Feiza menyeka kedua matanya yang basah oleh cairan larikma. Untuk ke sekian kalinya.
Kini, gadis cantik itu sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya setelah ayahnya yang bekerja di pabrik pulang beberapa jam yang lalu.Jam analog di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 7 malam selepas Isya. Feiza, ayahnya, dan ibunya. Mereka bertiga duduk di atas lantai semen yang dilapisi karpet berwarna hijau tua ruang keluarga.Ayah Feiza duduk bersisian dengan ibunya sedangkan Feiza bersimpuh di hadapan keduanya.Feiza buka suara setelah berusaha menenangkan diri. "Kenapa Ayah begitu tega sama Feiza, Yah?" tanya gadis itu dengan suara sengau menatap ayahnya. "Kenapa Ayah nikahin aku sama seseorang yang bahkan nggak Fe kenal? Kenapa, Yah? Kenapa?"Tes tes tes.Feiza sudah berusaha keras menahan air matanya. Namun, cairan itu tetap meluncur juga dengan deras di kedua belah pipinya.Gadis itu benar-benar merasakan kesedihan yang tak terkira karena keputusan sepihak kedua orang tuanya yang memilih menikahkannya tanpa sepengetahuannya."Fe nggak mau menerima pernikahan ini," ucap gadis itu lalu menyeka air matanya lagi. "Ayah dan Ibu tahu, Feiza ingin jadi perempuan mandiri yang sukses. Fe ingin membahagiakan kalian dengan kesuksesan dan jerih payah Feiza sendiri. Karena itu aku mau kuliah di kota lain supaya mendapat beasiswa. Karena di sini nggak ada kampus negeri yang bisa ngasih beasiswa penuh buat Feiza. Tapi, kenapa? Kenapa Ayah nikahin Feiza?"Feiza menatap nanar ayahnya yang masih duduk bergeming di depannya."Feiza masih mau kuliah, Yah," cicit gadis itu lagi. "Kalau sampai kampus tahu Fe menikah, beasiswa yang susah payah Feiza dapet bakal dicabut. Udah jadi persyaratannya, mahasiswa yang dapat beasiswa seperti Feiza harus fokus sama pendidikannya. Kalau ada yang menikah, maka mahasiswa itu dianggap sudah tidak membutuhkan beasiswanya lagi dan dianggap sudah nggak berhak. Fe nggak mau itu terjadi." Ia kemudian mulai terisak-isak dalam tangisnya. Tanpa bisa dicegahnya."Nduk ...," panggil ayahnya setelah beberapa lama. "Semua ini untuk kebaikanmu."Feiza langsung menggelengkan kepala sembari menatap ayahnya itu. "Kebaikan yang mana, Yah?" tanyanya. "Feiza nggak merasa baik dengan pernikahan ini. Feiza sekarang bahkan terancam nggak bisa kuliah lagi. Di mana kebaikannya? Di mana, Yah?" Gadis itu semakin terisak dalam tangisnya.Sang ayah tampak mengulas senyum kecil di bibirnya. "Ibumu pasti sudah bilang, tho, Nduk, kalau Ayah menikahkanmu bukan tanpa pertimbangan?"Feiza hanya diam. Ia masih tidak paham apa yang menjadi pertimbangan kedua orang tuanya hingga mereka menikahkan Feiza dengan seseorang yang tidak diketahuinya.Ya, baiklah. Ibunya sebelumnya mengatakan jika laki-laki yang dinikahkan dengannya adalah laki-laki yang baik. Namun, itu saja tentu tidak cukup.Feiza hanya ingin menikah sekali dalam seumur hidup. Ia ingin menikah dengan laki-laki yang mencintai dan dicintainya. Seorang laki-laki yang memenuhi kualifikasinya. Laki-laki yang salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan---setidaknya itu yang selalu Feiza harap dan doakan.Katakanlah terlalu kemaruk. Namun, apa salahnya? Toh, Feiza juga selalu belajar dan berusaha memantaskan diri. Lagi pula, konon katanya seseorang dianjurkan berdoa dan berharap setinggi-tingginya, ketika doanya itu tercapai namun tidak sesuai yang diharapkan, setidaknya beberapa poin yang menjadi doa menjadi kenyataan. Itu juga yang tentu Feiza inginkan. Terlebih Allah Swt. berfirman dalam kitab sucinya, Al-Qur'an Surah Al-Ghafir ayat 60. Ud'uunii astajib lakum. Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sebagai seorang hamba, ia yakin dan percaya.Feiza sungguh tidak masalah jika suatu hari orang tuanya menjodohkannya. Itu karena mereka pernah membicarakan hal itu sebelumnya, sebelum Feiza berangkat merantau ke kota lain tempat kuliahnya. Tapi diam-diam menikahkannya tentu hal yang sangat berbeda.Feiza ingat, beberapa saat yang lalu ia masih seorang mahasiswa single yang idealis soal hukum menjalin kasih sebelum pernikahan. Ia masih seorang gadis muda yang bisa bebas kuliah, berorganisasi, mengikuti berbagai kegiatan, dan mencari banyak pengalaman sepuas hati. Tapi, tiba-tiba statusnya berubah.Ibunya memberitahunya jika ayahnya