Share

3. Lari dari Masalah

Suasana hiruk-pikuk di terminal menjadi pemandangan yang Azwa lihat ketika turun dari ojek online. Meski terbilang masih terlalu pagi, tetapi tak menyurutkan mereka untuk melakukan rutinitas seperti hari biasanya. 

Gadis yang mengenakan gamis warna biru bermotif kupu-kupu itu berjalan menuju tempat pemberangkatan bus ke luar kota jurusan Surabaya. Dia duduk di bangku yang tersedia menunggu bus datang sembari memakan roti untuk mengganjal perut. 

Tatapan matanya lurus ke depan dengan pikiran menerawang jauh mengingat aksi nekatnya hari ini.

Azwa kira hidupnya damai tak memiliki masalah apapun yang berat. Hidup di tengah-tengah keluarga yang harmonis, tentram, dan bahagia membuatnya sangat bersyukur. Namun, dia salah. Cobaan, ujian, dan masalah akan selalu datang selama manusia masih hidup. 

Tanpa sadar dibalik keharmonisan itu menyimpan masalah besar yang baru hari ini diketahuinya. Dia tak tahu langka apa yang harus diambil setelah ini.

Azwa memutuskan pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun, atau disebut dengan kabur. Dia pergi ketika semuanya sedang melakuan sholat jamaah di mushola. 

Beruntung barang bawaan dalam tas belum sepenuhnya dibongkar, jadi lebih mudah membereskannya. Dia tak tahu apakah ini langkah yang tepat atau bukan. 

Gadis itu tak rela ayahnya dipenjara. Namun, menikah dengan anak rentenir juga bukan pilihan yang tepat.

Keputusan tersebut sudah Azwa pikirkan matang-matang setelah semalaman mengurung diri di kamar. Dia berencana kembali ke Surabaya guna mencari pekerjaan agar bisa membantu melunasi utang orang tuanya. 

Di sana ada banyak teman yang bisa membantunya mencari pekerjaan. Kuliah sambil kerja? Bukan ide yang buruk bahkan dulu kakaknya pun melakukan hal yang sama.

"Surabaya Surabaya Surabaya!"

Suara itu membangunkan Azwa dari lamunannya. Terlihat bus berwarna biru mendekat dengan seorang kenek yang berdiri di ambang pintu sambil berteriak guna menarik penumpang. 

"Pati… Tuban… Lamongan… Bungur… Surabaya!"

Azwa tersenyum lega di balik maskernya mendapati busnya datang dengan cepat. Tanpa menunggu lama, dia beranjak, mencangkokkan tas di bahu kanannya, dan melangkah menaiki bus. Gadis itu memilih tempat di barisan paling depan deretan sayap kiri serta duduk di dekat jendela. 

Azwa memilih menggunakan bus karena kehabisan tiket kereta untuk pemberangkatan pagi ini dan tidak mempunyai banyak waktu memilih jadwal di jam lain. Selain itu, pastinya akan menunggu lama sampai kereta berangkat.

Di tempat lain, Diaz tengah melajukan motornya guna mencari keberadaan sang adik. Entah pergi kemana adiknya itu. Sungguh, dia benar-benar tak menyangka dengan aksi nekat Azwa.

Tempat pertama yang hendak laki-laki itu kunjungi adalah terminal. Tak tahu kenapa, dia mempunyai keyakinan kalau adiknya berada di sana mengingat percakapan semalam. 

Azwa ingin pergi jauh yang kemungkinan besar ke luar kota. Jika tidak ada, Diaz akan pergi ke stasiun karena hanya dua tempat itu yang bisa Azwa jangkau. Semoga saja dirinya tidak terlambat dan langsung bertemu dengan sang adik.

Sesampainya di terminal, Diaz segera berlari ke jalur pemberangkatan bus. Di sana ada berjejer beberapa bus dengan jurusan yang berbeda-beda, tetapi titik fokusnya berada di satu bus. 

Seraya mengatur napasnya yang ngos-ngosan, dia menatap dengan cermat satu persatu penumpang yang terlihat dari kaca. Setelah menemukan apa yang dicari, laki-laki itu bergegas naik ke dalam bus, menarik tangan seseorang, dan membawanya turun.

"Mas, lepas."

Diaz mengabaikannya. Dia terus menarik tangan orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah Azwa. "Ayo, pulang. Ngapain kamu ada di sini?"

