Setelah Kevin sudah memasuki kamar mandi, Jasmine memilih untuk segera mengganti pakaiannya. Mencari pakaian yang layak untuk ia kenakan. Mengganti gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya.
"Aku belum siap. Aku belum siap. Aku harus mencari cara supaya malam ini Pak Kevin tidak menyentuhku. Kenapa harus menyiapkan diri? Bukankah dia hanya menginginkan pernikahan ini."
Jasmine hampir putus asa. Ia yang kini tengah mencari cara itu terus memikirkan agar tubuhnya tidak dijamah oleh suaminya itu. Khawatir akan ucapan Andrian. Bisa kalap dan hilang kendali.
Kemudian, perempuan itu memilih untuk pura-pura tidur. Sebab waktu pun sudah menunjuk angka sebelas malam. Sudah waktunya istirahat. Ditambah kondisi tubuhnya yang lelah akibat menerima tamu undang yang banyak itu.
Ternyata, bukan karena pura-pura tidur. Justru Jasmine terlelap dalam beberapa menit setelah menutup matanya. Rupanya, lelah itu mengantarkan dirinya untuk membawanya ke alam mimpi.
Lima belas menit kemudian. Kevin keluar dari kamar mandi. Sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk, pria itu menatap Jasmine yang sudah berbalut selimut. Matanya tertutup, tidur sangat lelap.
Kevin mengulas senyum tipis. "Tidur rupanya. Ya sudah. Tunggu besok saja. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Mempersiapkan dan menyetujui semua yang aku perintahkan padanya," gumamnya kemudian.
"Semoga apa yang saya harapkan dari kamu, bisa kamu laksanakan dengan baik. Jangan jadikan pernikahan sebagai balas utang budi. Karena saya sudah melunasi utang orang tua kamu. Melainkan, jadilah istri yang baik untuk saya."
Kevin sangat berharap penuh jika pernikahan keduanya ini abadi, langgeng dan tentunya menemukan kebahagiaan sebagaimana mestinya. Ia sangat berharap jika Jasmine akan menurut, melayaninya dengan baik, serta menjadi istri yang bisa ia banggakan.
**
Pagi hari.
Jasmine terbangun. Namun, tubuhnya merasa tertindih oleh beban yang sangat berat. Akhirnya, mata itu menoleh ke arah samping. Kevin, sang suami rupanya tengah memeluknya. Entah sengaja atau memang karena tidur yang terlalu lelap.
Jasmine terkejut. Namun, masih ia tahan. Tak mungkin pula jika ia harus berteriak. Kevin tidak melukainya, ataupun sedang mengerjainya. Mata yang selalu sayu itu masih tertutup rapat.
'Kalau dilihat dari dekat, wajah Pak Kevin jauh lebih tampan. Wajah asli manusia bisa dilihat saat ia tertidur. Dan inilah wajah asli Pak Kevin.' Jasmine berucap dalam hati.
'Laki-laki tampan seperti Pak Kevin harus mengalami kepahitan dalam rumah tangganya. Dikhianati oleh istri tercintanya adalah sebuah kesakitan yang luar biasa, yang Pak Kevin alami dulu.
'Semoga saya bisa menjadi istri yang baik untuk Pak Kevin. Walau tak akan ada ruang di hati Pak Kevin untuk saya. Karena, saya yakin ... Pak Kevin masih menyimpan nama mama dari anak semata wayang kalian.'
Jasmine tak akan berharap penuh. Akan adanya cinta di dalam rumah tangganya kini. Ia hanya perlu memerankan statusnya sebagai istri Kevin. Menggantikan posisi Desi yang sudah berhasil meruntuhkan bahtera rumah tangga.
Tok tok tok!
"Papa ... Mama ... udah bangun belum?" teriak Arshi di luar sana.
Jasmine terkesiap. Dengan sangat hati-hati, perempuan itu memindahkan tangan serta kaki yang sedari tadi menindihnya. Ingin membukakan pintu untuk Arshi yang tengah menunggu mereka keluar.
