Sepulang kerja, aku langsung menuju tempat kerja Sekar. Sebenarnya, aku sejak dulu sudah tahu kantor dan kos-kosan Sekar, karena Bulik Ndari, tetanggaku sekaligus ibunya Sekar sudah sejak bocah itu diterima bekerja di Jakarta selalu mewanti-wantiku untuk mengawasi. Dalam hati, dongkolnya bukan main. Bocah ini sangat merepotkan bagiku. Tapi gimana lagi, ibunya Sekar sudah kayak orang tuaku sendiri juga. Ini semua gara-gara persahabatannya dengan mamaku. Mengenai perasaanku ke Sekar? Aku juga bingung. Dia sudah kuanggap sebagai adikku. Aku tak pernah memiliki rasa apapun padanya. Tapi, memang mama dan kakakku reseh ingin menjodohkanku dengannya sejak lama. Sebenarnya, rencana itu sejak lama tak pernah kutanggapi. Umurku masih muda. Aku tak ingin terlibat cinta di usia remaja. Apalagi, dalam hatiku tertambat rasa pada gadis lain. Sakina, gadis paling cantik dan jadi primadona di sekolah. Beruntungnya lagi, saat aku kuliah di Bandung, rupanya dia pun kuliah di bumi priangan. I
“Ngga ada. Aku pengen konsultasi aja,” ujarku ngeles sambil menggeleng. Aku takut kalau aku mengatakan yang sesungguhnya, dia akan menolak ajakanku. “Itu namanya buang-buang uang. Kalau nggak sakit, ya nggak usah ke klinik. Di Jakarta itu apa-apa mahal.” Nah kan? Apa aku bilang. Aku malah dinasehatinya. Padahal, aku sudah lebih lama dan berpengalaman di sini. Aku menatap gadis itu setelah menghentikan sejenak tusukan siomayku. Gadis itu mengunyah siomaynya sampai pipinya menggembung. “Ke klinik nggak perlu menunggu sakit dulu. Mencegah lebih baik dari mengobati,” ujarku enteng. Segera kulanjutkan menusuk siomay dengan garpu. Siomayku sudah hampir habis. Ingin rasanya nambah, tapi tidak! Nanti perutku bisa penuh. Aku ingin mengajak Sekar jajan makanan yang lain lagi setelah dari klinik. Sebenarnya, rencanaku mengajak Sekar ke klinik sudah lama. Sejak aku memutuskan akan menikah dengannya. Aku sebenarnya yakin, Sekar itu cantik kalau terawat. Tapi, gimana mau terawat kalau merawat
Kuputuskan kembali duduk di atas jok motorku usai menerima kembalian dari babang siomay. Meskipun kesal dengan babang itu, tapi aku tak mungkin memarahinya. Dia juga sedang mengais rejeki. Nafkah untuk keluarganya.Tak mungkin aku menyusul Sekar ke dalam gedung itu. Di lantai mana dia bekerja saja aku tak tahu. Gedung itu ada lebih dari dua puluh lantai. Bertanya ke resepsionis atau satpam, jelas tak mungkin. Ini bukan kantor kelurahan yang semua orang bakal kenal. Begonya memang aku tak pernah bertanya padanya dia kerja di lantai berapa, divisi apa dan nama kantornya apa. apalagi kantornya bukan perusahaan besar yang terkenal. Namanya pun juga tak mudah kuingat. Mungkin, kalau aku kepepet sih bisa saja aku tanya satpam. Pasti dia tahu jika aku menyebutkan detail pekerjaan Sekar. Tapi, ini sudah di luar jam kantor, Bung. Alih-alih, malah aku dicurigai yang tidak-tidak. HP di saku celana kurogoh kembali. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Sakina. Kubiarkan saja. Biarlah waktu
“Atas nama?” Kujawab dengan menyebutkan nama lengkap Sekar. Gadis itu melotot padaku saat aku menoleh padanya usai menyebut namanya. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku, namun tak kulepaskan. Kubalas saja dengan senyum kemenangan. “Silahkan ditunggu ya, Kak!” ujar resepsionis yang berseragam dengan nama klinik di dadanya ini. Kuajak Sekar duduk di bangku yang berderet di depan resepsionis itu. Beruntung, klinik ini sepi. Jadi, hanya kami berdua di sana. Wajah Sekar pun masih cemberut. “Kenapa Mas? Kamu kecewa karena aku nggak cantik? Nggak secantik Sakina?” tanyanya. Hadeehhhh. Sakina lagi. Bisa tidak sih dia berhenti bicara mengenai Sakina. Kapan aku bisa melupakan Sakina jika tiap detik Sekar masih membahasnya. “Siapa bilang kamu tidak cantik? Kita kesini hanya konsultasi saja. Biar wajahmu tampak lebih segar. Aku malah suka, kamu selalu tampil natural,” gombalku. Padahal ini hanya bahasa halusku saja. Aku juga ingin punya pendamping yang wajahnya tidak kusam. Aku s
