kesan profesional sekaligus anggun. Di belakangnya, Daniel melangkah sedikit pelan—dengan setelan rapi, namun rambut yang sedikit berantakan, seolah tadi sempat buru-buru. CEO mereka, Mr. Grant, menoleh dari kursinya saat melihat dua sosok itu datang. “Miss Santoso,” sapa sang CEO sambil bangkit dan menjabat tangan Elena. “Senang akhirnya kita bisa duduk bersama dengan para investor ini.” Namun, mata sang CEO mengarah ke samping, menatap Daniel dengan bingung. “And... Daniel, bukan?” ujarnya agak ragu. Daniel tersenyum dan mengangguk. “Betul, Pak.” Mr. Grant menoleh kembali ke Elena, ekspresi bertanya tak disembunyikan. “Oh,” Elena l