Share

Bab 7

Author: Puput Pelangi
last update Last Updated: 2024-05-08 11:01:09

Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya.

Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya.

Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa.

"Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas.

Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap.

Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya.

Feiza langsung tercenung mendengarnya.

Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya seolah ayah dan ibu Feiza adalah orang tuanya juga.

Feiza merasakan sedikit lemas di sekujur tubuhnya. Ia mencoba mengendalikan dirinya, mengatur napas, dan berusaha memasang ekspresi biasa di wajah ayunya. "Mereka ada di dalam," jawabnya kemudian.

Laki-laki itu pun mengangguk mendengar jawaban Feiza. "Kamu tidak menyuruhku masuk?" tanyanya lagi, kembali mengumbar senyum yang Feiza tahu dengan pasti, ampuh meluluhkan hati perempuan mana pun di sekitarnya selama ini.

"Feiza?" Laki-laki itu memanggil namanya karena Feiza yang tidak kunjung merespons kata-katanya.

Gadis yang merasakan tenggorokannya tengah tercekat menatap wajah tampan yang ada di depannya itu pun langsung menelan salivanya keras-keras kemudian mengangguk. "Iya, silakan masuk, Gus."

Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya menatap wajah Feiza lalu tersenyum tipis dan melepas alas kaki kemudian masuk ke dalam rumah sang gadis.

Feiza membeku. Ia kembali berdiri mematung di teras rumahnya.

Siapa pun, tolong katakan kalau apa yang dilihatnya ini hanya mimpi!

Feiza ingin segera bangun dari tidurnya dan kembali pada malam di mana ia kelelahan menagis dan jatuh tertidur di kamarnya setelah acara pelukannya dengan ayahnya.

Ah, tidak tidak! Jangan bangunkan Feiza dan membuatnya kembali ke momen itu. Kalau bisa bangunkan Feiza dan buat ia kembali terbangun di suatu pagi satu atau dua bulan sebelumnya. Ia pasti akan bahagia luar biasa dan melakukan apa pun untuk menggagalkan rencana yang dibuat kedua orang tuanya untuk menikahkannya.

Drtt ... Drtt ....

Feiza tersentak saat ponsel yang ada di genggaman tangannya bergetar dan menampilkan notifikasi panggilan masuk dari aplikasi ojek yang terinstall di ponselnya. Ia segera menggeser tombol hijau yang ada di layar dan mengangkat telepon itu.

"Halo, Mbak. Saya sudah di depan. Posisi di mana, ya?"

Feiza bisa mendengar suara mas-mas tukang ojek yang menginformasikan kedatangannya kepada Feiza.

Gadis itu menghela napas gusar. "Maaf, Mas. Saya nggak jadi pesan," lirihnya di telepon.

"Hah? Tapi, saya sudah di depan lho, Mbak," balas tukang ojek itu.

"Iya, Mas. Sekali lagi maaf, ya. Saya cancel. Tapi Mas tenang saja. Yang di aplikasi saya biarin. Dananya tetep buat Mas. Anggap Masnya udah betul-betul nganterin saya ke stasiun hari ini."

Tanpa menunggu balasan dari tukang ojeknya lagi, sambungan telepon itu pun Feiza akhiri.

Pagi ini Feiza berencana akan kembali ke tempat rantauannya mengenyam bangku kuliah. Ia sudah memesan satu tiket kereta api untuk itu. Sebab sebelumnya, ia pun pulang dengan menaiki kendaraan besi yang sama yang jalurnya hanya di atas rel kereta. Sebelum pulang, Feiza meninggalkan motor matic-nya di indekos dan diantar ke stasiun oleh temannya. Biasanya Feiza pulang pergi ke rumahnya menaiki motornya itu. Namun, tidak dengan kali ini. Ia ingin naik kereta api.

Feiza tidak ingin bertemu dengan laki-laki yang dinikahkan dengannya, yang kata ayah dan ibunya akan menjemputnya nanti sore untuk kembali ke kota rantauan. Karena itu, kemarin malam ia memesan tiket kereta api pagi via aplikasi daring yang untungnya masih tersisa meski Feiza sangat tiba-tiba saat memesannya.

