Ucapan Kevin selalu berhasil membuat jantung Jasmine berirama dengan cepat. Selalu memberikan kode pada perempuan itu. Seolah Kevin akan menyentuhnya kelak. Sampai kapan, ia pun tak tahu.
'Kenapa harus menginginkan itu, jika tidak akan perasaan cinta untuk saya, Pak. Lebih baik kita bersandiwara saja. Saya lebih menyukai itu. Walau harus berakting setiap hari, seolah kita saling mencintai.' Jasmine berucap dalam hati.
Rasanya tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya, bercinta tanpa ada rasa cinta di dalamnya. Ia masih gadis, butuh pengalaman yang bisa membuatnya tertarik untuk melakukannya lagi.
Tapi, jika Kevin terus bersikap dingin padanya. Bahkan saat melakukan hubungan tersebut, sudah pasti Jasmine akan merasa sia-sia. Kesuciannya seperti direnggut dengan paksa oleh Kevin. Padahal, pria itu adalah suaminya.
Begitulah yang dipikirkan Jasmine. Hingga kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Pergi ke rumah lama milik Desi dan Kevin. Sebelum akhirnya Kevin memutuskan untuk berpisah. Lalu keluar dari rumah itu. Rumah yang kini ia tinggali, adalah rumah baru setelah satu tahun mereka bercerai.
"Mama Jasmine?" panggil Arshi kemudian. Memecah keheningan yang sempat terjadi.
"Heum. Kenapa, Sayang?" tanya Jasmine sambil mengusapi rambut Arshi.
"Mama sayang kan, sama Papa?"
Jasmine terdiam sejenak. Mata itu melirik Kevin yang sedang mengendarai mobil tersebut. Lalu, mengulas senyum kepada Arshi. "Sayang. Sama Arshi juga sayang. Kenapa memangnya?"
Arshi menggeleng. "Jangan sakiti Papa ya, Ma. Cukup Mama Desi aja yang udah nyakiti Papa."
Jasmine terhenyak. Anak kecil itu bahkan tahu, siapa yang sudah menoreh luka di dalam bahtera rumah tangga Kevin dan Desi. "Eeuh ... iya, Sayang. Mama tidak akan menyakiti Papa. Begitupun sebaliknya. Kami akan saling menjaga dan mencintai."
Arshi mengangguk dengan antusias. "Terima kasih, Mama. Jangan lupa kasih adik buat Arshi ya, Ma."
Jasmine mengatup bibirnya. 'Ayah dan anak kok bisa kompakan gini sih. Aku kan belum siap. Harus hamil dan menghadapi sikap dingin Pak Kevin. Yang ada stress aku,' ucapnya dalam hati.
Lalu, perempuan itu mengulum senyum. Mengusapi pucuk kepala Arshi. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Mengiyakan permintaan Arshi dan Kevin, belum bisa ia lakukan. Terlebih, ia teringat bisikan Desi padanya di acara pernikahan kemarin.
Melarang dirinya memberi keturunan pada Kevin. Dan maksud dari itu semua, Jasmine dibuat bingung oleh mantan istri suaminya itu.
'Hal apa saja yang akan menimpaku. Bisakah aku bertahan dengan ini semua?' Jasmine menghela napasnya dengan pelan.
Setibanya di kediaman Desi.
Mereka bertiga turun dari mobil. Arshi menggenggam tangan Kevin. Melangkahkan kakinya ke dalam rumah tersebut.
"Eeum … Arshi. Papa hanya bisa antar kamu sampai di sini aja. Soalnya Papa mau ke rumah Omma dan Oppa," kata Kevin setelah mereka tiba di depan pintu utama.
Sebenarnya pria itu malas jika harus bertemu dengan Desi atau Gemma. Melihat mereka berdua, selalu membuatnya teringat akan masa lalu yang pernah terjadi di dua tahun yang lalu.
"Oh, gitu ya, Pa. Ya udah kalau gitu. Arshi masuk ke dalam ya, Pa." Beruntung, anak kecil yang memiliki hati lembut itu selalu menurut. Sehingga tak perlu banyak alasan untuk Kevin, agar anaknya mau mengerti.
