Share

2. Utang dan Lamaran

"Adek ingat kan kalau dulu Adek sering sakit bahkan sampai hampir merenggut nyawa?" Kini giliran Bunda Nawa bersuara yang dibalas anggukan oleh Azwa. 

“Semuanya bermula dari sana. Kami meminjam uang kepada mereka untuk pengobatan Adek sampai benar-benar sembuh sekaligus buat pendidikan Mas Diaz.”

“Dulu hidup kita serba kesusahan, Dek, apalagi setelah bangun rumah ini. Ndak ada yang bisa kami mintai tolong saat itu. Kamu tau sendiri keluarga Ayah gimana. Saudara-saudara Bunda juga kondisi ekonominya sama kayak kita,” jelasnya.

"Berkali-kali Ayah nunggak karena gaji Ayah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan dengan tak tau dirinya Ayah kembali meminjam lagi dan lagi yang malah bikin utangnya membengkak. Ayah semakin ndak sanggup membayarnya, Dek, hingga membuat mereka hilang kesabaran," sambung Ayah Abyaz.

Laki-laki paruh baya itu menghela napas sebelum melanjutkan, "saat usia Adek tujuh tahun, bos besar mereka datang ke rumah membawa surat perjanjian. Disana tertulis bahwa Ayah diberi jangka waktu dua belas tahun buat melunasi semuanya.”

“Jika selama itu belum bisa lunas juga, maka Ayah harus terima konsekuensinya termasuk dipenjara. Ayah pun terpaksa menandatangani surat itu karena ndak punya pilihan lain."

"Tahun ini adalah tahun terakhir kami melunasi semuanya. Kata mereka tinggal dua puluh persen lagi, tapi jatuh temponya udah habis. Sesuai perjanjian, Ayah harus terima konsekuensinya."

"Dipenjara?" tanya Azwa dengan suara tercekat dan napas tertahan. 

Melihat sang ayah mengangguk pelan, dia langsung menyandarkan tubuhnya ke tembok yang seketika terasa lemas. "Terus hubungannya sama Adek apa?"

"Seminggu yang lalu ada seorang pemuda yang datang ke Ayah bersama orang tuanya. Dia melamar Adek," kata Ayah Abyaz dengan hati-hati.

"La-lamar?" Belum cukup rasa syoknya mendengar tentang utang itu, kini dikejutkan lagi dengan datangnya lamaran. Ya Allah… apalagi ini? batin Azwa menjerit.

"Iya, Sayang. Yang lebih mengejutkan lagi ternyata pemuda itu adalah anak dari bos besar rentenir. Dia bilang kalau dia udah menyukai Adek dari dulu dan ingin menjadikan Adek pendamping hidupnya," timpal Bunda Nawa.

Deg!

Jantung Azwa seolah berhenti berdetak. Nafasnya tercekat, seakan-akan pasokan udara disekitarnya telah habis.  Sejenak, dia terdiam kaku. 

Hati Azwa menjadi tak karuan mendengar perkataan bundanya. Dia menatap sang ayah dengan sorot mata penuh tanya. "Ayah jawab apa?"

"Ayah belum menjawabnya. Kami menunggu Adek pulang dan mendiskusikannya dengan Adek."

Azwa menghembuskan napas lega. Setidaknya dia masih bisa menolak. Yakali menikah dengan anak rentenir, mau dibawa kemana rumah tangganya nanti. Namun, ucapan Ayah berikutnya kembali membuat gadis itu panas-dingin.

"Melihat Ayah yang belum memberikan keputusan, sang bos besar pun memberikan tawaran. Bila Ayah menerima lamaran itu dan menikahkan Adek dengan putranya, semua utang dianggap lunas.” 

“Kalau ndak, Ayah harus bersedia dipenjara. Ini benar-benar situasi yang sangat sulit buat kita, Dek. Ayah ndak pengen mengorbankan kebahagiaan Adek. Dipenjara pun Ayah ndak masalah, tapi gimana kalian kalau tanpa Ayah?" ungkap Ayah Abyaz.

"Kita dikasih waktu seminggu buat berpikir dan ini hari terakhirnya. Kita harus menjawab lamaran itu hari ini." Bunda Nawa menggenggam tangan putrinya erat dengan mata berkaca-kaca. 

