Azan Subuh sudah berkumandang, aku menggeliat sejenak merenggangkan otot. Samar kudengar suara perempuan di ruang tengah. Saat kutengok tempat tidur di samping, ternyata Bulik Hani sudah tidak ada, beliau sudah bangun lebih dulu.
Mendengar suara riuh, aku segera bangkit dari pembaringan. Lalu, keluar dari kamar. Kulihat Bulik Hani sedang membangunkan Dian dan Dito untuk salat subuh. Akan tetapi, mereka berdua belum juga mau beranjak. Berbagai bujukan dan rayuan Bulik Hani lakukan agar kedua bocah itu segera bangun. Namun, usahanya sia-sia, kedua bocah itu hanya menggeliat, belum mau beranjak dari tempat tidur. Saking riuhnya membuat Om Rahmad terbangun. Lalu, pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian berangkat ke musala. Sementara aku ke luar menuju ruang tamu, aku terkejut saat melihat sesosok laki-laki tertidur di kursi dengan kondisi menekuk. ‘Ya Allah, Mas Riko.’ Pekikku dalam hati. Bagaimana bisa dia tidur di kursi. Akan tetapi, aku tak ambil pusing. Salah sendiri saat di tanya, “Mau kembali ke sini ndak, Mas!” Dia hanya menjawab, “Belum tahu.” Untung saja pintu rumah ndak ditutup dan lampu juga masih terpancar terang. Jika, tidak? Sudah kupastikan dia tidur di mobil. Sudah menjadi kebiasaan para warga saat ada salah satu keluarga yang meninggal maka pintu rumah tidak boleh ditutup. Begitu pun dengan lampu rumah yang tak boleh dipadamkan. Entah ada makna apa di balik semua itu, aku tak pernah tahu. Yang kutahu hanya tradisi dan itu sudah ada sejak aku masih kecil bahkan mungkin sebelum aku lahir dan aku hanya mengikuti tradisi itu. Dengan pelan kuguncang tubuh Mas Riko, dia menggeliat persis seperti Dian dan Dito. “Mas,” ucapku. Kusentuh tubuhnya dengan jari. Perlahan Mas Riko membuka mata, lalu mengerjap beberapa kali. Mungkin untuk mempertajam penglihatan. “Sudah Subuh, ke musala dulu sana bareng Om Rahmad,” perintahku dengan lembut. Mas Riko masih terdiam. Semenit kemudian dia menatapku, manik mata kami bertemu. Tatapannya membuat hati ini berdesir. “Semalam kenapa ndak bilang kalau mau datang lagi,” ucapku. Lagi-lagi Mas Riko hanya bergeming. “Lho, ada Nak Riko? Kapan datang, Nak?” tanya Om Rahmad. Seketika Mas Riko memalingkan pandangan ke arah Om Rahmad. Sementara aku mengubah posisi berdiri di samping Om Rahmad, mendengarkan percakapan dua lelaki beda usia. “Semalam, Pak. Saat sampai, rumah sudah sepi. Lalu, saya masuk untuk mengecek karena pintu tidak ditutup, lampu tidak dipadamkan. Ternyata sudah pada tidur, jadi saya tidur di kursi.” “Ya Allah, kenapa ndak membangunkan saya?” “Nggak enak, pasti Pak Rahmad juga lelah.” “Ndak pa-pa. Eh … jangan panggil Pak, panggil Om saja, biar lebih akrab. Ya sudah, ayo kita ke musala.” Mas Riko mengusap wajahnya kasar, lalu bangkit dari kursi. Tanpa membersihkan diri, dia pergi ke musala bareng Om Rahmad. Setelah kepergian Om Rahmad dan Mas Riko, aku bergegas membersihkan diri mengambil air wudu, lalu melaksanakan salat Subuh. Bersama dengan Bulik Hani, Dian, dan Dito. Usai salat subuh, Dian dan Dito bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku dan Bulik Hani memasak untuk sarapan kita semua sembari menunggu Om Rahmad dan Mas Riko pulang dari musala. Hanya menu sederhana yang kami masak, bahan makannya pun