Menikah tapi tak serumah? Bagaimana bisa? Memangnya ada pasangan suami istri bisa hidup seperti itu? Hal itu terjadi kepada Feiza. Bermula dari kabar tak terduga yang diterimanya suatu hari ketika pulang ke rumah di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa yang berkuliah di kota lain. Ibunya yang mengatakan berita mengejutkan itu. "Kamu sudah menikah, Feiza." Bagai disambar halilintar di siang bolong, hidup Feiza langsung berubah setelahnya. Ia harus berurusan dengan laki-laki super menyebalkan yang mengaku sudah dinikahkan dengannya. Bisakah Feiza menerima dan menjalani hari-harinya dengan status barunya? Terlebih, laki-laki yang menjadi suaminya adalah sosok yang tidak pernah terbersit di kepalanya akan menjadi nahkodanya dalam berumah tangga. Atau, ia kabur saja mengingat pernikahan mereka belum tercatat di negara? Subscribe, follow, dan ikuti keseruan ceritanya!
Lihat lebih banyak"Kamu sudah menikah, Feiza."
Rasanya seperti mendengar sambaran petir saat cuaca di luar kelewat cerah dan matahari sedang bersinar terik-teriknya.Oh, yang benar saja! Dia, menikah?Kapan? Di mana? Dengan siapa?Feiza percaya apa yang barusan dikatakan ibunya, perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya itu pasti sebuah lelucon. Ibunya ini pasti sedang bercanda."Bu, Ibu tidak serius, kan? Kapan Feiza menikah? Feiza kan sibuk kuliah di kota lain. Pulang ke rumah pun hanya bisa sekali-dua kali dalam sebulan. Lalu bagaimana Feiza menikah? Aku bahkan nggak tahu apa-apa," ucap Feiza."Kamu sudah dinikahkan Ayahmu sebulan yang lalu, Nduk. Nikah agama," jelas ibunya."Hah?" Feiza langsung terperangah mendengarnya. "Ta-tapi, bagaimana bisa, Bu? Kuliah Fe gimana?"Sang ibu terlihat menghela napasnya. "Kamu tetap bisa kuliah, Nduk. Kami mengambil keputusan ini bukannya tanpa pertimbangan," jelasnya lagi."Bukan tanpa pertimbangan? Lalu kenapa Feiza tidak Ayah dan Ibu libatkan? Yang menikah aku, Bu!" Feiza berusaha menahan tangis. "Kenapa kalian begitu tega? Ayah punya hutang sampai aku harus dipaksa menikah seperti ini?""Bukan begitu, Nduk. Jaga bicara kamu," balas sang ibu. "Pernikahan ini adalah yang terbaik buat kamu. Kamu pernah bilang akan bersedia, kan, kalau Ayah dan Ibu jodohkan? Nah, pernikahan ini semacam itu.""Tapi, Buu," balas Feiza. "Iya, Feiza mau. Tapi saat Fe merasa tidak bisa mencari dan memilih pasangan sendiri. Bukan dijodohkan yang begini!" Gadis itu hampir terisak."Nduk. Ayah dan Ibu hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Percayalah, semua ini yang terbaik untuk kamu."Feiza menggelengkan kepala mendengar penuturan ibunya. "Aku nggak mau dipaksa seperti ini! Aku nggak mau menikah, Bu. Apalagi dengan orang yang nggak Fe kenal." Gadis itu menatap nanar."Dengar, suamimu adalah laki-laki yang sangat baik, Nduk. Kamu beruntung dan akan sangat bahagia bersamanya.""Gimana bisa Fe bahagia kalau dipaksa begini, Bu?!" sergah Feiza. "Aku nggak mau! Aku nggak mau menerima pernikahan ini!"Gadis itu kini telah kehilangan pertahanannya dengan air mata yang sudah membasah di kedua belah pipinya."Ayah dan Ibu begitu tega sama Feiza. Kalian jahat!" Feiza mulai terisak.Ia bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Melemparkan diri ke atas tempat tidur lantas menenggelamkan wajahnya yang sudah banjir air mata pada bantal. Dadanya terasa begitu sakit dan sesak sekarang.Umurnya baru