Mata monolid milik Elliot terbelalak bulat, bahkan menyerupai bibir cangkir kopi yang baru dia sajikan di atas meja Kainan.
“Me-menikah? Aku mendengar kata menikah darimu. Apa aku salah dengar?” Elliot mengambil posisi duduk di depan Kainan. Matanya memandang lurus pada wanita itu. Namun, orang yang dipandanginya hanya tersenyum kecil. Dia lebih tertarik pada kopi di hadapannya.
Kainan menyibak kertas-kertas sisa dari pekerjaannya. Dia mengangkat cangkir itu dan meniup lembut kepulan asap kopi di dalamnya.
“Ah, rupanya benar, aku yang salah dengar!” ucap lega Elliot dari kesimpulannya sendiri. Pria itu merenggangkan posisi duduknya lebih santai, begitu juga dengan wajah tegangnya.
“Apa aku mengatakannya seperti sebuah candaan?” sanggah Kainan setelah menyesap seteguk kopi ke dalam tenggorokan. Sontak saja mata Elliot kembali membundar kaku. Itulah ekspresi yang membuat wanita itu harus meringis menahan tawa.
“Lalu, kau … kau benar-benar akan menikah?” Mulutnya ternganga sesaat sebelum siap mendengarkan jawaban dari wanita itu. Padahal belum ada jawaban dalam benak Kainan. Dia sibuk menyesap kembali kopi hitam itu.
“Hei, Elliot! Apa aku terlihat seperti seorang wanita yang tidak laku?” Matanya menyipit setelah meletakkan cangkir di atas meja. Senyum merekah dari lipstik merah terangnya kembali terangkat.
Wanita berambut marun itu menghela napas bersama seluruh kekesalan yang ikut terhempas. Namun, tidak ada satupun komentar yang keluar dari mulutnya lagi. Kainan mengerti seberapa besar rasa tidak percaya Elliot pada ucapannya.
“Bukan begitu maksudku. Hanya saja, kau bukanlah orang yang mau terikat dengan hubungan seperti itu.” Elliot mengingatkan prinsip hidup dari Kainan. Wanita bebas itu ingin selamanya bebas tanpa terlibat dengan urusan pernikahan, tetapi prinsip itu berbalik dengan situasinya saat ini.
Wajah cantik Kainan mendekat, tepat sejengkal dari jarak antara keduanya. Tatapan dari mata hazelnya memandang lurus tanpa sedikit pun bergetar.
Sekali lagi, dia berusaha meyakinkan teman masa kecil yang sekaligus menjadi sekretarisnya.
“El, aku benar-benar akan menikah.” Akan tetapi, wajah seriusnya tidak juga menyadarkan Elliot. Pria itu justru meletakkan punggung tangannya tepat di atas dahi Kainan.
“Apa?” Kainan yang pandangannya ikut juga tertutupi tangan Elliot hanya bisa mengerjap.
“Kau tidak sakit, lalu mengapa kau meracau seperti ini?” Pria itu menarik tangannya setelah Kainan menepis sentuhan itu.
“Elliot gila!” umpat kesal Kainan menanggapi sekretarisnya yang selalu bertingkah kurang ajar.
Dengan cepat, wajah merengut wanita itu berbinar. Dia memang bukanlah seorang remaja lagi, tetapi kedua tangannya direkatkan penuh harapan akan masa depan. Bahkan, mata hazel Kainan ikut terbang ke atas bersama sudut bibirnya. “Aku tidak perlu mencari calon suami lagi. Aku hanya akan berdiri sambil menunggu seseorang mengaitkan cincin pernikahan untukku. Aku juga hanya perlu menghafal sedikit janji suci dan ….”
Angan-angan Kainan kembali tersamar akan tujuan pernikahannya. Dia tersentak dan segera memposisikan duduknya dengan benar. “Yang terpenting aku akan menjadi CEO di Angkasa Group.”