dari rumah Bulik Hani karena aku belum ada waktu untuk belanja. Dian dan Dito sudah siap dengan seragam sekolah. Mereka berdua mendekati kami di dapur. “Buk, sudah siap belum sarapannya,” ucapnya sambil mengelus perut. “Sebentar lagi selesai, lagi pula kita nunggu Bapak sama Om Riko,” sahut Bulik Hani menerangkan. “Siapa Om Riko?” tanyanya polos. “Suami Mbak Gendhis,” jelas Bulik Hani. “Haa … kapan Mbak Gendhis menikah? Kok nggak ada pesta kayak orang nikahan?” “Sudah-sudah, ndak usah banyak tanya. Pokoknya Om Riko itu suami Mbak Gendhis,” tukas Bulik Hani. Sementara aku dan Dian hanya mendengarkan perdebatan Ibu dan anak. Beberapa saat kemudian Om Rahmad dan Mas Riko datang. Aku segera membuatkan kopi untuk mereka berdua sembari menunggu masakan Bulik Hani matang. Kedua laki-laki itu duduk di teras depan sambil mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan. Kusuguhkan dua gelas kopi untuk mereka berdua, setelah itu aku kembali masuk membantu Bulik Hani memasak. Setengah jam kemudian, semua masakan sudah matang, kutawarkan sarapan pada Om Rahmad dan Mas Riko. Namun, mereka menolak karena belum lapar katanya. Tanpa menunggu, Bulik Hani langsung mengambil dua porsi nasi untuk Dian dan Dito. Dengan lahap mereka menyantap sarapannya, hanya dalam waktu sekejap sudah habis. Usai sarapan mereka berdua pergi ke sekolah dengan berjalan kaki karena sekolah mereka ada di gang sebelah. Dian dan Dito menyalami tangan ibunya. “Jangan nakal di sekolah, nanti pulangnya langsung ke sini jangan ke rumah. Ibu di sini,” pesan Bulik Hani pada kedua anaknya. “Asiap,” sahut keduanya, setelah itu ke luar menyalami Om Rahmad dan Mas Riko. “Dito dan Mbak Dian berangkat dulu, ya, Pak. Assalamualaikum,” pamit Dito pada Om Rahmad. “Iya, hati-hati, ya, le,” pesan Om Rahmad sebelum kedua bocah itu menghilang dari pandangan. Percakapan mereka masih bisa kudengar dari dalam rumah. “Nduk, sana suruh suamimu dan Om Rahmad sarapan. Nanti keburu dingin makanannya.” Aku segera ke luar menuruti perintah Bulik Hani agar aku memberitahu Om Rahmad dan Mas Riko sarapan. “Om, Mas, kita sarapan dulu, ya,” ucapku dari ambang pintu. “Sudah matang masakannya.” Om Rahmad balik bertanya. “Sudahlah, masak belum matang Gendhis menyuruh Om sarapan. Lagi pula Dian dan Dito sudah berangkat sekolah, mana mungkin mereka berangkat tanpa sarapan.” Tanpa jawaban Om Rahmad langsung berdiri. Aku masih bergeming di ambang pintu. “Ayo Nak Riko, kita sarapan dulu.” Kudengar Om Rahmad mengajak Mas Riko. “Iya, Om,” sahut Mas Riko sembari bangkit dari kursi. Aku sedikit minggir dari ambang pintu saat kedua laki-laki itu melangkah masuk. Dua gelas kopi yang aku suguhkan sudah tandas. Segera kubawa gelas kotor masuk ke dalam mengikuti kedua lelaki yang sudah lebih dulu masuk. Kulihat mereka berdua sudah duduk berhadapan. Bulik Hani sudah siap melayani mereka, segera kuletakkan dua gelas bekas kopi ke washtafel. Lalu, ikut duduk di samping Mas Riko, sedangkan Bulik Hani di samping Om Rahmad. Kami memulai sarapan meski dengan menu sederhana, tetapi terasa sangat nikmat. Suasana ini membuatku seperti menemukan keluarga baru meski dalam keadaan berduka. Dengan adanya Mas Riko sebagai suami seolah menggantikan posisi bapak di rumah ini. Tak kupedulikan sikapnya yang dingin, semoga dengan berjalannya waktu sikapnya akan berubah dengan sendirinya. Semoga saja aku kuat untuk menjalani pernikahan ini meski tanpa cinta di hatiku maupun di hati Mas Riko. Baru separuh makanan yang masuk ke mulut, aku terpaksa menghentikannya karena ponselku berdering memekakkan telinga. Aku segera bangkit dari kursi, lalu masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Penasaran dengan si penelepon, masih pagi begini sudah menelepon.