Share

03. Siap Mati

Author: Resa Anisa
last update Last Updated: 2023-12-03 15:02:28

Saat menjelajahi taman kaca di area belakang rumahnya yang sangat luas, Kaivan menemui Arawinda yang tengah duduk memeluk lutut. Mata cokelat tua gadis itu telaten menatap kupu-kupu yang hinggap di salah satu mawar merah darah yang merekah indah.

Mawar adalah bunga kesukaan Arawinda. Saat musimnya, rumah kaca dan halaman di depan akan dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna-warni dan cerah. Hari ke hari kelopaknya berjatuhan dan Arawinda, nampak menyukai hal tersebut.

Kaivan berjalan lebih dekat, sebelah tangannya dimasukan ke dalam saku celana.

Hari masih terlalu pagi untuk berada di rumah kaca. "Bagaimana?"

Mata dengan tatap lembut Arawinda berubah membara panas kala mendengar suara Kaivan.

"Apa yang kamu inginkan Arawinda?"

Gadis inikah yang harus ia sembuhkan? Gadis lemah, cengeng dan egois? Gadis yang sudah tak memiliki gairah hidup. Sejak dulu. Hanya lebih terlihat dan nampak padam kala dia ada dalam kungkungan hubungan pernikahan bersama Kaivan.

Arawinda diam membisu.

"Saya akan menuruti apapun. Tapi tidak dengan keluar dan minum-minum." Tubuh Arawinda bisa semakin rusak jika terus digunakan untuk minum-minum.

"Tak ada yang lebih saya inginkan dari dua hal tersebut. Jadi kalau tidak bisa, tidak perlu."

Menemui tangan Arawinda yang nampak terperban, Kaivan pun bertanya, "Tidak bisakah kamu mengelola emosi?"

"Untuk apa?"

"Untuk kebaikan kamu sendiri." Meski sebenarnya akan sangat merepotkan, tapi Kaivan akan tetap menyampaikan keputusannya. "Mulai minggu depan, di hari Senin, bersiaplah, kamu akan mendampingi saya menyiapkan pesta untuk para kolega."

Arawinda membeku. Kaivan ... bukannya ingin merebut Maheswara Hotel setelah Papi meninggal nanti dan akan membuangnya? Dan akan menghancurkannya? Jadi untuk apa laki-laki itu repot membawa ia untuk mengunjungi hotel?

"Saya tidak akan dan tidak ingin mendengar penolakan. Kamu harus pergi, Senin depan."

"Kurunglah saya sesukamu, Kaivan." Dingin suara Arawinda keluar. "Saya hidup untuk mati. Dan saya ada di sini untuk itu. Sejak semalam, saya sudah berpikir panjang, panjang dan jauh sekali, bahwa saya ... sudah siap mati ditanganmu."

Untuk itu, Arawinda tak lagi memimpikan tentang kehidupan indah dan bahagia serta penuh tawa. Ia sudah terlalu muak dengan semua hal yang terjadi selama ini. Arawinda sudah lelah dengan harapan dan segala kesedihan yang memeluk batinnya. Jadi, lebih baik ia pasrah dan menunggu mati di tangan Kaivan.

Punggung kecil dan rapuh itu Kaivan tatap tajam. "Maka tunggulah hari kematian itu."

Toh Arawinda sudah mendengar semuanya. Percakapan Kaivan dengan seseorang. Bahwa lelaki itu ... akan menyingkirkan semua orang setelah bisnis hotel benar-benar ada di tangannya. Termasuk Arawinda sendiri kan? "Saya menunggu dengan sangat tenang di sini Kaivan Yudhistira."

Untuk sesaat hening memeluk mereka. Baik Kaivan maupun Arawinda tak lagi mengeluarkan suara. Mereka berdua sama-sama terdiam seribu bahasa.

Sebelum sesaat kemudian, derap langkah terdengar menjauh tepat di telinga Arawinda. Kaivan sekarang sudah pergi. Dan ia kembali sendiri.

Ya, sendiri.

Seperti satu tahun terakhir. Ia terus begini. Tak mempunyai teman, tak mempunyai akses untuk bersosialisasi. Ia ... di jaman yang maju dan modern ini bahkan sudah tidak memiliki ponsel. Jadi kesendirian itu, sudah menjadi tempat nyaman bagi Arawinda.

