Share

Chapter 3. Wedding Day Without Wife

Zain mengusap pelipisnya kanannya. “Masih di kantor. Ada apa, Mah? Kok nelpon? Belum tidur?” tanya Zain khawatir.

Handphonenya ia pindahkan ke telinga kirinya. Tangan yang lain sibuk menari-narikan mouse di alas mouse pad.

Jika pulang terlambat, mamanya pasti mengkhawatirkannya dan meneleponnya seperti saat ini.

Punggung tangannya kontan menutup mulutnya ujug-ujug menguap, sedikit lagi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.

“Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja, Zain. Pulanglah, Nak. Jam kerja kamu seharusnya sudah selesai, kan tadi sore?”

“Iya, Mah. Ini sudah mau selesai.” Kedua netra cokelat Zain tidak lepas dari layar laptopnya.

“Ya sudah, kalau capek jangan paksakan ya, Zain. Cepat pulang.”

“Iya, Mah. Ini udah mau beres-beres kok.” Tangan kanannya bekerja menyusun berkas-berkas. Mematikan laptopnya lalu menyimpannya di dalam tas. “Udah dulu ya, Mah. Aku mau pulang ini.”

“Ya sudah, tutup dulu teleponnya. Hati-hati di jalan, Zain.” Pesan sang wanita yang sangat Zain cintai itu sejak ia dilahirkan ke dunia.

“Iya, Mah.” jawab Zain seraya mengusap matanya yang teramat lelah.

Handphone Zain bergetar. Ada balasan dari wanita itu, hanya emoticon muka flat tanpa kata-kata. Senyuman tipis yang sangat tipis tercetak di wajahnya. Sudah tengah malam, apa yang membuat dia masih belum tidur? Sebelah alis matanya naik tinggi-tinggi.

***

Gimana bisa gue tidur nyenyak? Minda Zanayya tak bisa berhenti menyeringkan kejadian di taman tadi sore seperti kaset rusak.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hubungannya dengan Zain ke depannya, dengan Reza yang sudah berpacaran satu tahun saja tak luput diterpa masalah. Apa lagi Zain yang belum pernah memiliki hubungan khusus dengannya tiba-tiba langsung mengajaknya menikah?

Zana tidur telentang, menatap plafon kamarnya dengan ratapan gundah gulana. Kehidupan masa depannya yang buram, saat ini kondisi hatinya sedang terluka parah karena Reza. Sejujurnya ia masih cinta bercampur rasa benci.

Ternyata hubungan pacaran selama apa pun tidak semua hubungan itu bisa berhasil menuju ke jenjang yang lebih serius.

Sekarang Zana lelah, air mata perpisahan dan kesedihan menemani malamnya yang sunyi. Sporadis, setiap manusia tidak bisa memperkirakan jalur kehidupannya kecuali hanya bisa dijalani dengan yang ada di depan mata.

Kejadian esok ya urusan esok, kejadian hari ini ya hanya bisa menjalani sebaik mungkin serta menghargai waktu yang terus bergulir tanpa henti.

Setiap manusia juga memiliki sudut pandangnya masing-masing, baik-buruknya sikap tiap manusia sudah pasti memilikinya. Because ... selama ini Zana mengira semuanya akan selalu baik dan selalu positive thinking, jadinya ia tidak akan menyangka hal ini terjadi padanya.

Tentang perselingkuhan yang dilakukan Reza selama satu bulan. Tentang patah hati seorang wanita yang selalu mengira pacarnya adalah lelaki yang setia.

Berbicara tentang kesetiaan, dipikir lagi secara berkala, kesetiaan pada zaman ini memang langka. Bahkan delapan puluh persen lelaki tidak akan pernah kuat sampai akhir untuk menetapkan perasaannya dengan orang yang sama.

Zana membuka matanya lebar-lebar juga dengan pikiran yang terbuka. Takdir kehidupan memang tidak bisa ditebak siapa-siapa.

Banyak contoh kehidupan yang bisa diambil, seperti seorang istri yang tak pernah lelah melayani setiap kebutuhan suaminya, menjaga kepercayaan suaminya sebaik mungkin. Namun, kasih sayang dan perhatian istri dirasa tidak pernah cukup. Ada saja suami yang berani selingkuh, melirik wanita lain.

Zana tahu secara garis besar yang menyebabkan perselingkuhan karena visual seorang wanita. Lelaki mana yang tahan iman melihat wanita cantik terlebih lagi memiliki bodi yang sempurna dari segi mana pun.

Bisa goyah dan pertahanannya runtuh, kecuali jika pria itu takut dan segera menepis pemikiran seperti itu karena tahu dia punya seseorang yang sedang menunggu dan tetap setia padanya.

