Lamunanku buyar. Aku tersadarkan karena tiba-tiba Serena menggenggam tanganku. Aku langsung menatap Serena. Entah ekspresi apa yang kuberikan padanya saat itu karena spontan ia melepaskan genggaman. Serena langsung gelagapan.
"Maafkan saya, Dokter. Saya hanya meniru apa yang nyonya besar tadi lakukan ketika menenangkan Anda. Saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya takut Anda seperti tadi pagi."Jelas Serena begitu cepat.
Gadis yang nampak penakut seperti anak anjing di tempat baru ini ternyata adalah gadis yang cerdas. Ia mangaplikasikan ilmu yang dia lihat.
"Aku tidak marah, Serena. Aku hanya terkejut," terangku.
Padahal aku sudah menjelaskan tidak marah, tetapi Serena masih terlihat panik. Ia mengibas-ngibas tangannya. Ku genggam tangan Serena yang sedang tak karuan sebagai upaya menenangkannya.
"Tenang Serena, aku tidak marah kepadamu. Aku hanya terkejut. Tenanglah!" Bukan semakin tenang ia malah semakin panik dan melepas cepat tanganku.
Serena berdiri dan mundur dua langkah. Ia membungkuk.
"Maafkan atas kelancangan saya."
Aku semakin serba salah. Ku tarik napas panjang.
"Duduklah kembali Serena. Maafkan aku, aku tidak marah dan tidak bermaksud mengejutkanmu atau lancang saat memegang tanganmu kembali."
"Terima kasih kamu sudah mencoba menenangkanku." Aku berbicara lembut.
Serena berani mengangkat kepalanya lagi.
"Duduklah kembali!" Kupanggil dia kembali untuk mendekat. Dia menurut.
"Ibu Lin sakit?" Tanyaku kembali ke topik.
"Ibu sakit jantung."
"Serangan jantung mendadak?"
Serena mengangguk.
"Beliau meninggal ketika sedang di rumah bersamaku."
"Maafkan aku Serena."
"Kenapa dokter meminta maaf?"
"Karena aku tidak menepati janjiku dulu."
***
Sembilan tahun lalu.
Aku berada di ruang poli bedah. Hari ini merupakan hari pertama aku memiliki papan nama di ruangan poli. Dr. Andreas Adrison Sp.B. Tertulis namaku di pintu masuk.
Aku berada di ruangan bersama tiga orang asisten dokter yang merupakan juniorku dan seorang perawat senior. Kami memulai praktek sejak jam sembilan pagi dan sekarang merupakan jam istirhat poli.
"Nanti jam set 2 ke sini lagi ya semua. Sekarang boleh istirahat." Aku keluar ruangan terlebih dahulu.
Ketika keluar ruangan kulihat ibu Lin bersama Serena berdiri di lobby. Saat itu Serena masih anak kecil berusia sebelas tahun.
"Ibu sedang apa di sini?" Aku menyapa mereka.
"Dokter Andreas? Habis berobat." Jawab ibu.
"Loh ibu sakit apa?" Aku terkejut karaen baru tahu bahwa ibu Lin sakit.
"Sekarang mau pulang? Aku pesankan taksi ya."
"Belum nak. Kami mau makan siang dulu. Kami masih nunggu obat."
"Ah kalau gitu ayo kita makan bersama."
Kami bertiga menuju kantin khusus karyawan. Rumah sakit kami memang sangat mementingkan kesehatan karyawannya. Maka dari itu mama dan papa menggagas membuat kantin khusus karyawan yang menyajikan menu sehat dan higenis. Kantin ini juga buka 24 jam. Jadi dokter atau petugas yang jaga malam bisa mudah jika hendak makan atau mencari minum. Terlebih ini gratis.
"Duduklah bu Lin. Biar aku dan Serena yang mengambilkan makanan."
"Tapi dok."
"Ayolah, aku mohon." Ibu Lin sungkan namun juga merasa bahagia. Aku bisa melihat itu dari senyum dan pancaran wajahnya.
"Tunggu ya." Ibu Lin akhirnya menurut.
Kemudian aku dan Serena mengantri makanan. Di kantin ini cara penyajian makanannya perasmanan. Akan ada dua menu lengkap setiap waktu makan. Hal inilah yang kadang membuat pegawai di rumah sakit memilih makan di luar. Alasannya lebih variatif.
"Kamu tahu Serena makanan di sini enak-enak." Ku ajak Serena berbincang ketika kami memilih makanan. Tapi gadis kecil ini tidak menjawab apa pun.
"Serena kamu baik-baik saja?"
Serena menganggukan kepala.
Meski pun gadis ini menampik tapi aku tahu betul bahwa ia sedih. Dia pasti ketakutan mengetahui ibunya punya sakit yang sama dengan ayahnya. Dulu ayahnya juga meninggal karena sakit jantung.
"Serena," Aku berdiri di depannya menghentikan langkah antrian makanan. "Kamu gak perlu cemas Serena, kami akan merawat ibu Lin dengan baik bahkan aku sendiri yang akan turun tangan bila sesuatu terjadi pada ibu Lin,"
Serena tidak bereksprsi apa pun mendengar perkataanku.