Aku menepikan motor di mulut gang dekat kosanku. Siomay yang sore tadi masuk ke perut seolah tak lagi dapat mengganjal rasa laparku. Cacing di pencernakanku meronta-ronta minta diberi jatah ransum. “Mau makan apa?” tanyaku sambil menoleh ke belakang. Sekar menaikkan kaca helmnya. Matanya masih sembab, tapi dia sudah tak lagi menangis. Bisa jadi sembab akibat facial di klinik tadi juga. Yang jelas aku sedikit lega melihatnya. “Seafood, boleh?” tanyanya mirip anak kecil minta jajan. Aku baru tahu sisi manjanya. Imut dan menggemaskan. Biasanya dia sok-sokan dewasa meskipun sangat polos. Aku memindai deretan warung tenda di mulut gang itu. Tahu saja dia makanan mahal. Tanpa mengangguk, aku jalankan lagi motorku mendekati warung seafood di sana. “Makan di rumah aja ya,” ujarku tanpa menawarinya menu. Aku sendiri saja yang pilih. Pilih beberapa macam, bisa sharing di makan berdua. Dari pada milih sendiri-sendiri, boros dan mahal. Sekar mengangguk. Dia memilih menunggu di atas motor dib
Astaganaga...semua perempuan begitu memusingkan kepalaku. Mengapa aku harus hidup dengan perempuan? Kuremas rambutku frustasi. “Ada apa, Mas?” tanya Sekar. Kudongakkan kepala. Aku sampai tak sadar kalau dia sudah berdiri di depanku. “Baca ini,” ujarku menunjuk HP yang sudah kuletakkan di ranjang. Aku bangkit dan mengambil baju ganti yang telah kusiapkan di atas kursi. Sejak Sekar tinggal di sini, aku mulai membiasakan lagi membawa baju ganti ke kamar mandi. Aku tak mau Sekar mengikutiku melakukan hal yang sama. Aku mandi singkat saja. Demi membersihkan diri. Aku teringat seafood dan nasi yang tadi dibeli di warung tenda keburu dingin. Aku tak suka makan makanan dingin. Mau dihangatkan juga repot. Meski ada kompor, tapi aku tak punya peralatan masak. Hanya ada satu pan untuk membuat mie instan atau menjerang air untuk minum panas. Saat aku keluar kamar mandi, Sekar bukannya melihat HP yang kutunjukkan, dia malah sibuk membuka bungkusan makanan yang tadi kubeli. Dia s
“Malas. Nggak penting. Kekanak-kanakan,” ujarnya pendek. Aku mengangguk setuju. Tak ingin pula aku membahasnya lebih lanjut. Mungkin, kalau tidak habis selesai makan, aku ingin segera membawanya ke alam mimpi. Tapi, perutku masih penuh dengan nasi. “Jangan lupa krimnya tadi segera dipakai….” Peringatanku ini bukan apa-apa. Ingat jumlah uang yang didebet dari rekening, aku tak ingin sia-sia mubazir. Lagi pula, siapa sih yang tak ingin punya istri yang wajahnya lebih segar dan tidak kusam. Aku tersenyum puas saat melihatnya duduk manis di kursi meja belajarku, menatap cermin kecil yang disandarkan pada tumpukan buku dan mengaplikasikan krim malam ke permukaan wajahnya. Baru sekali di facial saja, kulihat wajahnya sudah berbeda. Mungkin ini hanya sugestiku saja. Beberapa bagian terlihat memerah karena jerawat yang dikeluarkan paksa. “Teman-teman kantor minta tasyakuran,” ucapku seraya masih menatapnya. Dia melirik ke arahku sejenak. “Jadi mereka sudah tahu?” Aku mengangg
Sekar kembali masuk ke mobil itu dengan kesal. Bahkan, saat aku turun dari tangga dan berniat mengejarnya, mobil itu sudah terlanjur jalan menjauh dariku. Aku hanya dapat menatap kepergiannya hingga mobil itu keluar dari pelataran gedung kantor. “Sekar kenapa, Lang? Dia marah padaku?” tanya Sakina tanpa rasa bersalah. Dia masih berdiri di tempatnya semula saat aku menaiki tangga menuju lobi gedung kantorku itu. Kalau dulu, jelas aku tak akan marah pada Sakina. Tapi kini, aku jadi kesal pada perempuan cantik di depanku ini. Bagaimana bisa dia tidak punya rasa sensitif sama sekali terhadap Sekar. Padahal beberapa hari lalu, Sekar sudah memperingatinya, hingga menunjukkan telunjuk ke hidungnya. “Ada apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah merasa tak nyaman lagi dengan kehadirannya. Selain dia datang pada waktu yang tidak tepat, aku pun sudah tak mengharapkan kehadirannya lagi, sejak aku menyadari komitmenku dengan Sekar. Aku laki-laki. Dan aku imam bagi rumah tanggaku