Share

Nikah Dadakan

Kinan tidak pernah berpikir jika esok harinya kamar kosnya akan diketuk dari arah luar, dan begitu dia membuka pintu dengan wajah luar biasa mengantuk, dua orang pria telah menyeretnya untuk memasuki mobil.

Siapa yang tahu, jika dia akan dibawa ke salon dan berikutnya menemui perancang busana. Detik salanjutnya dia bahkan telah dirias dan dipaksa mengenakan gaun putih yang diam-diam telah dibuatkan untuknya.

Kendati rasa kantuk yang luar biasa menyerang sedang mata masih memejam rapat, Kinan tetap saja digiring ke sebuah masjid yang rupa-rupanya telah dihadiri seorang penghulu.

Sementara itu, sosok Trian yang sudah rapi dalam balutan jas putih terlihat menawan, bergerak menghampiri Kinan untuk kemudian membimbingnya ke hadapan penghulu.

Begitu Kinan sadar sepenuhnya, dia telah mendapati ejekan Trian yang memanggilnya dengan nama belakang Nugroho. Itu berarti mereka telah resmi menikah. Saking niatnya pria itu, bapaknya dari desa bahkan didatangkan dalam waktu semalam hanya untuk menjadi wali nikahnya.

Beberapa pengawal yang Kinan duga adalah bawahan setia turut hadir sebagai saksi. Sementara pria bertubuh tegap yang baru saja menyalaminya mengaku sebagai paman Trian, sekaligus wali nikahnya untuk menggantikan papa Trian yang tidak bisa hadir.

Apa-apaan ini! pikirnya. Sembari meratapi nasib, Kinan bergumam lesu, "Mengapa pernikahanku berakhir seperti ini?"

Trian terkekeh. Tangannya bergerak mengusap pipi Kinan yang bersemu karena sapuan make-up. Meski Kinan terbilang kurus, tetapi pipinya benar-benar berisi. Rasanya kenyal saat Trian mencoba mencubitnya dan hal itu membuatnya tersenyum. "Siapa suruh tanda tangan kontrak," ejek Trian. "Ayo, Bapakmu mau ketemu sebelum pulang." Tangan Trian bergerak mengiring Kinan keluar.

Kinan meringis. Pipinya terasa nyeri sedang riasan wajahnya nyaris menghilang mengingat betapa sering Trian mencubit dan mengusapnya. Sembari menepis tangan pria itu, Kinan berkata judes, "Tetapi aku ingin pernikahan yang mewah, banyak tamu undangan, dan kalau perlu aku ingin gaun mutiara."

Trian menatap Kinan cukup lama, sebelum kemudian dia terbahak keras sampai mereka berhasil menemukan bapak Kinan. Tidak banyak waktu yang Kinan butuhkan untuk bertegur sapa dengan bapaknya. Pria baya itu hanya berpesan agar Kinan menurut pada suaminya, sebelum kemudian dia pamit untuk kembali ke desa. Tentu saja, para pengawal mengantarnya atas titah Trian.

"Maaf saja, tetapi hidup mewahmu baru saja dimulai sekarang. Kamu baru bisa bertindak semaumu saat kita sah sebagai suami-istri." Trian menjelaskan begitu mereka berada di dalam mobil, sementara jemarinya bergerak menepikan anak rambut Kinan saat dia menatap perempuan itu, sejurus kemudian suaranya berubah dingin saat berkata, "lagipula isi perjanjian menyatakan kamu tidak akan diakui sebagai Istriku di depan umum, kamu tahu pernikahan kita hanya diketahui orang-orang terdekat. Jadi, keramaian yang kamu inginkan itu tidak dibutuhkan, Kinan."

Kinan akhirnya memilih diam. Meski perkataan Trian terbilang benar tetapi dia tetap saja merasa kesal.

Mengabaikan Kinan yang sedang berjibaku dengan pemikirannya, Trian memilih fokus dengan kemudi mobil. "Sekarang kita akan pindah ke rumah baru," ujarnya kemudian.

