Beverley merasa jiwanya seolah jatuh ke dasar jurang. Emma memang sudah memberi tahu tentang pernikahan ini sebelumnya. Namun, dia pikir masih ada waktu untuk berdiskusi lebih lanjut. Ternyata wanita itu sudah menentukannya jauh-jauh hari.
Apa yang harus Beverley lakukan sekarang? Dadanya menjadi sakit. Kenapa Emma bisa melakukan ini? Tidakkah wanita itu mempertimbangkan sedikit saja tentang perasaannya?
"Bev ...." Katy tidak tahu harus mengatakan apa. Dia mengusap punggung Beverley dengan lembut, berharap bisa sedikit menenangkannya.
"Aku harus menemui Emma," ucap Beverley tiba-tiba. Tatapannya menjadi dingin. Kertas undangan beserta sebuah surat lipat yang belum dibaca itu segera dia genggam. Dia menegakkan punggungnya dan mencoba menguatkan tekadnya.
"Aku akan mengantarmu." Katy mengambil kunci mobilnya lalu mereka berdua pun keluar dari ruangan kantor kafe yang kecil itu. Katy meninggalkan beberapa pesan pada kasir kafe sebelum melangkah pergi.
Kafe milik Katy ini berjarak cukup jauh dari rumah ayah Beverley. Selama ini Beverley bekerja sebagai manager di kafe ini dan tinggal di kondominium yang berada tak jauh dari kafe itu.
Mobil terus bergerak menampilkan bayangan-bayangan bangunan di sisi jalan. Beverley melihat ke luar jendela dengan perasaan gusar. Hanya tersisa satu malam lagi baginya untuk menyandang status lajang. Jika dia hanya diam, mungkin besok statusnya sudah berubah menjadi seorang istri.
Istri pria asing.
Beverley mengusap wajahnya dengan kasar. Tanpa dia sadari mereka sudah tiba di depan rumah tiga lantai yang cukup mewah. Kemarahannya melonjak ketika melihat rumah itu.
Kenapa Emma tidak menjual rumah itu untuk membayar utangnya dan menyisakan sedikit uang itu untuk membeli rumah yang lebih sederhana?
Dia segera turun dari mobil dan berlari cepat ke rumah. Cengkeramannya pada suat undangan itu menjadi lebih kuat. "Emma!" Dia menekan bel rumah beberapa kali.
"Tenang sedikit, Bev," ucap Katy lirih.
"Bagaimana aku bisa tenang? Katy, dia memperlakukan aku dengan semena-mena!" seru Beverley, matanya sudah memerah.
Beberapa saat kemudian akhirnya pintu yang tertutup itu terbuka. Orang yang muncul di sana bukan Emma, melainkan wanita paruh baya yang mengenakan seragam seorang pelayan. "Nona?"
"Bibi Jane, di mana Emma?" tanya Beverley tepat pada intinya.
"Sejak dia pergi siang ini, nyonya sama sekali belum pulang," balas Bibi Jane yang membuat Beverley mengerang frustrasi. Ke mana wanita itu pergi?
"Bev, mungkin kau bisa menemui ayahmu sambil menunggu Emma pulang," kata Katy.
Akhirnya Beverley mengangguk pelan. Mereka berdua melangkah masuk. Rumah yang cukup besar itu terasa sangat dingin. Tidak ada kehangatan sama sekali, seolah-olah tidak ada orang yang menempati.
"Bibi Jane, apa Emma selalu pergi seperti ini?" Beverley menatap pelayan rumah itu dengan serius.
"Pada siang hari nyonya selalu di rumah. Namun, di malam hari kadang-kadang dia akan pergi ke luar."
Beverley hanya bisa menghela napas. Setelah itu, dia pergi menemui ayahnya yang terbaring di kamar. Pria itu terlihat semakin tua dan kurus. Salah satu sisi wajahnya sudah menurun.
"Dad ...." Beverley menampilkan senyum lebar seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Dia memeluk ayahnya yang menatapnya dalam diam. Ada sorot kebingungan di wajah tua itu.