Elliot hanya menatap Kainan dengan guratan kerut yang menghiasi dahi. Tidak ada senyum, tetapi rasa tidak senang memenuhi wajah kasual pria itu. “Dengan siapa kau akan menikah?”
Dengan sebuah senyum cerah, Kainan menjentikkan tangannya. “Coba tebak!”
Pria yang memiliki mata monolid itu kembali menyipit sesaat, tidak lama tatapannya melambung di antara langit-langit. “Jangan katakan dengan pria itu.”
Levin adalah sosok pria yang dimaksudkan Elliot. Meski tidak tahu namanya, Elliot dapat mengingat jelas rupa dari pria yang sudah ditolongnya malam itu. Bukanlah hal sulit untuk menebak pikiran Kainan yang sudah menjadi temannya sejak kecil.
Kainan menepuk tangannya. “Seratus untuk Elliot! Tebakanmu selalu benar. Apa kau keturunan seorang cenayang?” goda Kainan tidak membuat pria dihadapannya menjadi terhibur. Justru tatapan tajam Elliot mengarah pada wanita itu dengan tajam.
“Berhentilah bercanda dan jelaskan mengapa kau bisa sembarangan menikah dengan pria itu,” sergahnya yang membuyarkan wajah senang Kainan. “Apakah karena Ziel yang sudah berpindah hati pada adik tirimu?”
Kainan tidak terlalu menanggapi ocehan dari pria yang ada di hadapannya. Dia bangkit dari duduknya dan merapikan blazer warna emerald yang terlihat senada dengan kemeja peach.
Elliot melirik Kainan yang sudah akan pergi. Itu terlihat jelas pada mata hazel miliknya yang sedang menatap arloji.
“Kau akan pergi?” tanya pria itu seakan lupa atas pertanyaannya yang belum terjawab. Sejenak, Kainan hanya menatap pria itu dengan tidak tertarik, lalu mengangguk membenarkan ucapannya. Tidak lama, dia pergi sambil menenteng sebuah tas. “Ke mana?”
Kainan mengibas rambut merahnya. Dia berdesah menahan kesabaran akan semua pertanyaan pria itu. “Aku harus menghadiri sebuah pesta kecil.”
“Akan aku antar,” sahut pria itu bangkit menyusul bosnya. Namun, langkah dari Kainan terhenti. Dia berbalik menatapnya dengan ekspresi tidak ingin.
“Tidak! Kau pergilah cari sebuah dasi pria,” perintah Kainan singkat. Saat ini dia sedang sibuk merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Sepucuk kertas diletakan pada ujung jari lentik Kainan sebelum Elliot mengambilnya ragu. “Berikan dasi itu ke alamat yang ada dalam kartu nama.”
“Levin Gerald?” Lagi-lagi mata monolid Elliot menatap Kainan tidak mengerti. Berbeda dengan Kainan yang hanya tersenyum penuh arti.
“Nama calon suamiku.” Dia menjawab dengan penuh kebanggaan.
Ucapan singkat Kainan membuat Elliot tercengang sesaat. Dia hanya sempat mengerjap mata sebelum meluncurkan protesnya.
“Hei, Kai!” panggilnya diabaikan oleh wanita itu. Dia terburu pergi dibalik daun pintu yang sudah dibantingnya. Kainan hanya ingin segera kabur dari pertanyaan-pertanyaan Elliot yang sedang mengantri di dalam kerongkongan pria itu.
***
Sebuah pintu lift terbuka di lantai 17, pada sebuah gedung apartemen elit di tengah kota. Sosok Elliot keluar dari pintu itu. Dia berjalan dengan sebuah kartu nama yang sedang dibacanya.
“Kamar 1703,” gumamnya sendiri. Sesekali mata pria itu berkeliling di antara nomor-nomor kamar yang tertempel pada daun pintu, lalu berhenti tepat pada nomor yang dituju.
Sebuah pintu tinggi ada di hadapan Elliot. Namun, dia hanya berdiri di depannya, sambill mengoreksi kembali alamat yang dicetak pada kartu nama itu.
