"Zee, ngapain kamu duduk di bawah?" Alvendra menghalau Zee.
"Ini istrimu mas?" Tanya Keke sambil melirik Zee yang sedang duduk bersimpuh.
Sekejap Zee benar-benar terkejut saat Alvendra dan Keke sudah berdiri tepat di hadapannya. Ternyata adegan tadi membuat Zee duduk tersimpuh.
"Gak papa mas. Lagi pengin duduk di bawah aja." Jawab Zee asal, sambil berdiri dan menghapus air matanya.
"Oya Zee. Kenalin ini keke."
"Keke..." Ujar Keke sambil mengulurkan tangan.
"Zee. Istrinya mas Al." Jawab Zee sambil membalas uluran tangan Keke. "Maaf, kamu siapanya mas Al ya?" Zee bertanya sinis.
"Aku..."
"Dia temen bisnis aku. Mamah juga kenal kok. Jadi kamu ga usah berpikir macam-macam." Alvendra seolah mengambil alih kata-kata yang hendak keke jawab.
"Oh. Gitu ya. Ya udah kita pulang yuk mas. Aku udah capek." Zee menggandeng tangan Alvendra.
"Oke tapi kita antar Keke dulu ya." Jawab Alvendra sambil berjalan menuju parkiran.<
"Mas, sebetulnya Keke siapa si? Kok keliatannya kalian akrab banget?" Tanya Zee sambil menyisir rambutnya. Sebetulnya rambutnya tidak begitu berantakan. Demi menutupi kesedihan dan sekelebat pertanyaan yang bercabang, Zee selalu menyisir rambutnya. Mungkin agar orang lain tak dapat melihat sorot mata yang sebenarnya. "Kan aku udah bilang tadi. Keke itu temen bisnisku." "Harus ya mengecup kening teman bisnis?" Astaga... ternyata Zee ngliat aku pas cium kening Keke. Pantas saja tadi dia duduk tersungkur di bawah. Gumam Alvendra panik. "Mmmm aku kan udah lama temenan sama Keke. Jadi wajar lah kalo kita deket." Jawab Alvendra sambil menginjak gas mobilnya. "Kamu ga pindah duduk di depan?" Tanya Alvendra mengalihkan pembicaraan. "Pindah? Buat apa? Ngaruh y keberadaanku?" Tanya Zee sambil melempar senyum pahit. "Ya udah kalo kamu gak mau." Bukannya membujuk, Alvendra malah semakin menancap gas mobilnya. Sepanjang perjalanan sua
Sering kali terbesit sejuta rasa tanya di hati Rio. Mengapa sikap kakaknya nampak berubah drastis terhadap Zee, istrinya. Tak hanya sekali dua kali Rio menjumpai situasi tak mengenakkan antara Alvendra dan Zee."Mas, sebetulnya apa yang terjadi antara kamu dan mba Zee?" Tanya Rio saat Alvendra membuka kulkas dan mencari-cari sesuatu yang dia inginkan."Sudahlah. Lebih baik kau diam saja. Gak usah ikut campur!" Bentak Alvendra sebelum menengguk orange juice.Heran deh gue, selama dia menghilang karena kecelakaan itu kan Mba Zee ikut andil di perusahaan. Dia benar-benar bekerja keras dan banting tulang demi memenangkan tender. Gerutu Rio sambil berjalan meninggalkan Alvendra.-----Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB.Klunting... notifikasi WhatsApp Zee berbunyi.Zee, kamu dimana nak? Apa kamu langsung berangkat ke Madrasah? Ibu menunggumu dari tadi.Ternyata pesan tersebut dari Kinasih. Rupanya Zee belum menjelaskan apa-ap
Sebagai seorang supervisor, Zee harus bisa membagi waktunya dengan baik. Terlebih banyak sekali yang harus ia kerjakan, mulai dai memecahkan masalah sehari-hari, membuat rencana jangka pendek dan panjang yang telah ditetapkan oleh atasan, membuat job description untuk staf bawahannya, mendisiplinkan bawahannya, dan lain-lain.Di usia kandungannya yang masih berada di trimester pertama, membuat Zee harus tetap profesional meski mual dan pusing kerap kali melanda."Zee, kamu kenapa? Kok pucat sekali?" Tanya Brameswara khawatir."Aku gak papa kok pah. Mungkin karena kelelahan saja." Jawab Zee sambil mengusap keringat dingin di pelipisnya.Meskipun Brameswara pemilik perusahaan dan sangat tegas serta disiplin terhadap karyawannya, namun ia tak pernah membeda-bedakan antara karyawan satu dengan yang lain. Terlebih Zee menantunya sendiri."Zee, papah mau bicara sama kamu. Bisa ke ruangan papah sekarang?""Baik pah." Jawab Zee sambil mengikut