"Ada apa, Sayang?" tanya Jasmine sembari mengusap rambut anak tirinya itu.
"Mama ... ayok sarapan bareng!" kata Arshi antusias.
Jasmine terdiam. Dirinya dipanggil mama oleh Arshi menimbulkan perasaan yang bercabang. Bahagia dan takut akan Desi yang tidak bisa menerima itu semua.
"Euum ... Arshi. Diminta siapa, panggil saya dengan sebutan mama?" tanya Jasmine dengan lembut.
"Kata Papa. Sekarang, Arshi kan udah punya dua mama dan dua papa. Sama papa baru juga Arshi manggil papa." Anak berusia enam tahun itu sangat polos.
Hati Jasmine mencelos. Ada rasa kasihan pada anak sekecil itu harus merasakan jadi anak broken home. Tapi, Arshi tak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Mereka sangat menyayangi Arshi.
"Oh begitu. Mau sarapan bareng ya, Sayang? Papanya belum bangun. Gimana dong?"
"Ya udah. Biar Arshi aja yang bangunin," ucapnya dengan semangat.
"Eehh ... jangan, Nak. Nanti papanya marah." Jasmine mencoba menghalau Arshi yang ingin membangunkan papanya itu.
"Gak akan, Ma. Papa tidak pernah marah kalau Arshi bangunin. Kalau Papa marah, Arshi akan pulang dan tinggal sama Mama aja."
Jasmine meringis pelan. "Ya sudah. Kalau begitu, silakan bangunkan papanya," ucapnya dengan pelan.
Lalu, anak kecil itu berlari menuju sang papa yang masih tertidur di atas tempat tidur. Menggoyangkan tubuh sang papa sambil memanggil, membangunkannya.
"Papa, ayo bangun. Kita sarapan bareng," kata Arshi sambil menggoyangkan lengan Kevin.
Kemudian, pria itu membuka matanya setelah bising dari mulut manis sang anak yang terus membangunkannya. "Heung?" Suara seraknya hanya berucap itu saja.
"Ayo sarapan, Papa. Udah lama banget Arshi nggak pernah sarapan bareng Papa," kata Arshi kemudian duduk di perut sang papa.
Lalu, Kevin bangun dari tidurnya. Mencium kening sang anak sembari mengulas senyumnya. "Oke, Sayang. Kita sarapan bareng. Arshi tunggu di meja makan. Papa mau mandi dulu."
Arshi mengangguk. Bergegas keluar dari kamar sang papa sambil melambaikan tangannya pada Jasmine, yang masih berdiri di ambang pintu kamar. Kemudian, menghampiri Kevin yang masih duduk di tepi kasur.
"Mau saya siapkan air hangat, Pak?" tanya Jasmine pelan.
Kevin menggeleng. "Saya tidak pernah mandi pakai air hangat. Poin penting yang harus kamu ingat!" ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. "Ada beberapa poin yang harus kamu lakukan setelah menjadi istri saya. Kita bicarakan setelah mengantar Arshi pulang."
"Baik, Pak. Tapi, kalau boleh tahu ... kenapa Arshi dibawa pulang ke mamanya? Maaf, jika saya sudah lancang menanyakan itu pada Bapak," ucapnya dengan hati-hati. Ia sangat menjaga ucapannya agar tidak membuat Kevin marah padanya.
"Hak asuh anak jatuh ke tangan mamanya. Tidak diambil hak sebelum Arshi beranjak dewasa. Setelah dewasa, biarkan Arshi yang memilih." Kemudian, pria itu berlalu pergi menuju kamar mandi. Membersihkan diri terlebih dahulu sebelum sarapan bersama anak dan istri barunya.
Setelah keduanya selesai mandi. Pasangan pengantin baru itu mengayunkan langkahnya menuju meja makan. Menghampiri Arshi yang dengan setianya menunggu orang tuanya yang akhirnya hadir di sana.
"Maaf ya, sudah menunggu lama," kata Jasmine kepada Arshi.
Arshi manggut-manggut. "Nggak apa-apa, Mama. Arshi selalu diajarkan bersabar menunggu oleh Papa."
Jasmine mengulum senyumnya. Lalu, melirik ke arah Kevin yang hanya menerbitkan senyum lebar untuk anaknya itu. Tak ada respon apa pun darinya. Benar-benar membuat Jasmine harus membiasakan diri dengan sikap dingin suaminya itu.
"Hari ini Arshi pulang. Besok sekolah soalnya. Nanti, Mama Jasmine akan jemput kamu kalau Papa sudah izin sama Mama Desi untuk ketemu sama kamu," kata Kevin berbicara kepada anaknya itu.
"Iya, Papa. Sama Papa kan, jemputnya? Masa ... Mama Jasmine sendirian?"
Kevin tersenyum tipis. Lalu, melirik Jasmine sebentar, sebelum akhirnya dia menganggukkan kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti Papa dan Mama Jasmine akan jemput kamu bareng-bareng. Tapi, kalau Papa lagi sibuk di kantor, nggak apa-apa kan, dijemput sama Mama Jasmine aja?"
Arshi yang penurut itu lantas menganggukkan kepalanya. "Siap, Papa," ucapnya dengan riang.
Sehingga membuat Jasmine spontan mengusap rambut anak kecil itu. Tak lama tersadar. Tindakannya terlalu berlebihan. Sehingga membuatnya menjadi tak enak hati kepada Kevin dan Arshi. Seolah-olah dia sangat memerankan statusnya yang kini menjadi mama sambung Arshi.
"Maaf, Pak. Saya hanya spontan saja. Karena gemas," ucapnya dengan pelan.
Kevin mengangguk. "Biasakan diri kamu untuk hal itu juga. Anggap Arshi sebagai anak kamu. Sampai nanti, kita bisa memberikan adik untuk Arshi."
Ucapan Kevin selalu berhasil membuat jantung Jasmine berirama dengan cepat. Selalu memberikan kode pada perempuan itu. Seolah Kevin akan menyentuhnya kelak. Sampai kapan, ia pun tak tahu.'Kenapa harus menginginkan itu, jika tidak akan perasaan cinta untuk saya, Pak. Lebih baik kita bersandiwara saja. Saya lebih menyukai itu. Walau harus berakting setiap hari, seolah kita saling mencintai.' Jasmine berucap dalam hati.Rasanya tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya, bercinta tanpa ada rasa cinta di dalamnya. Ia masih gadis, butuh pengalaman yang bisa membuatnya tertarik untuk melakukannya lagi.Tapi, jika Kevin terus bersikap dingin padanya. Bahkan saat melakukan hubungan tersebut, sudah pasti Jasmine akan merasa sia-sia. Kesuciannya seperti direnggut dengan paksa oleh Kevin. Padahal, pria itu adalah suaminya.Begitulah yang dipikirkan Jasmine. Hingga kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Pergi ke rumah lama milik Desi dan Kevin. Sebelum akhirnya Kevin memutuskan untuk berpisah
Jasmine menelan saliva dengan susah payah. Ranti berhasil membuat Jasmine malu setengah mati. Sebab, saat Ranti berucap seperti itu, ia sembari memegang lehernya."Mama hanya bisa mendoakan agar kalian segera diberi momongan. Kasih adik untuk Arshi, cucu Mama satu-satunya."Karena Kevin memang anak tunggal. Menjadi pewaris tunggal perusahaan milik sang papa, Edward. Namun, banyaknya harta yang Kevin miliki, tidak bisa mengembalikan Kevin seperti dulu lagi.Menjadi dingin setelah perceraian dengan istri tercinta, tak ada satu pun orang yang bisa mencairkan hati Kevin yang sudah mengeras. Ranti hanya berharap kepada Jasmine, agar perempuan itu bisa mencairkan dinginnya sikap Kevin."Kalau begitu, kami pamit pulang. Sudah malam. Besok, sudah kembali kerja. Bulan madunya ditunda. Karena di kantor lagi banyak kerjaan," ucap Kevin. Padahal, dia memang tidak berniat pergi bulan madu dengan Jasmine.Setibanya di rumah. Waktu sudah menunjuk anga tujuh malam."Mas. Mau makan malam dengan apa?"
"Terima kasih.”“Justin. Sahabat pemilik perusahaan ini. Kevin Prakarsa." Justin mengenalkan diri pada Jasmine.Lalu, perempuan itu menerima jabatan tangan itu. "Jasmine." Dan ia tidak memberi tahu, jika dirinya adalah istrinya Kevin."Lagi apa di sini, Pak? Saya baru lihat soalnya.""Ingin memberi ucapan selamat ke Kevin. Karena akhirnya dia menikah. Kemarin, aku tidak bisa datang karena lagi di luar negeri."Jasmine manggut-manggut. "Begitu rupanya. Pak Kevinnya lagi di luar. Ada meeting katanya. Tunggu aja, Pak."Justin mengangguk. "Ya. Menunggu dengan perempuan cantik seperti kamu, tidak jadi masalah."Jasmine hanya mengulas senyumnya, sambil menggaruk rambutnya itu. 'Dewi dan Rani lama banget sih. Nyesel aku, nggak ikut aja sama mereka. Pak Kevin bakal marah nggak, yaa. Aahh ... mana mungkin. Apa hak dia marah-marah. Cemburu? Imposibble.'Namun, nyatanya. Di seberang sana. Andrian tengah menghubungi Kevin. Memberi tahu, jika Jasmine tengah berbincang dengan pria."Bilang pada Jus
Lagi, pria itu kembali menoreh luka di hati Jasmine. Hingga perempuan itu mengadahkan wajahnya. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Turun dengan derasnya."Sehina itu, saya di mata Mas Kevin? Harus banget, mengatai saya dengan sebutan murahan?" ucapnya sembari mengusap air mata di pipinya."Karena kamu sudah membuat saya marah, Jasmine. Jangan ulangi lagi! Kamu tidak tahu, bagaimana perasaan saya saat melihat kamu ngobrol dengan laki-laki lain."Kevin keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan banyak luka kepada Jasmine.Braakk!Kevin menutup pintu dengan kasar. Sehingga Jasmine yang ada di dalam terperanjat kaget."Astagfirullah. Kuatkan hati hamba, ya Allah," lirih Jasmine sambil memegang dadanya.Terasa sesak karena ucapan menohok yang dilontarkan oleh Kevin padanya. Usia pernikahan yang belum ada satu minggu itu sudah berhasil menoreh luka di hati Jasmine."Gimana kalau pernikahan ini udah satu bulan. Mungkin tubuhku akan kurus kering, karena harus bersabar dan terus bersab
Bertepatan dengan lampu lalu lintas berwarna merah, Jasmine bertanya tentang hati pada suaminya itu. Kevin memandang lama perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu. Lalu, mengulas senyumnya sembari menunduk.Kembali menatap Jasmine. "Ruang di hati saya? Sudah dua tahun ini ruang hati saya kosong. Jadi, ada lowongan untuk kamu bisa masuk ke dalamnya. Berusahalah. Agar bisa menjadi wanita satu-satunya yang ada di dalam hati saya."Jasmine terdiam. Ia menyimpulkan jika Kevin belum mencintainya. Belum menyimpan namanya di hati pria itu.Hingga tiba di sebuah mall. Mereka memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka belanja kebutuhan yang ingin dibeli.Seperti biasanya. Ketika sedang makan, Kevin tak akan mengeluarkan suaranya. Pun dengan Jasmine. Hanya melirik sekilas suaminya itu, lalu kembali fokus pada makanannya."Kalau mau nambah, pesan lagi aja. Jangan malu-malu. Saya suami kamu. Tidak perlu jaga image. Bahkan, suatu saat nanti saya bisa melihat keseluruh
