공유

2. Utang dan Lamaran

작가: Putri Cahaya
last update 최신 업데이트: 2023-12-30 16:35:18

"Adek ingat kan kalau dulu Adek sering sakit bahkan sampai hampir merenggut nyawa?" Kini giliran Bunda Nawa bersuara yang dibalas anggukan oleh Azwa. 

“Semuanya bermula dari sana. Kami meminjam uang kepada mereka untuk pengobatan Adek sampai benar-benar sembuh sekaligus buat pendidikan Mas Diaz.”

“Dulu hidup kita serba kesusahan, Dek, apalagi setelah bangun rumah ini. Ndak ada yang bisa kami mintai tolong saat itu. Kamu tau sendiri keluarga Ayah gimana. Saudara-saudara Bunda juga kondisi ekonominya sama kayak kita,” jelasnya.

"Berkali-kali Ayah nunggak karena gaji Ayah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan dengan tak tau dirinya Ayah kembali meminjam lagi dan lagi yang malah bikin utangnya membengkak. Ayah semakin ndak sanggup membayarnya, Dek, hingga membuat mereka hilang kesabaran," sambung Ayah Abyaz.

Laki-laki paruh baya itu menghela napas sebelum melanjutkan, "saat usia Adek tujuh tahun, bos besar mereka datang ke rumah membawa surat perjanjian. Disana tertulis bahwa Ayah diberi jangka waktu dua belas tahun buat melunasi semuanya.”

“Jika selama itu belum bisa lunas juga, maka Ayah harus terima konsekuensinya termasuk dipenjara. Ayah pun terpaksa menandatangani surat itu karena ndak punya pilihan lain."

"Tahun ini adalah tahun terakhir kami melunasi semuanya. Kata mereka tinggal dua puluh persen lagi, tapi jatuh temponya udah habis. Sesuai perjanjian, Ayah harus terima konsekuensinya."

"Dipenjara?" tanya Azwa dengan suara tercekat dan napas tertahan. 

Melihat sang ayah mengangguk pelan, dia langsung menyandarkan tubuhnya ke tembok yang seketika terasa lemas. "Terus hubungannya sama Adek apa?"

"Seminggu yang lalu ada seorang pemuda yang datang ke Ayah bersama orang tuanya. Dia melamar Adek," kata Ayah Abyaz dengan hati-hati.

"La-lamar?" Belum cukup rasa syoknya mendengar tentang utang itu, kini dikejutkan lagi dengan datangnya lamaran. Ya Allah… apalagi ini? batin Azwa menjerit.

"Iya, Sayang. Yang lebih mengejutkan lagi ternyata pemuda itu adalah anak dari bos besar rentenir. Dia bilang kalau dia udah menyukai Adek dari dulu dan ingin menjadikan Adek pendamping hidupnya," timpal Bunda Nawa.

Deg!

Jantung Azwa seolah berhenti berdetak. Nafasnya tercekat, seakan-akan pasokan udara disekitarnya telah habis.  Sejenak, dia terdiam kaku. 

Hati Azwa menjadi tak karuan mendengar perkataan bundanya. Dia menatap sang ayah dengan sorot mata penuh tanya. "Ayah jawab apa?"

"Ayah belum menjawabnya. Kami menunggu Adek pulang dan mendiskusikannya dengan Adek."

Azwa menghembuskan napas lega. Setidaknya dia masih bisa menolak. Yakali menikah dengan anak rentenir, mau dibawa kemana rumah tangganya nanti. Namun, ucapan Ayah berikutnya kembali membuat gadis itu panas-dingin.

"Melihat Ayah yang belum memberikan keputusan, sang bos besar pun memberikan tawaran. Bila Ayah menerima lamaran itu dan menikahkan Adek dengan putranya, semua utang dianggap lunas.” 

“Kalau ndak, Ayah harus bersedia dipenjara. Ini benar-benar situasi yang sangat sulit buat kita, Dek. Ayah ndak pengen mengorbankan kebahagiaan Adek. Dipenjara pun Ayah ndak masalah, tapi gimana kalian kalau tanpa Ayah?" ungkap Ayah Abyaz.

"Kita dikasih waktu seminggu buat berpikir dan ini hari terakhirnya. Kita harus menjawab lamaran itu hari ini." Bunda Nawa menggenggam tangan putrinya erat dengan mata berkaca-kaca. 

