Mendadak Levin terbangun, pria itu tersentak saat melihat adanya perbedaan pada langit-langit kamarnya. Tempat itu bukanlah kamar apartemen Levin tempat dia tinggal, tetapi kamar asing yang tidak pernah didatanginya satu kali pun.
“Argh!” eram pelan pria itu saat berusaha duduk. Rasa sakit mendadak muncul di bagian bahunya. Dengan telanjang dada, dia dapat melihat sebuah perban yang di dalamnya masih merembes darah. Rupanya, itu adalah darah yang dia dapat dari kejadian semalam. Sebuah tusukan dari orang yang sudah menculiknya membuat memori Levin bekerja kembali. Bahkan, sepintas sosok Kainan terbesit dalam ingatan.
“Wanita itu-" gumam Levin pada dirinya sendiri.
“Siapa? Aku?” sahut Kainan menyentak tiba-tiba. Wanita yang sudah duduk di hadapan Levin menanggapinya dengan santai.
Levin tampak terperangah sesaat. Dia sempat menggosok matanya. Namun, yang dilihat pria itu tetap sama.
Dalam pantulan mata hitamnya, Levin dapat melihat seorang wanita berpakaian formal sedang duduk. Kakinya menyilang dengan sebuah laptop yang dipangku olehnya. Sejenak, wanita itu menghentikan pekerjaan untuk memperhatikan Levin.
“Kau baik-baik saja?” tanya wanita berambut marun itu. Namun, Levin tidak tertarik dengan kekhawatiran Kainan. Dia lebih penasaran atas pertanyaan yang sedang bergelayut dalam pikirannya.
“Kau … wanita semalam?” Levin memastikan kembali apa yang dia lihat. Terlihat jelas sebuah keraguan tertuang pada tatapannya. Namun, Kainan membenarkannya. Dia mengerjap sesaat. Bahkan, dia mengecap bibirnya dengan malas.
Wanita itu bangkit dan meletakkan pekerjaannya di atas nakas, lalu beralih pada Levin lagi. Terlihat jelas, setelan baju modis dengan warna cerah yang menutupi tubuh ramping Kainan. Itu adalah penampilan berbeda dari wanita berambut marun yang Levin lihat semalam. Wanita yang terkesan nakal, dalam sekejap dapat mengubah kesannya seperti jajaran wanita elegan.
"Apa yang terjadi?" Levin memijat pelan keningnya penuh kebingungan. Dia kembali menatap Kainan dengan menuntut penjelasan.
Kedua bahu Kainan terangkat membalas pertanyaan itu. Matanya berputar mengenang kejadian semalam. "Tidak terjadi hal yang istimewa. Kau pingsan dan … sudahlah, kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Pelaku yang menyekapmu sudah dilumpuhkan."
Levin terdiam sesaat, matanya menyipit curiga. "Kau yang melakukannya?"
"Tidak!" Kainan menggeleng kaku. "Sekretarisku datang tepat waktu. Dia juga yang memapah dan merawat lukamu. Jangan lupa ucapkan terimakasih bila kalian bertemu." Mata hazel milik Kainan melirik Levin. Memori pria itu tidak menemukan kejadian seperti apa yang telah Kainan jelaskan.
Benar saja, setelah dibanjiri darah, Levin jatuh tak sadarkan diri. Saat itulah Elliot datang dan menangkis serangan pria jangkung itu. Tidak hanya itu, sekretaris Kainan bertarung dan berhasil melumpuhkan lawan dengan tangan kosong.
Ucapan panjang lebar Kainan hanya dijawab anggukan. Levin kembali melambungkan tatapannya di sekitar. Sebuah kamar luas dengan furnitur modern. Di sisi dinding terdapat jendela besar dengan pemandangan luar kolam renang dan taman kecil.