"Kau pasti heran kenapa aku pulang secepat ini. Jadwal kepulanganku seharusnya Senin, tapi aku sangat merindukanmu," bisiknya sambil menggenggam tangan James. Pria itu tampak ingin bicara, tetapi kondisinya yang seperti ini membuatnya kesulitan.
"Dad, aku datang ke sini hanya sebentar. Ada Katy juga di luar. Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan ...." Kalimatnya langsung terhenti ketika dia mendengar suara beberapa mobil yang berhenti di depan rumah. Apakah Emma akhirnya kembali?
Beverley menoleh ke luar jendela. Hari sudah mulai gelap, ini memang sudah senja. Dia bangkit dan melangkah mendekati jendela. Mobil Emma memang ada di sana, tetapi ada mobil lain juga yang berhenti di depan rumah.
"Dad, aku akan menemui Emma sebentar. Aku mencintaimu, Dad." Dia mencium pipi James. Setelah itu dia melangkah pergi meninggalkan kamar.
Beverley berlari menuruni tangga. Ketika dia sampai di lantai bawah, Emma melangkah masuk ke rumah diikuti oleh beberapa pria bepakaian hitam. Siapa orang-orang itu?
"Bagus! Jadi benar kau ada di sini," ucap Emma sambil menatap Beverley.
"Apa ini?" Beverley mengangkat undangan kuning gading di tangannya. "Apa kau sudah gila?! Sejak kapan kau merencanakan ini?!"
"Sayang, aku melakukan yang terbaik untuk menjaga keluarga kita. Maaf jika aku membuatmu kecewa," sesal Emma. Tentu saja itu hanya akting. Kenyataannya dia sama sekali tidak merasa iba atau kasihan pada Beverley.
"Berhenti mengatakan itu. Kau sangat menjijikkan!"
"Kau bisa menyebutku menjijikkan atau apa pun, tetapi akan lebih baik jika kau berkemas sekarang. Bawahan Tuan Oliver sudah di sini dan mereka mungkin tidak akan sabar menunggu lebih lama. Benar, bukan?" Emma bertanya pada pria-pria berpakaian hitam itu. Mereka pun mengangguk dengan wajah datar.
Akhirnya Beverley mengerti. Jadi, orang-orang itu ingin membawanya sekarang. Membawanya secara paksa ke rumah keluarga Oliver untuk dinikahkan besok. Apa-apaan mereka ini!
Beverley membuka mulutnya, tetapi tidak ada satu kalimat pun yang keluar. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya terlalu mengejutkan dan membuat hatinya terguncang.
"Emma, bukankah seharusnya kau mempertimbangkan masalah ini terlebih dahulu?" Katy yang sejak tadi diam akhirnya mulai bersuara. Dia tidak tahan lagi melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu.
Emma tersenyum manis. "Hai, Katy. Aku adalah ibunya. Jadi, aku tahu apa yang terbaik untuknya," ucapnya dengan santai.
"Tapi itu bukan yang terbaik! Aku tidak mau!" geram Beverley dengan marah. Dia langsung merobek sudat undangan kuning gading itu. "Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau menikah!"
Sebuah kertas lain yang masih terlipat akhirnya jatuh ke lantai. Emma yang melihat ini segera mengambil itu. Dengan cepat dia membukanya dan membaca apa yang tertulis di sana. Eksresinya berubah menjadi lebih cerah.
"Lihat, kau harus membaca surat ini, Bev."
Beverley segera merebut surat itu dan merobeknya tanpa membaca terlebih dahulu. Dia muak, muak dengan segala hal yang terjadi. Rasanya dia ingin menghilang dari tempat ini. Namun, dia tahu, itu tidak mungkin terjadi.
"Bodoh!" Emma menjadi marah. "Kau akan bersiap sekarang atau mereka akan menyeretmu pergi?!"
"Aku tidak akan pergi dengan mereka!" pekik Beverley dengan keras. Matanya menjadi merah. Napasnya naik-turun tidak menentu.
"Katy, ayo pergi dari sini!" Dia langsung menarik tangan Katy dan melangkah menuju pintu keluar.
Namun, bagaimana mungkin pria-pria berpakaian hitam itu akan membiarkannya? Mereka segera mengejar. Salah satu dari mereka bergerak mencengkeram tangan Beverley dengan kuat dan menyeretnya menjauh dari Katy. Beberapa yang lain menghadangnya dan menjauhkan Katy darinya.