"Karena itulah Ayah sama Bunda minta Adek pulang. Kami ingin membicarakan hal ini ke Adek," tuturnya.

"Ayah minta tolong, Dek. Terima lamaran itu, ya. Adek satu-satunya harapan kami," ucap Ayah Abyaz sendu.

Mendengar itu, Azwa terkekeh miris. "Jadi, Adek disuruh pulang terus dijadiin alat bayar utang gitu?"

Bunda Nawa menggeleng. "Bukan gitu, Sayang–"

"Tapi nyatanya seperti itu, Bun. Semua utang lunas kalau Adek menikah dengan anaknya bos rentenir. Itu sama aja kalian menjual Adek," potong Azwa dengan mata berkaca-kaca. 

"Kenapa nggak ada satupun yang kasih tau Adek tentang semua itu? Apa kalian udah nggak sayang lagi sama Adek?" tanyanya.

"Ndak gitu, Adek salah paham. Kami sayang banget sama Adek, makanya ndak beritahu Adek. Ayah sama Bunda ndak pengen membebani Adek dengan masalah itu," ujar Bunda Nawa.

“Justru dengan nggak beritahu Adek bikin Adek semakin terbebani!" Azwa bangkit dari duduknya dengan amarah yang memuncak. 

“Kalian yang punya utang, kenapa harus Adek yang menanggungnya?! Adek bela-belain pulang cepat demi kalian, tapi ternyata ini yang Adek dapatin! Sia-sia Adek pulang!”

Gadis itu mengusap kasar air matanya yang menetes. "Persetan dengan utang Ayah! Adek nggak peduli! Sampai kapanpun Adek nggak mau nikah sama dia!”

“Kalau Ayah-Bunda tetap maksa, Adek akan pergi jauh dari sini dan nggak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" ucapnya semakin tak terkontrol. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu. Emosi yang ditahannya sedari tadi meluap sudah.

"Adek, jangan coba-coba melakukan itu!" tegur Ayah Abyaz dengan nada suara tinggi.

"Kenapa? Toh, sama aja kan. Adek akan pergi dari rumah ini. Daripada Adek dijual mending pergi sekalian!" Azwa menatap mereka satu per satu dengan sorot marah, terluka, dan kecewa. "Adek kecewa sama kalian semua!"

Setelah mengucapkan itu, Azwa berlari menuju kamarnya mengabaikan panggilan mereka. Sesampainya di kamar, dia langsung mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. 

Hanya itu yang bisa dirinya lakukan sekarang ini karena hari mulai gelap dan dia terlalu takut keluar rumah malam-malam. Tidak tahu bila besok.

—o0o—

Suara azan subuh sayup-sayup mulai menghilang tergantikan dengan kokokan ayam yang bersahut-sahutan. Kicauan burung fajar ikut serta meramaikan suasana pagi ini. 

Langit masih petang ketika seorang laki-laki tampan baru saja turun dari mushola dan kembali ke rumah. Tanpa melepaskan pecinya, dia langsung menuju kamar sang adik berniat membangunkan.

"Dek, bangun, subuh," ujar Diaz sambil mengetuk pintu kamar adiknya. Tak sahutan dari dalam membuatnya mengernyit heran. 

Biasanya Azwa langsung menyahut ketika dibangunkan walaupun hanya mendengar ketukan pintu saja. Tidak ingin berpikiran macam-macam, dia langsung membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.

Kamar Azwa kosong. Diaz tidak menemukan keberadaan sang adik di dalam kamar. Dia pun keluar guna mencari adiknya di seluruh penjuru rumah. 

Namun, nihil. Azwa tetap tidak ada. Laki-laki itu kembali ke kamar dan memindai seluruh ruangan. Seketika, raut wajahnya berubah panik.

"Ayah, Bunda, Adek nggak ada di kamar," beritahu Diaz kepada orang tuanya yang baru pulang dari mushola.

"Udah dicek ke semua ruangan?" balas Ayah Abyaz.

"Iya, lagi mandi mungkin. Biasanya kan Adek mandi subuh," timpal Bunda Nawa.

"Tetap nggak ada, Yah, Bun. Tas yang biasanya Adek gunakan buat pulkam juga nggak ada ditempatnya."

"Apa?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status