Pria itu mencium kening Arshi. "Papa pulang ya, Sayang. Nanti, kapan-kapan kita main bareng lagi."
"Iya, Papa. Hati-hati di jalan, yaa. Dadah Mama Jasmine. Jangan dibikin nangis ya, Papa Arshi."
Jasmine terkekeh dengan pelan. "Oke, Sayang. Nggak akan dibikin nangis kok, papanya. Janji." Jasmine memberikan kelingkingnya pada Arshi. Sehingga anak kecil itu membalasnya.
Lalu, Kevin dan Jasmine pergi dari rumah itu. Rumah lama, hadiah pernikahan Kevin dan Desi dari orang tua Kevin. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. Desi sudah menghancurkan semuanya.
Selama perjalanan menuju rumah orang tua Kevin, tak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Semua diam. Kevin, jangan ditanya. Dia memang pria dingin, yang hanya menjawab jika ada yang bertanya.
Demikian pula dengan Jasmine. Tidak mau salah berucap. Biarkan keheningan itu hadir di dalam mobil, selama perjalanan menuju kediaman orang tua Kevin.
Setengah jam berlalu.
Kevin dan Jasmine tiba di rumah orang tuanya. Pria itu tidak turun terlebih dahulu. Matanya menoleh ke arah Jasmine yang sedari tadi menunduk.
"Bersikaplah layaknya pengantin baru pada umumnya. Jangan sampai Mama atau Papa curiga terhadap kamu yang terlalu kaku ini," kata Kevin dengan datar.
Jasmine menganggukkan kepalanya. "Ba-baik, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin, agar terlihat mencintai Bapak."
Kevin menelan saliva dengan pelan. "Satu hal lagi. Jangan panggil saya dengan sebutan bapak. Baik di depan orang tua saya, maupun hanya kita berdua. Panggil saya Mas Kevin. Jangan bapak."
"Eeuh ... i-iya, Mas Kevin." Jasmine sangat tidak nyaman memanggil pria itu dengan sebutan 'Mas.' Tapi, harus ia lakukan. Mengingat, ia sudah berjanji akan mematuhi perintah suaminya itu.
"Satu lagi. Saya harap kamu tidak banyak gerak."
"Apa itu, Pa ... eeh, Mas?" tanya Jasmine. Jelas, perempuan itu ingin tahu, apa yang diinginkan suaminya itu."
Kevin mendekatkan wajahnya kepada Jasmine. Lalu, menarik ceruk leher perempuan itu. Mata Jasmine lantas membola dengan sempurna. Apa yang dilakukan Kevin benar-benar membuat tubuh Jasmine seketika menjadi kaku.
Kevin membuat tanda di leher perempuan itu. Apa maksud dari itu semua, Jasmine hanya bisa menunggu sampai Kevin mau menjelaskan untuknya. Hingga beberapa tanda di bagian leher sudah dicetak oleh Kevin. Pria itu mengusap leher Jasmine menggunakan tissue.
"Agar orang tua saya mengira kalau kita habis melakukan hubungan suami-istri," kata Kevin menjelaskan.
Sementara Jasmine hanya melongoh. Setelahnya, Kevin keluar dari mobil tersebut. Diikuti oleh Jasmine dengan wajah yang masih saja terkejut. Tangannya meraba lehernya. Namun, tangan Kevin tiba-tiba menyingkirkan tangannya dari leher jenjang itu.
"Jangan disentuh!" titah Kevin kemudian.
"I-iya, Mas." Jasmine menurut. Kemudian mengikuti langkah Kevin ke dalam rumah yang tak kalah megahnya dengan rumah yang ditempati Kevin saat ini.
"Halo, mantu Mama yang cantik dan baik hati. Selamat datang di kediaman kami. Rumah Mama adalah rumah kamu juga. Jadi, jangan sungkan untuk tinggal di sini, jika Kevin sedang pergi dinas luar." Ranti, mama Kevin yang menyambut dengan antusias kehadiran Jasmine.
Perempuan itu lantas menerbitkan senyumnya. "Iya, Ma. Terima kasih, karena sudah menerima saya dengan baik."