Langit berubah menjadi jingga, cahayanya kian menghiasi langit-langit di ufuk barat, seakan melukiskan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Cahaya redup senja tak begitu menyilaukan, tak begitu menyengat bahkan terlihat anggun dan menawan. Usai jam kerja, Zee yang biasanya pulang bersama Alvendra kini memilih untuk pulang seorang diri. Berjalan menyusuri koridor, langkahnya gontai pikirannya terus berpusat pada tawaran yang diberikan oleh mertuanya. TeeetttSesekali supir taxi mengagetkan lamunan Zee."Bu, mari saya antar...""Bu, taxi bu...""Bu mau kemana?" Tak hanya satu dua kali taxi yang sudah berhenti dan memberikan tawaran untuk Zee. Namun tetap saja selalu ia tolak. Bukannya ia akan melakukan kekonyolan belaka, pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini Zee benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Ya, barang kali cahaya senja dapat sedikit memberikan ketenangan untuknya. Tak jauh dari pandangan Zee terdapat
Kecelakaan pesawat? UhukkkkZee tersedak. "Kenapa bu? Silahkan minumnya bu." Parman memberikan segelas air putih untuk Zee. "Tidak apa-apa pak. Saya hanya kaget mendengar cerita bapak. Jadi akibat kecelakaan itu bapak harus kehilangan tangan kanan bapak?" "Betul bu. Saat itu saya sempat dinyatakan meninggal karena seluruh awak pesawat jatuh berkeping-keping di tengah hutan. Namun qodarulloh... Allah masih memberikan kesempatan saya untuk hidup." Parman membuka tas kecilnya dan menunjukkan selembar foto kepada Zee. "Saat itu saya diterima kerja di perusahan ekspor impor yang terdapat di Singapura. Baru seminggu bekerja disana saya mendapatkan kabar jika istri saya mengalami sakit kanker otak stadium akhir. Sontak saya segera mengajukan cuti. Beruntung atasan saya orang asli Indonesia yang sudah menetap disana. Sehingga tak sulit bagi saya untuk mengambil hati beliau." Jelas Parman dengan mata yang berkaca-kaca. Astaga...pesawat
Zee masih tak percaya dan sesekali cerita Parman terngiang kembali. Sesampainya di rumah Zee tak segera menuju kamar mandi namun ia justru terkulai lemas di sofa ruang tengah."Zee, kamu baru pulang?" Tanya Martini mengagetkan lamunan Zee."Iya mah." Jawab Zee sambil menyandarkan tubuhnya di sofa."Sendirian?" Zee hanya tersenyum tipis. "Loh, kok gak bareng Al? Kemana dia?""Mas Al belum pulang?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening."Kok kamu malah balik tanya mamah? Istri macam apa kamu? Udah pulang terlambat, udah gitu gak tau lagi suami ada dimana. Padahal kalian sekantor." Ujar Martini sambil tersenyum pait. Nada bicaranya memang tak setinggi biasanya. Namun tersirat kebencian yang sangat jelas."Udahlah mah, gak usah mengintrogasi Mbak Zee begitu. Mungkin Mas Al lagi kejebak macet, atau mendadak ada urusan lain." Rio menenangkan Mantini sambil mendorong kursi ibunya.Hufthhh...Nampaknya Zee begitu lelah. Hari ini cukup meng
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali