MasukTidak ingin Damar mengikuti dan mengetahui tempat tinggalnya, Shanna mempersiapkan perlengkapan untuk dirinya menyamar. Sayangnya sudah empat hari berlalu, Damar tidak pernah menemuinya lagi.
Kecewa?
Tentu saja! Namun, sebisa mungkin dia menekan perasaannya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Bukankah memang ini yang dia inginkan?
Sayangnya, semakin Shanna mencoba mengabaikannya, perasaan rindunya kepada pria itu semakin menyiksa dirinya. Belum lagi rasa bersalahnya karena telah meninggalkan Damar begitu saja empat hari yang lalu.
Shanna menghela napas pelan.
“Shanna, Bu Widia memintamu datang ke ruangannya,” ucap seorang pengurus panti asuhan ketika melihatnya sudah pulang.
“Untuk apa Ibu memanggilku malam-malam begini?” kening Shanna berkerut penuh tanda tanya.
“Aku tidak tahu. Lebih baik kamu langsung ke ruangan beliau saja.”
“Terima kasih, Kak.”
Shanna bergegas menuju ke ruangan Widia. Betapa terkejutnya Shanna ketika mendapati Damar juga berada di sana.
Widia menatap Shanna dengan senyum kecil dan berkata, “Akhirnya kamu pulang. Babamu sejak tadi menunggumu.” Dia menatap Damar. “Kalau begitu saya pamit dulu, Pak Damar.”
Widia segera pergi dari ruang kerjanya setelah mendapatkan jawaban dari Damar untuk memberikan privasi bagi mereka berdua.
“Bagaimana baba tahu aku tinggal di sini?” meskipun nadanya datar saat bertanya, tetapi di dalam hatinya, Shanna ingin sekali memeluk pria itu untuk melepaskan rasa rindunya.
Shanna sendiri tidak mengerti dengan hatinya. Di saat dirinya berhadapan dengan Damar, hatinya selalu memberontak dan ingin meninggalkan pria itu. Namun, saat dia tidak melihat pria itu walau sesaat, hatinya mulai gelisah dan merindukan pria itu.
“Maafkan, Baba.” Damar bangkit dari duduknya dan menghampiri putrinya. “Baba tidak peduli kamu marah atau membenci baba. Karena baba tahu kamu tidak akan memberi tahu tempat tinggalmu, jadi kemarin baba sengaja mengikutimu pulang bekerja. Dan sekarang baba datang ke sini ingin menjemputmu pulang. Ayo kita pulang!”
Shanna menghindar ketika Damar hendak menyentuhnya. Dia menatap lekat-lekat pria di hadapannya. “Baba, sudah berulang kali kukatakan, aku nggak akan pulang. Jadi aku mohon, Ba, berhentilah menggangguku.”
Terdengar munafik karena apa yang diucapkan sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya, tetapi tidak ada pilihan bagi Shanna.
Perasaan marah marah dan kesal kepada Damar menjadi satu dalam diri Shanna. Di saat dirinya sudah bertekad untuk melupakan Damar, pria itu selalu saja datang ke hadapannya. Membuat usahanya untuk melupakan pria itu terasa sia-sia.
“Begitu pun dengan baba. Baba tidak akan berhenti untuk membujukmu pulang. Bagaimanapun kamu adalah putri baba dan sudah menjadi kewajiban baba untuk menjagamu,” ucap Damar keras kepala.
Shanna menatap wajah Damar tepat di mata pria itu. Mata yang selalu memancarkan pandangan teduh setiap kali dia melihatnya.
“Terserah baba mau melakukan apa.” Shanna berkata tegas. “Yang jelas, aku nggak akan ikut baba pulang. Jadi lebih baik sekarang baba pulang aja. Sekarang sudah larut malam dan aku mau istirahat. Soalnya besok aku masih ada kuliah.”
“Baiklah. Kalau begitu baba akan pulang dulu. Kamu istirahat, ya.” Damar mencium kening Shanna dan langsung pergi setelah mengucapkan selamat malam.
Shanna memandang kepergian Damar dengan penuh keheranan. Tidak meyangka Damar akan pergi begitu saja. Padahal dia sudah siap berdebat dengan pria itu jika Damar tetap bersikeras ingin mengajaknya pulang.