Ranti mengusapi lengan menantu barunya itu. "Sudah lama pacaran, tapi Kevin tidak pernah mengenalkan kamu pada Mama. Dia takut, Mama menolaknya katanya. Karena kamu berasal dari keluarga sederhana."
Ranti tersenyum miris. "Padahal, dari kalangan seperti itulah, tingkah laku manusia tidak akan semena-mena. Maaf, karena sudah menyinggung kesederhanaan. Kamu luar biasa. Karena sudah bisa membuka pintu hati Kevin. Akhirnya, bisa move on dari mantan istrinya itu."
Ranti sangat bersyukur, atas kehadiran Jasmine di hidup anaknya. Sementara Kevin hanya mengulas senyum. Pun dengan Jasmine. Hanya memberikan senyum kepada Ranti.
"Eeum, Jasmine. Kamu ... akan tetap kerja, atau di rumah saja?" tanya Ranti kemudian.
"Sepertinya tetap kerja saja, Ma. Setidaknya saya ada kegiatan, kalau memilih tetap kerja. Tapi, semuanya kembali lagi pada Mas Kevin. Mengizinkan atau tidak, saya bekerja."
Ranti manggut-manggut. "Bagaimana Kevin? Kalau menurut Mama sih, lebih baik biarkan istri kamu kerja. Belajar dari masa lalu kamu, Kevin." Ranti tak ingin anaknya mengalami gagal rumah tangga lagi. Sehingga ia meminta agar Kevin membiarkan Jasmine tetap memilih untuk bekerja.
Kevin terdiam sejenak. Lalu menoleh ke arah Jasmine dan menganggukkan kepalanya. "Ya sudah. Kalau kamu memilih untuk tetap bekerja, silakan. Tapi, jangan lupakan status kamu sekarang. Sudah menjadi seorang istri."
Jasmine mengangguk. "Iya, Mas. Saya tidak akan melupakan status saya."
Kevin mengusap pucuk rambut istrinya itu. Senyumnya mengembang. Dan, baru kali ini Jasmine diberikan senyum semanis itu oleh Kevin. Jelas sekali, jika Jasmine memang hanya akan baik di depan orang tuanya saja.
'Akting kamu bagus sekali, Pak Kevin. Sepertinya kamu sudah latihan tiga minggu sebelum kita menikah, yaa,' ucap Jasmine dalam hati.
"Oh, iyaa. Jasmine. Nanti, kalau sudah hamil, lebih baik istirahat di rumah saja, yaa. Mama rasa, kalian sangat menikmati malam pertama kalian," kata Ranti sembari menerbitkan senyum nakalnya.
Jasmine menelan saliva dengan susah payah. Ranti berhasil membuat Jasmine malu setengah mati. Sebab, saat Ranti berucap seperti itu, ia sembari memegang lehernya."Mama hanya bisa mendoakan agar kalian segera diberi momongan. Kasih adik untuk Arshi, cucu Mama satu-satunya."Karena Kevin memang anak tunggal. Menjadi pewaris tunggal perusahaan milik sang papa, Edward. Namun, banyaknya harta yang Kevin miliki, tidak bisa mengembalikan Kevin seperti dulu lagi.Menjadi dingin setelah perceraian dengan istri tercinta, tak ada satu pun orang yang bisa mencairkan hati Kevin yang sudah mengeras. Ranti hanya berharap kepada Jasmine, agar perempuan itu bisa mencairkan dinginnya sikap Kevin."Kalau begitu, kami pamit pulang. Sudah malam. Besok, sudah kembali kerja. Bulan madunya ditunda. Karena di kantor lagi banyak kerjaan," ucap Kevin. Padahal, dia memang tidak berniat pergi bulan madu dengan Jasmine.Setibanya di rumah. Waktu sudah menunjuk anga tujuh malam."Mas. Mau makan malam dengan apa?"
