Share

Chapter 6. Menepis Rasa

Zana menggigit rakus jarinya. Wajah yang tampak gelisah semenjak tadi malam. 

"Nggak ... nggak. Gue nggak boleh jadi terhanyut dengan sikap manisnya," Monolognya. Zana menggelengkan kepalanya berulang kali. Menghindari perasaan nyaman terhadap Zain. 

Zana bolak-balik di depan kamar barunya. Setelah sembuh dari sakitnya, dua hari Zain berada di rumah sewaannya akhirnya mereka jadi pindah tadi malam, ia pikir rumahnya benar-benar banyak debu dan bau. Ternyata di rumah itu sudah ada dua orang pembantu mengurus rumah dengan baik.

Zain bilang, pembantu itu baru saja diperkerjakan kemarin. Jadi, Zana tidak perlu merasa khawatir dan lelah mengurus rumah. Ia bisa masak jika menginginkannya.

"Kenapa kamu di sini? Udah makan kan?" Suara itu mengejutkan Zana. Membalikkan badannya ketika mendapati Zain lengkap dengan seragam kantornya.

Mereka memang pisah kamar. Zana yang menginginkannya.

"Aku ... akan makan nanti," balasnya kagok. Menggerakkan sedikit kepalanya. Zana mundur sedikit karena tidak mau berdekatan dengan pria itu meski tahu dia adalah suaminya.

Zain mengulas senyum tipis. "Ya udah, makan ya. Jangan telat makan. Aku berangkat ke kantor dulu."

Zana mengangguk pelan lalu masuk ke kamar. Tidak begitu peduli bila Zain berniat mencium keningnya setelah ia berinisiatif menyalami tangannya.

***

Zana baru saja menelepon tante Linda, ibu salah seorang muridnya. Bahwa sore nanti ia sudah mulai bisa mengajar anaknya. Meski Zain telah memberi kartu VIP gold yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung banyaknya, Zana tetap ingin bekerja dan ingin menikmati uang hasil jerih payahnya sendiri.

Toh! Sampai sekarang ia tidak mengerti apa yang membuat Zain benar ingin menikahinya padahal bertahun-tahun sudah tidak bertemu. Sekalinya bertemu malah memberikan undangan pernikahan yang membuatnya jantungan.

Bukan tak mungkin Zain bisa mendapatkan wanita lebih cantik darinya. Meski ia sendiri mengakui betapa tampannya pria itu, namun Zana tipikal wanita yang tidak suka pada pria yang berumur lebih muda darinya.

Zana melihat ke penjuru ruangan. Memijak undakan tangga yang setengah melingkar menuju lantai bawah. Rumah ini cukup mewah dan besar, tak salah mengira bahwa Zain ini memang pria kaya raya dan ramah.

"Sudah, nggak apa-apa. Biar saya aja, Bi." Zana menolak dilayani ketika salah satu pembantu hendak mendekati meja makan.

"Baik, Non. Kalau begitu saya permisi." Dia mundur pergi, mengambil kemocengnya lagi lalu pergi ke ruangan lain melanjutkan tugasnya.

Setelah berkutat dengan sarapannya, Zana pergi ke kamarnya lagi. Rumah yang benar-benar sepi sampai ia merindukan kembali temannya, Marsha. Pasti dia sedih karena sendirian di rumah.

"Gue sama sekali nggak paham ke mana arah pernikahan ini nanti." Zana menghela napas sembari melihat pemandangan luar dari balkon kamarnya. "

***

Pintu diketuk tiga kali membuat sorot pandang Zain yang tengah mengamati layar laptopnya berhenti sejenak. 

"Masuk." ujarnya tanpa memutuskan perhatiannya ke layar laptopnya. 

Terdengar suara ketukan high heels di lantai keramik secara berirama. Seorang wanita berpakaian minim berjalan mendekat ke meja kerja Zain setelah pintu ditutup rapat. 

Senyum anggunnya tampak manis sekali, namun pria yang ia coba untuk menaklukkan hatinya itu sama sekali tidak menoleh hingga sudut bibirnya mencebik kesal. "Ini kopi buat Bapak." katanya dengan suara yang sengaja di lembut-lembutkan. 

"Terima kasih." balas Zain mengedipkan matanya sekali memindai kopi hitam kemudian ke depan.

Merasa salah satu staf perusahaannya itu tak urung meninggalkan ruangan, Zain mengangkat dagunya. "Apa ada yang ingin kamu sampaikan, Thary?"

