Pagi hari …. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Mata Indi masih tertutup rapat, belum ingin bangun dari tidurnya. Sementara Damian sudah membuka matanya dan kini tengah memandang indah wajah Indi yang begitu damai dan tenang. Lalu mengusapi lembut sisian wajah sang istri dengan pelan dengan bibir tersenyum manis. Mungkin sudah menjadi bagian dari kebiasaannya menatap wajah Indi seperti itu setelah keduanya mengikat janji suci.“Euuh ….” Indi menggeliat pelan kemudian membuka matanya. Menatap sang suami yang sudah bangun kemudian mengerutkan dahi. “Ngapain kamu lihatin aku kayak gitu?” tanya Indi kemudian duduk menyender di sandaran tempat tidur. “Sudah pagi. Bangun dan mandi. Sarapan mungkin sudah disiapkan ART. Sekalian ….” Damian mengedipkan sebelah matanya dengan senyum nakal menggoda Indi. “Apaan?” tanya Indi ketus. Kemudian menyibakkan selimutnya dan bangun dari tidurnya. “Sayang. Nggak boleh menolak keinginan suami. Yuk!” ajak Damian kemudian ikut beranjak dari tempat t
Damian tidak menjawab. Hanya menatap wajah istrinya dengan santai. Sembari mengenakan pakaian kemejanya, Damian menghela napasnya dengan pelan. Sementara Indi masih berdiri di belakangnya yang masih mengenakan handuk melilit di tubuhnya. Indi kemudian menghela napas kasar dan mengambil bajunya di dalam lemari. Lalu mengenakannya sembari melirik Damian yang sedari tadi hanya diam, tidak memberi tahu pesan apa yang dikirim oleh Rangga di ponselnya. “Sudah jam delapan. Kita sarapan dulu, habis itu ke kantor.” Damian berucap sembari mengenakan dasinya. “Pesan yang dikirim oleh Rangga?” kata Damian akhirnya membahas hal itu. Indi menoleh pelan ke arah sang suami. Hanya menatapnya tidak berkata apa pun. Damian kemudian melangkahkan kakinya satu langkah lalu mengulas senyumnya. “Dia … belum tahu kalau kamu sudah menikah?” tanya Damian kemudian. Indi mengangguk pelan. “Belum. Setelah Papa meminta aku menikah dengan kamu, udah nggak pernah saling tukar kabar lagi. Makanya aku heran, kena
Damian mengusap batang hidungnya saat mendengar pertanyaan dari istrinya itu. Ia hanya menatap sang istri yang tengah menunggu jawaban atas pertanyaan yang sudah dia tanyakan kepada Damian. “Damian, jawab.” Indi akhirnya mebuka suara. Damian menghela napasnya. “Aku udah pernah kasih tahu kamu kayaknya. Kami dijodohkan juga, Sayang. Aku nggak pernah dapat jodoh dari hubungan yang aku jalani, Indi. Meskipun untuk yang kedua ini karena aku sendiri yang meminta Papa agar mau menjodohkan aku dengan kamu. Kebetulan papa kita sahabatan sejak lama. “Akhirnya aku meminta Papa untuk menjodohkan aku dan meminta papa kamu agar mau memberi tahu kamu. Meskipun aku harus berjuang dulu agar kamu bisa mencintai aku. Tapi, nggak masalah. Nanti juga kamu cinta sama aku.”Pintu lift terbuka. Keduanya lantas keluar dari sana dan melangkahkan kakinya, menghampiri para pegawai yang sudah berdiri menyambut mereka. “Aku dan Rachel bertemu karena papa aku berteman baik juga dengan keluarga Rachel,” ucap Da
Indi lantas menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah sahabatnya itu. “Jangan bawa-bawa penyakit bokap gue, Manda. Gue nikah sama Damian karena ingin menjaga jantung Papa supaya sehat lagi. Karena kalau gue menolaknya sementara si Rangga kampret itu gak jadi nikahin gue, gak ada alasan untuk menolaknya.” Indi kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Gue nggak punya siapa-siapa lagi selain Papa,” ucapnya dengan lesu. Manda lantas mengusapi bahu sahabatnya itu. “Ada Damian yang akan menemani elo. Pengganti bokap elo yang nggak bisa menemani elo selamanya. Karena Om Wijaya nikahin elo sama Damian, itu karena dia nggak bisa selalu ada di samping elo.” Indi menoleh pelan kepada Manda. “Iya, Manda. Gimana, gaun buat kakak elo? Kapan meeting sama mereka? Atau, gue buatkan desain-nya dulu? Perdana ini, Manda. Dan selalu … clien dari elo.” Indi mengerucutkan bibirnya. “Kayaknya gue emang nggak bakat nyari pelanggan,” ucapnya putus asa. “Karena elo ditakdirkan jadi nyonya besar. Bukan des
