Home / Romansa / Menikah Tanpa Cinta / Bagian 6 Keluarga Baru

Share

Bagian 6 Keluarga Baru

Author: Rafa Mirza
last update Last Updated: 2025-07-25 14:29:27

Azan Subuh sudah berkumandang, aku menggeliat sejenak merenggangkan otot. Samar kudengar suara perempuan di ruang tengah. Saat kutengok tempat tidur di samping, ternyata Bulik Hani sudah tidak ada, beliau sudah bangun lebih dulu.

Mendengar suara riuh, aku segera bangkit dari pembaringan. Lalu, keluar dari kamar.

Kulihat Bulik Hani sedang membangunkan Dian dan Dito untuk salat subuh.

Akan tetapi, mereka berdua belum juga mau beranjak. Berbagai bujukan dan rayuan Bulik Hani lakukan agar kedua bocah itu segera bangun. Namun, usahanya sia-sia, kedua bocah itu hanya menggeliat, belum mau beranjak dari tempat tidur.

Saking riuhnya membuat Om Rahmad terbangun.

Lalu, pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian berangkat ke musala. Sementara aku ke luar menuju ruang tamu, aku terkejut saat melihat sesosok laki-laki tertidur di kursi dengan kondisi menekuk. ‘Ya Allah, Mas Riko.’ Pekikku dalam hati. Bagaimana bisa dia tidur di kursi.

Akan tetapi, aku tak ambil pusing. Salah sendiri saat di tanya, “Mau kembali ke sini ndak, Mas!”

Dia hanya menjawab, “Belum tahu.” Untung saja pintu rumah ndak ditutup dan lampu juga masih terpancar terang. Jika, tidak? Sudah kupastikan dia tidur di mobil.

Sudah menjadi kebiasaan para warga saat ada salah satu keluarga yang meninggal maka pintu rumah tidak boleh ditutup. Begitu pun dengan lampu rumah yang tak boleh dipadamkan. Entah ada makna apa di balik semua itu, aku tak pernah tahu.

Yang kutahu hanya tradisi dan itu sudah ada sejak aku masih kecil bahkan mungkin  sebelum aku lahir dan aku hanya mengikuti tradisi itu. Dengan pelan kuguncang tubuh Mas Riko, dia menggeliat persis seperti Dian dan Dito.

“Mas,” ucapku.

Kusentuh tubuhnya dengan jari. Perlahan Mas Riko membuka mata, lalu mengerjap beberapa kali. Mungkin untuk mempertajam penglihatan.

“Sudah Subuh, ke musala dulu sana bareng Om Rahmad,” perintahku dengan lembut.

Mas Riko masih terdiam. Semenit kemudian dia menatapku, manik mata kami bertemu. Tatapannya membuat hati ini berdesir.

“Semalam kenapa ndak bilang kalau mau datang lagi,” ucapku. Lagi-lagi Mas Riko hanya bergeming.

“Lho, ada Nak Riko? Kapan datang, Nak?” tanya Om Rahmad.

Seketika Mas Riko memalingkan pandangan ke arah Om Rahmad. Sementara aku mengubah posisi berdiri di samping Om Rahmad, mendengarkan percakapan dua lelaki beda usia.

“Semalam, Pak. Saat sampai, rumah sudah sepi. Lalu, saya masuk untuk mengecek karena pintu tidak ditutup, lampu tidak dipadamkan. Ternyata sudah pada tidur, jadi saya tidur di kursi.”

“Ya Allah, kenapa ndak membangunkan saya?”

“Nggak enak, pasti Pak Rahmad juga lelah.”

“Ndak pa-pa. Eh … jangan panggil Pak, panggil Om saja, biar lebih akrab. Ya sudah, ayo kita ke musala.”

Mas Riko mengusap wajahnya kasar, lalu bangkit dari kursi. Tanpa membersihkan diri, dia pergi ke musala bareng Om Rahmad. Setelah kepergian Om Rahmad dan Mas Riko, aku bergegas membersihkan diri mengambil air wudu, lalu melaksanakan salat Subuh. Bersama dengan Bulik Hani, Dian, dan Dito.

