“Kau gila, Kai!”
Teriakan lantang seorang pria yang duduk menikmati suasana club malam, spontan membuat matanya mendelik karena terkejut. Namun, dia segera mengecilkan volume suara saat sadar perhatian orang-orang tertuju pada mejanya.
“Kai, kau betulan gila atau lupa ingatan? Sendirinya lajang, kenapa kau mengatakan akan menikah? Kau akan menikah dengan siapa, Kai?” cerocos mengesalkan pria dengan nama Elliot. Suara cerewet Elliot menggema bersama jedag-jedug musik disco di dalam club itu. Meskipun begitu, Kainan, wanita yang sudah memakai gaun cocktail merah di hadapannya dapat mendengar dengan jelas, tetapi dia hanya berpura-pura tidak tahu saja. Kepalanya bergoyang seirama musik techno yang disetel tinggi.
"Kai, kau dengar aku, tidak?" sela Elliot mencari perhatiannya.
"Iya-ya, aku dengar. Lalu, aku harus berkata apalagi? Angkasa Group akan aku serahkan pada adikku-Jenni secara sukarela, begitu?" ungkap Kainan dengan segala bentuk frustasinya. Dia memutar matanya melayang bersama lampu-lampu benderang yang tersorot ke segala arah.
"Lagian, mengapa kau tidak menerima ajakan menikah Ziel sebelumnya saja. Bukannya hubungan kalian begitu dekat, Kai?" Pertanyaan Elliot membuat Kainan mengecap bibirnya, tatapannya kembali menjauh dari pria berwajah kasual yang sedang berkomentar itu.
Sebenarnya Kainan begitu malas mendengarkan ocehan dari seorang sekretaris, sekaligus teman baiknya. Apalagi pembicaraannya mengarah pada Ziel, pria yang pernah mendekati Kainan, tetapi justru bertunangan dengan adik tirinya.
"Siapa maksudmu? Arsil Zieland?" Kainan merenggangkan posisi duduk, lalu tersenyum palsu. Dia melepaskan kekesalan melalui kata-kata yang penuh tekanan. Sesaat wanita itu menghela napas berat dan mengguncang gelas alkoholnya. "Pria yang bernama Ziel itu tidak akan suka perempuan barbar sepertiku. Berbeda halnya dengan Jenni yang bersikap manis dan manja. Toh, dia akan segera menikah dengan Jenni.”
Kainan berdesah kembali. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya, lalu meletakkan dengan penuh tenaga. Beruntung gelas itu tidak pecah. Namun, alkohol tetap tidak bisa mengubah ekspresi murung di wajah Kainan.
“Lalu apa rencanamu selanjutnya? Apa perlu kau menikah saja denganku?” canda Elliot yang tampak serius. Mendengar ucapan sarkas itu, membuat mata Kainan cerah seketika. Dia segera menyergap pada tangan Elliot.
“Betul, lebih baik kita menikah saja. Kalau menikah denganmu aku tidak akan berurusan dengan kehidupan pernikahan yang mengekang. Aku mau jadi seorang istri yang bebas! Bebas!” Kainan mengguncang tangan Elliot bersama getar suara teriakan dansa dari club itu.
Seketika itu, Elliot membatu. Berbeda halnya dengan Kainan yang penuh antusias. Dengan mata mengerjap, pria itu terperangah. “K-Kai apa yang sedang kau bicarakan?"
“Pernikahan Bos dan sekretarisnya, bukannya itu seperti film-film di sinetron?” Pikiran gila Kainan hanya dapat menyipitkan mata pria yang ada di depannya. Elliot tidak bisa menyela di tengah-tengah pikirannya yang sudah mabuk. Namun, alkohol yang diminum Kainan menyisakan setengah kewarasannya.
Wanita itu mengibas tangannya dengan putus asa. Tatapan dari mata hazelnya ikut turun bersama semangatnya tadi. “Ah, itu tidak mungkin. Aku lupa kalau kau sudah dijodohkan dengan orang tuamu.”
Kainan kembali menuang alkohol. Tangannya terangkat tinggi dan menenggak isi dari gelas itu sampai tak tersisa. Rasa frustasi wanita itu tidak cukup hilang dengan beberapa gelas alkohol saja. Kainan meraih botol anggur di hadapannya dan langsung menenggak tak terkendali.
