Mama diam cukup lama hingga akhirnya memecah keheningan di ruangan ini.
"Cepat atau lambat, dari Mama atau bukan, kamu pasti akan mengetahui juga keadaan sekarang. Akan Mama beri tahu satu per satu, agar kamu tidak tekejut," tuturnya.
Meskipun penasaran apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, tapi aku menerima keputusan mama tanpa mendebatnya. Mama pasti memikirkan resiko kesehatanku.
"Mama akan jawab pertanyaanmu tentang papa." Mama menarik napas panjang, ia seperti menahan sesak.
"Setelah kamu kecelakaan kesehatan papa mulai menurun. Beliau kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Delapan bulan kemudian papa meninggal. "
"Papa meninggal?" Rasanya dadaku menjadi sesak. Ku pegang dadaku.
Mama memegang tanganku yang berada di kasur secara tiba-tiba. Hal itu ternyata membuat dadaku tidak terlalu sesak lagi dan perlahan aku kembali bernapas normal.
Aku melihat tanganku yang digenggam mama. Genggaman tangannya memberiku kekuatan. Kemudian mama mengelus punggung tanganku.
"Jangan terlalu bersedih." Sambil terus mengelus punggung tangan.
Biar pun mama bilang begitu air mataku tetap keluar. Aku merasa bersalah karena tidak bisa bersama papa disaat terakhirnya.
"Papa menuliskan beberapa surat untukmu." Mama mengelap mataku dengan tisu dari dalam tasnya.
"Surat apa, Ma?" Tanyaku ketika kesedihan sudah terkuasai.
"Surat nasihat untukmu. Seperti halnya Mama, papa juga sangat yakin suatu saat kamu akan bangun."
Aku memejamkan mataku. Mengatur napas dan emosiku. Aku ingin sekali membaca surat itu, tapi untuk mengangkat tangan saja aku belum mampu.
Mama mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih.
"Mama yakin kamu ingin membacanya sendiri."-Mama meletakan surat itu di bawah bantalku-"cepatlah pulih Andreas."
Sekarang yang ada dipikiranku hanya pulih. Aku ingin membaca surat dari papa.
***
Hari ini mama menemaniku seharian. Mengurusiku seperti aku kecil dulu. Menyuapi, menemani melakukan tes kesehatan hingga mengelap tubuhku. Kami bernostalgia. Mama banyak bercerita tentang masa kecil kami. Tentang aku dan kakakku, Andrew.
"Dulu, Mama tidak sempat mengurus kakakmu seperti mengurusmu karena sibuk membangun rumah sakit ini bersama papa dan juga pada saat kakakmu berusia lima bulan mama hamil kamu. Nenek yang kesepian dan khawatir akan gizi Andrew membawa dia tinggal di rumahnya.
"Setalah usiamu tiga tahun Mama memutusakan untuk berhenti bekerja di rumah sakit dan fokus pada kalian berdua, tapi nenek ternyata tidak merelakan Andrew untuk mama bawa. Baru setelah nenek meninggal Andrew kembali ke rumah."
"Waktu itu aku sangat canggung pada Andrew. Rasanya tiba-tiba punya kakak itu aneh, walaupun begitu aku sangat senang karena aku tidak sendirian."
"Iya, kalian berdua canggung. "
"Aku rasa dia masih canggung sampai SMA, tapi perlahan ketika kami satu kampus dia mulai membuka dirinya padaku. Namun, itu gak lama, tiba-tiba dia berhenti kuliah dan menjauhiku bahkan seperti membenciku."
"Mama sangat menyayangi kalian berdua. Kamu harus tahu, apa pun yang terjadi kalian adalah anak Mama. Kalian yang paling berharga." Mama mengusap rambutku.
Semakin siang, kondisi tubuhku semakin pulih. Aku sudah bisa mengangkat kedua tanganku dan juga sudah bisa duduk, walaupun masih perlu bantuan.
"Ma, pulanglah sudah jam sembilan malam loh," kataku ketika mama mulai terlihat mengantuk.
"Mama pengen nginep aja."
"Kalau Mama nginep di sini Serena tidur di mana?"
Mama terkekeh. "Iya juga, ya."
Mama melihat jam tangannya. "Mama masih sangat rindu berbincang-bincang sama kamu sebenernya."
"I know." Kutatap mama penuh kepercayaan. Tatapan yang tidak bisa membuat mama membantah ketika ku sarankan hal apa pun untuk dirinya.
"Oke-oke, Mama pulang." Mama turun dari ranjang kemudian memeluku dan mencium keningku.
"Tidur yang nyenyak dear."
"Hati-hati di jalan."