telah menikahkannya dengan seseorang. Sungguh sangat mengejutkan, bukan? Pulang-pulang ke rumah Feiza mendapati dirinya berganti status menjadi istri orang.Tidak apa jika Feiza juga setuju dengan pernikahan itu. Namun masalahnya, Feiza bahkan tidak tahu kapan, di mana, dan siapa yang menjadi suaminya. Semua ini terlalu ujug-ujug baginya. Ia bahkan tidak pernah merasakan taaruf sebelum pernikahan yang umumnya sangat lumrah dilakukan dalam sebuah perjodohan.Feiza benar-benar merasa sangat merana sekarang. Ia merasa telah dikhianati oleh kedua orang tuanya sendiri yang katanya begitu menyayanginya sepenuh hati."Yah," cicit Feiza di antara isak tangisnya. "Jangan bilang, Ayah punya banyak hutang, ya, dan menjadikan Feiza sebagai gantinya?"Ayahnya langsung melebarkan mata mendengar pertanyaan Feiza, sebentar saling berpandangan dengan ibunya, lantas memecahkan tawa dengan begitu kerasnya.Feiza langsung menahan isakannya karena merasa terkejut dan heran akan apa yang dilakukannya ayahnya itu."Ora, Nduk. Kamu ini bicara apa?" balas sang ayah membantah dugaan Feiza kemudian kembali tertawa. "Untuk apa Ayah menukar putri Ayah sendiri untuk membayar hutang? Lebih baik rumah ini saja yang Ayah jual," lanjutnya kemudian kembali tertawa lagi.Feiza menjadi semakin heran mendengarnya. "La-lalu, kenapa Ayah menikahkan Feiza dengan paksa?" tanyanya dengan air mata yang kembali meleleh di wajah cantiknya yang kini sembab luar biasa. Bibirnya pucat, hidung dan matanya memerah, dan kelompok matanya bengkak.Ayahnya pun berhenti tertawa dan kini mengulas senyuman menatap Feiza. "Ini semua demi kebaikanmu, Nduk," katanya mengulang kalimat senada dengan jawaban yang diucapkannya sebelumnya. "Laki-laki yang menjadi suamimu adalah orang yang sangat baik. Ayah sendiri yang berani menjaminnya, Nduk. Kamu akan bahagia hidup dengannya. Dia laki-laki yang salih dan cerdas. Ayah yakin dia bisa menjadi suami yang bertanggungjawab untukmu."Salih, cerdas, dan ... bertanggungjawab?Apakah laki-laki yang menjadi suaminya terpaut umur yang cukup banyak dengannya?Feiza kembali menangis tersedu membayangkannya. Dia masih belum genap 20 tahun dan masih terlalu muda---setidaknya menurutnya."Tapi Fe nggak mau, Yah," rengeknya pada akhirnya. "Fe masih mau kuliah. Fe masih mau ketemu teman-temannya Feiza. Fe masih mau wujudin semua cita-cita Feiza. Fe nggak siap berumah tangga, Ayah! Fe belum siap jadi istri orang ... apalagi ibu-ibu, hiks hiks hiks. Fe ngurus diri sendiri aja rasanya masih belum mampu, Yah. Gimana Feiza harus ngurus laki-laki dewasa yang jadi suami Feiza?"Ayah Feiza terkekeh kecil mendengar penuturan putri semata wayangnya."Lho, Ibu belum bilang, tho, kalau suami Feiza masih anak kuliahan seperti dia?" tanya laki-laki paruh baya itu menoleh ke samping kiri pada wajah teduh istrinya.Ibu Feiza mengulas senyum. "Sudah, lho, Yah. Sudah Ibu bilang," jawabnya lantas kembali menatap Feiza yang masih sesenggukan di depan mereka.Ayah Feiza pun kembali tertawa melihat Feiza. "Howalah, Nduk, Nduk," katanya. "Suamimu itu kenal denganmu lho, Nduk. Kamu mungkin juga mengenalnya terlebih kalian kuliah di tempat yang sama. Sudah dong menangisnya. Ayah dan Ibu hanya ingin kamu bahagia."Laki-laki itu mendekat ke arah Feiza lalu membawa putrinya itu ke dalam rengkuhannya.Feiza pun tidak menolak dipeluk ayahnya. Ia terus menangis dan membalas dekapan ayahnya itu."Kapan kembali ke tempatmu kuliah, hm? Kapan masuk lagi? Nanti biar Ayah panggil suamimu buat menjemputmu," ucap Ayah Feiza sembari mengusap-usap penuh sayang kepala anaknya.Feiza sendiri langsung termangu mendengar penuturan ayahnya.Laki-laki itu akan diminta ayahnya menjemputnya? Oh, yang benar saja!"Kamu pasti akan terkejut dan senang begitu melihatnya," lanjut sang ayah membuat Feiza diam membeku. Sungguh, ia tidak mau bertemu laki-laki yang sudah mencuri kebebasan darinya itu.Banyak pertanyaan yang kini semakin penuh di kepala Feiza. Namun, gadis itu tidak memiliki cukup tenaga untuk mengutarakannya. Ia kembali menangis dalam pelukan ayahnya. Sedangkan di sisi lain, ayahnya sesekali tertawa sembari menenangkannya.Tbc."Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat
Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be
Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t