Kembali, Arawinda memeluk lututnya. Gadis itu mendesah menghilangkan pekat di dada setelah membicarakan hal-hal berat bersama Kaivan barusan.

^^^^^^^^^

Rajendra menatap halaman rumahnya dari kursi roda. Di samping, pada meja kayu bundar putih, ada teh herbal yang masih menerbangkan asap tipis.

Mata paruh baya tersebut nampak semakin sayu.

Hari tua yang menyedihkan.

Tak ada yang bisa ia ajak berbicara.

Dan sejujurnya saja, jika sudah begini, Rajendra merasakan sesal yang amat sangat dalam.

Seharusnya dulu, ia bisa sedikit meluangkan waktu untuk bisa menikmati hidupnya. Sekedar berbincang santai dengan Arawinda kecil, bermain dengan sang anak sesekali juga mengobrolkan hal-hal ringan penuh candaan dengan sang istri.

Sekarang semuanya sudah berlarut dalam pedih.

Hidupnya, hidup istrinya dan hidup anaknya sama-sama hancur karena kesuksesan yang Rajendra kejar. Karena kejayaan yang ingin ia gapai.

"Saya ingin menyerahkan laporan perusahaan kepada Anda."

Rajendra menganggukkan kepala, menerima sebuah dokumen di tangannya.

"Maheswara group sekarang sedang ada di puncak tertingginya untuk pertama kali, pendapatan perkapita perusahaan juga sangat baik. Investor mulai berdatangan dan menginvestasikan uang secara besar-besaran. Sekarang Kaivan tengah melebarkan Maheswara Group untuk membangun sebuah perumahan kawasan elit di daerah tanah strategis yang tengah diperebutkan oleh banyak perusahaan lain juga. Tapi sepertinya, tanah itu akan berada di tangan Kaivan sesegera mungkin."

"Saya tahu kemampuan anak itu." Rajendra membaca dengan seksama kertas yang kini masih dipegangnya. "Kaivan ... sudah saatnya menjalankan misi yang seharusnya. Perjanjian kami berdua, mungkin sudah mulai bisa berjalan dari sekarang."

"Baik, Kaivan memang sudah memulai langkah pertamanya."

"Dan Arawinda, bagaimana dia?"

"Masih seperti itu. Hanya saja, seperti yang Anda lihat kemarin, Nyonya Arawinda menjadi lebih tempramental. Apa menurut Bapak keputusan Kaivan untuk mengurungnya seperti itu sudah tepat?"

"Saya ... tidak tahu." Karena Rajendra bukan seorang ayah yang baik. Tidak pernah pula mengurus Arawinda. Yang ia tahu, selama ini, ia memberikan Arawinda semuanya. Tentang materi. Berapapun yang Arawinda pinta, barang apapun yang Arawinda inginkan, semuanya akan ada untuk menutupi kebawelan anak itu. "Kami tidak pernah dekat satu sama lain. Dan seumur hidupnya, Arawinda belum pernah saya urus."

Ada jeda hening selama beberapa saat.

"Tapi saya sudah meminta Kaivan untuk bergerak. Agar Arawinda bisa mulai belajar menjadi pengusaha. Sudah setahun lebih mereka menikah. Memang masih banyak hal yang membuat Kaivan kewalahan dalam mengurusi Arawinda tapi saya juga tak bisa menunggu lebih lama."

"Kenapa?"

"Karena bisa jadi umur saya habis di waktu-waktu dekat ini."

Sekertaris Rajendra hanya terdiam seribu bahasa. Topik ini adalah hal yang paling dan sangat ia hindari.

"Dan tolong awasi, orang-orang yang mendekati Arawinda. Siapapun itu, kita tidak tahu musuh menyelundup di sisi mana. Saya tidak mau Arawinda terluka lagi seperti dulu. Bukan hanya bagi saya, kejadian itu ... juga pasti sangat mengguncang kesehatan mental Arawinda."

"Betul sekali, mental Nyonya masih hancur saat ini, Nyonya Arawinda takut tempat gelap, sempit dan pengap. Kelemahan yang selalu menghantui beliau."

Rajendra sudah menduganya. Kenangan buruk di masalalu benar-benar membuat Rajendra sebagai seorang ayah saja sangat terluka.

Sebagai seorang pengusaha, ada banyak orang yang tidak menyukai dan memusuhinya di luar sana. Jadi, mereka mencoba menyerang berbagai sisi, mencari apa kelemahan yang Rajendra miliki.

"Hubungan Kaivan dan Arawinda selama ini, tidak pernahkah mereka mempunyai sisi romantis atau apapun itu?"

Gio menggelengkan kepala. "Selama pengamatan saya, dari satu tahun terakhir, tak pernah menemui satu kalipun mereka berinteraksi dengan hangat dan baik. Selalu ada emosi dan perpecahan di antara keduanya."

"Saya harap, mereka bisa menjadi lebih dekat. Dan saya harap, Kaivan mau benar-benar menerima Arawinda di dalam kehidupan yang akan ia jalani kelak. Karena di dunia ini, dia adalah satu-satunya lelaki yang saya percayai untuk menjadi pendamping Arawinda."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Anak Presdir   70. Ibu Tiada

    Sembari mengigit kuku dan berdiri di depan jendela kamar hotel, Arawinda pun menempelkan ponsel di salah satu telinga. Ia tengah mencoba menelepon Diajeng namun berulang kali, panggilan itu tidak terangkat karenanya, Arawinda pikir, Kaivan harus segera mengetahui kondisi Ibu.Ketika sambungan telepon terakhir Arawinda diabaikan, Arawinda berbalik dan memutuskan untuk mencari Kaivan di luar. Malam sudah menjemput tapi sang suami belum juga kembali. Entah kemana dia sekarang.Saat baru membuka pintu, Arawinda menemui Kaivan yang tengah berjalan ke arah kamarnya."Kenapa?" tanya Kaivan saat mendapati wajah cemas Arawinda. "Kamu lebih baik pulang aja, saya dilarang ngasih tahu ini sama Diajeng, tapi Ibu lagi di rumah sakit sekarang. Katanya, Ibu kena komplikasi dan saya khawatir karena Diajeng enggak angkat telepon-telepon saya."Wajah cerah Kaivan sebelumnya menjadi keruh saat mengetahui hal tersebut."Saya bakalan di sini, ngurusin hotel semampu saya dan mungkin atas arahan Om Gio dan

  • Menikahi Anak Presdir   69. Ajakan Arawinda

    Arawinda mengikuti langkah cepat Kaivan untuk pergi ke ruang rapat menemui Manager Umum yang kini sudah menunggu mereka di sana. Saat datang, Kaivan langsung duduk di salah satu kursi sedang Arawinda mengisi kursi lain di sampingnya."Dokumen yang saya minta sudah Anda siapkan?""Sudah Tuan Kaivan. Ini laporan kerja operasional hotel, proposal acara tahunan, di tahun-tahun sebelumnya juga di tahun ini. Rating dan peringkat hotel dari berbagai asosiasi terkenal yang menjadi kiblat perbisnisan. Serta data pelanggan tahunan."Kaivan menganggukan kepala puas. Sedang Arawinda hanya bisa menganga melihat apa yang ada di depannya. Berbagai macam dokumen yang nampak tebal sudah ada dan meminta Arawinda baca."Begini." Arawinda mengintrupsi. "Saya gak harus baca semua buku ini kan?""Kamu harus baca semua, Arawinda." Kaivan menaikan bahu. "Ini dasar kamu, agar bisa mengerti dan menjalankan bisnis hotel secara perlahan. Saya dulu juga saat masuk harus membaca semua dokumen ini berhari-hari.""B

  • Menikahi Anak Presdir   68. Firasat Buruk

    Sesampainya di rumah sakit, Diajeng langsung melakukan prosedur agar Ibu bisa ditindak oleh dokter.Dan dengan cemas Diajeng menunggu tak jauh dari Ibu yang tengah diperiksa. Ah, ia harus memberitahukan Rama. Tapi masalahnya, Rama seringkali tidak membawa ponsel ketika pergi ke kebun.Sembari menarik dan mengembuskan napas panjang, Diajeng mencoba untuk tenang. Ia tak boleh berpikiran negatif. Benar, Ibu hanya sakit biasa. Karena terlalu lelah di kebun dan kurang beristirahat, beliau jadi begitu. Sesaat kemudian, Diajeng pun menganggukkan kepala. Hingga kemudian, dokter akhirnya keluar memberitahukan hal yang cukup membuat Diajeng sedih.Ibu hipertensi yang sudah tidak terkontrol. Hingga ada kemungkinan Ibu gagal ginjal dan stroke ringan sekarang. Bahkan kalau dibiarkan secara terus menerus Ibu bisa saja mengalami serangan jantung.Dan rasanya saat itu dunia Diajeng runtuh. Sebagai anak, ia merasa benar-benar gagal karena tak bisa mengurus Ibu dengan baik. Mengurus seorang wanita yang