Ia sebenarnya sudah memiliki tiket kereta dengan kursi untuk kembali ke tempat rantauan nanti malam yang dipesannya bersamaan dengan tiket pulang ke rumah beberapa hari yang lalu. Namun, ia tentu tidak bisa menggunakannya karena seseorang akan menjemputnya sebelum waktu keberangkatan kereta.

Dengan tiket kereta pagi yang dadakan dipesannya, konsekuensinya memang Feiza tidak mendapat kursi dan terancam berdiri jika jadi menaiki kereta api dengan tiket itu. Namun, hal itu lebih baik bagi Feiza daripada ia harus kembali dengan laki-laki asing yang tiba-tiba berstatus suami sahnya secara agama.

Feiza sudah merencanakan skenario apik untuk semuanya. Pagi-pagi ia sudah bersiap kembali ke kota rantauan. Mandi, sarapan, dan mengenakan pakaian santai agar tidak dicurigai kedua orang tuanya.

Ia bahkan berencana ikhlas meninggalkan tas dan sepatu kesayangannya di rumah yang sebelumnya ia pakai ketika pulang dan kembali ke rantauan dengan membawa ponsel, charger, dan dompetnya saja dengan mengantonginya, pun mengenakan sandal jepit sebagai alas kakinya.

Memesan ojek online dengan lokasi penjemputan tidak tepat di depan rumahnya tapi beberapa meter dari rumah dan berencana berjalan kaki ke sana.

Sedikit durhaka dengan tidak berpamitan secara langsung kepada ayah dan ibunya dan berencana berpamitan daring saja ketika sudah berada di dalam lambung kereta.

Namun, semua rencana itu gagal. Skenario apik Feiza kacau karena kedatangan seorang laki-laki yang tak pernah diduganya sebelumnya. Laki-laki idaman para perempuan di kampusnya yang dengan tega menghancurkan rencananya yang seharusnya sempurna.

Sekarang Feiza hanya bisa berdoa semoga kedatangan laki-laki itu ke rumahnya tidak seperti apa yang sedang dipikirkannya.

"Nduk."

Feiza tersadar dari lamunan ketika suara sang ibu memanggilnya dari dalam rumah. Ia menoleh dan langsung mendapati ibunya yang menatap heran ke arahnya.

"Ngapain dari tadi berdiri di teras?" tanya sang ibu. "Sini! Ayo masuk, Fe," seru ibunya lagi sembari melambaikan tangan dengan gestur memanggil ke arahnya.

Feiza mengehela napasnya. Ia mengangguk lalu membawa kakinya berjalan pelan masuk ke dalam rumah.

Jantungnya berdebar-debar dengan satu harapan.

Laki-laki itu ... semoga dia bukan laki-laki yang sama yang kata orang tuanya akan menjemputnya.

Namun, harapan itu langsung runtuh begitu kaki Feiza menginjak bagian dalam ruang tamunya ketika mendengar apa yang dikatakan ayah dan laki-laki yang datang ke rumahnya.

"Tak pikir Feiza akan kamu jemput nanti sore, Nak. Ternyata kamu datang sepagi ini."

Gadis itu bisa mendengar kekehan yang keluar dari labium laki-laki yang seharusnya hanya menjadi tamunya alih-alih menjadi laki-laki yang menjemputnya menyahuti penuturan ayahnya. "He he. Nggeh, Yah," katanya. "Kulo sengaja datang lebih awal untuk mengajak Feiza jalan-jalan dulu jika Ayah dan Ibu memperbolehkan."

Ayah Feiza ikut tertawa. "Owalah. Iya. Tentu saja boleh, Le. Iya, kan, Bu?"

"Iya, Yah."

Saat itu juga, Feiza ingin pingsan saja rasanya mendengar semuanya.

Tbc.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Tapi Tak Serumah   Bab 104

    "Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat

  • Menikah Tapi Tak Serumah   Bab 103

    Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be

  • Menikah Tapi Tak Serumah   Bab 102

    Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir

  • Menikah Tapi Tak Serumah   Bab 101

    Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah

  • Menikah Tapi Tak Serumah   Bab 100

    Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu

  • Menikah Tapi Tak Serumah   Bab 99

    "Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status