Mulut botol itu segera dijauhkan Elliot dari bibir merah Kainan. Dia mulai berkata dengan setengah kewarasannya, “Yang terpenting aku harus menikah. Harus pria yang lebih tampan dari pada Ziel. Harus pria yang lebih pintar darinya. Harus pria yang lebih … lebih-”
“Hentikan itu, Kai!” Elliot mencoba menahan pergerakan tangan Kainan. Wanita itu hendak menuangkan kembali botol alkohol ke dalam mulutnya. Beruntung, Elliot berhasil mencegah Kainan. “Kau sudah mabuk.”
***
Sebuah mobil sport merah melaju di tengah malam yang sepi. Warna mencolok dari mobil itu tampak kontras dengan gelapnya keadaan jalan yang di samping kanan-kirinya hanya sebuah pepohonan sepi. Ini adalah jalan pulang menuju tempat tinggal Kainan yang letaknya ada di pinggir kota. Sebuah mansion peninggalan dari ayahnya yang dihuni keluarga Wibisama.
‘Ciittt!’
Suara decitan ban mobil yang menggesek di atas aspal membangunkan Kainan yang tertidur di samping kemudi. Mobil itu juga berhenti, terlihat Elliot sedikit resah di kemudinya. Dia memandang sekitar luar jendela dan mencoba mengoreksi apa yang terjadi.
"Ada apa?" Kainan bangun dengan mata yang menyipit. Ujung jari wanita itu memijat pelan pada kepalanya yang terasa nyut-nyutan.
"Entah, aku tidak tahu. Kau tunggu di sini, aku akan mengecek ke luar," perintah Elliot terburu. Kainan hanya mengangguk sambil menahan tenggorokannya yang kering. Bahkan, dia berusaha menahan isi perutnya yang bisa kapan saja keluar dari mulut.
Elliot pergi melihat apa yang terjadi pada mobil itu. Tubuh tingginya menunduk meratapi salah satu roda mobilnya yang kempis. Dia mendesah sebelum menggosok-gosokan kedua tangannya untuk memberi sensasi hangat di tengah dinginnya malam, walaupun hanya sementara waktu.
"Ada apa?" Kainan ikut keluar dari pintu mobil. Cara berjalannya tidak seimbang, bahkan suaranya sudah sedikit parau. Itu adalah efek dari sisa alkohol di club malam.
"Pecah ban," seru Elliot tampak menanggapi situasi saat ini dengan santai. Akan tetapi, dia tidak mau membuang waktu lama untuk meratapi rodanya. Pria itu segera mencari ban cadangan dan memasangnya.
Kainan terlihat bosan hanya memandang pergerakan Elliot. Dia meletakkan wajahnya di atas kap dengan tatapan malas.
"Aku akan pergi mencari toilet," ungkap Kainan yang membuat Elliot terperangah. Sontak mata pria itu terangkat padanya yang terburu pergi.
"Jangan pergi terlalu jauh, Kai! Ah, bawa juga ponsel. Telepon aku bila ada sesuatu," perintah Elliot berjejal. Dia berdiri untuk memastikan bahwa wanita itu tidak lupa meninggalkan tas kecilnya.
"Baiklah, Elliot cerewet. Aku pergi," pamitnya dengan melambaikan tangan.
Pria itu hanya bisa mengantar kepergian Kainan dengan sebuah tatapan resah, sampai tubuh ramping itu hilang ditengah keheningan malam.
"Elliot cerewet, apa benar kau itu seorang pria? Dari mana bibirnya belajar banyak bicara seperti itu," gerutu Kainan yang ditujukan pada Elliot. Namun, pria itu tidak akan bisa mendengarnya. Langkah Kainan sudah menjauh dari tempat Elliot berada.
Tampaknya gerutu dari Kainan tidak akan bersambung lama. Ucapannya terhenti saat tenggorokan tercekik oleh keadaan.
"Huweeek!"
Saat itu, Kainan memuntahkan seluruh isi lambung. Sejenak dia berhenti untuk bernapas lega, seakan semua alkohol dan rasa frustasinya ikut keluar. Namun, perasaan nyaman itu tidak berlangsung lama. Berontak perutnya meronta lagi.