"Terima kasih.”“Justin. Sahabat pemilik perusahaan ini. Kevin Prakarsa." Justin mengenalkan diri pada Jasmine.Lalu, perempuan itu menerima jabatan tangan itu. "Jasmine." Dan ia tidak memberi tahu, jika dirinya adalah istrinya Kevin."Lagi apa di sini, Pak? Saya baru lihat soalnya.""Ingin memberi ucapan selamat ke Kevin. Karena akhirnya dia menikah. Kemarin, aku tidak bisa datang karena lagi di luar negeri."Jasmine manggut-manggut. "Begitu rupanya. Pak Kevinnya lagi di luar. Ada meeting katanya. Tunggu aja, Pak."Justin mengangguk. "Ya. Menunggu dengan perempuan cantik seperti kamu, tidak jadi masalah."Jasmine hanya mengulas senyumnya, sambil menggaruk rambutnya itu. 'Dewi dan Rani lama banget sih. Nyesel aku, nggak ikut aja sama mereka. Pak Kevin bakal marah nggak, yaa. Aahh ... mana mungkin. Apa hak dia marah-marah. Cemburu? Imposibble.'Namun, nyatanya. Di seberang sana. Andrian tengah menghubungi Kevin. Memberi tahu, jika Jasmine tengah berbincang dengan pria."Bilang pada Jus
Lagi, pria itu kembali menoreh luka di hati Jasmine. Hingga perempuan itu mengadahkan wajahnya. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Turun dengan derasnya."Sehina itu, saya di mata Mas Kevin? Harus banget, mengatai saya dengan sebutan murahan?" ucapnya sembari mengusap air mata di pipinya."Karena kamu sudah membuat saya marah, Jasmine. Jangan ulangi lagi! Kamu tidak tahu, bagaimana perasaan saya saat melihat kamu ngobrol dengan laki-laki lain."Kevin keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan banyak luka kepada Jasmine.Braakk!Kevin menutup pintu dengan kasar. Sehingga Jasmine yang ada di dalam terperanjat kaget."Astagfirullah. Kuatkan hati hamba, ya Allah," lirih Jasmine sambil memegang dadanya.Terasa sesak karena ucapan menohok yang dilontarkan oleh Kevin padanya. Usia pernikahan yang belum ada satu minggu itu sudah berhasil menoreh luka di hati Jasmine."Gimana kalau pernikahan ini udah satu bulan. Mungkin tubuhku akan kurus kering, karena harus bersabar dan terus bersab
Bertepatan dengan lampu lalu lintas berwarna merah, Jasmine bertanya tentang hati pada suaminya itu. Kevin memandang lama perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu. Lalu, mengulas senyumnya sembari menunduk.Kembali menatap Jasmine. "Ruang di hati saya? Sudah dua tahun ini ruang hati saya kosong. Jadi, ada lowongan untuk kamu bisa masuk ke dalamnya. Berusahalah. Agar bisa menjadi wanita satu-satunya yang ada di dalam hati saya."Jasmine terdiam. Ia menyimpulkan jika Kevin belum mencintainya. Belum menyimpan namanya di hati pria itu.Hingga tiba di sebuah mall. Mereka memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka belanja kebutuhan yang ingin dibeli.Seperti biasanya. Ketika sedang makan, Kevin tak akan mengeluarkan suaranya. Pun dengan Jasmine. Hanya melirik sekilas suaminya itu, lalu kembali fokus pada makanannya."Kalau mau nambah, pesan lagi aja. Jangan malu-malu. Saya suami kamu. Tidak perlu jaga image. Bahkan, suatu saat nanti saya bisa melihat keseluruh
