Share

BAB 3

Lamunanku buyar. Aku tersadarkan karena tiba-tiba Serena menggenggam tanganku. Aku langsung menatap Serena. Entah ekspresi apa yang kuberikan padanya saat itu karena spontan ia melepaskan genggaman. Serena langsung gelagapan.

"Maafkan saya, Dokter. Saya hanya meniru apa yang nyonya besar tadi lakukan ketika menenangkan Anda. Saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya takut Anda seperti tadi pagi."Jelas Serena begitu cepat.

Gadis yang nampak penakut seperti anak anjing di tempat baru ini ternyata adalah gadis yang cerdas. Ia mangaplikasikan ilmu yang dia lihat.

"Aku tidak marah, Serena. Aku hanya terkejut," terangku.

Padahal aku sudah menjelaskan tidak marah, tetapi Serena masih terlihat panik. Ia mengibas-ngibas tangannya. Ku genggam tangan Serena yang sedang tak karuan sebagai upaya menenangkannya.

"Tenang Serena, aku tidak marah kepadamu. Aku hanya terkejut. Tenanglah!" Bukan semakin tenang ia malah semakin panik dan melepas cepat tanganku.

Serena berdiri dan mundur dua langkah. Ia membungkuk.

"Maafkan atas kelancangan saya."

Aku semakin serba salah. Ku tarik napas panjang.

"Duduklah kembali Serena. Maafkan aku, aku tidak marah dan tidak bermaksud mengejutkanmu atau lancang saat memegang tanganmu kembali."

"Terima kasih kamu sudah mencoba menenangkanku." Aku berbicara lembut.

Serena berani mengangkat kepalanya lagi.

"Duduklah kembali!" Kupanggil dia kembali untuk mendekat. Dia menurut.

"Ibu Lin sakit?" Tanyaku kembali ke topik.

"Ibu sakit jantung."

"Serangan jantung mendadak?"

Serena mengangguk.

"Beliau meninggal ketika sedang di rumah bersamaku."

"Maafkan aku Serena."

"Kenapa dokter meminta maaf?"

"Karena aku tidak menepati janjiku dulu."

***

Sembilan tahun lalu.

Aku berada di ruang poli bedah. Hari ini merupakan hari pertama aku memiliki papan nama di ruangan poli. Dr. Andreas Adrison Sp.B. Tertulis namaku di pintu masuk.

Aku berada di ruangan bersama tiga orang asisten dokter yang merupakan juniorku dan seorang perawat senior. Kami memulai praktek sejak jam sembilan pagi dan sekarang merupakan jam istirhat poli.

"Nanti jam set 2 ke sini lagi ya semua. Sekarang boleh istirahat." Aku keluar ruangan terlebih dahulu.

Ketika keluar ruangan kulihat ibu Lin bersama Serena berdiri di lobby. Saat itu Serena masih anak kecil berusia sebelas tahun.

"Ibu sedang apa di sini?" Aku menyapa mereka.

"Dokter Andreas? Habis berobat." Jawab ibu.

"Loh ibu sakit apa?" Aku terkejut karaen baru tahu bahwa ibu Lin sakit.

"Sekarang mau pulang? Aku pesankan taksi ya."

"Belum nak. Kami mau makan siang dulu. Kami masih nunggu obat."

"Ah kalau gitu ayo kita makan bersama."

Kami bertiga menuju kantin khusus karyawan. Rumah sakit kami memang sangat mementingkan kesehatan karyawannya. Maka dari itu mama dan papa menggagas membuat kantin khusus karyawan yang menyajikan menu sehat dan higenis. Kantin ini juga buka 24 jam. Jadi dokter atau petugas yang jaga malam bisa mudah jika hendak makan atau mencari minum. Terlebih ini gratis.

"Duduklah bu Lin. Biar aku dan Serena yang mengambilkan makanan."

"Tapi dok."

"Ayolah, aku mohon." Ibu Lin sungkan namun juga merasa bahagia. Aku bisa melihat itu dari senyum dan pancaran wajahnya.

"Tunggu ya." Ibu Lin akhirnya menurut.

Kemudian aku dan Serena mengantri makanan. Di kantin ini cara penyajian makanannya perasmanan. Akan ada dua menu lengkap setiap waktu makan. Hal inilah yang kadang membuat pegawai di rumah sakit memilih makan di luar. Alasannya lebih variatif. 

"Kamu tahu Serena makanan di sini enak-enak." Ku ajak Serena berbincang ketika kami memilih makanan. Tapi gadis kecil ini tidak menjawab apa pun.

"Serena kamu baik-baik saja?"

Serena menganggukan kepala.

