Share

7

Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?

***

Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.

Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam.

"Tha"

"Tha"

Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat.

"ARTHA SAULINA!"

Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu bahkan tak menyadari orang yang duduk disebelahnya.

"Ehh ... Na-ngu-da," Artha terbata karena sudah ketahuan melamun. "Sejak kapan Nanguda disini?" Tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Entah gatal atau tidak, yang pasti baru kemarin sore dia keramas dan pakai coditioner p*ntene.

"Akhir-akhir ini kamu sering melamun, lagi mikiran apa?" tanya seseorang itu yang dipanggil Artha dengan Nanguda.

Inang uda atau sering disingkat Nanguda yang artinya:

Panggilan  suku Batak toba terhadap istri dari adik laki-laki ayah atau panggilan terhadap istri dari orang yang semarga yang urutan keturunannya setingkat dengan ayah tetapi lebih tua dari ayah.

Adapun Amang uda atau Bapa uda sering disingkat Uda adalah panggilan suku Batak Toba terhadap adik laki-laki dari ayah, panggilan terhadap laki-laki yang semarga dengan ayah yang urutan keturunannya setingkat dengan ayah tetapi lebih tua darinya, atau panggilan kepada suami dari adik perempuan ibu atau juga panggilan kepada suami dari inang uda.

"Kapan Uda pulang Nanguda?" Ahh si Artha ini bukannya menjawab pertanyaan malah bertanya lagi. Mau mengelak, tidak semudah itu kawan.

"Baru aja kemarin Udamu berangkat, sudah kau tanya kapan pulang. Nangudamu ini sudah biasa ditinggal Udamu selama berbulan-bulan. Nggak usah kau mengalihkan pertanyaanku tadi, kita sudah berteman lama. Apa yang kau pikirkan, hmm?" Goda Nanguda Artha yang bernama Lisa.

Jika sudah seperti ini Artha tidak bisa lagi mencari-cari alasan. Artha dan Lisa sudah berteman sejak kecil. Pertemuan pertama mereka saat Artha datang ke desa itu saat usianya 5 tahun. Artha tidak mau ikut dengan ayahnya yang dipindah tugaskan ke Papua. Dia memilih tinggal di desa bersama oppungnya.

Artha kecil yang pemalu dan pasti tidak bisa berbahasa daerah tidak memiliki teman. Karena di desa ini anak-anak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa mereka sehari-hari. Jadilah Lisa yang pertama sekali mengajaknya bermain. Mereka tidak berbicara hanya menggunakan bahasa isyarat. 

Sempat Artha berpikir jika Lisa saat itu tidak bisa berbicara. Begitupun Lisa berpikiran yang sama dengan Artha. Lisa memberanikan dirinya untuk mengenalkan dirinya.

"Lisa, Goarhu Lisa. Ise goarmu?" (Namaku Lisa, siapa namamu?) Sapa Lisa malu-malu.

Seakan mengerti akan ucapan lawan bicaranya. Artha pun melakukan hal yang sama dengan menjulurkan tangannya.

"Artha, Artha Saulina." Mereka saling berjabat tangan.

Dan tanpa Artha duga, anak-anak lainnya pun ikut menjabat tangan Artha dan memperkenalkan diri mereka masing-masing. Ada sekitar 10 anak yang mengekor dibelakang Lisa, mereka begitu senang mendapat teman baru.

Mulai sejak itu Artha, Lisa dan anak-anak lainnya bermain bersama, mandi bersama, melakukan berbagai permainan yang belum pernah Artha lakukan sebelumnya. Artha lebih akrab dengan Lisa, bukan berarti tidak berteman atau bermain dengan anak-anak lainnya. Hanya saja mereka sering tidur bersama, kadang tidur di rumah Lisa. Tetapi Lisa yang lebih sering tidur di rumah Artha. Mereka bertetangga, ibaratnya jika butuh sesuatu bisa langsung saling menjulurkan tangan tanpa keluar rumah.

Oh ya, Rumah di desa itu di dominasi dengan rumah adat batak atau Rumah Bolon. Tahu kan gimana bentuknya? Coba cari di om g*ogle bentuknya.

***

"Hey Artha! Kenapa malah melamum?" Lisa gemas melihat sahabat sekaligus keponakannya ini. Sejak menginjakkan kaki di desa ini seminggu yang lalu, selalu saja gadis disebelahnya ini melamun.

Artha kembali terkejut dibuat Lisa, "siapa yang melamun? Aku hanya terkenang dengan masa kecil kita, pertemuan awal kita dulu. Sungguh aku ingin kembali kemasa itu."

 Memang betul kan? Artha beberapa menit lalu terkenang dengan masa kecil mereka. Itu beberapa menit lalu, sebelum itu dia kan sudah kepikiran dengan seseorang di hotel itu.

"Biarlah itu menjadi kenangan jangan larut didalamnya. Kamu boleh menyimpannya tapi jangan hidup didalamnya. Sekarang fokuslah pada hari ini dan hari akan datang." Kata Lisa sambil menepuk pundak Artha.

"Sejak kapan Anda bisa berkata bijak seperti itu."

Lisa hanya menanggapinya dengan tawanya dan kini mereka berdua tertawa bersama.

"Tapi, kamu belum menjawab pertanyaanku dari tadi. Kamu lagi memikirkan apa ga-dis? Jangan coba-coba membohongiku, karena saat ini juga aku sudah tau apa yang kau pikirkan. Tetapi aku menunggumu bercerita."

Artha masih saja diam meski sahabatnya ini sudah tahu dia berbohong. Walaupun sudah berpisah delapan tahun lebih dan kini Lisa sudah menikah, komunikasi mereka tetap terjalin dan kini semakin erat karena Lisa menikah dengan adik kandung ayah Artha sendiri.

"Atau kau sedang memikirkan laki-laki yang bertemu denganmu saat kau kembali ke Indonesia? Kalian bertemu di bandara dan kau begitu terpesona pada laki-laki itu? A-tau.. jangan-jangan kalian pernah duduk bersama?" Tanya Lisa bertubi-tubi.

Astaga Lisa ini benar-benar sahabat terbest. Bisa-bisanya dia tahu apa yang dipikirkan Artha. Tidak semua benar sihh, tapi ada sebagian peryataan Lisa itu benar. Bukan hanya duduk bersama bahkan mereka tidur di ranjang yang sama. Artha begitu syok setelah mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu.

"Nggak usah ngarang dehh!" Jawab Artha ketus.

"Aku bukan ngarang, kelihatan tau dari muka kamu."

"Emang muka aku kenapa?"

"Mukamu sedang merah merona bak kepiting rebus," goda Lisa yang semakin membuat Artha kesal.

"Berarti betul dong, kau sedang memikirkan laki-laki yang bertemu denganmu di bandara. Seperti apa laki- laki itu? Yang mampu menyita seluruh waktumu. Apakah dia tampan melebihi artis korea? Atau lebih tampan dari pangeran Arab?"

Artha tak menjawab Nangudanya ini. 'Jika sedang tak berbadan dua sudah habis kujambak rambut kau itu ya Lisa Manohara' bathin Artha.

"Yang jelas lebih tampan dari artis korea dan lebih memesona dari pangeran Arab, puas kau?" 

'Astaga kenapa aku ini berbicara tidak sopan'. Bukannya menyesali atas kejujurannya, namun Artha malah menyesal karena berbicara tidak sopan dengan istri adik Ayahnya ini.

Meski mereka seumuran, karena Lisa sudah menikah dengan adik Ayah Artha seharusnya dan memang harus Artha lebih sopan dan menghormati istri Udanya ini.

"Maaf, Nanguda. Habisnya Nanguda buat aku kesal sihh," kata Artha dengan raut menyesal sambil mengatupkan kedua tangan didadanya.

"It's OK, tha. Santai aja kali. Jadi benar nihhh, ada laki-laki yang sedang menyita perhatianmu?" Kata Lisa sambil menaikkan kedua alis matanya.

"Udah ahh, jangan membuatku makin kesal." Kini muka Artha sudah seperti benang kusut.

"Bagaimana dengan kalian? Kenapa bisa tiba-tiba menikah? Jangan bilang selama ini kalian berdua sudah menjalin kasih dibelakangku?"

Kini gantian Lisa yang mukanya merah merona atas pertanyaan Artha itu. Selama ini itu saja pertanyaan yang dilontarkan Artha kepada Lisa sesampainya dia di desa ini semiggu yang lalu, tetapi Lisa selalu bungkam. Sama seperti saat ini Lisa pura-pura tak mendengar dan berlalu meninggalkan Artha.

"Berarti betulkan, kalian sudah lama menjalin kasih tanpa sepengetahuanku. Awas saja kalau Uda sudah pulang, akan aku tanyakan langsung." Geram Artha sambil mengikuti kepergian Lisa.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status