Untuk sesaat Shanna terdiam sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu, pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Mengingat apa yang baru saja diucapkan oleh ayahnya, Shanna tahu bahwa pria itu bersungguh-sungguh. Terbukti keesokan harinya, Damar kembali datang menemuinya. Bukan di panti asuhan, tetapi datang ke tempat kerjanya tepat pukul delapan malam.
Shanna melepas sabuk pengaman dan menatap Damar. “Nggak peduli sekeraskepala apa baba membujukku, aku tetap nggak akan kembali bersama baba. Jadi lebih baik baba nggak perlu membuang-buang waktu untuk membujukku pulang. Selain itu baba juga nggak perlu mengkhawatirkan aku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jadi berhentilah datang ke tempat kerjaku dan mengantarku pulang.”
Shanna keluar dari mobil tanpa menunggu jawaban Damar. Dia tidak ingin Damar melihat matanya yang mulai berkaca-kaca saat mengatakan kata-kata yang menurutnya tidak seharusnya dia katakan kepada pria itu.
Shanna tahu kalau tidak seharusnya dia mengucapkan kata-kata yang mungkin menyakiti perasaan Damar. Tidak seharusnya juga dia memperlakukan orang yang sudah merawat serta menjaganya dengan sikap kasar. Namun, ini semua Shanna lakukan demi kebaikan mereka. Dia sangat menyayangi Damar dan tidak ingin pria itu menderita. Jika hidup bersamanya membuat pria itu tertekan, maka dia rela meninggalkan Damar walau hatinya yang terluka.
“Maafkan aku, Baba,” gumam Shanna lirih dan sarat akan perasaan bersalah.
Damar menggenggam erat tangan Shanna. Matanya yang merah karena menangis saat menunggui Shanna di ruang operasi, terus menatap wajah Shanna yang pucat. Tangannya membelai wajah Shanna."Sayang, bangun. Jangan tinggalkan aku sendiri," kata Damar pelan, nyaris seperti bisikan. Diciuminya pungung tangan Shanna.Air mata kembali membasahi wajah Damar.Setelah 6 jam berada di ruang intensif, akhirnya dokter memindahkan Shanna ke ruang inap setelah masa kritisnya berlalu."Pak, lebih baik Anda istirahat. Biarkan saya yang menjaga Shanna," kata Ardo pelan."Tidak!" tolak Damar cepat.Damar tidak akan meninggalkan Shanna. Dia takut Shanna benar-benar meninggalkannya jika dia pergi."Tapi, Pak, Anda belum istirahat sama sekali sejak tadi pagi. Setidaknya Anda makan dulu meski sedikit, karena sejak tadi Anda juga belum makan." Ardo berusaha membujuk.Damar keras kepala ingin menemani Shanna.Ardo berusaha membujuk Damar. Namun, karena kekeraskepalaan Damar, akhirnya Ardo pun mengalah dan membia
Shanna mengernyit bingung saat mobil memasuki area rumah sakit. "Kenapa kita ke sini, Ba?"Damar memarkirkan mobilnya dengan rapi dan mematikan mesin mobil, lalu dia menatap Shanna. Tangannya menggenggam kedua tangan Shanna yang berada di atas paha."Kita akan konsultasi, dan jika memungkinkan, kita sekalian melakukan program kehamilan."Mata Shanna melebar. "Ba ..."Damar tersenyum kecil. "Aku sangat mengenalmu, Sayang. Walaupun kamu tidak mengatakannya, tapi kamu pasti masih memikirkannya, kan?"Shanna kembali dibuat terkejut. "Enggak, Ba. Aku nggak memikirkannya.""Kamu nggak perlu membohongi dirimu sendiri. Aku dapat melihatnya di matamu. Aku yang selama ini merawat dan membesarkanmu, jadi aku sangat tahu betul bagaimana dirimu.""Baba," Shanna tidak bisa berkata-kata.Ingin sekali Shanna menampik semua ucapan Damar. Namun, apa yang Damar katakan benar. Dia masih memikirkan apa yang dokter katakan mengenai kondisinya yang didiagnosa sulit untuk hamil. Sebagai seorang wanita, itu m