“Golden Mansion, Tower A, 1703.” Mata pria itu kembali tertuju pada barang bawaannya. Sebuah paper bag hitam dengan logo dari brand ternama ditentengnya. Di dalam tas itu sebuah dasi terbungkus rapi dengan kotak hitam elegan.
"Siapa kau?" Sebuah suara berat dari seorang pria terdengar di balik Elliot. Sontak sekretaris itu berbalik. Dari iris hitamnya terlihat sosok Levin berdiri tenang dengan tangan dilipat. "Apa kau datang untuk membunuhku?"
"Siapa yang membunuh siapa?" Suasana di lantai 17 mencekam sesaat. Bahkan, kedua pria yang saling berhadapan itu saling bertatap pandang dengan sikap waspada. "Levin Gerald?" Elliot menyebut nama pria yang sudah di hadapannya. Mata monolid miliknya melirik nama di dalam kartu nama itu. Dia sedang memastikan ejaan dari nama Levin diucapkan dengan benar. Sebuah nama tidak membuat ekspresi Levin tergerak sedikit pun. Sikapnya tetap sama dengan pikiran yang menetap pada sebuah kesalah pahaman. Pria yang baru menjadi korban dalam sebuah penculikan itu menaruh curiga pada kedatangan pria asing di depan pintu apartemennya. Dia sedang salah kira bahwa pria itu datang untuk melakukan hal serupa. "Apa kau orang suruhan Elgie
Kainan berusaha kabur. Dia kabur dari pandangan mata salah satu pria tua di sela-sela tamu undangan. Pria berusia 60 tahun itu adalah kepala keluarga Dawson, John Dawson, pria dari benua barat yang namanya memiliki sejarah gelap dalam pembangunan Royal Group. Di sebuah ketinggian, tepatnya pada hall yang ada di lantai paling atas sebuah hotel, musik-musik klasik mengalun elegan. Musik yang sumbernya berasal dari dentingan piano menjadi pusat dari pesta itu. Tidak lama, suara tepuk tangan meriah terdengar setelah melodi itu mencapai klimaks. Terlihat juga seorang pianis muda membungkuk berulang kali untuk memberikan sebuah penghormatan. Ini ada pesta pembukaan gedung Hotel Imperial Lux. Sebuah hotel yang digadang-gadang akan menjadi hotel termewah seantero negeri. Hal
Di bawah pancuran air shower, Levin terdiam menikmati hujanan air yang membasahi tubuhnya. Aroma segar dan classy dari sabun meruah di dalam kamar mandi. Kepala pria itu terangkat, matanya terpejam rapat. Dia merasakan sensasi perih di area sudut bibirnya. “Luka ini tidak akan lekas hilang,” desah Levin yang sudah berpindah di depan wastafel. Dalam pantulan cermin itu, terlihat tubuh berotot Levin yang lembab dengan titik-titik air. Namun, tangan pria itu sibuk memegangi sudut bibirnya yang terlihat merah. Warna merah merupakan sisa darah dari pukulan Elliot yang menyelip di tempat itu. Sebuah ketakutan Levin terhadap darah tidak membuat tubuhnya bergetar atau bahkan pingsan seperti sebuah pisau yang menghujam bahunya tempo hari. Luka di sudut bibirnya memanglah tidak parah, darah tidak mengucur dari tempat
Ketegangan yang diciptakan dari ucapan Levin tidak dapat dipercaya Kainan. Itu membuat lawan bicaranya menggeleng dengan senyum merendah. Pertentangan itu tidak dapat dipungkiri. Pernikahan yang bukanlah karena saling mencintai tidaklah mustahil dilakukan bila kedua pihak memiliki tujuan. Namun, tujuan Levin jelas tidak terlihat di mata Kainan. Tidak mungkin seorang yang bisa mendapatkan wanita manapun seperti Levin mau mengorbankan masa depannya hanya sebagai tanda terima kasih. Tampaknya pria itu menghindari kontak matanya. Dia tersenyum rendah setelah mengakhiri aksinya dan beralih pada meja bar. Di tempat itu, Levin menuang lagi segelas anggur dan menawarkannya pada Kainan. "Hatten Noir," sebut Levin memamerkan merk anggur di tangannya. Kainan tidak tampak menolak. Dia menerima meski tanpa mengiyakan.
= 'Brak!' "Apa yang sudah kau lakukan!" Kemarahan Syeril tertuang dari dalam kata-katanya. Tidak hanya itu, kedatangannya yang langsung melempar sebuah koran di atas meja membuat suasana makan pagi mencekam seketika. Jenni yang tengah menyantap sepotong roti hanya bisa terbatuk-batuk akibat bentakan ibunya, sedangkan Kainan, orang yang menjadi pusat kemarahan wanita itu hanya menanggapi dengan santai. "Kenapa kau berisik sekali," komentar ringan Kainan justru membuat mata Syeril mendelik kesal. Ujung jari Syeril menunjuk ke surat kabar yang ada di atas meja. Sebuah berita pernikahan antara Kainan dan Levin tercetak di halaman utama, melebihi berita selebritis nasional. "Kau masih sempat bertanya apa? Lihatlah ber
"Antarkan aku ke kantor calon suamiku!" Itu adalah perintah Kainan sesaat setelah duduk di samping kemudi. Pintu mobil sport merah yang ditumpanginya juga dibanting kasar. Sementara, Elliot hanya menatapnya tidak mengerti. "Royal Group?" tanya Elliot memastikan. Mata monolid nya melirik pada wanita itu. Kainan yang memasang sabuk pengaman menghentikan sejenak aktivitasnya. Mata hazel wanita itu menatap si sekretaris dengan tidak nyaman. "Di mana lagi calon suamiku bekerja?" "Kau benar-benar akan menikah dengan pria itu?" Pertanyaan Elliot beralih. Wanita itu hanya menjawabnya dengan menghela napas berat. Rupanya, dia bosan dengan pertanyaan-pertanyaan klasik tentang rencana pernikahannya. Apalagi, makan pagi dengan
“Hallo, CEO!" Itu adalah kata-kata yang diucapkan Kainan untuk menyapa CEO dari Royal Group yang baru. Si sekretaris wanita yang hendak mengusir keluar Kainan terdiam sesaat. Dia segera menyadari kedudukan wanita berambut marun itu akan sejajar dengan Elgie, sebagai CEO. Berita duka yang memenuhi kolom ekonomi begitu berseberangan dengan sosok pengganti CEO Angkasa Group yang sudah digadang-gadang. Apalagi, Kainan Kristian adalah nama yang tidak diragukan lagi atas kepiawaiannya memimpin perusahaan. Akan tetapi, mereka hanya tidak tahu saja bahwa kedudukan CEO dari perusahaan itu ditentukan berdasarkan surat wasiat. "T-Tuan, beliau adalah-" ucap dari si sekretaris yang terdiam melihat reaksi Elgie yang seolah tidak asing dengan wanita dihadapannya. Dari banyaknya wan
Di tengah jantung kota, tepatnya di salah satu pusat perbelanjaan. Berjajar toko-toko elit yang menyuguhkan segala hal tentang jasa atau sekedar produk impor lainnya. Namun, Kainan lebih memilih singgah di sebuah tempat dengan bangunan bergaya eropa modern. Dia duduk di atas sofa bersama Levin, sambil menunggu seorang desainer pilihannya datang. “Kenapa kita ada di tempat ini?” Dengan penuh keraguan, Levin berkata lirih. Kainan tidak memperhatikan ucapan itu, dia lebih tertarik memandang gaun-gaun indah yang dipasang pada beberapa mannequin. “Aku pikir kau tidak tertarik dengan sebuah pernikahan.” Ucapan Levin berganti. Mata hitamnya tidak bisa lepas dari tatapan Kainan yang bersinar lebar menatap gaun-gaun itu. Mendengar komentar ringan yang dianggapnya tidak peka,