Share

Pesan E-mail

Dua hari setelah Kinan dinyatakan ditolak, Devi sungguh dibuat uring-uringan mengingat situasi ini telah masuk tahap berbahaya. Peluang Kinan untuk menjadi pelacur kian bertambah dan selama dua hari belakangan, Devi tidak berhenti mendengar keluhan keluar dari mulut perempuan muda itu, bahwa betapa mendambanya dia akan uang.

Devi tidak memiliki cara lain untuk menghalangi Kinan sekarang. Meski Kinan belum menunjukkan perilaku aneh seperti tiba-tiba mengundurkan diri atau menghilang tanpa kabar. Tetapi, Devi sungguh merasa sangat cemas. Oh, jangan sampai hal mengerikan itu terjadi, pikirnya.

Ada kalanya, Devi berpikir Kinan itu punya kelainan mental bila melihat bagaimana tingkahnya selama ini. Ada kemungkinan jika Kinan dibawa ke rumah sakit jiwa atau psikiater, bisa jadi anggapan 'Kinan gila' benar-benar terwujud.

Kebanyakan orang tentunya akan berpikiran sama setelah melihat tingkah Kinan yang terkesan tidak normal, terlebih terhadap uang.

Perempuan itu terlalu terobsesi dengan uang, tetapi bodohnya dia tidak ingin bekerja keras.

"Apa yang kamu lakukan, Devi?" Kinan muncul dari balik rak kosmetik sementara wanita 25 tahun itu sedang terbengong di depan rak. "Kita harus membersihkan tempat ini sebelum pulang?" Kinan memicing lalu berkata, "apa jangan-jangan kamu ingin menginap?"

"Yang benar saja, siapa juga yang mau tinggal di sini." Devi memberenggut kesal, tetapi setelahnya dia terkekeh. Sejurus kemudian kakinya bergerak menuju ruang servis di mana perlengkapan kebersihan diletakkan di sana. Sebaliknya, Kinan mengekor di belakang.

Sementara Kinan mengambil pel, Devi bergumam, "Kamu tidak melakukan hal bodoh kan saat di kos seorang diri?"

Kening Kinan berkerut dan dia menoleh lantaran menganggap pertanyaan Devi terlalu aneh. "Tidak, memang apa yang bisa aku lakukan tanpa uang," keluhnya.

Manik Devi kontan melebar saat menyadari jika Kinan kehabisan uang. Ini bisa jadi pertanda buruk. "Ki, kamu apakan gaji yang kita terima tiga hari yang lalu?" Tarikan napas Devi seolah tertahan hanya kerena dia menunggu jawaban apa yang akan diutarakan Kinan. Napasnya seolah memberat dan sukar dihembuskan.

"Aku bersenang-senang."

Perasaan Devi kian memburuk saat mendengar kata 'bersenang-senang' keluar dari mulut perempuan gila itu. Ditatapnya Kinan serius seolah-olah dialah orang terakhir yang bisa dia tatap di muka bumi. Itu tampak intens. "Bersenang-senang yang kamu maksud ini dalam bentuk apa?"

Kinan tidak segera menjawab. Dia justru bergerak keluar dari ruang servis sementara Devi mengikutinya dengan wajah cemas. Kinan baru menjawab setelah Devi terus mendesaknya hingga mereka pulang dan berdiri di dekat jalan raya.

"Judi," kata Kinan, tanpa beban berarti.

Guncangan hebat seakan melanda Devi, sementara tanah yang dia pijaki berubah remuk dan kemudian bergerak menenggelamkan tubuhnya. Devi terdiam syok untuk beberapa saat.

"Kamu menghabiskannya untuk judi!?" ulangnya, antara percaya dan tidak. Devi bahkan tidak mengerti saat mendapati bagaimana datarnya raut wajah Kinan seolah itu bukanlah hal yang salah.  Bagi Kinan, itu jelas hanyalah permainan.

Devi kembali menghembuskan napas panjang, berikutnya memijit kening, lalu setelahnya menepuk wajah dengan frustasi. Mengigit bibir bagian dalam, Devi merasa pening saat menyadari Kinan benar-benar telah kembali pada kebiasaan lamanya.

Devi terlihat amat tertekan saat menatap Kinan. "Ki, uang untuk Bapakmu sudah kamu kirimkan?" Devi masih mencoba bersabar mengingat dia tengah mengandung. Dia baru saja menyadarinya dua minggu yang lalu saat mengalami keterlambatan menstruasi.

Kinan mengangguk dan karenanya Devi mengambil satu napas lega. "Ya sudah, pulang sama aku saja. Mas Dion sebentar lagi jemput."

"Hm," gumam Kinan sekenanya, sebaliknya, Devi menatapnya dengan redup.

Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Kinan?

***

"Ini, simpan di kulkas, terus kalau lapar tinggal panaskan saja. Paham!" Devi menyerahkan kotak berisi makanan tepat setelah Kinan turun dari mobil. Sementara tidak jauh dari mereka bangunan bertingkat dua yang berfungsi sebagai kos-kosan, berdiri kokoh beberapa meter dari jalan. Itu lah kos Kinan. Kalau saja Devi belum menikah tujuh bulan lalu, kemungkinan mereka masih tinggal bersama.

Dasarnya, Devi menemukan suami yang baik. Dion terlihat amat mencintai istrinya meski jika Devi begitu miskin.