Zana berpikir, lelaki seperti apa Zain ini? Walau ia sedikit tahu lelaki itu dari yang ia lihat hanya selalu diam dan lugu.

Tapi, sekarang sudah beda lagi. Dia sudah memiliki segalanya, apa tidak mungkin Zain hanya sanggup memiliki satu wanita saja?

Embusan napas lelah pun terdengar. “Apa pun itu gue udah nggak peduli lagi.” Zana menahan sesak di dadanya. “Terserah dia mau apa, setelah gue melewati hari ini, gue bakalan lupain selamanya tentang cinta dan hubungan yang romantis. Sudah cukup main-mainnya.”

Tepat pada pukul dua belas malam, Zana menutup matanya. Mencoba untuk terlelap hingga besok kembali dengan pikiran segar agar tidak ada lagi yang namanya kesedihan, meski ia tahu melupakan seseorang yang pernah ia cintai itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, atau seperti batu dilempar ke dasar sungai yang deras.

***

Kontan kedua beautifull eyes si pemilik rumah yang jelas ekspansif sekali seperti istana megah. Pria yang telah mencantumkan nama Elgana Kali sejak lahir itu mengembangkan sedikit senyum ala para pemuda cool.

Satu jam yang lalu acara pernikahan kroni bisnisnya itu telah finish diadakan secara paripurna kendatipun pasangan pengantinnya tidak dapat hadir. Padahal diacara pernikahannya sendiri yang hanya terjadi satu kali seumur hidup.

Zainuddin Alskara mengedarkan tinjauannya. The surrounding area, para kerabat sibuk berbaur seraya memegang arogan minumannya. Senyuman diacara berbahagia ini tampak tak luput dari wajah cerah mereka.

“Terlalu lebay banget, kan. Hari ini hari spesialnya malah sakit, nggak niat banget dengar ijab kabul dari pria yang sudah sah menjadi suaminya ini.” Penuturan kesal dari kakak iparnya ini, Zain cuma bisa tersenyum kecil.

Penampilannya yang gagah, Zana tidak bisa menyaksikannya sendiri. Andai kata bebas tanpa ada yang marah, beberapa orang wanita di seberang sana sudah pasti ingin menjadi istri dari pria dua puluh dua tahun tersebut.

***

Kak Ega

(Mengirim foto)

Ah, gantengnya adik ipar. Tapi sayang sekali istrinya malah rebahan di kejauhan sana.

Anda betul sekali. Batin Zana. Pria muda tampan dan gagah itu tampak mirip seperti salah satu aktor asal Filipina. Kalau tidak salah namanya Daniel Padilla.

Dengan memakai setelan serba putih yang entah mengapa sangat cocok ditubuhnya. Di kepalanya terpasang peci hitam yang semakin membuat cuping hidung Zana kembang kempis.

Ia tak mengelak, memang Zain ini handsome dengan khasnya sendiri. Di dalam dadanya terasa ada kupu-kupu yang terbang bebas saking merindingnya melihat penampilannya.

Kak Ega

(Mengirim video)

(Mengirim foto)

(Foto)

(Foto)

(Foto)

Andai gue cewek, Dek. Nggak bakalan gue sia-siain cowok sebaik Zain. Gue kecewa sama lo.

Ya udah, jadi cewek aja sana! Zana hanya menggerutu di dalam hati. Sedari tadi ia hanya bungkam mendengar suara riuhan di sana terhenti, suara rendah Zain mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Tangan yang menjabat tangan ayahnya. Entah kenapa, air matanya jatuh begitu saja. Yang pasti ini adalah momentum nadir yang sangat berharga.

Ujug-ujug jantung Zana bergemuruh tidak tenang, ia merasa bersalah karena tak hadir. Senyuman kecil pria itu amat tulus dan bahagia. Namun, feeling Zana menemukan secercah kekecewaan karena pasangannya tak hadir di sana.

Seharusnya setelah momen ijab kabul akan terjadi sentuhan pertama kali di antara mereka di mana ia mencium punggung tangan Zain, lalu suaminya mencium keningnya dengan lembut.

Tayangan video yang direkam kakaknya telah berakhir. Harus bagaimana ia sekarang? Bahagiakah atau malah sedih. Kembali ia taruh handphonenya di nakas tempat tidur, memeluk bantal gulingnya sembari menarik selimut tebal hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut, setelah mendapat pesan dari Zain tengah malam mendadak ia mengalami insomnia. Dua hari ia izin tidak mengajar karena demam, keluarganya pun mengerti dan tidak mengapa ia tidak ikut di acara pernikahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status