"Apaan sih, Mas. Lepasin tangan Adek!" Azwa menahan langkah dan menghentakkan lengannya kuat hingga membuat cekalan tangan Diaz terlepas. Keduanya kini berada di tepi koridor terminal. "Adek harus pergi. Bawa sini tas Adek."

Diaz menjauhkan tas itu dari jangkauan Azwa. "Nggak! Kamu nggak boleh pergi kemana-mana."

"Buat apa Adek pulang kalau ujung-ujungnya dijual?"

"Nggak ada yang mau menjualmu, Dek. Kamu salah paham."

"Terserah! Adek tetep akan pergi. Kalau Adek pulang, pasti kalian akan memaksa Adek menerima lamaran dan menikah dengan dia! Adek nggak mau!"

Perdebatan keduanya tentu saja menjadi tontonan orang-orang yang ada di sana. Namun, mereka memilih tak acuh dan melanjutkan aktivitasnya.

Diaz menyunggar rambutnya frustasi. Menghadapi sikap Azwa yang memberontak ini membuatnya geram. "Apa dengan pergi, masalah akan selesai? Nggak, Dek. Justru malah semakin membesar.”

“Masalah itu dihadapi bukan dihindari. Kamu pikir cuma kamu yang ngerasa kesulitan? Kita semua juga sama susahnya. Ayolah, Dek, jangan membangkang seperti ini."

"Cukup, ya, Mas. Udah cukup Adek jadi anak penurut selama ini. Tapi apa yang Adek dapat? Kalian dengan tega akan menjadikan Adek tumbal. Lebih baik Adek pergi biar kalian nggak terbebani lagi!" ujar Azwa dengan napas memburu. 

Setelah mendapatkan tasnya, dia berbalik berniat kembali naik bus yang terlihat udah penuh. Bahkan tempat duduknya tadi sudah diisi oleh penumpang lain.

Diaz menarik tangan Azwa lantas membalikkan tubuh adiknya secara paksa. "Dek, kamu nggak mikirin perasaan Ayah-Bunda? Jangan pergi, Dek setidaknya demi mereka.”

“Kamu tau, semenjak ada masalah ini Bunda sering sakit. Bunda juga sempat pingsan tadi saat tau kamu pergi tanpa izin. Kamu tega ninggalin Bunda di saat seperti itu? Jangan egois, Dek," ucapnya sambil mencengkram bahu Azwa.

Azwa akan membalas, tetapi urung ketika kenek bus tumpangannya menyela. "Mbak, sido numpak ora? Iki bis e arep mangkat." (Mbak, jadi naik nggak? Ini busnya akan segera berangkat)

"Boten siyos, Pak Lek. Adik kulo niki ajêng kundur. Matur nuwun, nggih." (Nggak jadi, Paman. Adikku ini mau pulang. Terima kasih, ya)

Kenek bus itu mengangguk, lalu kembali menaiki bus. Tak lama kemudian bus biru itu mulai berjalan menjauh meninggalkan terminal.

Azwa semakin kesal karena sang kakak terus menahannya. Mukanya ditekuk sempurna. "Ck! Gara-gara Mas busnya pergi."

"Kamu nggak akan pergi. Ayo, kita pulang." Diaz beralih menggandeng tangan adiknya erat menuju parkiran.

"Tapi–" Perkataan Azwa lagi-lagi terpotong oleh suara dering ponsel milik kakaknya.

Diaz berhenti sejenak lantas mengambil ponselnya dari dalam saku celana. Terlihat nama kontak dan foto profil 'Bunda' yang memenuhi ponsel. Dia pun segera mengangkatnya.

"...."

"Wa'alaikumsalam, Bun. Iya, Diaz udah sama Adek."

"...."

"Ini mau pulang. Kenapa, Bun? Ada apa kok terdengar rame-rame di sana?"

"...."

“Apa?! Tapi Bunda nggak papa kan? Bunda baik-baik aja kan?”

"...."

“Iya-iya, Diaz segera pulang sama Adek. Bunda tunggu, ya," kata Diaz terburu-buru.

Raut wajah laki-laki itu berubah panik. Setelah teleponnya selesai, dia kembali berjalan dengan sangat cepat dan tergesa-gesa. Pikirannya kalut mendengar ucapan bundanya di telepon. "Ayo, Dek, kita harus segera pulang."

"Ada apa, Mas?" Azwa melangkah terseok-seok karena berusaha mengimbangi langkah lebar Diaz.

"Di rumah ada anak buah bos rentenir. Mereka akan menyeret Ayah ke penjara kalau kita nggak ngasih jawaban."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status