Gilang tersenyum, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekar melihat gelagat, sejatinya Gilang ingin datang juga ke acara itu. Tak perlu menunggu menit berganti, Sekar menghentakkan kakinya, berbalik dan masuk rumah. Ia membanting pintu kamar dengan kasar agar suaranya terdengar oleh ketiga teman Gilang. “Sori, aku ngga dateng…” ucap Gilang lirih sambil menoleh ke dalam rumahnya. “Takut nggak dapat jatah, ya?” goda Huda. Gilang seketika melotot. Bisa-bisanya masih bujang ngomongin jatah! Namun, ketiga temannya malah terbahak melihat sikap Gilang. Ketiganya akhirnya meninggalkan rumah Gilang dengan kecewa. Acara akan menjadi kurang seru tanpa kehadiran Gilang, karena dia adalah sasaran utama yang bakal di bully oleh geng patah hati. Gilang membuka pintu kamarnya. Sekar sudah ganti baju dengan baju rumahan. Tepatnya baju milik Gilang. Kaos dan celana yang tentu saja kebesaran jika dipakai oleh Sekar. Bocah ini suka sekali memakai bajunya tanpa ijin. Gilang tertawa dala
Gilang tak menjawab. Lagi pula, tak perlu juga dijawab. Toh, orang sekampung juga tahu siapa Gilang dan Sekar. Tapi, kenapa mulut usil itu tetap ada. “Mas aku pulang dulu,” ujar Randi saat kepala ibunya sudah terlihat dari balik pagar. Wajah ibunya Randi terlihat tak enak saat melihat Randi sedang ngobrol dengan Gilang. Apalagi, Gilang yang biasanya mengangguk takzim dengannya, tiba-tiba terlihat menatapnya dengan sorot tak suka. “Kamu bilang, ya, sama Mas Gilang?” tanya wanita yang usianya lebih muda dari mamanya Gilang itu. Matanya menatap anaknya dengan tatapan mengancam bercampur kecewa. Mestinya, kalau diberitahu, jangan langsung dibocorkan pada orangnya langsung.“Aku hanya tabayyun, Bu. Nggak baik menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya,” jawab Randi. “Iya, tapi, kan ibu jadi nggak enak sama Mas Gilang,” ujar Bu Narti, ibu Randi. “Makanya, ibu nggak usah ikut-ikutan ibu-ibu yang lain. Kalau pun Mbak Sekar sudah hamil, kan ada suaminya. Mana mungkin Mbak Sekar mela
“Lha ada apa tho, Bu?” tanya Sekar penasaran. Wanita yang masih mengenakan busana kondangan itu menggeser posisi duduknya, menghadap ke kedua anak dan menantunya. Sementara Pak Sidik langsung ke kamar, ganti baju. “Ternyata, Fajar malah sudah menikah. " Bu Ndari sedikit mengambil jeda. "Jadi, yang nikah sekarang malah istri kedua...” Mata Bu Ndari menatap Sekar dan Gilang bergantian. Dalam hati Bu Ndari terselip rasa syukur di balik kemalangan Sakina. Rasa syukur dulu tak jadi menikahkan anak gadisnya dengan pria yang dia pikir akan mengubah nasibnya. Kaya raya. Ia juga bersyukur akhirnya memilih Gilang yang tetangganya sebagai menantu. Meski biasa saja, tapi mengerti agama dan setia. Setia? Bukannya Sekar habis ngambek gara-gara kesetiaan? Bodo amat! Yang penting sekarang mereka sudah tidak membahas ketidaksetiaan. Isunya sudah tertutup oleh isu kehamilan, batin Bu Ndari lagi.“Apa?!” Serempak Sekar dan Gilang berpandangan. Sekar benar-benar tak percaya. Wanita secantik Sakina
Pemuda itu menjadi gelagapan. Padahal dia sudah berusaha mengalihkan pembicaraan. “Mana aku tahu!” jawab Gilang sambil mengedikkan bahunya. Pria itu beranjak ke ruang makan. Malas menanggapi pertanyaan Sekar. Karena wanita itu sejatinya aneh. Pengen tahu, tapi kalau sudah tahu sakit hati. Trus, ngamuk. Tapi kalau nggak dikasih tahu, marah. “Bu, nggak masak ya?” tanya Sekar tatkala sampai di dapur, namun tak ada makanan di meja. Padahal Gilang sudah duduk manis di kursi meja makan.“Ya, ibu nggak tahu kalau kalian kemari. Ibu sama bapak kan mau kondangan, jadi, ya nggak masak,” jawab ibu Sekar.Dua manusia yang sudah kelaparan itu mendadak lemas. “Kamu masak sajalah, lah, Dik!” usul Gilang seenaknya. Mata elangnya menatap Sekar penuh harap.Sekar membalas tatapan itu dengan dengan refles menutup mulutnya yang menganga karena tak menyangka dengan pinta Gilang. Selama menikah, dia belum sekalipun memasak, kecuali masak air.Dia juga tidak bisa memasak. Namanya bunuh diri kalau tanpa