Kamar ini ada di salah satu ruangan dari rumah Elliot. Sayangnya, si pemilik rumah harus bekerja di kantor, tetapi Kainan dapat melenggang bebas di dalamnya. Itu karena hubungan Kainan dan Elliot tidak hanya sebatas bos dan sekretaris saja, tetapi teman yang sudah akrab sejak kanak-kanak.
“Di mana aku?” Levin kembali menatap Kainan. Namun, wanita itu sudah beralih pergi pada deretan lemari di sisi dinding. Sejenak, dia menatap Levin atas pertanyaannya, tetapi kembali mengabaikannya lagi. Dia sibuk mencari baju Elliot yang cocok dikenakan Levin.
“Di mana ini … tempat tinggalmu?” pria itu beralih pada pertanyaan lain.
Mendengar pertanyaan yang salah, sontak membuat Kainan berbalik menatap Levin. Dia kembali menghampiri pria itu dengan tatapan tajam.
“Kau pikir aku wanita yang mempersilahkan pria asing untuk tidur di kamarku?” cetus Kainan dengan ekspresi kesal. Bibir merahnya berkerut, diikuti dengan posisi berdirinya yang bertolak pinggang. Itu membuat Levin sadar bahwa dirinya sudah salah bicara. Pria itu menurunkan tatapannya dengan penuh rasa bersalah.
“Sudahlah, cepat pakai pakaian ini dan lekaslah kembali ke rumahmu.” Kainan memberikan sebuah kemeja pria pada Levin. “Aku tidak punya waktu menjadi seorang perawat. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk!”
Meskipun ragu, Levin tetap menerima baju pemberian Kainan. Iris hitam Levin melekat pada wanita yang tidak sabaran itu. Dengan kasar, dia menyibak selimut Levin sehingga membuat pria itu terpaksa bangkit dari tempat tidur. Levin tampak tidak keberatan saat Kainan mengusirnya. Dia menurut patuh atas apa yang wanita itu inginkan.
“Ah, soal bajumu ….” Tatapan mata hazel pada Kainan tampak melayang di udara. Tidak lama, dia menyibak rambut merahnya. Kekhawatiran Kainan terlihat jelas pada matanya yang bergetar. Namun, Levin bersikap seolah tidak tahu. Pria itu sibuk memakai kemeja. Sebuah kemeja putih yang sedikit lebih ketat pada tubuhnya. Itu karena tubuh Levin lebih berisi ketimbang si pemilik kemeja-Elliot.
“Bahumu terkena tusukan saat menyelamatkanku. Bajumu juga ikut robek, tetapi jangan khawatir, aku akan menggantinya. Terimakasih sudah menolongku.” Kedua tangan kainan menelungkup memohon maaf. Namun, pria yang ada di hadapannya hanya menatap dengan tatapan tidak mengerti.
“Aku menolongmu?” tanya Levin tidak setuju. Sejenak, pria itu menghentikan gerakan tangannya untuk mengancingkan baju. Sayangnya, satu buah kancing bagian atas belum sempat dikaitkan. Itu membuat Kainan menenggak ludah. Dari luar baju itu, mata hazel Kainan dapat melihat lekuk dari otot dada Levin yang menonjol. "Itu tidak benar. Justru bila tidak ada dirimu, aku tidak akan bisa lepas dari pembunuh bayaran itu."
“Apa yang kau bicarakan?" Sambil sesekali melihat tubuh indah pria itu, bibir merah Kainan berucap tanpa arti.
Wanita itu kembali pada kesadarannya saat mata tajam Levin menatapnya. “Sudahlah, berikan saja alamatmu padaku. Besok sekretarisku akan mengirimkan setelan jas baru. Aku akan menggantinya.”
“Itu tidak perlu,” sanggah Levin melanjutkan kembali kesibukannya. Dia terlihat piawai melipat ujung lengan baju kemejanya, bahkan dengan gerakan elegan.