"Jasmine. Sudah tiba di apotek." Kevin melepaskan genggamannya."Oh iya, Mas. Saya masuk dulu." Jasmine pun masuk ke dalam apotek. Beruntung, pria itu tidak mengikutinya ke dalam. Jadi, dia bisa membeli pil pengaman itu."Semoga tidak terjadi sesuatu padaku. Semoga Mas Kevin tidak mengetahui hal ini," gumamnya sambil menunggu pelayan tersebut mengambil pesanannya.Tiba di rumah. Perempuan itu segera masuk ke kamar. Sekalian meminum satu butir pil tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan panjang.Ia menyimpan pil tersebut di dalam tas kerjanya. Agar tidak ketahuan oleh Kevin. Perempuan itu benar-benar khawatir Kevin mengetahuinya, lalu marah padanya."Jasmine?" panggil Kevin kembali.Jasmine menoleh. Lalu, menutup tas tersebut dan menyimpannya di atas nakas. "Kenapa, Mas?" ucapnya sembari menghampiri Kevin.Pria itu menatap lembut wajah Jasmine. Menatapnya dengan teduh. Tidak ada raut datar, atau emosi. Lalu, tangan itu menarik tengkuk Jasmine.Meraup bibir itu dengan lembut. Hingga
Jasmine menelan saliva dengan pelan. Sungguh, ini bukan mau Jasmine. Bahkan, dia ingin memberikan keturunan kepada suaminya itu. Walau cinta itu belum hadir dalam diri Kevin, tapi dia sudah lebih mencintai suaminya itu.Jasmine terperangkap dalam pernikahan itu. Dia mencintai suaminya. Karena baginya, itu hal yang wajar. Hanya bisa menunggu sampai Kevin bisa membalas cintanya."Sa-saya ... kemarin malam saya bertemu dengan Mbak Desi di toilet. Dia mengancam saya untuk jangan pernah memberikan Mas Kevin keturunan. Cukup Arshi saja anak satu-satunya Mas Kevin," ucapnya lirih. Akhirnya, pertahanan dia untuk tidak menangis pun gugur. Air mata itu berlinang.Kevin memijat keningnya. "Desi? Kenapa dia melarang kamu untuk memberikan anak kepada saya? Bahkan, Arshi saja sangat senang jika diberi adik."Jasmine menggeleng pelan. Sambil terisak dan sesenggukan. "Mbak Desi ... mengancam akan membunuh keluarga saya, juga janin yang akan saya kandung nanti, Mas. Ma-maaf, Mas. Bukannya saya mau men
Tiba di kantor.Jasmine melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruang kerjanya. Di mana ia akan menjadi karyawan biasa jika sudah berada di lingkungan perusahaan. Bukan istri Kevin yang bisa seenaknya kerja, semaunya dia. Jasmine akan tetap profesional pada jabatan yang ia pegang."Jasmine. Pasti hari ini kamu tidak diantar oleh Pak Kevin. Karena aku lihat tadi dia ada di sekolah anaknya, sedang ngobrol sama mantan bininya juga," kata Dewi menghampiri Jasmine.Lantas perempuan itu menoleh dengan cepat ke arah Dewi. 'Lho. Bukannya Mas Kevin mau ke Bekasi. Kok malah ke sekolahnya Arshi. Merasa dibohogin nggak sih, aku?'"Ngobrol apa, Dew?" tanya Jasmine dengan pelan.Dewi mengendikan bahunya. "Nanti aku tanya ke tanteku. Kebetulan dia wali kelasnya si Arshi. Kan, aku lihat mereka karena abis nganterin tanteku."Jasmine tersenyum tipis. 'Semoga aja bukan membahas soal ancaman itu. Jangan sampai.' Jasmine tidak ingin Kevin memberi tahu Desi apalagi memperingati perempuan itu."Saranku,
'Nggak apa-apa kali, yaa. Kalau perempuan duluan yang ngomong. Nggak ada salahnya, kan. Dari mana salahnya coba. Hanya harga diri aja kali, yang agak merosot.' Jasmine mengendikan bahunya.'Dari awal aku menikah dengan dia saja, harga diriku sudah jatuh. Menikah karena dibeli.' Jasmine menghela napasnya dengan panjang.Saat pintu itu dibuka. Langkah Jasmine berhenti. Seketika kakinya menjadi kaku, tak dapat bergerak. Mematung di ambang pintu."Mb-Mbak Desi?" ucapnya terbata-bata.Desi beranjak dari duduknya. Menghampiri Jasmine yang masih berdiri di ambang pintu. "Mau apa kamu ke sini?" tanyanya tanpa dosa.Jasmine mengerutkan keningnya. "Sa-saya? Saya diminta Mas Kevin menunggunya di sini, Mbak."'Kenapa dia yang nanya kayak gitu ke aku. Jelas aku istrinya. Wajar kan, kalau aku ke sini.' Jasmine menggaruk rambutnya.Tak lama setelahnya, Kevin datang. Matanya menatap datar Desi yang berdiri di hadapan Jasmine."Ada apa?" tanya Kevin datar.Desi melirik Kevin sebentar. Setelahnya menat