“Maaf, sudah membuatmu tidak nyaman.”“Ndak pa-pa, Mas. Masih bisa dimaklumi kalau dia berbuat seperti itu. Sebab dia terlalu mencintaimu sedang kamu justru memilih menikah denganku. Apalagi kalian sempat dekat meski kamu tak mencintainya. Wanita mana yang tak sakit hatinya? Tiba-tiba orang terdekatnya menikah dengan orang lain.”“Terima kasih atas pengertiannya, sebab inilah yang menjadi salah satu aku memilihmu. Kedewasaanmu mampu membuatku membuka pikiran. Aku akan mempertahankanmu, kita akan hadapi masalah ini bersama.”Kami saling berdiri berhadapan tanpa jarak, bahkan Mas Riko melingkarkan tangannya di pinggangku.“Sebab Gendhis seorang perempuan, Mas, apa yang dia rasakan Gendhis juga bisa rasakan. Hanya saja sikap dan perbuatannya yang salah, jadi terlihat urakan. Sebenarnya hal itu justru akan merugikan dirinya. Dia akan terlihar murahan di mata laki-laki. Namun, semua itu tidak dia sadari, sebab dia terbelenggu oleh cinta. Sementara Gendhis hanya ingin berjuang mempertahanka
Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari pembaringan kemudian membangunkan Mas Riko untuk salat Subuh berjamaah.“Mas, sudah Subuh, bangun dulu, ya,” ucapku membangunkannya.Ini kedua kalinya aku membangunkannya untuk salat. Sebab, saat kami berjarak aku tak berani membangunkannya. Namun, saat ini aku harus melakukan itu, aku ingin Mas Riko menjadi imam terbaik dalam rumah tangga.Andai Mas Riko punya kekurangan maka aku akan menutupinya, pun sebaliknya. Andai aku yang memiliki kekurangan berharap Mas Riko juga mampu menutupinya.“Mas,” ucapku lagi karena Mas Riko tak kunjung bangun. Tak lama kemudian Mas Riko membuka mata, mengerjap beberapa kali. Lalu, bangkit dari pembaringan.“Sudah Subuh, kita salat dulu, ya.”“Terima kasih, ya, Sayang sudah membangunkanku.” Hanya senyuman yang kuberikan. Lalu, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri bergantian denganku.Setelah bersiap, kami langsung menjalankan salat Subuh berjamaah di kamar Bapak karena kamar beliau
“Mas, benarkah yang kudengar?” tanyaku memastikan.Jujur aku masih ragu. Mas Riko meremas jemariku dengan lembut untuk meyakinkan. Ini pertama kalinya Mas Riko menyentuhku dengan lembut karena sebelumnya memang tidak pernah.“Apa kamu meragukan ucapanku?” Mas Riko balik bertanya, seakan dia tahu kegundahan hatiku.“Tapi Mas ….”“Jangan pernah takut, aku tak akan meninggalkanmu meski kamu meminta. Kita akan hadapi masalah ini bersama-sama, jangan takut dengan ancamannya.”Aku mengernyitkan dahi, seolah Mas Riko sudah tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiranku. Bukankah dia tadi tidak ada di rumah, lalu dari mana dia bisa tahu?“Om, Om Rahmad sebagai saksinya, bahwa malam ini, di hadapan Om Rahmad dengan sadar aku melamarmu secara resmi. Aku mohon denganmu agar kamu mau menjadi labuhan hatiku.” Sekali lagi Mas Riko menegaskan agar aku mau menjadi istrinya.“Apa Mas Riko yakin dengan keputusan ini? Lalu, bagaimana dengan kekasihmu. Aku tak mau menjadi duri dalam hubungan kalian.”Terl