Kainan mengecap bibirnya dan kembali memutar mata. Dia tampak menahan kesabarannya bersama hela napas yang tersumpal di dada. “Baik, lalu apa yang kau inginkan? Aku akan menuruti keinginanmu sebagai tanda terimakasih. Aku harap kau tidak menolaknya lagi.”
Levin yang memperhatikan setiap ucapan wanita itu akhirnya mengangguk samar. Dia mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Kainan. “Sebuah dasi sudah cukup untukku.”
Garis bibir merah Kainan terangkat tinggi atas persetujuan pria itu. Dia segera meraih kartu nama yang Levin beri dengan sikap kekanak-kanakan. Memegangnya dengan kedua tangan dan bergumam sendirinya, “Levin Gerald.”
Buru-buru Kainan memasukkan kartu nama Levin ke dalam tasnya tanpa membaca apa pun selain namanya. Wanita itu tidak menyadari bahwa dia melewatkan hal penting dari asal-usul pria itu.
“Aku sudah menerima tanda terima kasih darimu, sekarang katakanlah apa yang bisa kuberikan untukmu?” Ini adalah giliran Levin membalas ucapan Kainan. Namun, wanita itu hanya terperangah dengan mata melebar.
“Apa maksudmu?” tanya Kainan tidak mengerti. Dia menggeleng tanpa berkedip sekali pun.
Mata tajam Levin melirik pada wanita itu, lalu kembali beralih pada pakaiannya sendiri. Seolah dia sedang sibuk merapikan pakaiannya itu.
"Aku sudah mengatakannya tadi. Bantuanmu padaku begitu besar. Tanpa adanya dirimu, aku sudah mati di tempat itu," terang Levin yang membuat Kainan terdiam. Dia tidak menyangka pria itu membahas apa yang telah dia lakukan padanya.
“Katakan saja apa yang kau inginkan. Uang? Aku dapat memberikan berapa pun yang kau mau," tawar Levin kembali. Sekarang kedua mata pria itu dapat menatap bebas pada Kainan. Namun, Kainan membalasnya dengan mata yang menyipit tajam.
“U-uang?” Kainan menggeleng tidak percaya. Bahkan, tanpa sadar mulut Kainan ternganga tanpa kata. “Apa aku terlihat seperti seorang wanita yang membutuhkan uang?”
Levin tidak menanggapi ucapan lantang wanita itu. Matanya bergerak menyapu penampilan Kainan. Sebuah setelan pakaian wanita dengan brand ternama membuat bibir pria itu mengatup rapat, bahkan dia bisa menemukan blazer kuning madu yang Kainan kenakan adalah keluaran terbaru di musim ini.
"Coba perhatikan penampilanku." Dengan tegas Kainan mengarahkan wajah Levin tepat di hadapannya.
"Aku sudah memiliki semuanya. Aku tidak membutuhkan hal itu. Kalaupun ada yang aku butuhkan …." Kainan terdiam. Tatapan mata hazelnya melayang di udara, lalu kembali mengerjap sadar. Rupanya dia teringat akan suatu hal.
Mendadak, Kainan menyergap tangan Levin. Tepat pada biku-biku jari besar milik pria itu.
Gerakan tangan cepat wanita itu membuat Levin tersentak sesaat, tetapi dia kembali meredakan ketenangannya. Levin diam pasrah melihat perbuatan Kainan.
"Apa yang kau cari?" Levin sudah tidak sabar akan pertanyaan yang membuatnya penasaran.
"Cincin." Mata Kainan terangkat sesaat, lalu kembali mengoreksi apa yang dia cari. "Apa kau punya cincin? Ah, maksudku kau belum menikah, bukan?"
Levin menggeleng atas pertanyaan Kainan yang tidak dimengerti olehnya, sementara wajah cerah Kainan terangkat kembali. "Bagus! Ada satu yang aku butuhkan."Saat ini Levin tidak bisa menanggapi apa pun ucapan Kainan. Semangat wanita itu membara tanpa Levin ketahui penyebabnya. Dia hanya menatap Kainan penasaran.
