Share

Trian Nugroho

Orang pertama yang paling antusias dengan kabar baik ini tentu saja adalan Devi dan Dion. Siapa yang menduga bahwa Kinan yang semula ditolak justru mendapatkan kiriman surel dan menyatakan penerimaan untuknya.

Hanya seperti itu, kata Anda diterima tertulis di dalam e-mail. Sama sekali tidak ada alasan mengapa keputusan mereka berubah. Meski begitu, Kinan tidak terlihat peduli sebab selama dia bisa hidup mewah dirinya tidak butuh alasan lain.

Di titik ini, mereka berada di salah satu restoran mahal mengingat si Bos yang masih tidak menyebutkan identitasnya itu meminta Kinan untuk datang ke tempat tersebut. Sementara Devi yang dilanda perasaan gembira jelas tidak ingin ketinggalan. Jadinya, di sinilah mereka sekarang. Menunggu dan menunggu.

Devi melirik jam tangannya sembari menatap ke arah pintu masuk, dia berkata cemas, "Kenapa dia belum datang? Kita sudah menunggu 30 menit, loh." Wanita itu beralih menatap Dion di sebelahnya sementara suaminya mengangkat bahu tidak menahu.

"Mungkin macet, kamu kan tahu Jakarta seperti apa."

"Iya, tapi ini kan sudah cukup lama." Raut Devi berubah garang saat berkata, "apa jangan-jangan dia baru saja menipu Kinan?"

Dion menepuk bahu istrinya sembari meletakkan telunjuknya di atas bibir. "Jangan sembarangan, aku yakin Bos tidak mungkin melakukan itu, ini bahkan informasi resmi di kantor," kilahnya.

Devi memberenggut. "Memang Mas sudah pernah ketemu langsung sama orang ini?"

Dion mengangguk. "Iya, cuma aku tidak sering melihatnya mengingat beliau sangat sibuk. Aku kan hanya pekerja bagian bawah, jadi mana mungkin bisa berkomunikasi langsung. Ruangannya ada di lantai teratas."

Kali ini Devi menatap Kinan yang justru terlihat tenang, sementara mulut perempuan aneh itu sedang menggigiti es batu dari air yang mereka pesan. Sebagai tindak antisipasi Devi yang berlebihan, mereka pada akhirnya hanya memesan segelas air putih.

Siapa yang tahu jika Kinan telah ditipu sementara mereka sudah memesan makanan sedang orang yang seharusnya membayar tagihan justru tidak datang. Ini akan jadi malasah besar, pikir Devi.

Pegawai restoran bahkan sudah melirik meja mereka berulang kali. Kemungkinan dalam lima menit tanpa kemunculan pria yang akan menikahi Kinan masih tidak muncul, bisa jadi, mereka akan segera diusir.

Benar saja, dua pegawai kini mendekati meja mereka, mengingat ketiganya sudah memasuki restoran cukup lama dan hanya datang untuk duduk diam seraya memesan air. Wajah si pegawai mulai masam kendati rasa profesional membuat mereka tetap menyelipkan senyum tipis di bibir, kemudian salah satu di antaranya bertanya, "Tuan dan Nyonya, apakah sekarang Anda ingin memesan?" Suara itu masih terdengar halus.

Tetapi, semua pasang mata kontan beralih ke arah Kinan yang tiba-tiba saja berdiri, berikutnya menatap si pegawai dengan mimik kaku. "Maaf, tetapi sepertinya orang yang akan memesankan kami makanan mewah dan menghabiskan banyak uang untuk hidangan sekecil semut, tampaknya tidak datang." Kalimat panjang itu terucap tanpa pikir panjang. Dan karenanya, dua pegawai di depannya sudah menganga tidak habis pikir.

Devi dan Dion bahkan jauh lebih terkejut saat Kinan berhenti, lalu kembali bersuara, "Kami akan pergi," perempuan itu menunjuk Dion, "ah, untuk air yang kita pesan, silahkan serahkan bill-nya pada pria ini."

Wajah Dion kontan memerah malu. Berpikir apa yang baru saja Kinan—si Maniak uang itu katakan—di depan orang-orang pula. Ditatapnya kedua pegawai yang tampaknya mulai terlihat setengah sadar. Dion berkata canggung, "Ekhm, mengenai—"

"Maaf terlambat."

Semua pasang mata kini mengarah kepada satu-satunya objek memukau yang baru saja memasuki ruangan sembari menebar karismanya yang kuat. Tidak hanya Devi, kedua pegawai restoran di tempat itu kontan melebarkan mulut saking terkesimanya.

Pria dalam balutan jas mahal itu kemudian menatap si pegawai sembari melepas satu senyum tipis, lalu berkata dingin, "Kenapa kalian masih berdiri?"

Tanpa pikir panjang, keduanya segera menyambut dengan senyum sumringah dan berikutnya meninggalkan meja dengan tergesa. Siapa yang tidak mengenal pelanggan tetap di restoran mereka—Trian Nugroho—pengusaha sekaligus pendiri Eco.T Grup. Sebuah perusahan yang memproduksi, mengelola, serta memasarkan minuman herbal berbahan dasar teh yang menjadi minuman favorit berbagai kalangan.

Meski tidak cukup terkenal dikalangan masyarakat awam, tetapi Trian memiliki nama besarnya sendiri di dunia bisnis mengingat dia telah berhasil merintis usaha tersebut di usia yang terbilang muda, 30 tahun.