Bu Ndari menoleh. Ingat kata-katanya tadi pagi, kalau orang-orang di warung membicarakan anak gadisnya. Tapi, Bu Ndari tak masalah, apa yang dikatakan orang-orang tidak ada yang benar. Toh, dia juga tahu kebenarannya kalau anaknya tak hamil sebelum menikah dengan Gilang. Dan, Gilang maupun orang tuanya juga tahu itu. Jadi, ya tidak perlu dirisaukan lagi. “Kan kamu memang hamil sama Gilang, tho? Udah nggak usah diurusin lambe-nya orang-orang. Namanya lidah tidak bertulang. Nanti juga lupa sendiri kalau ada berita yang lebih heboh. Kamu berdoa saja isu mu segera ketutup sama isu lain. Masak kamu kalah sama isu politik,” ujar ibu Sekar mirip narasumber diskusi politik, pengalihan isu. “Lang, sana anterin Sekar. Dari pada dia nggak berani pulang...” “Ck! Mendingan ke pasar aja. Malu, cuma ke warung pake nganter!” ujar Gilang sambil menarik tangan Sekar, menyeretnya balik ke rumahnya mengambil motor. Ngga enak kalau mau pinjem motor bapaknya Sekar. Baru hendak keluar gang di kampungny
Sekar menatap Gilang yang sedang jongkok di depan ban yang hendak di tambal oleh pemilik bengkel. Gilang menanggapi pembicaraan pemilik bengkel dengan antusias, meski kadang hanya dengan senyum kalau dirasa dia tak terlalu penting untuk ditanggapi.Pria itu memang punya kebiasaan mudah akrab dengan siapa saja. Apa saja bisa jadi bahan obrolan. Hanya pada Sekar saja dia dulu jutek dan malas berbicara. Sekar kembali menatap HP milik Gilang. Pesan Faras kembali masuk.[Bales dong, Lang. Kita nungguin, nih!]Hati Sekar menjadi gusar. Mengapa orang-orang ini tak bisa sebentar saja tak mengganggunya. Pada nggak tahu apa, kalau hati Gilang itu susah move on. Masih saja pada mengusiknya, batin Sekar gemas. Sekar menekan dua pesan Faras. Lalu ia menatap ikon gambar tempat sampah di aplikasi itu. Namun, dia sejenak ragu. Jika dihapus sebelum Gilang membaca, pasti ketahuan juga. Kan ada bekasnya. Tapi kalau tidak di hapus, pasti pria-pria teman SMA Gilang ini masih saja mengusiknya. Sekar m
“Hah? Makan lagi? Emang perut karet?” sahut Sekar. Seumur-umur, aturan di rumahnya, ya kalau sudah makan bakso, siomay, mie ayam, atau apalah ya artinya sudah makan. Bukan sudah jajan, masih makan lagi. “Sudahlah. Aku sudah mau pingsan!” ujar Gilang sambil menghentikan motornya depan warung warung itu. Lalu ia memarkirnya berjajar dengan motor lainnya. Terpaksa Sekar pun harus turun. “Bakso sama es teh dua, Mas!” pesan Gilang. Pria itu lalu duduk di kursi plastik berhadapan dengan Sekar. “Ngapain, sih, Faras pake nelpon Mas Gilang? Aku nggak suka kalian masih membicarakan Sakina,” protes Sekar. Malas sebenarnya ia membahas itu. Tapi, dia ingin meyakinkan suaminya kalau dia tidak suka apa pun yang berhubungan dengan Sakina. Gilang harus move on. Sementara bagi Gilang, dia sudah lama merasa move on. Meski kadang kepikiran juga. Bukan kepikiran karena masih suka dengan Sakina, tapi penasaran dengan nasibnya. Bagaimanapun Sakina adalah teman SMAnya. Tidak salah bukan, jika hanya seke
Cafe yang terletak di pusat kota itu cukup ramai. Sakina sudah memesan tempat untuk bertemu dengan Gilang. Sesuai kesepakatan dengan istrinya, Gilang hanya akan datang jika Sekar ikut. Gilang sudah tak ingin terpenjara dengan masalahnya yang semakin rumit. Biarlah hatinya segera move on. Bukannya seharusnya lelaki lebih gampang move on dan tak terjebak rasa? Sakina sudah duduk duluan. Dia memilih di pojok, agar tak terganggu oleh lalu lalang pengunjung cafe lainnya. Matanya terbelalak saat melihat Gilang dengan mesra menggandeng Sekar. Gilang memang hanya bilang akan datang, tapi ia tak mengatakan jika akan datang dengan Sekar. Gilang ingin, agar Sekar sudah tak termakan api cemburu lagi. Gilang ingin membuktikan bahwa ketika dia sudah menentukan pilihan, dia akan berusaha keras mempertahankan pilihannya, meski berat harus dijalani. Itulah pria sejati. “Maaf, Mbak. Aku ikut,” ujar Sekar datar.Sakina membalas dengan ekspresi datar juga. Tidak sehangat saat pertama kali mereka ber