"Jangan sampai kebakaran lagi, ya." Dion dari kursi kemudi menimbrung sembari melempar tatapan mengejek ke arah Kinan. Sebaliknya, Kinan hanya membalas dengan dengkusan kasar.

Kinan menatap kosannya sebelum kemudian berkata, "Sana pulang, aku mau tidur."

Devi tersenyum. "Ok," kemudian maniknya memicing, "ingat, jangan judi lagi, apalagi lawannya Ibu Kos."

Kinan mengangguk.

Devi sudah akan melambai sebagai salam perpisahan tetapi kemudian dia berhenti, lalu berteriak ke arah Kinan yang kini mulai beranjak dari pinggir jalan. Kinan kontan berbalik dengan wajah keruh. Oh, dia benar-benar mengantuk tetapi Devi masih saja menghalanginya. "Apa?" tanyanya, setengah mengerang.

Devi terkekeh. "Jangan lupa kunci pintu, bahaya kalau ada yang masuk. Ya sudah, sana!"

Selain hanya mengangguk, Kinan tidak lagi menunjukkan reaksi, dia hanya berbalik lalu bergerak ke arah kosan.  

Saking gilanya Kinan, perempuan itu bahkan pernah tertidur tanpa menutup pintu kamar kos. Beruntung tetangga kamarnya cukup baik untuk menutup pintu untuknya. Benar-benar, bagaimana Devi bisa tenang meninggalkan Kinan yang seperti itu.

Terkadang jika ketakutannya kian meningkat, Devi akan mengajak Kinan untuk tinggal di rumahnya. Sayangnya, Kinan acap kali menolak lantaran dia tidak ingin mengganggu.

Meski Kinan tidak termasuk gadis cantik, tetapi wajahnya benar-benar manis. Kulitnya bersih dan sedikit kecoklatan. Hidungnya mungil sedang bibirnya cukup tipis dan berwarna merah muda. Hanya saja, kadar senyumnya yang begitu minim memaksa wajahnya terlihat judes dan acuh.

Walau demikian, tidak ada yang tahu orang khilaf mana yang akan bertindak buruk terhadap perempuan yang sedang tertidur pulas sementara pintu kamarnya terbuka lebar. Ya, setidaknya Devi beruntung hal itu tidak terjadi untuk saat ini.

"Baru pulang, Ki?"

Kinan mendongak lalu menemukan sosok Pras sedang membersihkan teras di depan kamarnya. Mereka adalah tetangga dan pria berumur dua puluh tahun itulah yang kerap menutup pintu untuknya. Meski usia mereka terpaut empat tahun, Pras menolak untuk memanggil Kinan dengan embel-embel mbak atau kakak.

Ini terjadi lantaran tubuh Kinan yang amat mungil sementara Pras begitu tinggi dan cukup berisi. Lagipula Kinan tidak pernah mempermasalahkan hal semacam itu.

"Iya," Kinan menjawab. Untuk sesaat perempuan mungil itu menatap Pras cukup lama sebelum kemudian menyerahkan kotak makanan yang diberikan Devi, lalu berkata, "sekalian panaskan, kita makan di kamarmu."

Wajah Pras kontan menunjukkan satu senyum cerah. "Ok."

***

Kinan menarik napas kesal, beberapa menit setelah dia menyelesaikan makan malamnya bersama mahasiswa jurusan matematika bernama Pras, dia segera melompat tidur ke atas kasur, sayangnya, tidak seperti yang dia harapkan, dering ponselnya tiba-tiba mengeluarkan suara bising dan dia benar-benar terganggu. Tidak ada pilihan selain bangun dan mengangkat panggilan tersebut.

Inilah alasan mengapa dia harus memiliki uang banyak untuk menyewa pelayan yang siap mengangkat ponselnya di saat seperti ini.

Usut punya usut, yang menghubunginya di saat sepenting ini adalah Devi. Kalau saja tidak mengingat wanita itu adalah teman dekatnya, kemungkinan Kinan hanya akan menonaktifkan ponsel dan memilih tidur kembali.

"Apa?!"

Kekehan keras langsung saja menembus telinga Kinan. Perempuan muda itu bahkan sudah membuka mata saking nyaringnya tawa di seberang, padahal maniknya telah terpejam rapat.

"Jangan marah, Ki. Aku menelpon karena khawatir kamu tidak makan lagi sebelum tidur."

"Aku sudah makan."

Decakan keras tiba-tiba terdengar sementara tawa Dion yang menjengkelkan ikut menimbrung. Berikutnya, pria itu berteriak dari seberang telepon. "Makan sama Pras? Ciee ... yang punya pacar berondong." Sesaat setelahnya, tawa suami istri itu pecah tidak karuan. Mereka jelas sedang mengejek Kinan mengingat dia kerap makan bersama Pras.

"Dia bukan pacarku. Mana mungkin aku pacaran sama bocah, lagipula aku butuh yang kaya." Kinan kembali memejamkan mata sementara tubuhnya yang semula duduk di atas kasur kini berbaring, dia berkata, "Ok, aku tutup. Kalian mengganggu."

Dan 'bip' panggilan berakhir.

Tetapi, manik Kinan kembali membuka lebar sesaat sebelum ponselnya mati, dia bisa melihat satu notifikasi pesan e-mail. Mengingat dia tidak pernah mendapat e-mail, Kinan cukup tertarik untuk menyentuh layar dan membuka pesan itu.

"Oh, aku diterima?" gumamnya, setengah sadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status