akan menginjak 20 tahun pada tahun ini. Ia masih kuliah dan ingin menikmati masa mudanya dengan aktif di berbagai kegiatan mahasiswa dan mencari pengalaman-pengalaman lainnya. Kenapa Ayah dan Ibunya malah menikahkannya?Ya, katakanlah memang hanya menikahkan secara agama. Orang tuanya memang bisa melakukan hal itu tanpa sepengetahuan ataupun persetujuannya. Ia pun bisa berkelit dari pernikahan itu karena belum tercatat di negara, dengan kabur ataupun melarikan diri misalnya. Namun, untuk Feiza yang sedikit-banyak paham akan ilmu agama, gadis itu tahu pernikahannya tetaplah sah walaupun ia tidak menginginkannya. Meski Feiza tidak terima, ia tetap dihukumi sebagai istri bagi laki-laki yang telah menikahinya.Feiza semakin menenggelamkan wajahnya pada bantal menangisi nasibnya. Padahal, salah satu niat kepulangannya kali ini adalah hendak meminta izin dan restu. Feiza akan mencalonkan diri sebagai ketua himpunan mahasiswa di jurusannya atas dukungan beberapa dosen, teman, dan para seniornya. Tapi kalau sudah begini, kepada siapa ia bisa meminta izin dan restu?Laki-laki yang telah menjadi suaminya itu? Feiza bahkan tidak tahu siapa dan tidak mengenalnya. Bagaimana kalau laki-laki itu malah menolak keinginannya? Feiza bahkan tidak bisa menerima pernikahan mereka. Bagaimana ia akan hidup selanjutnya?Feiza tidak percaya kedua orang tuanya yang selama ini memberinya banyak kebebasan dalam memilih pilihan hidup dan kebahagiannya sendiri berakhir membuatnya terjebak seperti ini. Feiza berharap semua ini hanyalah mimpi."Nduk ...." Suara halus ibunya tiba-tiba menyapa gendang telinga Feiza.Tak lama, Feiza bisa merasakan usapan lembut tangan sang ibu di puncak kepala dan bahu kecilnya. Ia semakin menangis menjadi karenanya."Jangan bersedih gini, to, Nduk," pinta ibunya. "Tunggu Ayahmu pulang, ya! Nanti kita bicara lagi."Tangis Feiza yang sudah semakin menjadi tidak juga berhenti."Ayah dan Ibu sangat mencintaimu, Feiza. Kamu putri kami satu-satunya. Mana mungkin kami mau anak kami hidup menderita, hm? Kami tidak tahu kalau kamu akan seterpukul ini mendengar berita pernikahanmu. Kami hanya ingin kebahagiaanmu."Hati Feiza serasa tercubit mendegar itu."Kalau Ayah dan Ibu ingin Feiza bahagia. Kalian seharusnya tidak melakukan semua ini kepada Feiza!" Gadis itu berteriak meraung-raung di dalam hatinya. Tanpa menyuarakannya."Sekarang tidak apa menangislah sepuasnya, Nduk. Tenangkan hatimu. Ayah akan menjelaskan semuanya nanti padamu."Feiza merasakan ibunya yang masih membelai sayang puncak kepalnya."Kalau perlu, nanti segera kita temui juga suamimu. Cepat atau lambat kamu pasti akan bisa menerima pernikahan kalian. Dia mengenalmu, Feiza. Kamu mungkin juga mengenalnya. Kalian kuliah di tempat yang sama."Deg!Jantung Feiza langsung berpacu cepat mendengarnya.Kamu mungkin mengenalnya dan kalian kuliah di tempat yang sama?Feiza tidak ingin percaya apa yang dikatakan ibunya semenjak kepulangannya. Namun, mendengar penuturan terakhir ibunya tak elak membuat Feiza merasa penasaran juga.Jadi, siapa suaminya? Apa benar Feiza sungguh mengenal laki-laki yang dengan kurang ajar sudah menikahinya tanpa sepengetahuan dan izinnya itu? Siapa dia? Apa sebenarnya maunya?Tbc."Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat
Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be
Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen