Share

Chapter 5. Pengantin Baru

Meski sempat suka.

Ya, sebagai wanita dewasa yang normal. Tentu saja pria tipe semacam Zainuddin Alskara adalah idaman para wanita termasuk Marsha Quinara.

Selama ini, Zain tidak pernah terdengar desas-desus mendekati, berpacaran ataupun niat menikah dengan seorang wanita.

Tapi, ketika tahu sekali-sekali berhubungan dengan wanita langsung diajak menikah. Bagaimana karyawan sekantor tidak geger? Para karyawan cewek langsung patah hati mendengarnya.

“Tau diri sih, lagian para karyawan pun nggak ada yang sanggup memikat hatinya pak Zain termasuk gue.” Gumamnya pelan, Marsha tersenyum kecut. “Beruntung banget lo, Zana.”

Marsha beralih ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Zana dan secangkir kopi untuk bosnya.

***

Zain duduk di sisi ranjang dengan tenangnya, memandangi wajah pucat sang istri yang tampak enggan membuka mata atau sebenarnya dia tahu akan kehadirannya, tapi memilih tidak peduli sama sekali.

Tangan Zain terulur untuk mengecek suhu tubuhnya. Matanya melirik ke saputangan dalam baskom yang berisi air. Tadinya hendak mengambilnya justru refleks termangu ketika sepasang mata itu menatapnya sayu.

“Kak—”

“—apa masih pantas seorang suami manggil istrinya seperti itu?” Bibir Zain tertutup rapat. “Panggil nama gue aja.” Tuturnya dengan suara serak.

Matanya berkedip dua kali menyesuaikan kontras sikon. Zana mengamati pengejawantahan pria di dekatnya itu, kemeja hitam dengan lengan yang digulung sampai siku. Celana jeans cream serta ikat pinggang yang melingkar di sana. Lalu lamat-lamat memerhatikan parasnya yang amazing!

Zain yang diawasi demikian menjadi gugup dan mengangkat alisnya kode untuk bertanya.

Zana mendengus pelan. “Gue iri sama alis lo tebal banget,” Ketusnya.

She envied my eyebrows? Zain tertawa dalam hati. Sekiranya istri pada umumnya akan memuji suaminya karena beruntung bisa memilikinya. Zana justru merasa iri dengan apa yang ia miliki karena tidak bisa dia miliki.

“Kak—”

“Udah gue bilang panggil nama aja,” potong Zana.

Mengambil beberapa helai tisu untuk menutup hidungnya. Umbelnya kembali turun.

Dia tersenyum tipis, mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Merasa canggung karena mereka baru saja menikah, walaupun Zain tidak sempat menunjukkan pada hadirin jika pasangannya adalah Zanayya Auristella.

“Eh, lo mau apa?” Zana menahan dadanya menggunakan telapak tangannya. “Mundur-mundur.”

Tuli dengan perintah istrinya, Zain tetap maju mendekati wajah cantik nan pucat istrinya. Kecupan lembut pada kening istrinya yang panas.

Zana merasakan detak jantungnya yang berdegup dengan kencang. Bau aroma citrus di tubuhnya sangat melekat sekali hingga Zana tanpa sengaja menghirupnya kuat-kuat justru lubang hidungnya tiba-tiba muntah tanpa permisi meninggalkan jejak umbel kental di sana.

Zana melotot kaget. Ia ambil tisu dan mengelapnya. Iuuuww ... umbel kuning.

Baru saja mendapat kecupan dari pria tampan, Zana malah menghadiahinya dengan ini.

Dapat Zana mengartikan tatapan kedua mata Zain yang membulat karena terkejut bercampur rasa jijik.

“Maaf, Zain. Gue nggak sengaja. Lo kan tau gue lagi sakit, malah dekat-dekat gue.” Ujarnya membela diri.

Zain tidak mengeluarkan sepatah kata pun, duduk tegap sembari melepas kancing kemejanya. Tidak tahu apa, wanita yang sedang rebahan di ranjang menatapnya dengan detak jantung yang menggila.

Zain seperti tidak masalah dengan hal itu justru menangkap kekhawatiran Zana ketika ia refleks saja menoleh.

“Kenapa?” Ia bertanya.

Mendapati tatapan gelisah sang wanita. Zana menggeleng pelan. Mata bulatnya sesekali berkedip.

Zain menatap dirinya lalu menoleh sembari tersenyum tampan. “Terpesona ya?” Zana mencibir.

Zain tertawa renyah. Baru saja ia lupa dengan rasa canggung yang terjadi di antara mereka. Dengan telanjang dada, Zain maju mendekati Zana lagi. Sejengkal jaraknya mereka hingga tanpa tahu detak jantung keduanya sama-sama dipacu adrenalin. Mereka sama-sama gugup.

Zain tersenyum mengusap rambut istrinya. Kembali duduk tegap, setelah puas memandang ia segera bangkit.

“Istriku, kamar mandi di sebelah mana ya?” tanya Zain.

Tampak melihat-lihat ke sekeliling mencari pintu yang dia cari.

“Di-di belakang,” Jawabnya kagok.

Telinga Zana terasa terbakar ketika Zain memanggilnya dengan sebutan ‘istri', dia tersenyum lagi membuat Zana menahan setengah napasnya.

Zana menunjuk ke tembok kiri, di mana di balik itu ada pintu kamar mandi. Zain menurutinya.

Zana mengusap wajahnya yang panas dingin. Bisa-bisanya ia seperti tadi. Pasti Zain pikir ia cewek yang jorok.

“Lagian dia tiba-tiba ngedeketin gue kayak gitu gimana nggak kaget coba.”

Pintu diketuk dari luar. “Na, permisi. Apa gue boleh masuk? Mau antarin makanan ini.”

“Masuk aja, Sha.”

Zana bisa melihat gerendel pintu kamarnya setengah berputar, menampakkan seorang gadis ayu masuk sembari membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam dan dua jenis minuman.

Marsha menaruh nampan tersebut di nakas sebelah kanan yang memang selalu kosong.

“Nih, makan dulu, Na. Setelah itu lo minum obat. Kalau besok masih aja nggak pulih lo harus pergi ke rumah sakit,” Ujarnya bersungguh-sungguh.

Zana mengangguk mengerti. Menerima bubur yang disodorkan Marsha. Sementara dia menengok-nengok ke sekeliling ruangan, Zana menelan bubur sebelum membuka suara.

“Kenapa, Sha?” Tanyanya heran.

“Pak Bos ke mana?” tanya Marsha pada akhirnya.

“Pak Bos? Kalian saling kenal?”

Zana memang tidak tahu lingkaran pertemanan Marsha di luar sana. Tapi, jika Marsha kenal Zain apalagi sapaannya terdengar akrab wajib berwaspada.

Gadis berponi lurus itu tersenyum mengangguk. “Iya, pak Zain itu Bos gue, Na. Gue kerja di perusahaannya, awalnya gue kaget sih dengar lo bilang mau nikah dengan pak Zain.”

Zana memagut-magut saja. Dia kembali menyendok buburnya lalu memakannya. “Lagi di kamar mandi dia.” Jawabnya membunuh rasa penasaran Marsha. “Tapi, lo pede juga manggil dia pak, padahal dia dua tahun lebih mudah dari kita.”

“Nggak mungkin gue nggak sopan sama pak Zain, Na. Yang ada nanti gue dipecat. Bukan cuma gue yang manggil dia pak. Tapi, lo bakalan manggil pak Zain dengan sebutan Abang atau Mas,” Marsha terkikik geli.

Untung Zana sudah menelan buburnya. Kalau tidak, bisa saja ia tersedak atau paling tidak sopannya menyemburkannya ke wajah Marsha.

“Kok Zain lama ya di kamar mandi. Ngapain sih dia?” Menyadari cowok itu yang enggan muncul.

“Memang kenapa bisa ke kamar mandi?” tanya Marsha spontan.

Zana kaget saat temannya ini malah menanyakan perihal itu. “Itu ... tadi—” Ia tak melanjutkan perkataannya.

Justru merasa ganjil dengan senyum menggoda Marsha. “Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?”

“Kalian barusan warming ya?” Marsha menaikturunkan alis tipisnya. Mengintip ke dalam selimut Zana.

Hah?

“Warming?” Ulangnya. “Maksud lo apa?” Zana tak mengerti.

Marsha menatap kecewa karena temannya ini masih berpakaian utuh di balik selimut.

Marsha berdecak pelan karena malas menjelaskan. “Udahlah, lupain. Na, itu kopi buat suami lo ya. Jangan lupa minum obatnya juga. Biar lo cepat sembuh. Gue keluar dulu.”

Zana memakan makanannya. Tapi, dalam pikirannya terus berputar memikirkan maksud dari ucapan Marsha.

“Dikira kita habis berhubungan suami istri.” jawab Zain muncul di balik tembok.

Memberitahu agar istrinya itu tidak terus memikirkannya sampai sakit kepala. 

Zana hanya memerhatikan tubuh kekar pria itu, menawan juga. Zain disibukkan dengan membuka koper yang dibawanya tadi untuk mencari sepasang baju kaos untuk dia pakai.

“Kenapa bawa koper? Lo mau pindah ke sini?” Zana menaruh mangkuk yang telah kosong di nakas.

Mengambil segelas air mineral lalu meneguknya. Zain berjalan mendekat, duduk di sisi ranjang.

“Mau nunggu kamu sembuh. Setelah itu kita pindah ke rumah kita,” Jawabnya lembut.

Zain tersenyum, detak jantungnya membuat dirinya tambah gugup. Begitu juga dengan Zana yang tidak tahu harus apa, kecuali menunduk menyembunyikan rona merah yang bersemayam di pipinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status