Aku segera bangkit dari pembaringan, lalu keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Berharap Mas Riko yang datang. Sebelum membuka pintu aku mengintip lewat jendela lebih dulu, untuk melihat siapa yang datang.Ternyata bukan Mas Riko yang datang, melainkan Om Rahmad. Entah dari mana Om Rahmad bisa tahu kalau aku datang ke sini?“Om,” sapaku pada beliau saat membuka pintu. Rasa kecewa semakin terasa.“Kamu sama siapa, Nduk?”“Sendiri,Om. Om Rahmad kok tahu Gendhis di sini?” tanyaku sambil mempersilakan beliaumasuk dan duduk di ruang tamu.“Omndak tahu kalau kamu ada di sini, biasanya bulikmu yang datang ke sini buat nyalain lampu, tapi sore ini dia lagi ada acara jadi nggak sempat nyalain lampu. Makanya nyuruh Om datang buat nyalain lampu. Malah ndak tahunya lampu sudah menyala.” Panjang lebar Om Rahmad menjelaskan.“Nak Riko ndak ikut ke sini?” tanyanya lagi.“Nggak, Om, Gendhis ke sini sendirian. Katanya Mas Riko mau datang menjemput, tapin yatanya sudah hampir jam sembilan belum da
Kutatap layar ponsel yang ada di tangan, waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya masih ada waktu untuk menepis kepenatan yang dihadirkan oleh tamu tak diundang tadi. Aku butuh refresing sejenak, tapi keadaan tak memungkinkan untuk keluar tanpa izin dari Mas Riko. Jadi, mau tidak mau aku harus minta izinpadanya.Kugeser layar ponsel untuk mencari kontak atas namanya. Nihil, tak kutemukan namanya didaftar kontak. Padahal, dia sudah menyimpan nomornya di ponselku, tapi entah dengan nama siapa aku tak tahu.Kembali kususuri satu persatu nama yang tersimpan dalam kontak. Namun, tak juga kutemukan, kuulangi sekali lagi untuk memastikan. Hingga akhirnya pencarianku terhenti saat melihat daftar kontakyang bertuliskan ‘Suamiku’.Sedikit ragu saat aku ingin melakukan panggilan, tapi tak ada cara lain selain mencoba untuk memastikan nomor Mas Riko atau bukan. Kuberanikan diri menekan nomor dengan nama ‘Suamiku’ untuk melakukan panggilan. Hanya dalam waktu beberapa saat sambungan telepon su
“Kamu, nggak makan?” Seketika aku menoleh ke sumber suara, Mas Riko duduk di sofa paling pojok, kakinya membentang di atas meja. Tangannya menggenggam ponsel, matanya serius menatap layar ponsel.“Mas, kenapa nggak membangunkanku?”“Aku takut masuk kamarmu, takut mengganggumu.”“Mas, aku itu istrimu, kenapa harus takut coba?”Mendengar pernyataanku Mas Riko menghentikan aktivitasnya. Matanya beralih menatapku, tatapannya tajam menukik hingga ke jantung hati. Seketika ada yang berdesir di dalam sini.“Maaf,” kataku sambil menunduk.“Kamu nggak lapar?”Aku menggeleng, rasa lapar yang tadi terasa sudah menghilang entah ke mana. Yang ada hanya rasa kecewa karena dia pulang terlambat.“Maafkan aku, tadi pulang terlambat, membuatmu lama menunggu,” ucapnya.“Ndak pa-pa, Mas, lain kali kalau memang sibuk setidaknya memberi kabar bila mau pulang terlambat,” jawabku tetap tenang.“Maaf,” ucapnya lagi.Mas Riko bangkit, melangkah mendekat, tepat berdiri di hadapanku.“Terima kasih, sudah memasa