"Karena itulah Ayah sama Bunda minta Adek pulang. Kami ingin membicarakan hal ini ke Adek," tuturnya.

"Ayah minta tolong, Dek. Terima lamaran itu, ya. Adek satu-satunya harapan kami," ucap Ayah Abyaz sendu.

Mendengar itu, Azwa terkekeh miris. "Jadi, Adek disuruh pulang terus dijadiin alat bayar utang gitu?"

Bunda Nawa menggeleng. "Bukan gitu, Sayang–"

"Tapi nyatanya seperti itu, Bun. Semua utang lunas kalau Adek menikah dengan anaknya bos rentenir. Itu sama aja kalian menjual Adek," potong Azwa dengan mata berkaca-kaca. 

"Kenapa nggak ada satupun yang kasih tau Adek tentang semua itu? Apa kalian udah nggak sayang lagi sama Adek?" tanyanya.

"Ndak gitu, Adek salah paham. Kami sayang banget sama Adek, makanya ndak beritahu Adek. Ayah sama Bunda ndak pengen membebani Adek dengan masalah itu," ujar Bunda Nawa.

“Justru dengan nggak beritahu Adek bikin Adek semakin terbebani!" Azwa bangkit dari duduknya dengan amarah yang memuncak. 

“Kalian yang punya utang, kenapa harus Adek yang menanggungnya?! Adek bela-belain pulang cepat demi kalian, tapi ternyata ini yang Adek dapatin! Sia-sia Adek pulang!”

Gadis itu mengusap kasar air matanya yang menetes. "Persetan dengan utang Ayah! Adek nggak peduli! Sampai kapanpun Adek nggak mau nikah sama dia!”

“Kalau Ayah-Bunda tetap maksa, Adek akan pergi jauh dari sini dan nggak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" ucapnya semakin tak terkontrol. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu. Emosi yang ditahannya sedari tadi meluap sudah.

"Adek, jangan coba-coba melakukan itu!" tegur Ayah Abyaz dengan nada suara tinggi.

"Kenapa? Toh, sama aja kan. Adek akan pergi dari rumah ini. Daripada Adek dijual mending pergi sekalian!" Azwa menatap mereka satu per satu dengan sorot marah, terluka, dan kecewa. "Adek kecewa sama kalian semua!"

Setelah mengucapkan itu, Azwa berlari menuju kamarnya mengabaikan panggilan mereka. Sesampainya di kamar, dia langsung mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. 

Hanya itu yang bisa dirinya lakukan sekarang ini karena hari mulai gelap dan dia terlalu takut keluar rumah malam-malam. Tidak tahu bila besok.

—o0o—

Suara azan subuh sayup-sayup mulai menghilang tergantikan dengan kokokan ayam yang bersahut-sahutan. Kicauan burung fajar ikut serta meramaikan suasana pagi ini. 

Langit masih petang ketika seorang laki-laki tampan baru saja turun dari mushola dan kembali ke rumah. Tanpa melepaskan pecinya, dia langsung menuju kamar sang adik berniat membangunkan.

"Dek, bangun, subuh," ujar Diaz sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Tak sahutan dari dalam membuatnya mengernyit heran. 

Biasanya Azwa langsung menyahut ketika dibangunkan walaupun hanya mendengar ketukan pintu saja. Tidak ingin berpikiran macam-macam, dia langsung membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.

Kamar Azwa kosong. Diaz tidak menemukan keberadaan sang adik di dalam kamar. Dia pun keluar guna mencari adiknya di seluruh penjuru rumah. 

Namun, nihil. Azwa tetap tidak ada. Laki-laki itu kembali ke kamar dan memindai seluruh ruangan. Seketika, raut wajahnya berubah panik.

"Ayah, Bunda, Adek nggak ada di kamar," beritahu Diaz kepada orang tuanya yang baru pulang dari mushola.

"Udah dicek ke semua ruangan?" balas Ayah Abyaz.

"Iya, lagi mandi mungkin. Biasanya kan Adek mandi subuh," timpal Bunda Nawa.

"Tetap nggak ada, Yah, Bun. Tas yang biasanya Adek gunakan buat pulkam juga nggak ada ditempatnya."

"Apa?!"

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 3 : Dadah, Aarash

    “Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 2 : Permintaan Kahfi

    “Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 1 : Keluarga Kecil Aufal

    “Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   155. Cinta Masa Depanku [End]

    “Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   154. Ini Papa, Nak

    Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   153. Tentang Kecelakaan Itu

    “Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status