Usai salat subuh, Dian dan Dito bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku dan Bulik Hani memasak untuk sarapan kita semua sembari menunggu Om Rahmad dan Mas Riko pulang dari musala. Hanya menu sederhana yang kami masak, bahan makannya pun dari rumah Bulik Hani karena aku belum ada waktu untuk belanja. Dian dan Dito sudah siap dengan seragam sekolah. Mereka berdua mendekati kami di dapur.

“Buk, sudah siap belum sarapannya,” ucapnya sambil mengelus perut.

“Sebentar lagi selesai, lagi pula kita nunggu Bapak sama Om Riko,” sahut Bulik Hani menerangkan.

“Siapa Om Riko?” tanyanya polos.

“Suami Mbak Gendhis,” jelas Bulik Hani.

“Haa … kapan Mbak Gendhis menikah? Kok nggak ada pesta kayak orang nikahan?”

“Sudah-sudah, ndak usah banyak tanya. Pokoknya Om Riko itu suami Mbak Gendhis,” tukas Bulik Hani.

Sementara aku dan Dian hanya mendengarkan perdebatan Ibu dan anak.

Beberapa saat kemudian Om Rahmad dan Mas Riko datang. Aku segera membuatkan kopi untuk mereka berdua sembari menunggu masakan Bulik Hani matang.

Kedua laki-laki itu duduk di teras depan sambil mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan. Kusuguhkan dua gelas kopi untuk mereka berdua, setelah itu aku kembali masuk membantu Bulik Hani memasak.

Setengah jam kemudian, semua masakan sudah matang, kutawarkan sarapan pada Om Rahmad dan Mas Riko. Namun, mereka menolak karena belum lapar katanya. Tanpa menunggu, Bulik Hani langsung mengambil dua porsi nasi untuk Dian dan Dito. Dengan lahap mereka menyantap sarapannya, hanya dalam waktu sekejap sudah habis.

Usai sarapan mereka berdua pergi ke sekolah dengan berjalan kaki karena sekolah mereka ada di gang sebelah. Dian dan Dito menyalami tangan ibunya.

“Jangan nakal di sekolah, nanti pulangnya langsung ke sini jangan ke rumah. Ibu di sini,” pesan Bulik Hani pada kedua anaknya.

“Asiap,” sahut keduanya, setelah itu ke luar menyalami Om Rahmad dan Mas Riko.

“Dito dan Mbak Dian berangkat dulu, ya, Pak. Assalamualaikum,” pamit Dito pada Om Rahmad.

“Iya, hati-hati, ya, le,” pesan Om Rahmad sebelum kedua bocah itu menghilang dari pandangan. Percakapan mereka masih bisa kudengar dari dalam rumah.

“Nduk, sana suruh suamimu dan Om Rahmad sarapan. Nanti keburu dingin makanannya.” Aku segera ke luar menuruti perintah Bulik Hani agar aku memberitahu Om Rahmad dan Mas Riko sarapan.

“Om, Mas, kita sarapan dulu, ya,” ucapku dari ambang pintu.

“Sudah matang masakannya.” Om Rahmad balik bertanya.

“Sudahlah, masak belum matang Gendhis menyuruh Om sarapan. Lagi pula Dian dan Dito sudah berangkat sekolah, mana mungkin mereka berangkat tanpa sarapan.” Tanpa jawaban Om Rahmad langsung berdiri. Aku masih bergeming di ambang pintu.

“Ayo Nak Riko, kita sarapan dulu.” Kudengar Om Rahmad mengajak Mas Riko.

“Iya, Om,” sahut Mas Riko sembari bangkit dari kursi.

Aku sedikit minggir dari ambang pintu saat kedua laki-laki itu melangkah masuk. Dua gelas kopi yang aku suguhkan sudah tandas. Segera kubawa gelas kotor masuk ke dalam mengikuti kedua lelaki yang sudah lebih dulu masuk. Kulihat mereka berdua sudah duduk berhadapan.