Shanna menunggu jawaban Damar dengan rasa takut yang semakin besar.Shanna sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Walaupun begitu, Shanna masih belum siap jika harus kehilangan Damar.Tangan Damar terulur, menghapus air mata yang terus mengalir di wajah Shanna. Senyum kecil terukir di wajah tampannya."Apa yang kamu katakan, hm?" kata Damar setelah berhasil menenangkan dirinya dari berita yang mengejutkan ini."Asal kamu tahu, Sayang," lanjut Damar. "Aku tidak peduli apakah kita akan memiliki anak atau tidak. Karena bagiku, kamu adalah segalanya. Jadi, tidak mungkin aku akan menceraikanmu. Jadi, berhentilah memikirkan hal yang tidak-tidak tentangku. Apa perlu aku mengatakannya kepadamu setiap hari, kalau aku selalu dan akan selalu menyayangi dan mencintaimu apa adanya meski kita tidak memiliki anak?"Air mata Shanna semakin deras. Namun, kali ini bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan.Shanna kembali memeluk Damar erat. "Terima kasih, Ba. Terima kasih kamu
Kehidupan mereka yang tenang dan damai membuat waktu berjalan dengan begitu cepat. Tidak terasa sudah satu tahun berlalu. Namun, sampai sekarang Shanna tidak kunjung hamil. Hal itu membuat Shanna khawatir dan waswas. Dia takut keguguran yang dialaminya sebelumnya akan berdampak pada rahimnya. Karena itulah hari ini Shanna memutuskan pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Shanna benar-benar takut jika dia tidak memberikan keturunan untuk Damar."Kak, kakak tunggu di sini aja, ya," kata Shanna begitu Ardo memarkirkan mobil di parkiran rumah sakit.Ardo mengangguk. "Ya."Shanna keluar dari mobil dan langsung memasuki rumah sakit. Setelah mengambil nomor antrean dan menunggu beberapa lama, akhirnya Shanna pun masuk ke ruangan dokter.Dokter langsung melakukan pemeriksaan sederhana usai mendengarkan keluhan Shanna. Memerlukan waktu satu setengah jam sebelum akhirnya dokter memberikan hasil diagnosanya kepada Shanna.Dunia seakan berhenti berputar saat dokter memberi t
Shanna menggeleng pelan. "Nggak, Tante.”Shanna meraih tangan Farel, isyarat untuk pria itu memberi ruang untuknya bicara dengan Nadia. Lalu Shanna pun duduk di hadapan Nadia.“Aku tahu tante nggak suka melihatku. Tapi tujuanku datang menemui tante bukan untuk menertawakan ataupun menghina tante. Aku datang mengunjungi tante karena aku ingin meminta maaf pada tante."Nadia mendengkus sinis. "Maaf? Apa kamu pikir maafmu bisa membebaskanku dari tempat ini?"Pandangan Shanna tertunduk. "Permintaan maafku memang nggak bisa membebaskan tante dari sini. Karena bagaimanapun, tante harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah tante lakukan."Shanna menegakkan kepalanya dan menatap Nadia lekat-lekat."Karena itulah aku ingin mengakhiri perseteruan kita sampai di sini, Tante. Aku benar-benar minta maaf karena sudah menjadi penyebab kebencian tante. Aku juga mewakili Baba meminta maaf pada tante karena dia sudah membuat tante harus berakhir seperti ini. Tapi tante harus tahu, apa yang Baba lakukan
Kedua tangan Damar terkepal erat. Rahangnya mengeras. "Dia kembali berulah dengan menjegal semua investor yang ingin berinvestasi di Dashan Group.""Lagi?!" seru Shanna terkejut."Ya.""Terus, sekarang bagaimana?" tanya Shanna khawatir.Damar tersenyum lebar. "Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."“Syukurlah kalau semuanya sudah baik-baik aja” Shanna memeluk Damar. "Maafkan aku, Ba. Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu. Karenaku, kamu jadi mendapatkan banyak masalah."Damar membalas pelukan Shanna. "Kamu tidak salah, Sayang. Memang mereka saja yang tidak bisa senang melihat kebahagiaan kita. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri.""Tapi, Ba, kalau kamu tahu bahwa Bibi adalah dalang di balik kecelakaan itu, kenapa kamu tidak mencabut tuntutanmu terhadap Nadia? Bukankah kalau seperti ini, sama saja dengan kita menjebloskan orang yang tidak bersalah?""Siapa bilang dia tidak bersalah?” kata Damar cepat. “Entah itu Nadia atau Diana, mereka me