Wanita dengan ekspresi senang itu menenggak ludah dan mulai merangkai kata dari apa yang sudah ada di otaknya.
"Yang aku butuhkan … sebuah pernikahan!"
Mata monolid milik Elliot terbelalak bulat, bahkan menyerupai bibir cangkir kopi yang baru dia sajikan di atas meja Kainan. “Me-menikah? Aku mendengar kata menikah darimu. Apa aku salah dengar?” Elliot mengambil posisi duduk di depan Kainan. Matanya memandang lurus pada wanita itu. Namun, orang yang dipandanginya hanya tersenyum kecil. Dia lebih tertarik pada kopi di hadapannya. Kainan menyibak kertas-kertas sisa dari pekerjaannya. Dia mengangkat cangkir itu dan meniup lembut kepulan asap kopi di dalamnya. “Ah, rupanya benar, aku yang salah dengar!” ucap lega Elliot dari kesimpulannya sendiri. Pria itu merenggangkan posisi duduknya lebih santai, begitu juga dengan wajah tegangnya. “Apa aku mengatakannya seperti sebuah candaan?” sanggah Kainan setelah menyesap s
"Siapa yang membunuh siapa?" Suasana di lantai 17 mencekam sesaat. Bahkan, kedua pria yang saling berhadapan itu saling bertatap pandang dengan sikap waspada. "Levin Gerald?" Elliot menyebut nama pria yang sudah di hadapannya. Mata monolid miliknya melirik nama di dalam kartu nama itu. Dia sedang memastikan ejaan dari nama Levin diucapkan dengan benar. Sebuah nama tidak membuat ekspresi Levin tergerak sedikit pun. Sikapnya tetap sama dengan pikiran yang menetap pada sebuah kesalah pahaman. Pria yang baru menjadi korban dalam sebuah penculikan itu menaruh curiga pada kedatangan pria asing di depan pintu apartemennya. Dia sedang salah kira bahwa pria itu datang untuk melakukan hal serupa. "Apa kau orang suruhan Elgie
Kainan berusaha kabur. Dia kabur dari pandangan mata salah satu pria tua di sela-sela tamu undangan. Pria berusia 60 tahun itu adalah kepala keluarga Dawson, John Dawson, pria dari benua barat yang namanya memiliki sejarah gelap dalam pembangunan Royal Group. Di sebuah ketinggian, tepatnya pada hall yang ada di lantai paling atas sebuah hotel, musik-musik klasik mengalun elegan. Musik yang sumbernya berasal dari dentingan piano menjadi pusat dari pesta itu. Tidak lama, suara tepuk tangan meriah terdengar setelah melodi itu mencapai klimaks. Terlihat juga seorang pianis muda membungkuk berulang kali untuk memberikan sebuah penghormatan. Ini ada pesta pembukaan gedung Hotel Imperial Lux. Sebuah hotel yang digadang-gadang akan menjadi hotel termewah seantero negeri. Hal
Di bawah pancuran air shower, Levin terdiam menikmati hujanan air yang membasahi tubuhnya. Aroma segar dan classy dari sabun meruah di dalam kamar mandi. Kepala pria itu terangkat, matanya terpejam rapat. Dia merasakan sensasi perih di area sudut bibirnya. “Luka ini tidak akan lekas hilang,” desah Levin yang sudah berpindah di depan wastafel. Dalam pantulan cermin itu, terlihat tubuh berotot Levin yang lembab dengan titik-titik air. Namun, tangan pria itu sibuk memegangi sudut bibirnya yang terlihat merah. Warna merah merupakan sisa darah dari pukulan Elliot yang menyelip di tempat itu. Sebuah ketakutan Levin terhadap darah tidak membuat tubuhnya bergetar atau bahkan pingsan seperti sebuah pisau yang menghujam bahunya tempo hari. Luka di sudut bibirnya memanglah tidak parah, darah tidak mengucur dari tempat
Ketegangan yang diciptakan dari ucapan Levin tidak dapat dipercaya Kainan. Itu membuat lawan bicaranya menggeleng dengan senyum merendah. Pertentangan itu tidak dapat dipungkiri. Pernikahan yang bukanlah karena saling mencintai tidaklah mustahil dilakukan bila kedua pihak memiliki tujuan. Namun, tujuan Levin jelas tidak terlihat di mata Kainan. Tidak mungkin seorang yang bisa mendapatkan wanita manapun seperti Levin mau mengorbankan masa depannya hanya sebagai tanda terima kasih. Tampaknya pria itu menghindari kontak matanya. Dia tersenyum rendah setelah mengakhiri aksinya dan beralih pada meja bar. Di tempat itu, Levin menuang lagi segelas anggur dan menawarkannya pada Kainan. "Hatten Noir," sebut Levin memamerkan merk anggur di tangannya. Kainan tidak tampak menolak. Dia menerima meski tanpa mengiyakan.