"Sial! Kenapa sakit perut di saat seperti ini!" umpat Kainan. Wajah oval dari wanita itu menengadah mencari tempat tujuan awalnya, toilet.
Tidak terlihat sedikit pun bangunan di tempat itu, semua didominasi pepohonan tinggi dan beralaskan semak belukar.
"Itu …," Kainan menghentikan kata-katanya saat mata cerah wanita itu tertuju pada cahaya dari sebuah rumah. "Tuhan, terimakasih sudah mengirim toilet padaku." Pikiran kecilnya saat melihat rumah itu. Dia bergegas berjalan untuk meminjam toilet pada si pemilik rumah dengan penuh harapan.
'Tok! Tok!'
"Selamat malam!" sapa sopan Kainan pada siapa pun pemilik rumah itu.
Kainan mengetuk daun pintu itu berkali-kali tetapi tidak ada satu pun jawaban dari dalam. "Maaf, apakah ada seseorang di dalam?"
'Kriek!'
Daun pintu terbuka, tetapi tidak ada satu orang pun di dalamnya. Suasana di dalam rumah itu sepi. Ketukan keras Kainan membuat pintu itu terdorong dari luar.
"Ups, apa yang sudah aku lakukan?" Kainan mundur selangkah. Dia tidak ingin diteriaki pencuri oleh si pemilik rumah. Namun, keadaan rumah yang kosong tanpa perabotan membuat Kainan bertanya-tanya. Tidak mungkin rumah yang seperti ditinggalkan itu diterangi cahaya lampu. Sudah pasti ada seseorang di dalamnya.
"Maaf, aku telah lancang masuk," pamit Kainan.
Dengan mengendap-endap langkahnya masuk. Dia berharap menemukan sebuah toilet hanya untuk sekedar menuntaskan berontak perutnya, tetapi saat dia membuka pintu, Kainan menemukan sesuatu yang membuat mata hazelnya terbelalak lebar.
"Siapa?"
“Levin Gerald Jawson, apakah kau berjanji akan setia dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan.”Ucapan dari seorang pendeta di hadapan Levin membuat pernikahan itu menjadi sakral. Tidak ada satu pun yang berbicara, para undangan hanya memperhatikan kedua pengantin dalam balutan gaun putih. Begitu juga dengan Levin, dia terlihat tampan dengan sebuah rangkaian mawar kecil yang disematkan di lapel jas putihnya.Di samping Levin berdiri Kainan. Pria itu menggenggam tangannya seolah tidak ingin lagi kehilangannya. Sebuah tangan dengan ukuran yang lebih kecil dari miliknya itu adalah tangan seorang wanita yang untuk pertama kalinya Levin genggam.Pada mata hitam Levin yang pekat, terefleksikan senyum kecil Kainan dengan wajah merona merah. balutan gaun mermaid sederhananya tidak menghilangkan kesan mewah. Meskipun dia adalah sedikit dari banyaknya pengantin
Di tengah senyum mempelai pria, hati Levin sedang resah. Beberapa Kali mata hitamnya terlihat menatap pintu, terkadang dia menunduk untuk melihat arloji di tangan.“Aku belum melihat mempelai perempuan, aku pikir Kainan datang terlambat.” Suara dari pria pemilik Imperial Lux yang datang menghampiri Levin. Tampaknya dia terlihat terburu, meskipun begitu pria itu tidak bisa langsung pergi tanpa menampakkan wajahnya pada mempelai perempuan.“Tiga puluh menit dari acara yang sudah ditentukan, apa terjadi sebuah masalah?” desaknya yang membuat Levin tersudut. Namun, dia hanya membalas dengan senyuman. Sambil memastikan pada arlojinya sendiri, Levin menutupi rasa cemas. Dia mengambil dua gelas wine putih dan memberikannya pada pria itu.“Kenapa kita tidak menikmati waktu luang ini untuk bersu