***

Kinan tidak pernah berpikir jika rumah yang dimaksud Trian adalah sebuah villa di atas puncak perkebunan teh. Gelap sudah nyaris melanda tempat itu saat mereka tiba, sementara Kinan benar-benar ingin berkata kasar sekarang.

Wajah perempuan itu terlihat geram saat melemparkan makian keras ke arah Trian, sementara pria itu dengan tenang berjalan menyusuri jalan setapak menuju villa di perbukitan kebun teh. "Ini sama sekali tidak mewah!" Kinan berteriak. Enggan meneruskan langkah untuk mengikuti Trian di depan.

"Kalau begitu, silahkan masuk penjara."

"Hah? Apa katamu!" Kinan bergerak cepat mengejar Trian, dan begitu dia berhasil mencapainya, Kinan sama sekali tidak segan mengeluarkan kekesalannya dengan menendang bokong pria itu. Cukup keras untuk membuat Trian mengadu kesakitan.

Trian benar-benar diliputi luapan amarah saat berbalik dan menghadap Kinan. Tetapi berikutnya, siapa sangka dia justru melunak saat menyadari bahwa wanita gila ini adalah istrinya sekarang, meski tidak ada kata cinta di dalamnya.

Trian menarik napas perlahan lalu mendekati Kinan. Sementara kini tempat mereka benar-benar dilingkupi aroma teh yang begitu menenangkan. Trian tahu-tahu merangkul Kinan sembari menuntunnya berjalan dengan pelan. "Bukankah sudah kubilang baca perjanjiannya dengan baik sebelum mengambil keputusan? Jadi, jika kamu menolak sekarang, aku tidak akan ragu memenjarakanmu."

Kinan masih tidak terima. "Tapi tempat ini sama sekali tidak mewah." Kinan berpindah ke hadapan Trian lalu merentangkan tangan selebar mungkin. "Aku ingin rumah yang sebesar ini," katanya, benar-benar polos.

Siapa yang tahu jika Trian akan berakhir tertawa menyaksikan tingkah Kinan. Perempuan ini sungguh ajaib, bagaimana bisa dia terlihat garang dan lucu di saat yang sama.

"Bukankah salah satu isi perjanjian mengatakan kamu akan menerima bila ditempatkan di rumah manapun? Sementara aku memilih tempat ini." Trian menatap sekeliling, di ujung sana, matahari nyaris tenggelam sedang kemilau daun teh yang tertimpa sisa cahaya jingga itu justru terlihat memukau. "Kinan, pemandangan indah inilah kemewahan itu."

Kinan berenggut kesal. "Mewah dari mana? Aku tidak suka."

Trian terkekeh. "Ya sudah, kamu setuju atau tidak kita akan tetap tinggal di sini."

Kontan, Kinan membulatkan mata. "Kita?" ulangnya, sedang Trian yang baru saja berniat melanjutkan langkah berhenti sejenak hanya untuk mengangguk. "Mengapa kamu juga tinggal di sini? Kita tidak seharusnya tinggal di tempat yang sama."

Trian berbalik dan berhenti sepenuhnya. Ditatapnya Kinan sementara kelereng gelapnya yang kini dibubuhi kemilau warna sore hari yang indah, tampak berkilat menawan. "Ada alasannya." Senyum misterius terbit di wajah pria itu. "Lagipula, mana mungkin aku membiarkan Istriku tinggal di atas bukit seorang diri."

Manik Kinan menyorot tajam. "Aku setuju saat kamu memilih merombak isi perjanjian untuk memindahkan tempat ini."

Trian tersenyum sembari menggeleng. "Tidak akan."

Sebaliknya, Kinan mendengkus.

***

Kinan tidak bisa berpaling ketika kedua manik gelapnya menyorot tajam ke arah sekumpulan perabot di dalam villa. Mereka tersusun amat rapi dan jangan lupakan guci-guci antik telah tertata di tiap sudut ruangan.

Kinan berbalik menatap Trian di belakangnya. Siapa menduga jika penampakan luar villa yang terlihat biasa saja, justru memiliki interior yang benar-benar memukau di dalam.

Ini mahakarya!