= 'Brak!' "Apa yang sudah kau lakukan!" Kemarahan Syeril tertuang dari dalam kata-katanya. Tidak hanya itu, kedatangannya yang langsung melempar sebuah koran di atas meja membuat suasana makan pagi mencekam seketika. Jenni yang tengah menyantap sepotong roti hanya bisa terbatuk-batuk akibat bentakan ibunya, sedangkan Kainan, orang yang menjadi pusat kemarahan wanita itu hanya menanggapi dengan santai. "Kenapa kau berisik sekali," komentar ringan Kainan justru membuat mata Syeril mendelik kesal. Ujung jari Syeril menunjuk ke surat kabar yang ada di atas meja. Sebuah berita pernikahan antara Kainan dan Levin tercetak di halaman utama, melebihi berita selebritis nasional. "Kau masih sempat bertanya apa? Lihatlah ber
"Antarkan aku ke kantor calon suamiku!" Itu adalah perintah Kainan sesaat setelah duduk di samping kemudi. Pintu mobil sport merah yang ditumpanginya juga dibanting kasar. Sementara, Elliot hanya menatapnya tidak mengerti. "Royal Group?" tanya Elliot memastikan. Mata monolid nya melirik pada wanita itu. Kainan yang memasang sabuk pengaman menghentikan sejenak aktivitasnya. Mata hazel wanita itu menatap si sekretaris dengan tidak nyaman. "Di mana lagi calon suamiku bekerja?" "Kau benar-benar akan menikah dengan pria itu?" Pertanyaan Elliot beralih. Wanita itu hanya menjawabnya dengan menghela napas berat. Rupanya, dia bosan dengan pertanyaan-pertanyaan klasik tentang rencana pernikahannya. Apalagi, makan pagi dengan
“Hallo, CEO!" Itu adalah kata-kata yang diucapkan Kainan untuk menyapa CEO dari Royal Group yang baru. Si sekretaris wanita yang hendak mengusir keluar Kainan terdiam sesaat. Dia segera menyadari kedudukan wanita berambut marun itu akan sejajar dengan Elgie, sebagai CEO. Berita duka yang memenuhi kolom ekonomi begitu berseberangan dengan sosok pengganti CEO Angkasa Group yang sudah digadang-gadang. Apalagi, Kainan Kristian adalah nama yang tidak diragukan lagi atas kepiawaiannya memimpin perusahaan. Akan tetapi, mereka hanya tidak tahu saja bahwa kedudukan CEO dari perusahaan itu ditentukan berdasarkan surat wasiat. "T-Tuan, beliau adalah-" ucap dari si sekretaris yang terdiam melihat reaksi Elgie yang seolah tidak asing dengan wanita dihadapannya. Dari banyaknya wan