‘Brak! Brak! Brak!’Di tengah kegaduhan itu, mata hazel Kainan terbuka perlahan. Sayup-sayup, wanita itu mengerjap sesaat. Penglihatan yang awalnya buram kini terlihat jelas. Namun, mata indahnya memicing melihat penjahat yang telah menculiknya menghajar seseorang secara membabi buta. Tidak terlihat jelas siapa, suasana gelap dan hanya seberkas cahaya kecil dari lampu kuning menghalangi penglihatannya.Kainan yang masih terduduk mencoba mengingat kembali apa yang terjadi padanya, tetapi dia tersadarkan akan suatu hal. Tubuhnya tidak bisa bergerak, sebuah ikatan dari tali membatasi pergerakannya. Seseorang telah mengikat tangan dan kakinya dengan rapat.“Siapa yang berani melakukan hal ini!” geramnya dalam hati. Namun, tidak ada satu pun jawaban yang ditemukan Kainan, kecuali gambaran pria yang telah menculiknya.‘Brak!’Wanita yang masih terikat itu tersentak kaget, dia melihat seseorang jatuh menabrak dirinya, lalu tersungkur tepat di bawah kakin. Kainan dapat m
'Brak!'Sebuah pukulan keras dilakukan Levin pada dinding di dekatnya yang tak berdosa.Pukulan itu membuat tangannya yang terkepal meneteskan cairan darah hingga memercik di atas lantai putih di dalam toilet itu. Perasaan gelisah bercampur mual tidak lagi bisa menutupi amarahnya. Tangan pria itu bergetar sambil mengarahkan tinjunya pada cermin, tubuhnya ambruk sesaat tetapi ditahannya dengan sisa tenaga.“Ceroboh! Aku ceroboh! Seharusnya aku sendiri yang menjemputnya!”Perasaan kesal atas kelemahannya sedang bergejolak di tengah amara. Tanpa adanya kemampuan berkelahi, pria itu tampak tidak berguna dalam keadaan seperti ini, seakan otot yang dimilikinya hanya sebagai aksesoris yang tertempel di tubuh.“Apa yang harus aku lakukan untukmu,” sesalnya pada dirinya sendiri.Levin sungguh ingin menyelamatkan calon istrinya, tetapi tindakan gegabahnya berhasil dicegah Elliot. Akhirnya, dia harus mengalah pada pria yang tidak disukainya untuk menggantikan kewajibann
Satu per satu tamu undangan datang dengan warna-warni gaun glamour dari berbagai desainer ternama. Para pria menggandeng mereka dengan jas mahal yang dikenakannya. Dengan senyum seramah mungkin dia menyalami Levin yang sudah siap menyambut.“Selamat atas pernikahan anda,” ucap pria yang tidak asing di mata Levin. Meskipun mereka tidak saling mengenal, wajah pria di depannya adalah pemilik Imperial Lux yang berpengaruh besar atas pernikahan Levin dan Kainan. Tentunya, Levin tidak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah yang membuat pernikahan itu tetap terjadi seperti saat ini.Sebuah senyum ramah dari Levin adalah balasan untuk pria di hadapannya. sambil saling berjabat tangan, Levin mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi, pria pemilik Imperial Lux tidak puas dengan itu saja. Wajahnya tampak mendongak mencari seseorang di sekitar Levin.“Di mana mempelai wanitanya?” Terjawab sudah apa yang pria itu cari. Hubungannya dengan mempelai wanita cukuplah dekat. Meski hanya ter
Sebuah gedung penuh cahaya benderang di bawah sinar bulan, musik-musik siap diputar dengan lagu berkelas. Segala dekorasi bunga terlihat menghias setiap sudut ruangan, bersama renda-renda putih yang menjulur dari langit-langit tinggi gedung itu.Itu adalah gedung di mana nama Kainan dan Levin Gerald akan mengucapkan janji pernikahan mereka. Suasana masih sepi, belum ada undangan datang. Jam menunjukkan tiga jam sebelum dimulainya acara.Terlihat para pelayan sibuk menyiapkan sajian, beberapa sibuk memperbaiki dekorasi meja. Namun, pria berjas hitam dengan gaya parlente terlihat berdiri di sudut ruangan. Matanya berkeliaran memastikan semua berjalan lancar. Itu adalah tugas Elliot untuk mempersiapkan kebutuhan pernikahan Kainan. Meskipun saat ini dia lebih ingin ada di dekat Kainan, tetapi tugasnya sebagai sekretaris menuntut untuk berada di tempat ini dan mengawasi setiap detail persiapannya.“Apa kau semalaman tidak bisa tidur?” pertanyaan tiba-tiba Elliot saat menyampi