"Terima kasih." Ucap Serena pelan tapi masih terdengar olehku.
***
"Nyonya besar telah mengupayakan banyak hal untuk ibu. Ibu pernah di operasi oleh dokter terbaik rumah sakit ini. Saya sangat berterima kasih kepada keluarga Anda. Kalau bukan karena keluarga Anda mana mungkin ibu saya mendapatkan fasilitas terbaik di rumah sakit terbaik dan mewah ini.""Ibu Lin sudah seperti ibuku. Dulu waktu nyonya besar sibuk bekerja ibu Lin yang mengurusku seperti anaknya sendiri. Aku sangat berterima kasih kepada ibumu."
"Iya dokter, ibu saya sangat menyayangi Anda."
Ada keheningan diantara kami berdua."Aku akan tidur,"
Serena bangkit dan membantuku berbaring.
Dia juga menarikkan selimut untukku. Aku tertidur lelap.
***
Rombongan Dokter Daniel datang ke ruangan sekitar jam 8 pagi. Ketika itu aku sedang berlatih berjalan di sekitar ranjangku. Aku juga sudah pergi ke kamar mandi namun masih dibantu oleh perawat lelaki yang berjaga.
"Selamat pagi dokter Andreas?"
Perlahan-lahan aku duduk di tepian ranjang agar bisa berbincang nyaman dengan dokter Daniel.
"Selamat pagi dok." Ku jawab sapaannya.
"Sudah bisa berjalan?"
"Masih pelan-pelan dok."
"Saya yakin Anda akan cepat pulih."
"Semoga dok, apakah pagi ini dokter membawa kabar gembira untukku?"
Dok Daniel tersenyum mendengar pertanyaanku. "Perkataan Anda tidak salah. Saya datang ke membawa hasil tes kemarin."
Dokter Daniel meminta sesuatu kepada perawat yang datang bersamanya. Perawat itu kemudian memberikan beberapa map.
"Semua tes yang dilakukan kemarin hasilnya baik. Ini sebuah berkah dari Tuhan. Anda sadar kembali dan sehat" Dokter Daniel memberikan map-map itu kepadaku.
Kubuka salah satu mapnya. Kubaca hasilnya. Memang baik tidak ada masalah. Melihat hasil ini aku jadi berpikir sesuatu.
"Dokter Daniel, bolehkah saya melakukan pemulihan di rumah?"
"Anda sudah tidak nyaman di sini?" Dokter Daniel meledekku.
Aku tersenyum. "Tentu kalau aku sudah tujuh tahun di sini aku sudah sangat rindu udara lain."
"Anda masih pandai membalas ledekan orang."
"Anda juga masih pandai meledek orang sepertinya." Kami berdua terkekeh.
Pintu terbuka, mama bersama dua asistennya sampai.
"Ah dokter Daniel," mama menyapa dokter Daniel girang.
"Mama ini bagaimana kenapa yang pertama membuat mama bahagia malah dokter Daniel padahal anaknya juga ada di sini. "
"Haduh anak ini pecemburu sekali. Tentu mama senang melihatmu. Dokter Daniel bagaimana hasil tes kemarin?"
"Wah Ibu hatiku sakit sekali. Kupikir ibu memang senang karena melihatku."
"Ish. kalian ini sama saja. Orang tua diledek."
Aku dan dokter Daniel tertawa.
"Ini ma hasilnya." Ku letakan map map itu di kasur.
Mama mengambil satu dan membacanya. Beliau pun bisa membaca hasil tes karena dulu beliau juga seorang dokter namun karena khawatir dan takut kecewa sebagai ibu mama memilih berhenti jadi dokter dan mundur dari kepengurusan rumah sakit.
"Aku juga tadi sudah tanya ma ke dokter Daniel apakah boleh pulang atau tidak."
"Kalau ditangan ibu, saya yakin dokter Andreas akan baik-baik saja. Jadi saya membolehkan pulang."
Mama belum bereaksi juga ketika mendengar kepulanganku atau mungkin karena fokus membaca sehingga tidak mendengarku.
"Ma? Aku bisa pulang hari ini, ma?"
"Ah, iya tentu saja." Mama menjawab sedikit kaget. Benar saja beliau terlalu fokus membaca.
Dokter Daniel pamit karena harus operasi jam sembilan. Selepas rombongannya pergi aku semakin bersemangat."Serena cepat bersekan barang kita yang ada di sini. Aku ingin segera pulang.""Andreas, kenapa buru-buru?" Tanya mama."Hanya sudah rindu kamarku. Apa masih seperti dulu?""Ah iya, Nin tolong suruh ibu Pur bersihkan kamar Andreas. Tentu kamarmu masih seperti dulu, hanya sedikit kotor.""Baik nyonya, " Nin asisten baru mama yang belum ku lihat sebelum aku koma pergi keluar.Mama kemudian mengeluarkan handphone. Kulihat handphone mama begitu besar dan tidak ada tombol apa pun. Hanya layar."Wah ini handphone jaman sekarang?" Aku terkekeh mendengar pertanyaanku sendiri. "Rasanya aku seperti manusia yang berpindah dengan mesin waktu."Kulihat mama tidak meresponku, hanya sibuk dengan handphone. Aku memberikan ruang untuk mama. Mungkin ada hal yang harus beliau lakukan.Mama mengangkat kepalanya setelah cukup lama
Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali."Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya."Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi.""Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat ma
Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena."Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri."Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang."Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa i
Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku."Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang."Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu."Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun.""Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?""Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?