"Nona, kami bisa melakukannya dengan kasar jika Anda bersikap sulit," ucap pria yang mencengkeram tangannya.
Beverley menggertakkan giginya. Kedua matanya langsung memelotot. "Lepaskan tanganku!"
Pria berpakaian hitam itu saling bertukar pandang dengan rekan-rekannya. Mereka tampak sedang membuat kesepakatan. Sesaat setelah itu tiba-tiba mereka menyeret Beverley keluar dari rumah dan mendorongnya dengan paksa ke dalam mobil.
"Lepaskan aku, bajingan!" Beverley mencoba berteriak keras. Dia meronta dan berjuang untuk melepaskan diri. Sayangnya usahanya sia-sia. Dia ditahan oleh dua pria berbadan besar. Kekuatannya jelas kalah jauh.
Kedua mata Beverley memanas. Dalam keputusasaan itu, dia hanya bisa menjerit dan berharap pertolongan seseorang. Sayangnya dunia terlalu buta. Tidak ada yang datang menolongnya.
Brent dan rekan-rekannya berhasil mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Natalie dalam waktu tiga hari yang singkat. Mereka menyerahkannya kepada pihak kepolisian hingga akhirnya penangkapan pun dilakukan.Beverley ikut dalam penangkapan itu. Pada awalnya Brent melarangnya, tapi dia bersikeras ingin ikut. Dia ingin melihat apakah Natalie akan mengakui kejahatannya.“Dia memiliki niat untuk mencelakaimu, Sayang,” ucap Brent saat mobil yang mereka tumpangi sampai di apartemen Natalie. Dia menatap istrinya itu dengan lembut. “Jangan sampai dia melakukannya lagi.”“Jangan khawatir, Brent. Dia tidak akan melakukannya karena kita datang bersama petugas polisi.”Brent akhirnya mencium keningnya dengan penuh cinta. “Baiklah. Ayo turun.” Dia membuka pintu lalu menuntun Beverley keluar dari mobil.Beverley tertawa kecil. Sejak mengetahui kehamilannya, sikap Brent menjadi lebih lembut padanya. Pria itu juga akan mengabulkan apa pun keinginannya. Dia begitu manis dan penuh kasih sayang.Para petugas
Kematian Chris merupakan pukulan berat untuk Brent dan Michael. Chris telah banyak merugikan mereka dan menyebabkan banyak masalah untuk keluarga. Namun, mereka sama sekali tidak menginginkan kematiannya.Berhari-hari setelah proses pemakaman dilakukan, Brent menjadi sangat sibuk. Dia berjuang untuk menyelidiki siapa yang telah mendalangi kecelakaan itu. Pihak kepolisian melakukan penyelidikan, tapi dia tidak bisa hanya mengandalkan mereka.Karena masalah itu, waktunya untuk Beverley juga berkurang banyak. Wanita itu memakluminya. Namun, dia menjadi penasaran seserius apa masalahnya.Hampir tengah malam, Brent belum naik ke kamar tidur padahal dia sudah pulang dari kantor. Beverley menuruni tangga dengan hati-hati. Tidak ada seorang pun yang terlihat di mansion itu. Para pelayan sudah beristirahat.Dia mengintip ke luar halaman dan melihat mobil Ryan parkir di sana. ‘Mereka masih ada di sini,’ batin Beverley.Dengan hati-hati dia melangkah mendekati ruang baca yang jarang digunakan. I
Air mata menetes di wajah Brent. Dia langsung berbalik lalu memeluk Beverley. Tubuhnya gemetar dan dia menangis dalam diam.Beverley memeluk pria itu dengan erat. Dia mengerti kesedihannya. Brent biasanya terlihat begitu membenci Chris. Namun, pria itu selalu melindunginya.Semarah apa pun Brent, dia tidak pernah bertindak kejam atau terlalu jauh pada Chris. Ancaman-ancaman yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata yang tidak sungguh-sungguh dia lakukan. Pria itu diam-diam selalu menyayangi saudaranya. Atau dia tidak pernah menyadarinya.“Aku tidak buru-buru untuk berdamai dengan dia. Kupikir … masih ada banyak waktu yang tersisa,” bisik Brent dengan mata terpejam.“Seharusnya aku tidak pergi ke New York. Itu pastilah tanda-tandanya," gumamnya.Beverley mengusap punggung Brent dengan lembut. Telapak tangannya merasakan jejak kain melintang di punggungnya. Keningnya berkerut dalam. Apakah yang Chris katakan benar? Dia mencoba mengesampingkan hal itu sementara.“Brent, bahkan jika kau t