Dasarnya, para pengusaha hanya terkenal di lingkungan mereka. Tidak seperti mereka yang memang bekerja di bawah asuhan infotainment.

"Selamat datang, Pak." Wajah Dion terlihat cerah. Dia tidak berpikir akan bisa berada di meja yang sama dengan pria nomor satu di perusahaan tempatnya bekerja.

Trian tersenyum tipis, tipikal pria yang enggan mengumbar senyum yang akan membuat kesalahpahaman. "Apa aku mengenal, Anda?" tanyanya.

Dion kontan merongoh saku jas dan mengeluarkan identitasnya sebagai karyawan di kantor pemasaran produk. "Saya bekerja di kantor Bapak," jelasnya.

Sementara itu, Trian mengangguk sembari tersenyum. "Ah, seperti itu. Terima kasih sudah bekerja keras untuk perusahaan."

Dion menggeleng cepat. "Bapak tidak perlu berterima kasih, itu memang sudah bagian dari tugas kami."

Trian lagi-lagi mengangguk, kemudian berkata, "Yang mana Kinan?" tanyanya. Manik pria itu menatap Devi cukup lama kemudian berhenti tepat ke arah perempuan mungil di hadapannya. Pria itu seketika menyeringai, "ternyata di sini."

Kinan balas menatap dengan wajah kaku. Dia membalas, "Aku sudah ada di sini sejak awal. Kamu saja yang tidak sadar."

Devi bisa melihat kekehan lembut keluar dari mulut Trian sebelum kemudian tangannya bergerak untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jas. Devi bahkan sudah menggigil saking bahagianya, mengingat betapa beruntungnya Kinan akan menikah dengan pria semenawan dan sebaik ini.

Trian mendorong kotak tersebut ke hadapan Kinan. "Ambil dan buka saat kamu tiba di kos," ucapnya.

Kedua manik Kinan memicing. "Bagaimana kamu tahu aku tinggal di kos-kosan? Kamu memata-mataiku?" tudingnya dengan mimik curiga.

Trian terkekeh. Tubuhnya sengaja dibiarkan condong ke depan Kinan, hanya untuk menebar intimidasi melalui tindakan serta tatapan matanya yang tiba-tiba menajam. "Apa itu salah?"

Untuk sesaat Kinan terdiam, tetapi berikutnya dia mengangguk dan karenanya senyum Trian kembali tertarik. Di sisi lain, Dion dan Devi yang merasakan perubahan atmosfer, mendadak memasang senyum canggung sesaat setelah Trian menoleh dan melirik mereka.

"Terima kasih sudah menemani Kinan."

Dion menyangkal cepat. Menolak untuk terlihat bahwa Kinan telah merepotkannya. "Itu bukan apa-apa, Pak. Kinan ini teman baik kami."

Trian mengangguk sembari melempar senyum ramah.

Sikapnya berubah 180° dari yang terakhir kali Kinan dapati.

***

Siapa menduga, jika tampaknya Trian Nugroho sudah berhasil mengambil hati kedua teman baik Kinan tanpa hambatan. Devi yang biasanya takut Kinan dekat dengan seorang pria, kini bahkan membiarkan Trian membawa Kinan dengan dalih mengantarnya pulang, tanpa curiga sedikitpun.

Mereka sepertinya benar-benar menganggap Trian adalah pria yang baik.

"Kamu tidak ingin menanyakan sesuatu?"

Kinan tidak menoleh saat mendengar pertanyaan Trian di sebelahnya, sementara pria itu sedang mengemudikan mobil yang secara fisik terlihat biasa saja. Kemungkinan pria itu tidak ingin terlihat mencolok dengan mengendari mobil mewah.

Tetapi hal ini lah yang membuat Kinan terganggu, hingga membiarkan emosinya mengambil alih tubuhnya. Kinan menggertak, "Mengapa kamu tidak mengantarku pulang dengan mobil mewah? Bukankah sesuai kontrak kamu akan mengabulkan semua keinginanku?"

Tahu-tahu Trian terkekeh, ia melirik Kinan sembari mengusap wajah perempuan itu. Dengan enteng pria itu menjawab, "Kita belum menikah, jadi kontrak belum berjalan."

Kinan membuang wajah, menolak ketika Trian berniat mencubit hidungnya. "Aku memang berjanji akan mengabulkan apapun, tetapi tidak dengan perasaan cinta apalagi memberi keturunan," imbuh Trian tenang.

Kinan kembali menoleh. Ditatapnya Trian dari arah samping sementara garis rahang pria itu benar-benar terlihat menarik. Kinan mengerutkan kening saat berkata, "Aku ingat, lagi pula aku tidak tertarik dengan hal seperti itu." Kinan mendengkus. "Yang semacam itu hanya menggangu."

Trian tidak lekas menjawab. Hanya saja, sebelah tangannya yang bebas tidak berhenti meraih wajah Kinan. Begitu dia mendapati pipi Kinan, pria itu bergerak mencubitnya cukup keras. "Bagus," ujarnya sembari terbahak.

"Berhentilah mencubit wajahku!"

Dan mobil pun diisi dengan tawa Trian.

Ada apa dengan pria itu?

Apakah dia memang orang yang seperti ini?

Trian yang dia temui di awal pertemuan begitu berbeda dengan Trian yang duduk di sebelahnya sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status