Tampak sekali wajahnya mengerut kesal. "Aku sudah mencoba untuk membuatmu jatuh cinta padaku, tapi kenapa kamu gak suka sama aku? Kenapa kamu menikah dengan wanita lain?"

Thary memang mencoba dekat dengan Zain beberapa bulan ini meski tahu Zain adalah bosnya, tetap saja Thary tidak malu-malu mengungkapkan isi hatinya dan Zain menghargai kejujurannya. Tapi, jika untuk cinta rasanya sampai sejauh ini hatinya masih tidak tersentuh.

"Maaf, Thary. Saya tidak bisa karena saya memang tidak ada rasa sama kamu." Zain berkata jujur. "Dari awal saya sudah menyuruh kamu buat berhenti. Tapi kamu tetap mau mencobanya kan? Sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak bisa."

Mata Thary menjadi berembun. Namun, ia tahan. Kedua tangannya mengepal menahan pilu di dalam dada. "Kenapa Bapak gak suka sama saya? Apa saya kurang cantik, Pak?" tanyanya frustrasi. Memegangi rambut yang tergerai indah di kepalanya.

"Kamu tidak apa-apa Thary. Justru saya yang tidak bisa menyukai kamu. Silakan keluar, lanjutkan pekerjaanmu." Zain mempersilakan wanita itu keluar.

Thary membalikkan badannya, pergi dari ruangan tersebut dengan hati yang terluka. Sudah tidak ada lagi harapan.

Tanpa sadar Zain menghela napasnya. Menatap kosong pada kopi hitam di atas mejanya. Ia teringat Zana. Empat hari yang lalu mereka resmi menikah, tapi tak ada cinta di keduanya. 

Zain menikah dengan Zana itu karena hatinya tak pernah menemukan yang spesial. Zain belum menyukai Zana, tapi ia tidak akan membuatnya bersedih. Karena sudah tugasnya seorang suami membahagiakan istrinya.

Jika dikatakan ia belum move on sama seseorang yang sudah lama lenyap dari kehidupannya, ia tidak merasa begitu. Hanya saja ... rindu yang tak berarti. 

***

"Di dunia ini gak ada yang namanya cinta tulus seperti pantat bayi yang mulus, Kakak. Aku tau dia lagi manfaatin Kakak. Kekayaan yang berlimpah!" Zana berbicara dengan sangat antusias.

Mengangkat tangannya tinggi-tinggi seolah menggapai langit. Sementara Ega menggeleng-gelengkan kepalanya, adik bungsunya ini tetap seperti anak kecil yang aktif. Saat bicara pun dirasa tidak perlu memilih-milih kosakata yang sopan atau tidak. Sikap blak-blakannya tidak akan pernah hilang. 

"Setelah aku mengalami patah hati. Aku sudah gak butuh cowok lagi."

"Zana, tidak semua laki-laki itu jahat." petuah Rera, ibunya. 

"Tapi, Ma. Gak mungkin Zain suka sama aku secepat itu. Kami baru aja ketemu empat hari yang lalu." Zana menyingkirkan tangan usil menjawil pipinya.

Ega meringis mendapat cubitan keras dari adik kesayangannya. "Contohnya Kakak gak jahat loh." Menunjuk dirinya sendiri.

"Ngh ... kata siapa? Yang ninggalin aku waktu di danau siapa? Katanya cuma sebentar, tapi apa? Kakak jemput aku pulang udah mau senja!" cetusnya. 

Ega terdiam. Sedetik kemudian dia mengapit kepala si bungsu di antara ketiaknya membuat wanita itu berteriak minta dilepas. "Kamu harus bahagia sama Zain, Na. Urusan cinta belakangan. Dan kamu juga harus melupakan masa lalu, membuka hati yang baru."

Sedangkan Rera yang melihat kedekatan mereka tidak pernah berubah. Meski Ega sudah punya anak tetap saja kasihs ayangnya tak pernah luntur.

"Ma," Zana berkata lirih setelah berhasil lepas dari kakaknya. "Kalau aku minta cerai ... gak apa-apa kan?"

Zain memang terlihat memiliki segalanya, sama seperti Reza. Zain memang tampan, tapi Reza juga tak kalah menarik. Jadi, Zana tidak akan terbujuk rayu dengan ketampanan yang dimilikinya. Ia hanya tidak ingin kejadian sama terulang lagi. 

"Assalamu'alaikum!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status