"Jasmine. Sudah tiba di apotek." Kevin melepaskan genggamannya."Oh iya, Mas. Saya masuk dulu." Jasmine pun masuk ke dalam apotek. Beruntung, pria itu tidak mengikutinya ke dalam. Jadi, dia bisa membeli pil pengaman itu."Semoga tidak terjadi sesuatu padaku. Semoga Mas Kevin tidak mengetahui hal ini," gumamnya sambil menunggu pelayan tersebut mengambil pesanannya.Tiba di rumah. Perempuan itu segera masuk ke kamar. Sekalian meminum satu butir pil tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan panjang.Ia menyimpan pil tersebut di dalam tas kerjanya. Agar tidak ketahuan oleh Kevin. Perempuan itu benar-benar khawatir Kevin mengetahuinya, lalu marah padanya."Jasmine?" panggil Kevin kembali.Jasmine menoleh. Lalu, menutup tas tersebut dan menyimpannya di atas nakas. "Kenapa, Mas?" ucapnya sembari menghampiri Kevin.Pria itu menatap lembut wajah Jasmine. Menatapnya dengan teduh. Tidak ada raut datar, atau emosi. Lalu, tangan itu menarik tengkuk Jasmine.Meraup bibir itu dengan lembut. Hingga
Jasmine menelan saliva dengan pelan. Sungguh, ini bukan mau Jasmine. Bahkan, dia ingin memberikan keturunan kepada suaminya itu. Walau cinta itu belum hadir dalam diri Kevin, tapi dia sudah lebih mencintai suaminya itu.Jasmine terperangkap dalam pernikahan itu. Dia mencintai suaminya. Karena baginya, itu hal yang wajar. Hanya bisa menunggu sampai Kevin bisa membalas cintanya."Sa-saya ... kemarin malam saya bertemu dengan Mbak Desi di toilet. Dia mengancam saya untuk jangan pernah memberikan Mas Kevin keturunan. Cukup Arshi saja anak satu-satunya Mas Kevin," ucapnya lirih. Akhirnya, pertahanan dia untuk tidak menangis pun gugur. Air mata itu berlinang.Kevin memijat keningnya. "Desi? Kenapa dia melarang kamu untuk memberikan anak kepada saya? Bahkan, Arshi saja sangat senang jika diberi adik."Jasmine menggeleng pelan. Sambil terisak dan sesenggukan. "Mbak Desi ... mengancam akan membunuh keluarga saya, juga janin yang akan saya kandung nanti, Mas. Ma-maaf, Mas. Bukannya saya mau men
Tiba di kantor.Jasmine melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruang kerjanya. Di mana ia akan menjadi karyawan biasa jika sudah berada di lingkungan perusahaan. Bukan istri Kevin yang bisa seenaknya kerja, semaunya dia. Jasmine akan tetap profesional pada jabatan yang ia pegang."Jasmine. Pasti hari ini kamu tidak diantar oleh Pak Kevin. Karena aku lihat tadi dia ada di sekolah anaknya, sedang ngobrol sama mantan bininya juga," kata Dewi menghampiri Jasmine.Lantas perempuan itu menoleh dengan cepat ke arah Dewi. 'Lho. Bukannya Mas Kevin mau ke Bekasi. Kok malah ke sekolahnya Arshi. Merasa dibohogin nggak sih, aku?'"Ngobrol apa, Dew?" tanya Jasmine dengan pelan.Dewi mengendikan bahunya. "Nanti aku tanya ke tanteku. Kebetulan dia wali kelasnya si Arshi. Kan, aku lihat mereka karena abis nganterin tanteku."Jasmine tersenyum tipis. 'Semoga aja bukan membahas soal ancaman itu. Jangan sampai.' Jasmine tidak ingin Kevin memberi tahu Desi apalagi memperingati perempuan itu."Saranku,