"Kenapa kamu tidak bilang jika tempat ini sudah mirip museum barang antik?"

"Kamu suka?"

Kinan mengangguk antusias. "Tentu saja, bukankah barang antik mahal, selama ini bisa dijual dengan harga fantastis aku tidak akan menyesal tinggal di sini." Kinan bergerak cepat mengusap guci yang berdiri gagah di sebelahnya. Kilat di kedua maniknya benar-benar menunjukkan antusias yang tinggi.

Trian lagi-lagi terkekeh. Pria itu beranjak dari pintu memasuki ruang tamu lalu duduk di atas sofa klasik yang terlihat elegan. Ditepuknya sisi samping sembari menatap Kinan. "Duduk di sini," ajaknya.

Kinan mendekat dan duduk di tempat yang dimaksud sementara tangan Trian bergerak merangkul bahunya. "Kamu bisa melakukan apapun di rumah ini."

"Itu sudah jelas." Kinan menatap Trian kemudian bertanya, "tapi, bagaimana jika aku ingin berbelanja di mall, spa, atau bahkan liburan, aku bisa melakukannya, kan?"

Trian mengangguk. "Hm ... lakukan apapun, dengan syarat tidak menyebutkan namaku. Kamu lihat rumah lain di bawah bukit?" Kinan mengangguk. "Tempat itu milik para penjaga. Cukup hubungi salah satu dari mereka untuk mengantarmu ke mana pun. Tetapi ingat, kamu harus pulang sebelum aku pulang dari kantor."

"Apa yang terjadi saat aku pulang terlambat?"

"Aku akan menghukummu. Aku harus melihatmu saat pulang nanti. Paham?"

Kinan mengangkat jempol dengan mimik datar. "Itu bukan hal sulit."

***

Meski pernikahan ini tidak berlandaskan cinta, tetapi Kinan cukup terkesan akan sikap Trian yang memperlakukannya dengan baik. Pria itu tidak sekalipun tampak marah atau mencoba membentaknya. Mungkin karena ini masih awal.

Hanya saja, ada saat di mana Trian terkadang terlihat berbeda saat berhadapan dengan orang lain. Bawahannya misalnya. Kinan sedang mandi ketika mendengar suara keras disertai umpatan-umpatan kasar yang mengerikan dari arah ruang tamu, bersamaan dengan suara gemetar penuh permohonan maaf dari orang lain.

Dan ketika Kinan berteriak dari dalam kamar mandi untuk menanyakannya, Trian menjawab bahwa bawahannya hanya melakukan kesalahan.

"Ingin kubuatkan sesuatu?"

Kinan sedang memilah baju saat Trian dengan tiba-tiba memasuki kamar tanpa mengetuk pintu. Perempuan itu baru saja selesai dengan urusan mandinya. "Tidak sopan! Jangan masuk seenaknya." Kinan tahu-tahu membentak, tetapi alih-alih meminta maaf, Trian justru bergerak mendekat lantas memeluk Kinan dari arah samping.

"Apa yang salah, ini juga kamarku dan kamu Istriku."

Kinan terlihat murka, "Kamarmu? Istrimu? Hei, sadarlah kawan, kamu tidak boleh menyentuhku!"

Trian membalik tubuh Kinan yang hanya dibalut handuk sedang kedua manik mereka saling menubruk. Di lain pihak, Kinan sungguh tidak menduga jika Trian akan berkata dingin, "Tenang saja, kita hanya akan tidur bersama. Tetapi aku tidak akan menyentuh lebih dari sekedar ini." Kinan sudah memasang raut datar andalannya saat mendengar kalimat terakhir Trian. "Jujur saja, kamu bukan tipe wanita yang ingin aku ajak bermain di ranjang. Kamu tidak sadar, betapa jeleknya wajah dan tubuhmu ini?"

Untuk sesaat wajah Kinan tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Sampai di menit berikutnya, Kinan berhasil melepas satu senyum datar. "Hoh, kalau begitu itu bukan masalah besar."

Trian mengangguk sembari mengusap wajah Kinan. "Anak pintar."

Bukankah hubungan mereka terasa aneh?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status