Aku duduk di hadapan pusara papa. Menatap batu nisan dengan nama lengkapnya. Tanganku bergetar menahan tangis."Maafkan aku pa ga bisa menemanimu disaat terakhirmu." Permintaan maaf yang sia-sia karena papa tidak bisa mendengarnya.Ku bacakan doa untuk papa sembari tanganku sibuk mencabuti rumput liar.Serena memberiku ranting pohon berisi beberapa helai daun yang baru saja ia petik. "Dokter, kata orang jika daun ini di simpan di atas kuburan maka orang yang berada di dalam kuburan akan merasa teduh karena terpayungi hingga daunnya layu."Aku menerima daun itu dan melakukan apa yang Serena anjurkan."Mari dokter kita pulang. Hari semakin terik, anda bisa kelelahan.""Aku ingin berbicara berdua dengan tuan besar. Kamu duluan saja ke mobil.""Baik dokter." Sebelum bicara ku pastikan Serena pergi menjauh."Papa, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sakit. Seperti yang papa katakan, harga diri a
Sebenarnya ingin ku gerbrak langsung meja ini karena mendengar ucapan Sonny yang menyangkut pautkan ketidak mampuan perusahaan dengan biaya rumah sakitku. Tak masuk akal. Kalau memang semiskin ini Daily Health mengapa seberani ini menyewa kantor di Tower 11 yang harganya selangit.Lantaran Sonny membahas soal uang aku langsung saja berpindah topik ke keuangan. "Natalie tolong perlihatkan aset kantor, gaji karyawan dan biaya pengeluaran setiap tahun dan setiap bulannya."Natalie terlihat tak siap untuk memaparkan apa yang aku minta. Ia gelagapan. "Cepat Natalie.""Baik pak akan saya ambil dulu."Natalie tak kunjung kembali juga ke ruangan, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku jadi tak sabar. Ku suruh Bian untuk memanggilnya"Bian kamu panggilkan Natalie! kalau sampai kamu gak berhasil membawa dia dalam waktu lima menit saya pastikan kamu gak akan bekerja di sini lagi.""Baik pak." Bian takut mendengar ancamanku dan buru-buru ke luar rua
Suara ribut dan aroma masakan ternyata juga mengusik tim Wanda. Ketika aku ke sana beberapa sudah ada yang menebak-nebak menu apa yang disediakan dan sebagian lagi tidak sabar untuk makan. "Bagaimana ada kendala?" Tanyaku pada Wanda yang sedang sibuk mengambil data dari leptop Natalie. "Belum sama sekali karena kami juga belum memulainya. Kami baru saja mengambil data-data di leptop." "Kalian bisa makan dulu kalau setting makan siangnya sudah selesai ya." Wanda setuju dan menyuruh mahasiswa-mahasiwinya untuk makan secara bergantian sebelum memulai bekerja. Sementara setengah mahasiswanya makan setengah lagi bersaman Wanda sibuk mencetak dan membaca data-data keuangan yang akan diaudit. Aku memutuskan untuk menunggu Wanda selesai melakukan tugasnya. Aku ingin makan bersama dia. Aku dan Wanda adalah teman satu kampus. Kami berbeda jurusan namun dipertemukan dikegiatan organisasi, organisasi itulah yang juga mempertemukanku dengan Anna. H
Matahari hampir hilang ketika aku keluar dari Tower 11 bersama Serena. Aku pergi terlebih dahulu setelah sebelumnya membahas kinerja perusahaan bersama tim desain dan tim redaksi. Ketika aku pamit kepada Wanda yang masih sibuk mengecek hasil auditan murid-muridnya dia memperkenalkanku pada Sean. Seorang mahasiswa yang diberi kepercayaan mengetuai tim audit ini. "Jadi jika ada apa-apa kamu bisa langsung menghubunginya dan sebaliknya dia juga menghubungimu." Ucap Wanda. "Aku tidak akan setiap hari ke sini karena harus bekerja dan mengajar juga." Tambah Wanda. Setelah Sean bertukar nomor telepon dengan Serena kami pamit. Sesuai janjiku tadi pagi aku ingin membeli sebuah handphone terbaru, untuk itu kami pergi ke sebuah mall yang tak jauh dari lokasi Tower 11. "Merk apa yang bagus dan paling terbaru?" Aku bertanya kepada penjaga toko ketika sampai disebuah toko HP. "Mari sebelah sini pak." Penjaga toko itu mengajakku ke sebua