  • Menikahi Anak Presdir   67. Maafkan Saya

    Arawinda mengigit kuku sembari duduk di tengah pembaringan dengan lutut yang tertekuk. Matanya menatap tembok dan tak lepas dari sana sejak tadi. Mengingat semua kejadian semalam yang sudah ia lewati dengan Kaivan membuat ia tak mempercayai dirinya sendiri lagi. Bagaimana, Arawinda bisa mengeluarkan suara-suara erotis atas setiap sentuhan Kaivan. Bagaimana Arawinda yang seperti orang cabul yang ingin lagi dan lagi memangut bibir sang suami. Menelusuri dan menjambak tubuh Kaivan dengan ekspresi yang memancar menjijikan begitu.Arawinda berteriak tertahan sembari mengacak-acak rambut kepalanya. Ia terlalu malu, sangat amat malu dengan apa yang sudah terjadi.Kaivan sudah melihat tubuhnya. Hampir keseluruhan. Semuanya.Meski ya ... katanya sih, ia dan Kaivan sebelumnya sudah melakukan hal itu. Tapi beda! Kali ini Arawinda mengingat kegilaannya. Tak seperti malam saat ia mabuk dengan Atharya. Ia mengingat sampai tidak sadarkan diri di tempat. Lalu blank setelahnya.Daun pintu kamar nampak

  • Menikahi Anak Presdir   66. Ingatan Itu Datang

    "Eh." Arawinda keheranan kala mendapatkan buket bunga mawar putih dari manajer umum."Hadiah kecil dari saya atas kerja keras Nyonya Arawinda.""Kenapa harus sebegini?" Arawinda penuh senyum. Tiada yang lebih membahagiakan selain karena, apa yang telah ia kerjakan beberapa waktu terakhir banyak dipuji dan diapresiasi oleh orang lain. Apalagi sampai diberikan bunga begini."Bahkan saya rasa, belum cukup memberikan apresiasi untuk semua kerja keras Nyonya. Acara kemarin sukses dan gemerlap karena kerja keras Nyonya Arawinda.""Terima kasih banyak.""Sama-sama. Anda akan pergi kemana?""Saya turun untuk sarapan.""Tuan Kaivan?""Sudah langsung bertemu dengan Om Gio.""Ah iya, saya harus menyusul mereka berdua jadi, saya permisi.""Silahkan," dengan hati dan mood yang lebih baik, Arawinda pun berjalan ke arah restoran hotel. Sesaat dia duduk dan tanpa diminta, semua pegawai langsung siap siaga menghampirinya. Arawinda bertanya menu yang tersedia saat itu sebelum memilih beberapa. Teh hang

  • Menikahi Anak Presdir   65. Malam Bersama Kaivan

    Kaivan mengembuskan napas saat Arawinda menjambak kembali rambut kepalanya entah untuk yang keberapa kali sembari menyerocos tak jelas."Pokoknya aku tuuuu benci banget banget sama Kaivan.""Iya, iyaaaa.""Dia nyuruh ini-itu ini-itu kayak bos aja. Padahal siaaaapa?" Arawinda sedikit mengeraskan tekanan suaranya di akhir kalimat. "Siapa pemilik dari hotel ini?!"Gio dan Kaivan secara bersamaan melihat Arawinda yang menepuk dadanya sendiri. "Akuuuuu!"Dan entah kenapa melihat tingkah itu, dua laki-laki itu malah tertawa.Di sisi lain Arawinda yang sudah hampir tak sadarkan diri mendorong kepala Kaivan sekenanya. "Aduh capek banget.""Kalau gitu kamu tidur dan istirahat aja sekarang," perintah Gio."Tapi yaaa!" Arawinda belum selesai berbicara ternyata. Kedua tangan kecilnya hinggap di rahang tegas Kaivan. "Untung dia ganteng banget. Jadi setidaknya walaupun nyebelin seenggaknya dia ganteng. Dan setidaknya, my first kiss—dskskskahdg."Kata yang selanjutnya keluar dari mulut Arawinda terde

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status