Bulik Hani sudah siap melayani mereka, segera kuletakkan dua gelas bekas kopi ke washtafel. Lalu, ikut duduk di samping Mas Riko, sedangkan Bulik Hani di samping Om Rahmad.

Kami memulai sarapan meski dengan menu sederhana, tetapi terasa sangat nikmat.

Suasana ini membuatku seperti menemukan keluarga baru meski dalam keadaan berduka. Dengan adanya Mas Riko sebagai suami seolah menggantikan posisi bapak di rumah ini.

Tak kupedulikan sikapnya yang dingin, semoga dengan berjalannya waktu sikapnya akan berubah dengan sendirinya. Semoga saja aku kuat untuk menjalani pernikahan ini meski tanpa cinta di hatiku maupun di hati Mas Riko.

Baru separuh makanan yang masuk ke mulut, aku terpaksa menghentikannya karena ponselku berdering memekakkan telinga. Aku segera bangkit dari kursi, lalu masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Penasaran dengan si penelepon, masih pagi begini sudah menelepon.

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Tanpa Cinta    Malam Indah Setelah Badai

    Usai makan malam dan salat berjamaah, Nisa dan Fira pamit pulang. Rumah sudah sepi, tinggal kami berdua di rumah. Seperti biasa Mas Riko duduk manis di ruang tengah sambil bermain dengan telepon pintarnya. Sementara aku mengecek laporan pekerjaan hari ini sekaligus mengecek pemasukan dan stok barang yang tersisa.Setelah semuanya selesai, aku masuk ke kemar untuk membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Beberapa saat kemudian Mas Riko ikut masuk kamar. Dia membersihkan diri sebelum akhirnya berbaring di sampingku.Aku belum tidur, hanya memejamkan mata. Namun, aku masih bisa merasakan semua geraknya. Kurasakan tangannya melingkar di perutku. Wajahnya mendekat di samping wajahku. Hembusan napasnya terasa hangat di leher membuatku sedikit meremang.Aku membuka mata, lalu memiringkan tubuh menghadapnya. "Mas geli, ih." Dia tak menanggapi, malah semakin mengeratkan pelukan membuatku terasa engap. Aku sedikit meronta saat dia memelukku semakin erat tidak peduli apa yang kurasakan."Saya

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 38 Kebersamaan

    "Lain kali apapun yang terjadi, kita bicarakan bersama agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita." Tangannya menepuk pelan tanganku, setelah itu mengusap lembut pipiku."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Riko beranjak dari duduknya."Mandi," katanya sambil membalikkan badan dan menunduk, kedua tangannya mengukungku. Wajahnya tepat berada di depan wajahku, mata kami saling bertatap dalam. "Mau ikut,” lanjutnya, senyum nakal menghias di bibirnya membuat jantungku bedegup lebih kencang. Kali ini bukan karena emosi atau kebencian, tapi karena cinta yang begitu dalam.Aku mengeleng mendengar jawabannya, lalu menepuk pelan dadanya. Senyum tipis masih terlihat di bibirnya. "Mas mandi dulu," katanya sambil menolel lembut hidungku, lalu pergi ke kamar mandi.Sementara aku masih duduk termenung di tepi ranjang. Merenungi semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini. Sebab, semua punya alasannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menanggapi dan meny

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 37 Penjelasan

    "Assalamualaikum." Aku langsung masuk ke toko saat sampai di rumah. Selain untuk memberikan mi goreng yang ku beli, aku juga ingin menanyakan pekerjaan hari ini. Mas Riko sudah masuk rumah lebih dulu.Aku yakin mereka bisa menghandel semua pekerjaan meski tanpa aku. Namun, aku juga tidak boleh lepas tangan begitu saja. Bagaimanapun sebagai pemilik toko aku harus tahu dan ikut andil dalam pekerjaan."Waalaikumsalam, Mbak." "Ini buat kalian, minumnya bikin sendiri," kataku sambil mengulurkan kantong plastik berisi dua bungkus mi goreng komplit dengan krupuk pangsitnya. "Makasih, Mbak." Nisa menerima uluran kantong plastik dari tanganku. "Sama-sama. Hari ini gimana kerjanya?" "Beres, Mbak. Mbak Gendhis nggak perlu khawatir." "Ok, sip. Makasih untuk kerja keras kalian hari ini.""Sama-sama.""Nanti kalau Mbak nggak ke toko lagi, kalian nggak usah tunggu Mbak. Kalau sudah selesai kerja jangan lupa toko di kunci. Kalian pulang saja.""Siap, Mbak. ""Ya sudah, Mbak masuk dulu."Aku kelu