Tubuh Chris tergeletak di tengah jalan. Darah segar mengalir dari kepalanya. Wajahnya bersimbah darah. Dia berdiam dan tak bergerak.Beverley gemetaran melihat apa yang baru saja terjadi. Wajahnya pucat pasi. “Tidak. Tidak. Chris, apa kau baik-baik saja?!”Dia mencoba berdiri, tapi kakinya sakit dan lemah. Perut dan kepalanya juga sakit. Dengan panik dia merangkak mendekati pria itu.Chris tersedak dan kehabisan napas. Beverley langsung menangis setelah melihat betapa buruknya kondisinya. Dia segera memegang tangannya.“Chris, aku akan memanggil bantuan. Tolong bertahanlah,” pintanya dengan suara bergetar. Dia segera mengambil ponselnya tapi Chris mencengkeram tangannya.“Beverley ….” Chris memanggilnya dengan lemah.“Jangan katakan sesuatu dulu, kumohon.” Beverley sambil menangis mencoba mengendalikan tangannya yang gemetar. Dia menekan nomor 911 dengan panik.“Maafkan aku … Bev,” bisik Chris dengan susah payah. Dia merasa tubuhnya melayang semakin tinggi. Dadanya sesak. Rasa sakit m
Upacara pemakaman untuk Emma dilakukan dengan cepat. James dan Beverley sepakat untuk membuat semuanya sederhana dan tidak mencolok. Mereka juga tidak mengundang banyak orang.Pemakaman itu dilakukan sehari kemudian. Beverley berdiri di belakang ayahnya yang berjongkok di dekat batu nisan. Upacara pemakaman itu sudah selesai. Orang-orang yang datang sebagian sudah pergi.Michael menghampiri Beverley. Pria tua itu menepuk pundaknya dan berbisik, “Brent seharusnya akan segera tiba di LA. Anak itu benar-benar ….”Beverley menggeleng dan tersenyum. “Dia mengalami beberapa kendala yang membuatnya tertunda. Tidak apa-apa. Lagi pula dia berada di negara bagian lain. Perjalanan pulang akan memakan waktu berjam-jam.”Kemarin Brent bilang akan segera pulang setelah rapat selesai. Namun, pria itu mengaku menemukan masalah serius yang mustahil untuk ditinggalkan. Akhirnya dia baru bisa kembali hari ini.“Aku senang karena kau memakluminya. Setelah Brent tiba di mansion nanti, aku akan langsung me
Keesokan harinya, sesuatu yang mengejutkan tiba-tiba terjadi. Pagi itu Beverley baru sampai di kafe Katy. Ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari James.“Sangat jarang James meneleponku,” gumamnya. Dia segera menjawab telepon itu. “Halo, Ayah.”Suara tangisan James tiba-tiba memasuki telinga Beverley. Pria itu tidak mengatakan apa-apa dan itu membuatnya khawatir. “Ayah, ada apa? Kenapa kau menangis?”James terisak. “Emma ….”“Kenapa dengan Emma?” Beverley segera berdiri dari kursi. Perasaannya menjadi tidak tenang. Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?“Dia mengonsumsi begitu banyak obat-obatan terlarang. Dia overdosis, Bev,” bisik James dengan suara lemah.Beverley menggeleng tidak percaya. “Bagaimana … bagaimana mungkin?”Suara isak tangis James kembali terdengar bersama dengan suara keributan beberapa orang. Ada banyak orang di tempat di mana pria itu berada. Dan itu semakin membuat Beverley khwatir.“Ayah, di mana Ayah sekarang? Aku akan segera ke sana.”“Datanglah ke rumah,