Meski pun gadis ini menampik tapi aku tahu betul bahwa ia sedih. Dia pasti ketakutan mengetahui ibunya punya sakit yang sama dengan ayahnya. Dulu ayahnya juga meninggal karena sakit jantung. 

"Serena," Aku berdiri di depannya menghentikan langkah antrian makanan. "Kamu gak perlu cemas Serena, kami akan merawat ibu Lin dengan baik bahkan aku sendiri yang akan turun tangan bila sesuatu terjadi pada ibu Lin,"

Serena tidak bereksprsi apa pun mendengar perkataanku. 

"Terima kasih." Ucap Serena pelan tapi masih terdengar olehku.

***

"Nyonya besar telah mengupayakan banyak hal untuk ibu. Ibu pernah di operasi oleh dokter terbaik rumah sakit ini. Saya sangat berterima kasih kepada keluarga Anda. Kalau bukan karena keluarga Anda mana mungkin ibu saya mendapatkan fasilitas terbaik di rumah sakit terbaik dan mewah ini."

"Ibu Lin sudah seperti ibuku. Dulu waktu nyonya besar sibuk bekerja ibu Lin yang mengurusku seperti anaknya sendiri. Aku sangat berterima kasih kepada ibumu."

"Iya dokter, ibu saya sangat menyayangi Anda."

 

Ada keheningan diantara kami berdua. 

"Aku akan tidur," 

Serena bangkit dan membantuku berbaring.

Dia juga menarikkan selimut untukku. Aku tertidur lelap.

***

Rombongan Dokter Daniel datang ke ruangan sekitar jam 8 pagi. Ketika itu aku sedang berlatih berjalan di sekitar ranjangku. Aku juga sudah pergi ke kamar mandi namun masih dibantu oleh perawat lelaki yang berjaga.

"Selamat pagi dokter Andreas?"

Perlahan-lahan aku duduk di tepian ranjang agar bisa berbincang nyaman dengan dokter Daniel.

"Selamat pagi dok." Ku jawab sapaannya.

"Sudah bisa berjalan?" 

"Masih pelan-pelan dok."

"Saya yakin Anda akan cepat pulih."

"Semoga dok, apakah pagi ini dokter membawa kabar gembira untukku?"

Dok Daniel tersenyum mendengar pertanyaanku. "Perkataan Anda tidak salah. Saya datang ke membawa hasil tes kemarin."

Dokter Daniel meminta sesuatu kepada perawat yang datang bersamanya. Perawat itu kemudian memberikan beberapa map.

"Semua tes yang dilakukan kemarin hasilnya baik. Ini sebuah berkah dari Tuhan. Anda sadar kembali dan sehat" Dokter Daniel memberikan map-map itu kepadaku.

Kubuka salah satu mapnya. Kubaca hasilnya. Memang baik tidak ada masalah. Melihat hasil ini aku jadi berpikir sesuatu.

"Dokter Daniel, bolehkah saya melakukan pemulihan di rumah?"

"Anda sudah tidak nyaman di sini?" Dokter Daniel meledekku.

Aku tersenyum. "Tentu kalau aku sudah tujuh tahun di sini aku sudah sangat rindu udara lain."

"Anda masih pandai membalas ledekan orang."

"Anda juga masih pandai meledek orang sepertinya." Kami berdua terkekeh.

Pintu terbuka, mama bersama dua asistennya sampai.

"Ah dokter Daniel," mama menyapa dokter Daniel girang.

"Mama ini bagaimana kenapa yang pertama membuat mama bahagia malah dokter Daniel padahal anaknya juga ada di sini. "

"Haduh anak ini pecemburu sekali. Tentu mama senang melihatmu. Dokter Daniel bagaimana hasil tes kemarin?"

"Wah Ibu hatiku sakit sekali. Kupikir ibu memang senang karena melihatku."

"Ish. kalian ini sama saja. Orang tua diledek."

Aku dan dokter Daniel tertawa.

"Ini ma hasilnya." Ku letakan map map itu di kasur. 

Mama mengambil satu dan membacanya. Beliau pun bisa membaca hasil tes karena dulu beliau juga seorang dokter namun karena khawatir dan takut kecewa sebagai ibu mama memilih berhenti jadi dokter dan mundur dari kepengurusan rumah sakit.

"Aku juga tadi sudah tanya ma ke dokter Daniel apakah boleh pulang atau tidak."

"Kalau ditangan ibu, saya yakin dokter Andreas akan baik-baik saja. Jadi saya membolehkan pulang."

Mama belum bereaksi juga ketika mendengar kepulanganku atau mungkin karena fokus membaca sehingga tidak mendengarku.

"Ma? Aku bisa pulang hari ini, ma?"

"Ah, iya tentu saja." Mama menjawab sedikit kaget. Benar saja beliau terlalu fokus membaca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status