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 36 Rasa Bersalah

    Pov Gendhis. "Sayang hari ini kita pergi." Dia memelukku dari belakang saat aku mematut diri di depan kaca. Aroma tubuhnya selalu dan selalu membuatku jatuh cinta. Sikapnya masih tetap romantis seperti biasanya, membuatku merasa bersalah karena beberapa hari ini aku uring-uringan. "Kemana, Mas?" "Kemana saja asal kamu masih percaya sama, Mas." Aku mengembuskan napas untuk melonggarkan dada yang terasa sedikit sesak. Sebenarnya bukan tidak percaya, tapi sedikit waspada jika suatu saat terjadi sesuatu aku tidak akan terlalu sakit."Tapi hari ini aku sibuk, Mas. Nisa dan Fira butuh bantuanku." Kulepas pelukkannya dan menjauh dari depan cermin. Mas Riko mengikuti kemana langkahku."Sebentar saja, sayang. Setelah itu Mas akan antar kamu pulang. Nggak lama."Tak mau berdebat, akhirnya aku menyetujui untuk pergi. Apa salahnya menuruti kata suami meski akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat suasana hatiku berantakan."Baik, tapi jangan lama-lama. Kasihan Nisa dan Fira."Siap. Maka

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 35 Bukti

    Seperti biasa usai salat Subuh Gendhis menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara aku masih di dalam kamar melanjutkan tidurku yang baru dua jam. Sebelum kembali tidur aku sempat mengirimkan pesan untuk Danu, memberi tahu kalau hari ini aku akan ke kantor setelah jam makan siang. Jam tujuh pagi aku baru bangun dan langsung membersihkan diri. Setelah itu keluar kamar mencari keberadaan Gendhis. Aku memeluknya dari belakang saat melihatnya berdiri di depan kompor sedang membuat nasi goreng. "Tumben bikin nasi goreng?" bisikku di telinganya dan memeluknya dari belakang. "Sesekali biar suamiku tidak mencari kesenangan di luar," katanya pelan, tapi menusuk. "Hahaha, bagaimana mungkin Mas mencari kesenangan di luar kalau di dalam saja sudah ada yang bikin senang." "Nyatanya ada foto itu." Aku mengembuskan napas kasar, dia masih saja membahas foto itu. Padahal, sudah kubilang itu hanya rekayasa meski aku juga belum tahu kebenarannya. "Cukup, jangan bahas foto itu,

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 34 Titik Terang

    Tak kutemukan bukti apapun dari dalam ponselku. Semua bukti pembayaran hotel sudah kuteliti, di mana dan dengan siapa aku menginap semua masih kuingat. Aku juga tidak pernah dengan sengaja menginap di hotel dengan Kayla karena aku juga tidak pernah jatuh cinta padanya. Kusandarkan kepala di sofa dengan memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa aku pernah pergi dengan Kayla. Lama aku mengingat kejadian demi kejadian yang pernah aku lewati bersama Kayla.Aku mengingat satu kejadian yang menurutku di luar nalar. Aku sempat marah saat kejadian itu terjadi. Aku merasa terjebak dengan kejadian itu. Mungkinkah foto itu di ambil saat malam itu. Malam di mana aku berada di hotel saat terbangun. Aku memang tidak pernah mencintai Kayla, tapi aku pernah prgi makan malam dengannya untuk memenuhi undangan makan malam bersama kedua orang tuanya. Awalnya aku tidak ingin pergi, tapi demi rasa hormatku dengan papanya Kayla sekaligus rekan bisnis, aku memutuskan untuk datang. Usai makan malam, Kayl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status