“Heuh?” Indi pura-pura tak paham akan pertanyaan suaminya itu. Damian lantas menaikkan kedua alisnya seraya menatap sang istri. “Ada kamar pribadi, di sini?” tanyanya kembali. Indi menelengkan kepalanya menatap Damian yang bisa-bisanya menanyakan apakah di sana ada kamar pribadi atau tidak. Ia kemudian melipat tangan di dadanya lalu menghela napasnya dengan pelan. “Terus, kalau ada … kamu mau ngapain?” tanyanya datar. Damian mengendikan bahunya. “Apa lagi kalau bukan bercinta?” Indi memutar bola matanya dengan pelan. “Di sini? Damian ….” Perempuan itu mengembungkan pipinya seraya menatap malas ke arah Damian. “Daripada di sini, nanti baju-baju kamu kotor akibat ulah kita. Lebih baik di kamar, kan?” kata Damian sembari menerbitkan senyumnya kepada istrinya itu. “Emangnya nggak bisa ditahan sampai pulang ke rumah?” tanya Indi lagi. Damian menggeleng pelan. “Mau mencoba wahana baru lagi. Aku suka mengeksplor tempat yang bisa kita gunakan. Agar tidak monoton. Supaya kamu nggak bos
Damian mengambilnya kemudian menatapnya tak percaya. Memicingkan matanya sembari memutar-mutar botol tersebut lalu menghela napasnya dengan pelan. “Nggak di rumah, nggak di sini. Kenapa banyak sekali barang menyebalkan yang Indi simpan.” Damian geleng-geleng kepala dengan pelan lalu menyimpannya kembali. Tak lama setelahnya, Indi keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Lalu menghampiri Damian yang masih bertelanjang, berdiri di depan kulkas. “Ngapain kamu berdiri di situ? Lagi jadi model kulkas apa gimana?” tanya Indi datar. Damian menghela napasnya kembali seraya menatap sang istri dengan tatapan kesalnya. “Kenapa kamu stok beer banyak banget di sini? Mau kerja apa mau mabuk, Indi? Bisa-bisanya ada belasan beer di dalam lemari es kamu. Apa-apaan kamu, Indi?” tanya Damian memarahi Indi karena sudah menyimpan belasan botol beer di dalam sana. Indi menggigit bibir bawahnya mencari alasan yang logis. Kemudian menatap sang suami setelah mendapat ide
Damian menghela napasnya seraya menatap Indi yang tengah menunggu jawaban darinya. Ia lalu mengulas senyum dan menggenggam kedua tangan perempuan itu. “Mungkin kamu adalah jawaban doaku. Makanya aku sangat mencintai kamu. Tentunya bukan karena hormon kamu itu, bukan. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu meskipun ada rasa takut dalam diri aku karena takut kamu main dengan laki-laki lain.” Damian kemudian melajukan mobilnya setelah menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh istrinya. Sementara Indi hanya menatap Damian, tidak merespon apa pun dan kini ia tahu kalau Damian memang benar-benar mencintainya. Ia kemudian menghela napasnya dengan pelan seraya menetralisir rasa mabuk akibat minum beer satu botol itu.Kepalanya masih pening hingga tidak dapat melihat wajah Damian dengan jelas. Kunang-kunang dan itu membuat Indi tidak nyaman. Ia lantas memilih untuk menutup matanya saja. Tidur di dalam mobil seraya menunggu sampai ke rumah mereka.Damian menelan salivanya kala melihat wajah
Indi mengedip-ngedipkan matanya mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Damian. Kemudian tersenyum miris seraya mengambil botol alkohol tersebut dan membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di sana. “Ternyata gue yang jadi beban pikiran dia. Elo udah tahu Damian, elo udah tahu kalau sifat dan sikap gue kayak gini dari dulu. Elo sendiri yang milih gue jadi istri elo. Kenapa sekarang malah mengeluhkan prilaku gue?”Indi memutar bola matanya kemudian memilih untuk meninggalkan Damian seorang diri yang masih teler. Tidak mau mendengar semua ocehannya lagi sebab hanya akan membuatnya sakit hati dan semakin kesal kepada suaminya itu. “Pak. Pindahkan Damian ke kamar yang ada di atas. Orangnya lagi mabuk.” Indi menghubungi security untuk memindahkan Damian ke kamar. “Baik, Bu!” Indi kemudian merebahkan tubuhnya seraya menatap langit-langit di kamarnya. Lalu mengembungkan pipinya dan menghela napasnya dengan pelan. Ucapan itu masih terngiang-ngiang di telinga Indi. Sangat menyakitkan dan t