"Besok Mama ke sini lagi."
"Kunantikan."
Mama berjalan ke arah pintu. Ketika berpapasan dengan Serena beliau berpesan.
"Jaga dokter Andreas baik-baik," perintah mama penuh ketegasan.
"Baik, Nyonya Besar." Serena membungkuk.
"O iya, Ma,"-aku memanggil mama sebelum beliau keluar ruangan.-"ngomong-ngomong di mana Andrew?"
"Dia berada di luar kota. Nanti setelah pulang dia pasti menemuimu." Mama menjawab tanpa menoleh.
Kemudian mama dan dua asistennya keluar ruangan. Tinggal aku berdua lagi dengan Serena.
Serena mendekat.
"Dokter. Anda harus istirahat juga. Mari saya bantu untuk tidur," pinta Serena.
"Sebentar Serena, aku ingin membaca surat dari tuan besar sebelum tidur. Tolong ambilkan di bawah bantal."
Serena langsung melakukan yang kuperintahkan tanpa membantah apa pun.
"Ini, Dokter." Serena menyodorkan surat.
"Terima kasih, kamu bisa istirahat dulu."
"Panggil saya jika butuh sesuatu."
Kuamati surat yang kata mama dibuat untukku. Amplop putih sederhana dengan tulisan angka 1.
Kubaca surat itu dengan hati yang lapang.
Terima kasih sudah membuka surat ini anakku, Andreas yang selalu ku banggakan. Hari ini lagi-lagi kamu membuat Papa bangga kepadamu karena kamu mampu bangun kembali. Jika Papa tidak bisa menemanimu ketika kamu membuka mata janganlah sedih atau kecewa atau marah. Ini adalah keputusan Tuhan yang terbaik.
Andreas, mungkin ketika kamu bangun banyak hal berubah tapi Papa yakin apa pun yang terjadi kamu tidak akan pernah terpuruk. Kamu harus bangkit dan memulai hidupmu kembali. Papa yakin kamu akan selalu membanggakan untuk kami.
Jaga ibumu dan kakakmu. Andrew memang terlihat kuat dan tegas, tapi kamu harus tahu jika hatinya jauh lebih rapuh daripada kamu. Dia besar dengan didikan nenek yang sangat tegas. Dia dipaksa untuk tidak terlihat lemah dalam keadaan apa pun. Sedangkan kamu tumbuh penuh cinta dengan ibumu. Kamu mampu memperlihatkan sisi sedih dan bahagiamu.
Terima kasih anakku yang selalu membanggakan.
Salam dari Papamu.
Setelah membaca surat itu aku merasa kembali sedih karena disaat saat terakhirnya aku tidak bisa menemani papa. Aku teringat lagi isi surat papa yang mengatakan aku tidak boleh sedih.
Tidak. Aku tidak boleh terlalu sedih. Kalau terlalu sedih keadaanku akan down. Aku harus tetap bahagia.
"Serena." kupanggil Serena untuk mengalihkan perhatianku dari rasa sedih.
Serena berjalan mendekatiku.
"Serena duduklah! Aku ingin bertanya."
"Tapi Dokter, saya tidak punya hak untuk menceritakan apa yang terjadi selama tujuh tahun ini. Biarlah nyonya besar yang bercerita." Serena terlihat panik.
Aku tertawa melihat ekspresinya.
"Duduklah! Aku tidak akan mencari tahu tentang kehidupanku. Aku ingin tahu tentang kamu, Serena," Ucapku meyakinkan Serena.
Wajah Serena memerah karena malu.
"Maafkan saya, Dokter." Serena duduk di kursi dekat ranjang.
"Boleh aku tahu tentang kamu?"
Dia mengangguk dengan wajah menunduk.
"Berapa sekarang usiamu?"
"Saya dua puluh tahun, Dok."
"Tidak kuliah?"
Serena menjawab dengan gelengan kepala.
"Sejak kapan kamu menjagaku?"
"Dua tahun yang lalu."
"Lima tahun sebelumnya siapa?"
"Ibu saya, Dokter."
"Ibu Lin? "-Serena mengangguk.-"Bagaimana kabar ibu Lin sekarang?"
"Ibu sudah meninggal dua tahun lalu."
Deg. Lagi-lagi salah satu orang yang terpenting dihidupku meninggal. Ibu Lin adalah orang yang mengurusku sejak bayi hingga aku dewasa. Bahkan sebelum meninggal ternyata ibu Lin tetap menjadi penjagaku.
Lamunanku buyar. Aku tersadarkan karena tiba-tiba Serena menggenggam tanganku.
Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men
Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p
Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya
Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu
Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa
"Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana